Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
E. Mujo
Kata mujo merupakan terjemahan dari anitya (bahasa Sanskerta) yang berarti semua isi bumi ini akan lenyap atau berubah bentuk, tidak ada yang kekal. Istilah ini khusunya ditujukan pada kehidupan manusia yang tidak kekal dan pada suatu waktu pasti berakhir dengan datangnya ajal yang tidak diketahui waktunya. Kata anitya (a = berfungsi meniadakan, nitya = selalu, kekal, abadi) masuk ke Jepang bersamaan waktunya dengan masuknya agama Budha. Dalam dasar agama Budha terdapat suatu ajaran yang mengatakan bahwa kenyataannya dalam hidup ini, manusia selalu terbentur pada sesuatu yang tidak kita kehendaki. Ini diekspresikan dengan terminologi ku (dalam bahasa Sanskerta = dukha), yang tidak dapat dihindari oleh seluruh makhluk di dunia ini, yang diekspresikan selanjutnya dengan istilah issai kaiku (semuanya menderita, semuanya mati). Kalau akar ku ini digali terus-menerus maka akan sampai pada pengertian mujo, sedangkan ku yang sering diterjemahkan dengan pengertian kematian atau penderitaan juga merupakan sebagian dari pengertian mujo. Dalam agama Budha sering dikatakan shogyo mujo. Pengertian gyo dalam hal ini adalah segala sesuatu yang diciptakan. Dengan demikian, shogyo mujo artinya adalah semua yang diciptakan memiliki sifat mujo, tidak kekal. Karena sifat ketidakkekalan ini merupakan sifat sesungguhnya dari semua yang ada di bumi maka untuk memahaminya diperlukan shugyo, yakni gemblengan baik secara fisik maupun mental.
Ajaran agama Budha sering diterima secara emosional di Jepang sehingga mujokan (pandangan tentang mujo) yang seharusnya diartikan secara logis (logika), tetapi diterima sebagai mujokan (perasaan tentang mujo) yang diartikan secara pathos (emosional). Oleh karena itu, mujo diterima di dalam hati orang Jepang sebagai padanan terminologi hakanasa dan utsuroiyasusa, yang keadaannya secara lebih jelas lagi dilukiskan pada ajaran yang berbunyi "shosha hitsumetsu, seisha hissui, dan esha jori" yang berarti sesuatu yang hidup itu harus mati, sesuatu yang mencapai puncak itu harus jatuh, dan sesuatu yang bertemu itu harus berpisah.
Pada akhir zaman Heian sampai zaman pertengahan, sesuatu yang sebelumnya dilukiskan dengan memakai terminologi hakanasa sering diekspresikan dengan memakai terminologi mujo. Salah satu di antaranya yang sangat terkenal adalah kata-kata yang ada pada bagian pembukaan buku Hojoki karya Kamono Chomei antara lain,
Yuku kawa no nagare wa taezu shite, shikamo, moto no mizu ni arazu ... Yo no naka ni aru, hito to sumika to, mata kaku no gotoshi ... Sono aruji to sumika to, mujo o arasou sama, iwaba asagao no tsuyu ni kotonarazu.
Air sungai mengalir tiada henti, namun airnya tak pernah sama ... Manusia dan hartanya yang ada di dunia juga tak berbeda ... Manusia yang saling berperang memperebutkan sesuatu yang tidak kekal, akan sirna juga seperti embun di bunga morning glory.
Tidak sedikit karya sastra Jepang dan bahkan karya sastra berbagai negara di dunia ini yang dilukiskan dengan jalan cerita dalam bentuk hanayaka (semarak dan megah), tetapi sebenarnya secara keseluruhan memiliki tema mujo, suatu tema yang sangat disenangi oleh orang Jepang. Mujo khususnya terasa sangat dekat di hati orang Jepang karena dikaitkan dengan perubahan empat musim shunkashuto yang sangat nyata.
Baca: Buku Pengantar Kesusastraan Jepang
Comments
Post a Comment