Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...
BAB 2
IDEOLOGI DAN PANDANGAN KESUSASTRAAN JEPANG
Sejarah kesusastraan Jepang dalam bentuk tertulis sudah ada sejak abad ke-8. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, sejarah kesusastraan Jepang bukanlah merupakan sejarah yang singkat. Dalam sejarah yang panjang itu, genre (bentuk) kesusastraan Jepang ditradisikan dengan keadaan yang hampir tidak mengalami perubahan sampai sekarang. Sifat seperti itu dapat dikatakan sebagai salah satu sifat khas kesusastraan Jepang. Tanka (puisi pendek), misalnya, adalah puisi yang sudah berumur seribu sekian ratus tahun, namun masih tetap hidup. Contoh seperti ituhampir tidak ada di dunia ini. Apa alasannya? Anggapan bahwa bentuk kesusastraan ini adalah bentuk yang paling cocok untuk mengekspresikan emosi dan gerak hari orang Jepang, rasanya merupakan suatu alasan yang cukup. Tanka tetap hidup, walaupun bentuk kesusastraan lain yang sesuai dengan keadaan budaya masing-masing zamannya, seperti renga pada zaman pertengahan, haikai pada zaman pramodern, dan haiku pada zaman modern, lahir dan berkembang. Rinen atau ideologi kesusastraan juga berhubungan dengan masalah ini. Dengan kata lain, tanka sebagai alat berhasil memeram dan memberikan dorongan yang kuat dan dengan kesadaran terhadap rinen baru masing-masing zaman, tidak ubahnya seperti kantong kulit yang memeram sake baru agar menjadi matang.
Rinen yang muncul dalam kesusastraan Jepang, misalnya mono no aware pada zaman medio purba, yugen pada zaman pertengahan, sui pada zaman pramodern, bila dilihat sepintas lalu seperti lenyap dari sejarah kesusastraan Jepang. Namun, sebenarnya tidaklah demikian. Seperti yang dikatakan Kato Shuichi dalam Nihon Bungakushi Josetsu bahwa rinen kesusastraan ini tidak lenyap bersama berlalunya zaman, tetapi hidup bersama, berdampingan dengan rinen baru pada zaman berikutnya. Oleh karena itu, rinen kesusastraan makin lama makin kompleks seiring dengan makin berlalunya waktu. Hal itu sejalan dengan struktur dasar kebudayaan Jepang.
Haruslah diakui bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara rinen dan kesusastraan klasik dan kesusastraan modern. Kesusastraan modern — tentu saja tidak dapat melepaskan diri dari nilai estetika — mempunyai kecenderungan lebih memberi tekanan pada filsafat pemikiran, aliran, atau metode. Sebagai contoh adalah dengan digantikannya rinen kesusastraan klasik seperti fuga, wagi, dan ushi, dengan aliran dalam kesusastraan modern seperti naturalisme, humanisme, ekspresionisme, realisme, dan idealisme. Untuk memahami kesusastraan Jepang, khususnya kesusastraan klasik, rinen kesusastraan ini merupakan bahasa kunci, atau dengan kata lain merupakan suatu dasar yang dapat dipergunakan untuk mulai mempelajari kesusastraan klasik.
Baca: Buku Pengantar Kesusastraan Jepang
Comments
Post a Comment