Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Bayangkan bagaimana perasaanmu bila, saat pertama kali kamu belajar bermain drum dengan seorang guru, gurumu berkata, “Kamu bisa main dengan benar atau nggak sih?” atau “Cara memegang stick saja kamu tidak tahu!!” Atau bagaimana dengan “Maksudmu, gurumu yang terakhir itu bilang permainanmu bagus? Kamu payah!!”. Masing-masing komentar ini dilontarkan kepada beberapa murid saya oleh para guru mereka sebelumnya. Yang mengejutkan adalah bahwa murid yang dikomentari itu punya bakat yang luar biasa besarnya. Misalnya, saya punya seorang murid berusia lima belas tahun yang bermain drum dengan amat baik. Teman-teman sekolahnya mendengar bahwa dia ikut bermain dalam sebuah grup rock lokal. Mereka lantas memberi tahu pelatih perkusi di SMU mereka bahwa anak ini luar biasa.
Tampaknya pelatih perkusi ini merasa terancam. Menurut saya, dia memutuskan untuk memberi pelajaran kepada anak muda ini — untuk "menempatkannya di posisinya." (Tentu ini dimaksudkan untuk selamanya.) Pelatih perkusi itu membuat hidup anak itu sedemikian "sengsara" sehingga orangtua anak itu memintanya memindahkan anak itu dari band tersebut ke kelas lain. Ini menyedihkan, karena anak itu kehilangan pengalaman bermain dengan band sekolah (tapi bagus juga, karena orangtuanya tahu bahwa pelatih perkusi tersebut sudah kelewatan).
Saya punya murid lain berusia lima belas tahun yang punya kemampuan alami sangat besar. Ketika saya memberinya pelajaran pertama, saya tercengang pada kefasihannya memainkan drum. Selama pelajaran, ia menceritakan kepada saya pengalamannya bersama beberapa guru drumnya sebelumnya. Misalnya, salah seorang gurunya berkata kepadanya, “Kamu punya begitu banyak kebiasaan buruk sehingga saya harus mengajarimu lagi dari awal.” Saya setuju bahwa anak berbakat ini perlu memperbaiki beberapa kekurangannya. Ia tentu telah menyadari hal itu, karena itu ia memutuskan untuk terus belajar. Tetapi "memulai dari awal" tentu konyol sekali. Kita hanya perlu berlatih di area yang perlu kita perbaiki saja.
Ketika saya masih muda, saya mengalami hal ini: Seorang guru drum (tak perlu disebut namanya) berkata kepada saya. “Lakukan seperti ini!” Saya berkata, “Kenapa? Saya tidak paham!” Ia membalas, “Saya guru, saya tahu cara yang benar. Saya tidak punya waktu untuk menjelaskan semuanya; kerjakan saja!”. Sampai disini saya berkata, “Kalau saya tidak mengerti, bagaimana saya bisa berlatih dengan efektif?”. Guru tersebut melunak dan menjelaskan apa yang ingin dilakukannya. Saya memahami pelajaran itu, dan sejak saat itu hubungan kami menjadi lebih baik.
Ed Shaughnessy adalah sahabat lama saya. Saya setuju dengan pendekatan Ed, yaitu bersikap positif. Ed mengajar melalui contoh, bukan dengan mencemooh atau intimidasi. Ia biasanya bermain di hadapan muridnya, menunjukkan kepadanya bagaimana melakukan pelajaran itu, dan kemudian mendorong si murid untuk melakukannya — sangat positif dan sangat logis.
Salah seorang murid saya menceritakan kepada saya bahwa dia sedang mengikuti les ketika gurunya mulai meneriakinya. Saya bertanya, “Kenapa dia berteriak?” Ia menjawab, “Well, mungkin karena saya tidak bisa memainkan bagian pelajaran ini. Saya kesulitan.” Apa yang kamu rasakan setelah guru itu meneriakimu? Apakah hal itu membantumu berlatih lebih baik?” tanya saya. “Tidak!” katanya. “Saya menjadi gugup sesudahnya sehingga berpikir pun sudah tidak bisa. Saya bahkan tidak ingat apa kelanjutannya.” Menurut saya ini adalah kasus dimana seorang guru memindahkan rasa frustasinya ke muridnya. Sebagai ganti berteriak, dia seharusnya memikirkan pendekatan lain yang mungkin lebih efektif untuk mengkomunikasikan pelajaran itu kepada muridnya.
Salah seorang anak muda yang sangat mahir yang saya kenal menceritakan pengalamannya: Ia mengikuti kursus dengan seorang guru yang memintanya memainkan sesuatu di set drum. Ia memainkan pattern funk yang groovy, yang setelah itu dikomentari oleh gurunya. “Caramu sama sekali salah. Kamu tidak membangkitkan energi yang tepat untuk irama seperti itu.” Dengan penuh hormat, si murid berkata, “Mungkin anda bisa memberi contohnya.” Guru itu menjawab, “Saya tidak bermain drum, saya hanya mengajar drum.” Di tengah keheranannya, si murid bertanya, “Bagaimana anda mengajar kalau anda tidak bermain?”. Guru itu berkata lagi, “Saya melihatmu bermain, dan memberitahumu apa yang salah dalam permainanmu.” Anak muda itu lantas bertanya, “Apakah anda pernah mengatakan kepada orang-orang apa yang telah mereka lakukan dengan benar atau apakah anda tahu apa yang benar?”. Sampai disini dia lantas mengepak tas sticknya. Saat dia hendak keluar ruangan, dia berkata, “Saya tidak mau membayar untuk kursus ini. Ini cuma lelucon!”
Saya setuju dengan kawan saya Joe Morello, yang baru-baru ini berkomentar di majalah Modern Drummer, “Bila kamu tidak bisa melakukannya, bagaimana kamu bisa mengajarkannya?” Joe dan saya berdiskusi tentang hal ini selama beberapa lama. Ia tidak bermaksud mengatakan bahwa guru harus memainkan semuanya; yang ia maksudkan adalah guru harus punya beberapa pengalaman bermain secara profesional.”
Agar kamu tidak salah paham, ijinkan saya mengatakan bahwa ada banyak guru yang berdedikasi dan bermutu. Sebagian besar orang yang pernah menjadi guru saya, sekarang saya anggap sebagai kawan-kawan yang amat berharga. Saya yakin akan pengajaran, dan saya yakin guru yang baik layak dihargai. Tapi murid pun layak dihargai. Jarang sekali ada situasi, seandainya pernah ada, dimana cemooh, intimidasi, atau hinaan akan bermanfaat bagi si murid. Kritik yang terlampau kasar, sarkastis, atau merendahkan tidak pernah ada manfaatnya.
Ada banyak musisi yang mengaku bahwa mereka tidak bisa mengajar. Pengajaran membutuhkan tipe kepribadian tertentu — kepribadian yang positif dan menghadirkan semangat. Pengajaran membutuhkan kesabaran, pengertian, dan kesenangan melihat orang lain berkembang. Seoarng guru harus bisa menciptakan atmosfer bersahabat di mana pembelajaran menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Dia harus menampakkan antusiasme terhadap permainan drum dan musik. Singkatnya, jika guru tidak menyukai pengajaran, muridnya kemungkinan besar tidak menikmati pelajaran yang diberikan.
Bila kamu kursus dengan seorang guru dan kamu merasa seolah-olah tidak belajar, cobalah cari guru lain. Jika gurumu selalu melihat ke jam tangannya, cari guru lain. Tapi ingat, beberapa orang punya kepribadian yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Kamu dan gurumu mungkin tidak pada gelombang yang sama. Carilah orang yang membuatmu merasa nyaman. Alasan kita semua bermain drum adalah drumming itu menyenangkan. Belajar hendaknya juga menyenangkan. Ingat, banyak guru yang baik adalah juga pemain yang berkualitas dan pribadi yang positif. Jika kamu ingin proses pembelajaranmu bermanfaat sekaligus menyenangkan, carilah guru-guru itu. Mereka akan senang mengajarimu.
Baca: Buku Panduan Menjadi Drummer Profesional
Comments
Post a Comment