Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Kanshibun, Waka dan Kayoo

Kanshibun, Waka dan Kayoo


2.  Kanshibun, Waka dan Kayoo

 

Kepopuleran Kanshibun

Pada awal zaman Heian, pantun waka pernah mengalami kemunduran, sebaliknya ‘Kanbungaku’ (Kesusastraan Cina yang berkembang di Jepang) mencapai kepopulerannya. Pada waktu itu banyak dilakukan pemilihan karya terbaik atas titah kaisar, misalnya pada zaman kaisar Saga (814-822) terpilih Ryoounshuu dan Bunka Shuureishuu, pada zaman kaisar Junna (823-834) terpilih Keikokushuu.

Pengarang-pengarang ‘Kanshibun” (syair berbentuk bahasa Cina dibaca secara bahasa Jepang) terkemuka pada zaman Heian antara lain Kuukai (dengan nama lain Kooboo Daishi), Ono no Takamura dan Sugawara no Michizane. Di antara karya Kuukai terdapat Shooryooshuu, kemudian karya lainnya yang membicarakan puisi dan prosa bergaya retorik adalah Bunkyoo Hifuron. Kuukai sebagai seorang sarjana, penyair dan seorang pemeluk agama yang patuh merupakan pelopor dan penyuluh kebudayaan Jepang pada awal zaman Heian. Sugawara no Michizane menyusun Kankebunsoo dan mempersembahkannya kepada kaisar Daigo (900-934). Sebuah karyanya lagi yang berjudul Kankekoosoo ditulisnya ketika ia berada di dalam pengasingannya di Dazaifu (Fukuoka).

Contoh dari Kankekoosoo berjudul ‘Kugata-no Tooka’ (tanggal sepuluh September):
                                             
Cara baca secara bahasa Jepang:
Kozo-no koyoi seijo-ni jisu
Shuushi-no shihen-ni hitori harawata-wo tatsu
Onshi-no onzo-wa ima koko-ni ari
Sasage mochite mainichi yoka-wo haisu
Pada malam sepuluh September tahun lalu,
Ketika aku menjadi abdi dalem Kaisar,
Hatiku resah menulis kenangan pada musim gugur,
Kimono yang kuterima dari Kaisar,
Kini ada di tanganku,
Kudekap dan kucium wanginya sepanjang hari.

Sejak pertengahan zaman Heian, Kanshibun mengalami kemunduran karena waka dan sebangsanya kembali menjadi populer. Walaupun demikian, Kanshibun masih mempunyai nilai yang tinggi dalam pendidikan kaum laki-laki di Jepang pada waktu itu. Honchoomonzui, hasil karya pilihan dari Fujiwara Akihira, adalah karya besar Kanshibun yang terdiri dari 427 bait. Pada akhir zaman Heian, sarjana Kanshibun yang perlu dicatat namanya adalah Ooe Masafusa.

 

Perkembangan Waka Pada Zaman Heian

Ketika Kanshibun mencapai kejayaannya, dapat dikatakan waka mengalami masa suram, tetapi keadaan seperti ini bukanlah berarti kehancuran total bagi waka, karena secara berturut-turut waka masih ditulis orang yang bersifat melanjutkan karya Manyooshuu dan Kokinshuuu. Bersamaan dengan itu, kebudayaan zaman Heian juga berkembang, secara sedikit demi sedikit meninggalkan pengaruh dari kebudayaan Tang dan menuju ke arah pembentukan kebudayaan asli Jepang. Perkembangan kebudayaan ini bergerak dan berpusat di lingkungan istana dan mencakup perkembangan kesusastraan Jepang asli. Pengungkapan jiwa orang Jepang melalui waka lebih cocok daripada melalui Kanshibun dan terciptanya tulisan Hiragana membantu perkembangan waka.

 

Kepopuleran Utaawase

Banyak dilakukannya ‘Utaawase’ (pertandingan pantun) juga membantu perkembangan waka. Utaawase diselenggarakan sebagai salah satu kegiatan sastra. Para penyair berkumpul bersama-sama, kemudian dibagi ke dalam dua buah kelompok untuk bertanding menyanyikan pantun. Kegiatan ini mirip dengan kegiatan lain yang telah ada seperti ‘Toosoo’ (pertandingan memilih rumput-rumputan yang terbagus) dan ‘Toogee’ (pertandingan memilih bunga yang tercantik). Utaawase yang berumur paling tua yang tertinggal sampai zaman sekarang adalah Zaiminbu Kyooke Utaawase dari zaman Ninna (884-888). Setelah zaman Ninna dan memasuki zaman Kanpyoo (kaisar Uda, 888-897), utaawase semakin lama semakin populer. Yang terkenal pada zaman ini adalah Kanpyoo-no Ontoki Kisai-no Miya Utaawase.

Kanke Manyooshuu atau Shinsen Manyooshuu, yaitu kumpulan puisi pilihan dari Manyooshuu oleh Sugawara no Michizane, adalah karya berbentuk menambahkan kanshibun ke dalam waka, sehingga merupakan karya yang mempelopori pembentukan Wakan Rooeishuu. Kudai Waka yang ditulis oleh Ooe no Chisato adalah salah satu macam waka yang mengambil judulnya dari salah satu bait. Kanke Manyooshuu dan Kudai Waka kedua-duanya menarik perhatian orang sebagai produk zaman kembali berjayanya Waka.

 

Pembentukan Kokinshuu

Memasuki zaman Engi (901-923) pantun Waka makin lama makin populer, dan mencapai puncaknya ketika Kokin Wakashuu (kumpulan waka lama dan baru) terpilih sebagai karya terbaik bedasarkan titah kaisar. Konkinshuu (Kokin Wakashuu) disusun oleh empat orang penyair atas titah Kaisar Daigo pada bulan April tahun Engi 5 (905). Keempat orang penyair itu adalah Kino Tomonori, Kino Tsurayuki, Ooshikouchi no Mitsune dan Mibu no no Tadamine. Kokinshuu terdiri dari 20 jilid dengan jumlah pantun sebanyak 1100 lebih. Kata pengantarnya yang ditulis dengan tulisan Hiragana oleh Kino Tsurayuki mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pemakaian Kana, selain itu juga mempunyai nilai yang tinggi sebagai karya teoretis pertama tentang pantun waka. Kata “ko” (lama) dari Kokinshuu menunjuk zaman sebelumnya dari tahun 759, yaitu tahun pembuatan pantun terakhir pada Manyooshuu, sampai tahun 905, sedangkan kata “kin” (sekarang) menunjuk zaman pada waktu itu yaitu tahun 905. Jadi Kokinshuu adalah kumpulan pantun-pantun Waka dari tahun 759 sampai tahun 905. Jangka waktu 150 tahun ini dapat dibagi menjadi tiga zaman yaitu pertama zaman nama pengarang tidak diketahui, kedua zaman enam orang penyair dan ketiga zaman empat orang menyunting yaitu empat orang penyair yang menjadi penyunting buku tersebut.

Pantun yang dibuat pada zaman nama pengarang tidak diketahui menempati angka 40% dari jumlah keseluruhan dan di antaranya terdapat pantun yang bersifat peralihan dari Manyooshuu kepada Kokinshuu.

Contoh :
Kasugano-wa kyoo-wa nayaki so wakagusa-no tsuma-mo komomeri waremo komomeri.
Hanya pada hari ini saja jangalah membakar rumput di ladang Kasuga karena aku dan istriku ada di balik tumpukan rumput tersebut.
Sugaru naku aki-no hagiwara asa tachite tabi yuku hito-wo itsu toka matamu
Aku akan menunggu terus engkau yang telah meninggalkan Hagiwara pada musim gugur ketika kumbang Sugara ramai berbunyi karena aku percaya entah kapan kau akan kembali lagi.

Enam orang penyait (Rokkasen) pada zaman kedua adalah Ariwara no Narihira, Soojoo Henjoo, Ono no Komachi, Ootomo no Kuronushi, Funya no Yasuhide, dan Kisen Hooshi. Penyair Narihira mempunyai wajah tampan dan suka bergaul dengan wanita, karena itu ciptaan Narihira bersifat sentimental. Penyair Henjoo sebelum menjadi bhiksu dikenal sebagai sastrawan yang ciptaannya bersifat halus dan disertai humor. Penyair Komachi adalah seorang wanita cantik sekali dan menurut komentar Tsurayuki ciptaan Komachi mirip dengan kisah wanita cantik yang menderita karena pantun gubahannya betul-betul elegan dan feminin.

Contoh :
Hachisuha-no nigori-ni shimanu kokoro mote nanika-wa tsuyuwo tama-to asamuku. (Henjoo)
Bunga teratai tumbuh di atas lumpur dan tetap bersih tanpa dikotori lumpur, tetapi mengapa ia memperlihatkan titik embun di atas daunnya sebagai permata kepada orang.
Ito semete koishiki toki-wa ubatama-no yoru-no koromo-wo kaeshite zo kiru. (Komachi)
Pada waktu aku sedang jatuh cinta, agar supaya kekasihku muncul dalam mimpi, aku tidur dengan memakai pakaian tidur secara terbalik.
(Catatan : ada kepercayaan bahwa apabila tidur dengan memakai pakaian tidur secara terbalik akan mendapat mimpi indah.)

 

Pantun Pada Zaman Empat Orang Penyunting

Dalam Kokinshuu pantun buatan tempat orang penyutung ada sebanyak kira-kira 20%, di antaranya yang terbanyak adalah gubahan Ki no Tsurayuki. Ki no Tsurayuki mempunyai ide ekspresi yang tegas dalam pantunnya dan ia mahir sekali dalam penggunaan “kakekotoba” (satu kata mempunyai dua arti), “engo” (kata yang berfungsi menghubungkan) dan “joshi” (istilah atau julukan untuk suatu nama). Penyair Ki no Tsurayuki lebih tepat dikatakan sebagai penyair yang rasional daripada sentimental.

Ciri khas pantun gubahan Tsurayuki dapat dianggap sebagai ciri khas pantun Kokinshuu pada umumnya.

Ooshikouchi no Mitsune dikenal sebagai penyair polis yang secara blak-blakan mencetuskan isi hatinya melalui pantun, karena itu ia dalam membuat pantun tidak begitu banyak menggunakan teknik sehingga pada pantun gubahannya terasa ada perasaan yang hidup. Dua orang lagi yakni Tomonori dan Tadamine kurang pandai bila dibandingkan dengan dua orang sebelumnya. Penyair-penyair lain selain keempat orang penyair penyunting tersebut di atas adalah Fujiwara Toshiyuki, Sosei Hooshi, Kiyobara Fukayabu, Sakano Ue no Korenori, Ise dan lain-lain.

Contoh :
Kasumidachi ki-no me-mo haru-no yuki fureba hana naki satomo hana zo chirikeru. (Tsurayuki)
Ketika berkabut dan pohon-pohon mulai bertunas menandakan tibanya musim semi, apabila salju turun, di dusun yang tidak berbunga pun salju itu kelihatannya seperti bunga-bunga yang berguguran.
Yo-wo samumi ako hatsusihimo-wo haraitsutsu kusa-no makurani amata tabi nenu. (Mitsune)
Hari bertambah malam bertambah dingin, sambil membuang bunga es yang ada di atas rumput aku tidur di tempat itu.


Ciri-ciri Khas Kokinshuu

Ciri khas Kokinshuu adalah perubahan aturan pemakaian suku kata dari bersukukata lima-tujuh yang berlaku pada zaman sebelumnya yang bersifat lamban-berat menjadi bersukukata tujuh-lima yang bersifat ringan-lancar dengan ini terbentuklah gaya baru yang disebut “kokinshoo” (gaya kokinshuu). Gaya tujuh-lima ini bagian atasnya berisi berat tetapi bagian bawahnya berisi ringan, sehingga bersifat lancar dan indah. Sewajarnyalah Kokinshuu yang bergaya tujuh-lima ini yang bersifat lancar-indah dikatakan lebih halus dan elegan daripada Manyooshuu yang bersifat sederhana dan lamban-berat. Misalnya penyair-penyair Manyooshuu kalau membawakan pantun sedih, perasaan sedih itu langsung diungkapkan seperti apa adanya, sedangkan penyair-penyair Kokinshuu tidak langsung mengutarakan ungkapan-ungkapan tersebut dan banyak memakai kata-kata dugaan dan pertanyaan. Selain itu, kalau dibandingkan dengan Manyooshuu, pantun-pantun pada Kokinshuu jauh lebih bersifat rasional dan pemakaian “engo” serta “kakekotoba” lebih banyak sehingga strukturnya menjadi rumit.

 

Gosenshuu

Tugas berikutnya sesudah Kokinshuu yang diperintahkan kaisar adalah penyusunan Gosen Wakashuu (kumpulan pantun waka pilihan sesudah Kokinshuu). Pada tahun Ten-kyaku 5 (951), kaisar Murakami membuat lembaga pantun waka di Nashitsubo (salah satu tempat di dalam istana) dan penyair-penyair yang dipilih untuk menyusun Gosenshuu (Gosen Wakashuu) itu adalah Kiyohara Motosuke, Ki no Tokibumi, Oonakatomi no Yoshinobu, Minamoto no Shitagoro dan Sakano Ue no Mochiki. Pengarang-pengarang terkemuka dalam Gosenshuu antara lain adalah Ki no Tsurayuki, Ise dan Ooshikouchi no Mitsune, selain itu juga ada pengarang-pengarang lain yang baru muncul seperti Mibu no Tadami, Naka Tsukasa dan Higaki no Ouna. Namun, karya para penyunting/penyusun tidak ada satu pun yang tampak.

Ciri khas Gosenshuu terletak pada banyaknya “zootooka” (pantun bersahut-sahutan) dan panjangnya pantun. Dalam hal panjangnya pantun, sering dijumpai yang seharusnya ditulis dengan sebutan orang pertama (diri sendiri) malah ditulis dengan sebutan orang ketiga. Hal ini menunjukkan adanya gejala ingin membuat pantun menjadi ceritera. Permainan kata-kata dalam Gosenshuu bebas dan kelihatan ada pemakaian kosa kata kanji (kosa kata yang berasal dari bahasa Cina) yang baru. Dalam karya ini banyak dilukiskan kejadian-kejadian nyata dan kehidupan sehari-hari sampai sekecil-kecilnya secara kongkrit. Kalau dibandingkan dengan Konkinshuu, Gosenshuu ini lebih bersifat gembira dan bebas.

 

Shuuishuu

Pada Gosenshuu terdapat ciri yang tidak terlihat pada Kokinshuu, tetapi kalau dilihat secara keseluruhan, Gosenshuu bukanlah karya yang lebih istimewa daripada Kokinshuu. Begitu pula Shuuishuu, lengkapnya Shuui Wakashuu, juga mencontoh Kokinshuu. Shuuishuu disusun berdasarkan titah kaisar Ichijoo dan penyuntingnya adalah Fujiwara Kintoo (966-1041). Fujiwara Kintoo dikenal sebagai pengarang buku Shinsen Zuinoo (kritik dan teori membuat pantun waka), ia pandai dalam hal kritik secara teoretis tetapi kurang pandai dalam hal pembuatan pantun yang sesungguhnya.

Tepat pada waktu penyusunan Shuuishuu, muncul pengarang Murasaki Shikibu dan Sei Shonagon, kesusastraan jenis ceritera dan essei sedang populer, sehingga penyusunan antologi/kumpulan puisi waka menjadi terhenti untuk jangka waktu yang lama. Dalam keadaan seperti ini, masih ada penyair yang dapat dikatakan istimewa, antara lain Izumi Shikibu, dan Sone no Yoshitada. Izumi Shikibu adalah seorang penyair lirik yang istimewa bila dibandingkan dengan Ono no Komachi, ia lebih banyak memasukkan perasaan asmaranya ke dalam karyanya, tetapi pada karyanya itu tidak ada ciri yang dapat dikatakan baru. Sebaliknya Sone no Yoshitada malah memperlihatkan ciri baru pada karyanya. Di dalam grup penyair, Sone no Yoshitada dipandang rendah dan diberi julukan Sotan. Pengungkapan pada karyanya polos dan ia suka menggunakan kata-kata baru yang belum pernah dipakai orang. Pantun gubahannya adalah pantun yang menggambarkan keindahan alam dan pada karyanya ini terlihat adanya observasinya yang membawa perasaan segar terhadap alam.

Contoh :
Tsurezure-to sora zo miraruru omou hito ama kudarikomu mono nara naku ni. (Izumi Shikibu)
Pada waktu kesepian, aku terus menerus memandang ke arah langit, karena orang yang kudambakan kedatangannya tidak juga turun dari atas langit itu.
Kamo-no iru irie-no koori usuragite soko-no mikuzu-mo araware ni keri. (Yoshitada)
Di suatu muara yang ada itiknya, pada akhirnya musim dingin ketika lapisan es di atas muara mencair, maka tampaklah pemandangan dasar lau yang sesungguhnya, penuh dengan rumput-rumput dan sampah-sampah.

 

Goshuuishuu

Observasi segar terhadap alam dan pelukisan secara obyektif mulai tampak banyak dalam Goshuui Wakashuu. Goshuuishuu (Goshuui Wakashuu) (1086) timbul jauh sesudah Shuuishuu yaitu kurang lebih 80 tahun sesudahnya pada zaman Kaisar Shirakawa dan disusun oleh Fujiwara Michitoshi, karya Michitoshi masih bergaya pantun lama seperti pada Kokinshuu, Gosenshuu dan Shuuishuu. Minamoto no Tsunenobu adalah penyair nomor wahid pada zaman itu, ia adalah seorang pengikut Sone no Yoshitada dalam melakukan pembaharuan pantun waka pada waktu itu. Pembaharuan ini tampak lebih jelas lagi pada karya Kinyo Wakashuu (1127) yang disusun oleh Minamoto no Toshiyori. Karya ini menitikberatkan karya-karya penyair zaman itu, terutama banyak menghimpun gubahan-gubahan sendiri dan ayahnya Tsunenobu. Sanboku Kikashuu (1129) adalah kumpulan pantun Toshiyori sendiri, di dalamnya warna pembaharuan tampak lebih jelas lagi. Berikutnya adalah Shika Wakashuu (1151), disusun oleh Fujiwara Akisuke. Akisuke adalah seorang penyair yang karyanya bergaya lama dan baru. Di dalam antologi Shikashuu (Shika Wakashuu) banyak terhimpun gubahan-gubahan Yoshitada dan Izumi Shikibu.

 

Senzaishuu

Pantun baru yang dirintis oleh Yoshitada dan dikembangkan lebih lanjut oleh Tsunenobu dan Toshiyori biarpun memberi rasa yang baru tetapi tidak berisi yang mendalam. Namun, pada giliran Wakashuu (1187) terlihat suatu sikap yang lebih teliti mengenai observasi terhadap alam. Senzaihuu (Senzai Wakashuu) disusun oleh Fujiwara Shunzei atas perintah bekas Kaisar Shirakawa, di dalamnya banyak memuat karya-karya pada waktu itu terutama gubahan-gubahan Toshiyori, Shunzei, Mototoshi dan Kaisar Sutoku. Shunzei mula-mula dipengaruhi oleh gaya pantun Minamoto Toshiyori, tetapi kemudian ia berguru pada Mototoshi. Ia suka memilih pantun yang bergaya biasa dalam arti bukan yang bergaya berlebih-lebihan dan dalam soal teori ia menganjurkan gaya “yugentai” yaitu gaya abstrak yang indah untuk pantun waka yang dapat menimbulkan penghayatan si pembaca.

Di antara pantun-pantun gubahannya yang paling disukainya katanya adalah pantun berikut ini.
Yuu sareba nobe-no akikaze mi-ni shimite uzura nakunari fukukakusa-no sato.
Bila senja datang, angin sejuk musim gugur berhembus menyentuh tubuh, bersiul burung Uzura membisikkan kesunyian, itulah dusun Fukakusa.

Kata-kata dalam pantun di atas ini indah, penuturannya mudah dimengerti dan dapat memberikan kesunyian dan ketegangan. Ciri ini akhirnya menjadi ciri khas Senzaishuu.
Penyair lain yang terkenal pada zaman Fujiwara Shunzei adalah Saigyoo. Ia sebenarnya adalah seorang samurai yang bernama Satoo Norikiyo, karena merasakan segala sesuatu di alam fana ini tidak kekal, akhirnya menjadi seorang bhiksu. Ia menyepi jauh hidup menyendiri di dalam alam dan meninggalkan kumpulan pantun gubahannya yang berjudul Sankashuu sebagai hasil karyanya.

Contoh :
Sabishisa-ni tartaru hito-no mata-mo arena iori narabemu fuyu-no yamazato.
Dalam kesunyian nun jauh di kaki gunung, aku menahan rasa kesepian seorang diri, andaikata ada entah dimana orang seperti aku ini, akan kuletakkan gubuknya di sebelah gubukku.



Kayoo

Jauh sebelumnya tidak ada pembagian antara Kayoo (nyanyian rakyat) dan pantun waka, tetapi kemudian masing-masing berkembang sendiri-sendiri.

Dalam hal Kayoo, ada beberapa jenis yang banyak dilakukan orang, antara lain “Kagura Uta”, “saibara”, “Azuma Asobi-no Uta” dan “Fuuzoku Uta”. Kagura disebut juga “Kami Asobi” adalah tarian yang dipakai pada waktu mengadakan sembahyang untuk dewa-dewa, Kagura Uta adalah nyanyian yang dipakai untuk tarian tersebut. Jadi, Kagura Uta adalah kayoo ritual, sedangkan Saibara adalah kayoo hiburan. Saibara sebenarnya adalah nyanyian rakyat daerah, tapi lambat laun menjadi populer di kalangan kaum bangsawan, seperti halnya juga Fuzoku Uta. Saibara berasal dari Cina yang akhirnya menjadi tarian dan nyanyian istana di Jepang, sedangkan Fuuzoku Uta adalah nyanyian yang beredar di kalangan orang biasa. Azuma Asobi disebut juga Azuma Mai, sama dengan Kagura Uta sering dinyanyikan pada saat upacara pemujaan dewa. Azuma Asobi ini berasal dari nyanyian rakyat di daerah bagian Timur Tokyo (sekitar daerah Tohoku sekarang) dan bukan selera kaum bangsawan. Di antara nyanyian Azuma Asobi ada yang mencerminkan kehidupan rakyat pada zaman itu.

Membaca dengan suara keras bait-bait yang indah dari syair kanshibun sudah dilakukan sejak zaman dahulu, namun pada zaman ini, sering diselipkan irama sambil tertentu diiringi alat musik “biwa” akhirnya menjadi nyanyian yang diiringi alat musik “shoo”, “hiciriki” dan “fue” (ketiga-tiganya semacam seruling). Membaca syair kanshibun diiringi musik sangat populer di kalangan kaum bangsawan sebagai kayoo, pernah pula menjadi tanggapan orang sebagai “shirabyooshi” nyanyian dan tarian yang sangat populer sejak akhir zaman Heian menjelang zaman Kamakura, biasanya dilakukan oleh kaum wanita dan tidak jarang diakhiri dengan cumbu rayu dengan pria yang disebut “Rooei”. Kumpulan nyanyian Rooei antara lain adalah Wakan Rooeishuu karya Fujiwara Kintoo dan "Shinsen Rooeishuu" karya Fujiwara Mototoshi.

Sejak akhir zaman Heian, berbagai macam nyanyian sangat populer mulai dari yang disebut “Imayoo” pada waktu itu, produk seni ini secara keseluruhan disebut “Zoogei” (aneka seni). Di antara karya yang mengumpulkan aneka seni ini yang terkenal adalah Ryoojin Hishoo yang disusun oleh bekas Kaisar Shirakawa. Isinya sebagian besar adalah yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa Shinto dan Budha, tetapi ada juga yang menceriterakan kehidupan rakyat. Imayoo adalah nyanyian yang paling populer pada saatnya. Mungkin berkembang dari “Wasan” (nyanyian yang berisi pujian terhadap Budha) dan biasanya terdiri dari susunan empat bait bersukukata “tujuh-lima tujuh-lima”. Sejak akhir zaman Heian, Imayoo sangat populer dan banyak dilakukan oleh penari-penari “Yuugimi” dan “Shirabyooshi” (kedua-duanya penari hiburan).


Baca : Buku Sejarah Kesusastraan Jepang

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau