Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
2. Kanshibun, Waka dan Kayoo
Kepopuleran Kanshibun
Pada awal zaman Heian, pantun waka pernah mengalami kemunduran, sebaliknya ‘Kanbungaku’ (Kesusastraan Cina yang berkembang di Jepang) mencapai kepopulerannya. Pada waktu itu banyak dilakukan pemilihan karya terbaik atas titah kaisar, misalnya pada zaman kaisar Saga (814-822) terpilih Ryoounshuu dan Bunka Shuureishuu, pada zaman kaisar Junna (823-834) terpilih Keikokushuu.
Pengarang-pengarang ‘Kanshibun” (syair berbentuk bahasa Cina
dibaca secara bahasa Jepang) terkemuka pada zaman Heian antara lain Kuukai
(dengan nama lain Kooboo Daishi), Ono no Takamura dan Sugawara no Michizane. Di
antara karya Kuukai terdapat Shooryooshuu, kemudian karya lainnya yang
membicarakan puisi dan prosa bergaya retorik adalah Bunkyoo Hifuron. Kuukai
sebagai seorang sarjana, penyair dan seorang pemeluk agama yang patuh merupakan
pelopor dan penyuluh kebudayaan Jepang pada awal zaman Heian. Sugawara no
Michizane menyusun Kankebunsoo dan mempersembahkannya kepada kaisar Daigo
(900-934). Sebuah karyanya lagi yang berjudul Kankekoosoo ditulisnya ketika ia
berada di dalam pengasingannya di Dazaifu (Fukuoka).
Contoh dari Kankekoosoo berjudul ‘Kugata-no Tooka’ (tanggal
sepuluh September):
Cara baca secara bahasa Jepang:
Kozo-no koyoi seijo-ni jisu
Shuushi-no shihen-ni hitori
harawata-wo tatsu
Onshi-no onzo-wa ima koko-ni ari
Sasage mochite mainichi yoka-wo
haisu
Pada malam sepuluh September tahun
lalu,
Ketika aku menjadi abdi dalem
Kaisar,
Hatiku resah menulis kenangan pada
musim gugur,
Kimono yang kuterima dari Kaisar,
Kini ada di tanganku,
Kudekap dan kucium wanginya
sepanjang hari.
Sejak pertengahan zaman Heian, Kanshibun mengalami
kemunduran karena waka dan sebangsanya kembali menjadi populer. Walaupun
demikian, Kanshibun masih mempunyai nilai yang tinggi dalam pendidikan kaum
laki-laki di Jepang pada waktu itu. Honchoomonzui, hasil karya pilihan dari
Fujiwara Akihira, adalah karya besar Kanshibun yang terdiri dari 427 bait. Pada
akhir zaman Heian, sarjana Kanshibun yang perlu dicatat namanya adalah Ooe Masafusa.
Perkembangan Waka Pada Zaman Heian
Ketika Kanshibun mencapai kejayaannya, dapat dikatakan waka
mengalami masa suram, tetapi keadaan seperti ini bukanlah berarti kehancuran
total bagi waka, karena secara berturut-turut waka masih ditulis orang yang bersifat
melanjutkan karya Manyooshuu dan Kokinshuuu. Bersamaan dengan itu, kebudayaan zaman
Heian juga berkembang, secara sedikit demi sedikit meninggalkan pengaruh dari
kebudayaan Tang dan menuju ke arah pembentukan kebudayaan asli Jepang.
Perkembangan kebudayaan ini bergerak dan berpusat di lingkungan istana dan
mencakup perkembangan kesusastraan Jepang asli. Pengungkapan jiwa orang Jepang
melalui waka lebih cocok daripada melalui Kanshibun dan terciptanya tulisan
Hiragana membantu perkembangan waka.
Kepopuleran Utaawase
Banyak dilakukannya ‘Utaawase’ (pertandingan pantun) juga
membantu perkembangan waka. Utaawase diselenggarakan sebagai salah satu
kegiatan sastra. Para penyair berkumpul bersama-sama, kemudian dibagi ke dalam
dua buah kelompok untuk bertanding menyanyikan pantun. Kegiatan ini mirip
dengan kegiatan lain yang telah ada seperti ‘Toosoo’ (pertandingan memilih
rumput-rumputan yang terbagus) dan ‘Toogee’ (pertandingan memilih bunga yang
tercantik). Utaawase yang berumur paling tua yang tertinggal sampai zaman
sekarang adalah Zaiminbu Kyooke Utaawase dari zaman Ninna (884-888). Setelah zaman
Ninna dan memasuki zaman Kanpyoo (kaisar Uda, 888-897), utaawase semakin lama
semakin populer. Yang terkenal pada zaman ini adalah Kanpyoo-no Ontoki Kisai-no
Miya Utaawase.
Kanke Manyooshuu atau Shinsen Manyooshuu, yaitu kumpulan
puisi pilihan dari Manyooshuu oleh Sugawara no Michizane, adalah karya
berbentuk menambahkan kanshibun ke dalam waka, sehingga merupakan karya yang
mempelopori pembentukan Wakan Rooeishuu. Kudai Waka yang ditulis oleh Ooe no
Chisato adalah salah satu macam waka yang mengambil judulnya dari salah satu
bait. Kanke Manyooshuu dan Kudai Waka kedua-duanya menarik perhatian orang
sebagai produk zaman kembali berjayanya Waka.
Pembentukan Kokinshuu
Memasuki zaman Engi (901-923) pantun Waka makin lama makin
populer, dan mencapai puncaknya ketika Kokin Wakashuu (kumpulan waka lama dan
baru) terpilih sebagai karya terbaik bedasarkan titah kaisar. Konkinshuu (Kokin
Wakashuu) disusun oleh empat orang penyair atas titah Kaisar Daigo pada bulan
April tahun Engi 5 (905). Keempat orang penyair itu adalah Kino Tomonori, Kino
Tsurayuki, Ooshikouchi no Mitsune dan Mibu no no Tadamine. Kokinshuu terdiri dari
20 jilid dengan jumlah pantun sebanyak 1100 lebih. Kata pengantarnya yang
ditulis dengan tulisan Hiragana oleh Kino Tsurayuki mempunyai kedudukan penting
dalam sejarah pemakaian Kana, selain itu juga mempunyai nilai yang tinggi
sebagai karya teoretis pertama tentang pantun waka. Kata “ko” (lama) dari
Kokinshuu menunjuk zaman sebelumnya dari tahun 759, yaitu tahun pembuatan
pantun terakhir pada Manyooshuu, sampai tahun 905, sedangkan kata “kin”
(sekarang) menunjuk zaman pada waktu itu yaitu tahun 905. Jadi Kokinshuu adalah
kumpulan pantun-pantun Waka dari tahun 759 sampai tahun 905. Jangka waktu 150
tahun ini dapat dibagi menjadi tiga zaman yaitu pertama zaman nama pengarang
tidak diketahui, kedua zaman enam orang penyair dan ketiga zaman empat orang
menyunting yaitu empat orang penyair yang menjadi penyunting buku tersebut.
Pantun yang dibuat pada zaman nama pengarang tidak diketahui menempati angka 40% dari jumlah keseluruhan dan di antaranya terdapat pantun yang bersifat peralihan dari Manyooshuu kepada Kokinshuu.
Contoh :
Kasugano-wa kyoo-wa nayaki so
wakagusa-no tsuma-mo komomeri waremo komomeri.
Hanya pada hari ini saja jangalah
membakar rumput di ladang Kasuga karena aku dan istriku ada di balik tumpukan
rumput tersebut.
Sugaru naku aki-no hagiwara asa
tachite tabi yuku hito-wo itsu toka matamu
Aku akan menunggu terus engkau yang
telah meninggalkan Hagiwara pada musim gugur ketika kumbang Sugara ramai
berbunyi karena aku percaya entah kapan kau akan kembali lagi.
Enam orang penyait (Rokkasen) pada zaman kedua adalah Ariwara no Narihira, Soojoo Henjoo, Ono no Komachi, Ootomo no Kuronushi, Funya no Yasuhide, dan Kisen Hooshi. Penyair Narihira mempunyai wajah tampan dan suka bergaul dengan wanita, karena itu ciptaan Narihira bersifat sentimental. Penyair Henjoo sebelum menjadi bhiksu dikenal sebagai sastrawan yang ciptaannya bersifat halus dan disertai humor. Penyair Komachi adalah seorang wanita cantik sekali dan menurut komentar Tsurayuki ciptaan Komachi mirip dengan kisah wanita cantik yang menderita karena pantun gubahannya betul-betul elegan dan feminin.
Contoh :
Hachisuha-no nigori-ni shimanu
kokoro mote nanika-wa tsuyuwo tama-to asamuku. (Henjoo)
Bunga teratai tumbuh di atas lumpur
dan tetap bersih tanpa dikotori lumpur, tetapi mengapa ia memperlihatkan titik
embun di atas daunnya sebagai permata kepada orang.
Ito semete koishiki toki-wa
ubatama-no yoru-no koromo-wo kaeshite zo kiru. (Komachi)
Pada waktu aku sedang jatuh cinta,
agar supaya kekasihku muncul dalam mimpi, aku tidur dengan memakai pakaian
tidur secara terbalik.
(Catatan : ada kepercayaan bahwa
apabila tidur dengan memakai pakaian tidur secara terbalik akan mendapat mimpi
indah.)
Pantun Pada Zaman Empat Orang Penyunting
Dalam Kokinshuu pantun buatan tempat orang penyutung ada
sebanyak kira-kira 20%, di antaranya yang terbanyak adalah gubahan Ki no
Tsurayuki. Ki no Tsurayuki mempunyai ide ekspresi yang tegas dalam pantunnya
dan ia mahir sekali dalam penggunaan “kakekotoba” (satu kata mempunyai dua
arti), “engo” (kata yang berfungsi menghubungkan) dan “joshi” (istilah atau
julukan untuk suatu nama). Penyair Ki no Tsurayuki lebih tepat dikatakan
sebagai penyair yang rasional daripada sentimental.
Ciri khas pantun gubahan Tsurayuki dapat dianggap sebagai ciri khas pantun Kokinshuu pada umumnya.
Ooshikouchi no Mitsune dikenal sebagai penyair polis yang secara blak-blakan mencetuskan isi hatinya melalui pantun, karena itu ia dalam membuat pantun tidak begitu banyak menggunakan teknik sehingga pada pantun gubahannya terasa ada perasaan yang hidup. Dua orang lagi yakni Tomonori dan Tadamine kurang pandai bila dibandingkan dengan dua orang sebelumnya. Penyair-penyair lain selain keempat orang penyair penyunting tersebut di atas adalah Fujiwara Toshiyuki, Sosei Hooshi, Kiyobara Fukayabu, Sakano Ue no Korenori, Ise dan lain-lain.
Contoh :
Kasumidachi ki-no me-mo haru-no
yuki fureba hana naki satomo hana zo chirikeru. (Tsurayuki)
Ketika berkabut dan pohon-pohon
mulai bertunas menandakan tibanya musim semi, apabila salju turun, di dusun
yang tidak berbunga pun salju itu kelihatannya seperti bunga-bunga yang
berguguran.
Yo-wo samumi ako hatsusihimo-wo
haraitsutsu kusa-no makurani amata tabi nenu. (Mitsune)
Hari bertambah malam bertambah
dingin, sambil membuang bunga es yang ada di atas rumput aku tidur di tempat
itu.
Ciri-ciri Khas Kokinshuu
Ciri khas Kokinshuu adalah perubahan aturan pemakaian
suku kata dari bersukukata lima-tujuh yang berlaku pada zaman sebelumnya yang
bersifat lamban-berat menjadi bersukukata tujuh-lima yang bersifat
ringan-lancar dengan ini terbentuklah gaya baru yang disebut “kokinshoo” (gaya
kokinshuu). Gaya tujuh-lima ini bagian atasnya berisi berat tetapi bagian
bawahnya berisi ringan, sehingga bersifat lancar dan indah. Sewajarnyalah
Kokinshuu yang bergaya tujuh-lima ini yang bersifat lancar-indah dikatakan lebih
halus dan elegan daripada Manyooshuu yang bersifat sederhana dan lamban-berat.
Misalnya penyair-penyair Manyooshuu kalau membawakan pantun sedih, perasaan
sedih itu langsung diungkapkan seperti apa adanya, sedangkan penyair-penyair
Kokinshuu tidak langsung mengutarakan ungkapan-ungkapan tersebut dan banyak
memakai kata-kata dugaan dan pertanyaan. Selain itu, kalau dibandingkan dengan
Manyooshuu, pantun-pantun pada Kokinshuu jauh lebih bersifat rasional dan
pemakaian “engo” serta “kakekotoba” lebih banyak sehingga strukturnya menjadi
rumit.
Gosenshuu
Tugas berikutnya sesudah Kokinshuu yang diperintahkan kaisar
adalah penyusunan Gosen Wakashuu (kumpulan pantun waka pilihan sesudah
Kokinshuu). Pada tahun Ten-kyaku 5 (951), kaisar Murakami membuat lembaga
pantun waka di Nashitsubo (salah satu tempat di dalam istana) dan
penyair-penyair yang dipilih untuk menyusun Gosenshuu (Gosen Wakashuu) itu
adalah Kiyohara Motosuke, Ki no Tokibumi, Oonakatomi no Yoshinobu, Minamoto no
Shitagoro dan Sakano Ue no Mochiki. Pengarang-pengarang terkemuka dalam
Gosenshuu antara lain adalah Ki no Tsurayuki, Ise dan Ooshikouchi no Mitsune,
selain itu juga ada pengarang-pengarang lain yang baru muncul seperti Mibu no
Tadami, Naka Tsukasa dan Higaki no Ouna. Namun, karya para penyunting/penyusun
tidak ada satu pun yang tampak.
Ciri khas Gosenshuu terletak pada banyaknya “zootooka”
(pantun bersahut-sahutan) dan panjangnya pantun. Dalam hal panjangnya pantun,
sering dijumpai yang seharusnya ditulis dengan sebutan orang pertama (diri
sendiri) malah ditulis dengan sebutan orang ketiga. Hal ini menunjukkan adanya
gejala ingin membuat pantun menjadi ceritera. Permainan kata-kata dalam
Gosenshuu bebas dan kelihatan ada pemakaian kosa kata kanji (kosa kata yang
berasal dari bahasa Cina) yang baru. Dalam karya ini banyak dilukiskan
kejadian-kejadian nyata dan kehidupan sehari-hari sampai sekecil-kecilnya
secara kongkrit. Kalau dibandingkan dengan Konkinshuu, Gosenshuu ini lebih
bersifat gembira dan bebas.
Shuuishuu
Pada Gosenshuu terdapat ciri yang tidak terlihat pada
Kokinshuu, tetapi kalau dilihat secara keseluruhan, Gosenshuu bukanlah karya
yang lebih istimewa daripada Kokinshuu. Begitu pula Shuuishuu, lengkapnya Shuui
Wakashuu, juga mencontoh Kokinshuu. Shuuishuu disusun berdasarkan titah kaisar
Ichijoo dan penyuntingnya adalah Fujiwara Kintoo (966-1041). Fujiwara Kintoo
dikenal sebagai pengarang buku Shinsen Zuinoo (kritik dan teori membuat pantun waka), ia pandai dalam hal kritik secara teoretis tetapi kurang pandai dalam hal
pembuatan pantun yang sesungguhnya.
Tepat pada waktu penyusunan Shuuishuu, muncul pengarang Murasaki Shikibu dan Sei Shonagon, kesusastraan jenis ceritera dan essei sedang populer, sehingga penyusunan antologi/kumpulan puisi waka menjadi terhenti untuk jangka waktu yang lama. Dalam keadaan seperti ini, masih ada penyair yang dapat dikatakan istimewa, antara lain Izumi Shikibu, dan Sone no Yoshitada. Izumi Shikibu adalah seorang penyair lirik yang istimewa bila dibandingkan dengan Ono no Komachi, ia lebih banyak memasukkan perasaan asmaranya ke dalam karyanya, tetapi pada karyanya itu tidak ada ciri yang dapat dikatakan baru. Sebaliknya Sone no Yoshitada malah memperlihatkan ciri baru pada karyanya. Di dalam grup penyair, Sone no Yoshitada dipandang rendah dan diberi julukan Sotan. Pengungkapan pada karyanya polos dan ia suka menggunakan kata-kata baru yang belum pernah dipakai orang. Pantun gubahannya adalah pantun yang menggambarkan keindahan alam dan pada karyanya ini terlihat adanya observasinya yang membawa perasaan segar terhadap alam.
Contoh :
Tsurezure-to sora zo miraruru omou
hito ama kudarikomu mono nara naku ni. (Izumi Shikibu)
Pada waktu kesepian, aku terus
menerus memandang ke arah langit, karena orang yang kudambakan kedatangannya
tidak juga turun dari atas langit itu.
Kamo-no iru irie-no koori usuragite
soko-no mikuzu-mo araware ni keri. (Yoshitada)
Di suatu muara yang ada itiknya,
pada akhirnya musim dingin ketika lapisan es di atas muara mencair, maka
tampaklah pemandangan dasar lau yang sesungguhnya, penuh dengan rumput-rumput
dan sampah-sampah.
Goshuuishuu
Observasi segar terhadap alam dan pelukisan secara obyektif
mulai tampak banyak dalam Goshuui Wakashuu. Goshuuishuu (Goshuui Wakashuu)
(1086) timbul jauh sesudah Shuuishuu yaitu kurang lebih 80 tahun sesudahnya
pada zaman Kaisar Shirakawa dan disusun oleh Fujiwara Michitoshi, karya
Michitoshi masih bergaya pantun lama seperti pada Kokinshuu, Gosenshuu dan
Shuuishuu. Minamoto no Tsunenobu adalah penyair nomor wahid pada zaman itu, ia
adalah seorang pengikut Sone no Yoshitada dalam melakukan pembaharuan pantun waka pada waktu itu. Pembaharuan ini tampak lebih jelas lagi pada karya Kinyo
Wakashuu (1127) yang disusun oleh Minamoto no Toshiyori. Karya ini
menitikberatkan karya-karya penyair zaman itu, terutama banyak menghimpun
gubahan-gubahan sendiri dan ayahnya Tsunenobu. Sanboku Kikashuu (1129) adalah
kumpulan pantun Toshiyori sendiri, di dalamnya warna pembaharuan tampak lebih
jelas lagi. Berikutnya adalah Shika Wakashuu (1151), disusun oleh Fujiwara
Akisuke. Akisuke adalah seorang penyair yang karyanya bergaya lama dan baru. Di
dalam antologi Shikashuu (Shika Wakashuu) banyak terhimpun gubahan-gubahan
Yoshitada dan Izumi Shikibu.
Senzaishuu
Pantun baru yang dirintis oleh Yoshitada dan dikembangkan
lebih lanjut oleh Tsunenobu dan Toshiyori biarpun memberi rasa yang baru tetapi
tidak berisi yang mendalam. Namun, pada giliran Wakashuu (1187) terlihat suatu
sikap yang lebih teliti mengenai observasi terhadap alam. Senzaihuu (Senzai
Wakashuu) disusun oleh Fujiwara Shunzei atas perintah bekas Kaisar Shirakawa,
di dalamnya banyak memuat karya-karya pada waktu itu terutama gubahan-gubahan
Toshiyori, Shunzei, Mototoshi dan Kaisar Sutoku. Shunzei mula-mula dipengaruhi
oleh gaya pantun Minamoto Toshiyori, tetapi kemudian ia berguru pada Mototoshi.
Ia suka memilih pantun yang bergaya biasa dalam arti bukan yang bergaya
berlebih-lebihan dan dalam soal teori ia menganjurkan gaya “yugentai” yaitu
gaya abstrak yang indah untuk pantun waka yang dapat menimbulkan penghayatan si
pembaca.
Di antara pantun-pantun gubahannya yang paling disukainya katanya adalah pantun berikut ini.
Yuu sareba nobe-no akikaze mi-ni
shimite uzura nakunari fukukakusa-no sato.
Bila senja datang, angin sejuk
musim gugur berhembus menyentuh tubuh, bersiul burung Uzura membisikkan
kesunyian, itulah dusun Fukakusa.
Kata-kata dalam pantun di atas ini indah, penuturannya mudah dimengerti dan dapat memberikan kesunyian dan ketegangan. Ciri ini akhirnya menjadi ciri khas Senzaishuu.
Penyair lain yang terkenal pada zaman Fujiwara Shunzei
adalah Saigyoo. Ia sebenarnya adalah seorang samurai yang bernama Satoo
Norikiyo, karena merasakan segala sesuatu di alam fana ini tidak kekal,
akhirnya menjadi seorang bhiksu. Ia menyepi jauh hidup menyendiri di dalam alam
dan meninggalkan kumpulan pantun gubahannya yang berjudul Sankashuu sebagai
hasil karyanya.
Contoh :
Sabishisa-ni tartaru hito-no
mata-mo arena iori narabemu fuyu-no yamazato.
Dalam kesunyian nun jauh di kaki
gunung, aku menahan rasa kesepian seorang diri, andaikata ada entah dimana
orang seperti aku ini, akan kuletakkan gubuknya di sebelah gubukku.
Kayoo
Jauh sebelumnya tidak ada pembagian antara Kayoo (nyanyian
rakyat) dan pantun waka, tetapi kemudian masing-masing berkembang sendiri-sendiri.
Dalam hal Kayoo, ada beberapa jenis yang banyak dilakukan
orang, antara lain “Kagura Uta”, “saibara”, “Azuma Asobi-no Uta” dan “Fuuzoku
Uta”. Kagura disebut juga “Kami Asobi” adalah tarian yang dipakai pada waktu
mengadakan sembahyang untuk dewa-dewa, Kagura Uta adalah nyanyian yang dipakai
untuk tarian tersebut. Jadi, Kagura Uta adalah kayoo ritual, sedangkan Saibara
adalah kayoo hiburan. Saibara sebenarnya adalah nyanyian rakyat daerah, tapi
lambat laun menjadi populer di kalangan kaum bangsawan, seperti halnya juga
Fuzoku Uta. Saibara berasal dari Cina yang akhirnya menjadi tarian dan nyanyian
istana di Jepang, sedangkan Fuuzoku Uta adalah nyanyian yang beredar di
kalangan orang biasa. Azuma Asobi disebut juga Azuma Mai, sama dengan Kagura
Uta sering dinyanyikan pada saat upacara pemujaan dewa. Azuma Asobi ini
berasal dari nyanyian rakyat di daerah bagian Timur Tokyo (sekitar daerah
Tohoku sekarang) dan bukan selera kaum bangsawan. Di antara nyanyian Azuma
Asobi ada yang mencerminkan kehidupan rakyat pada zaman itu.
Membaca dengan suara keras bait-bait yang indah dari syair
kanshibun sudah dilakukan sejak zaman dahulu, namun pada zaman ini, sering
diselipkan irama sambil tertentu diiringi alat musik “biwa” akhirnya menjadi
nyanyian yang diiringi alat musik “shoo”, “hiciriki” dan “fue” (ketiga-tiganya
semacam seruling). Membaca syair kanshibun diiringi musik sangat populer di
kalangan kaum bangsawan sebagai kayoo, pernah pula menjadi tanggapan orang
sebagai “shirabyooshi” nyanyian dan tarian yang sangat populer sejak akhir zaman
Heian menjelang zaman Kamakura, biasanya dilakukan oleh kaum wanita dan tidak
jarang diakhiri dengan cumbu rayu dengan pria yang disebut “Rooei”. Kumpulan
nyanyian Rooei antara lain adalah Wakan Rooeishuu karya Fujiwara Kintoo dan "Shinsen Rooeishuu" karya Fujiwara Mototoshi.
Sejak akhir zaman Heian, berbagai macam nyanyian sangat
populer mulai dari yang disebut “Imayoo” pada waktu itu, produk seni ini secara
keseluruhan disebut “Zoogei” (aneka seni). Di antara karya yang mengumpulkan
aneka seni ini yang terkenal adalah Ryoojin Hishoo yang disusun oleh bekas
Kaisar Shirakawa. Isinya sebagian besar adalah yang berhubungan dengan
kepercayaan terhadap dewa-dewa Shinto dan Budha, tetapi ada juga yang
menceriterakan kehidupan rakyat. Imayoo adalah nyanyian yang paling populer
pada saatnya. Mungkin berkembang dari “Wasan” (nyanyian yang berisi pujian
terhadap Budha) dan biasanya terdiri dari susunan empat bait bersukukata
“tujuh-lima tujuh-lima”. Sejak akhir zaman Heian, Imayoo sangat populer dan
banyak dilakukan oleh penari-penari “Yuugimi” dan “Shirabyooshi” (kedua-duanya
penari hiburan).
Comments
Post a Comment