Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Kata Pengantar
Religi Tokugawa pertama kali diterbitkan pada tahun 1957, dan sejak itu terus menerus digunakan orang baik dalam terbitan bahasa Inggris, maupun dalam terbitan bahasa Jepang (terjemahan ke dalam bahasa Jepang terbit pada tahun 1962). Ketika edisi ini mau diterbitkan, Penerbit Free Press dan saya sepakat menggunakan subjudul baru, "Akar Budaya Jepang Modern", yang lebih tepat mencerminkan isi buku daripada subjudul yang lama, serta menambahkan kata pengantar ini. Isi naskahnya sendiri kami biarkan tetap tanpa perubahan. Dalam banyak hal yang kecil-kecil, ilmu pengetahuan telah maju dengan begitu pesat selama tiga dasawarsa terakhir, sehingga tentulah diperlukan penulisan ulang seluruh buku itu, jika kita mau memperhitungkan perkembangan tersebut. Buku itu dihargai orang bukan pertama-tama karena gambarannya yang terinci, tetapi lebih karena argumennya, yang menegaskan peranan kebudayaan Jepang pra modern dalam proses modernisasi. Buku ini tetap merupakan salah satu dari sejumlah kecil usaha serius untuk menerapkan perspektif sosiologis Weber pada satu kasus yang tak dikaji secara serius oleh Weber sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan adalah pertanyaan-pertanyaan abadi dalam kajian-kajian tentang Jepang.
Kendati demikian, dunia pada pertengahan tahun 1980-an memang sangat berbeda dari dunia pada pertengahan tahun 1950-an. Oleh karena itu, sepantasnyalah kita merenungkan keadaan sejarah yang dahulu melahirkan buku ini, apa yang telah terjadi pada Jepang dan bagian dunia lain sejak buku ini pertama kali diterbitkan, dan di mana kita sekarang berpijak berhadapan dengan masalah-masalah sentral yang diajukan oleh buku ini.
Pada awal tahun 1950-an, ketika saya sedang belajar di Harvard dengan Talcott Parsons dan Edwin Reischauer, Serge Eliseeff dan John Pelzel, dunia nampaknya lebih sederhana daripada sekarang ini, bahkan juga kalau diperhitungkan kenyataan bahwa saya pada waktu itu memang masih jauh lebih mudah. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya ketika itu baru saja memenangkan perang melawan Jerman yang Nazi, Italia yang fasis, dan Jepang yang militeristik. Kalau ada perang yang nampaknya adil, ya perang itulah. Dan setelah perang selesai, nampaknya segala yang buruk pun usai. Bukan karena tidak ada lagi masalah, melainkan karena orang berpikir tak ada lagi sesuatu yang lebih parah daripada perjuangan yang baru saja diselesaikan itu.
Saat itu adalah masa cerahnya teori modernisasi. Teori modernisasi, khususnya di Amerika Serikat, adalah semacam anak yang lahir terlambat dari kepercayaan akan kemajuan dari masa pencerahan. Modernisasi adalah proses yang menghasilkan segala sesuatu yang serba baik: demokrasi, kesejahteraan—pendeknya, suatu masyarakat yang baik seperti masyarakat Barat. Saya khawatir, itulah salah satu implikasi penting dari seluruh gagasan itu. Amerika dan beberapa "masyarakat industri maju" lainnya, kalau tidak sudah menjadi masyarakat yang baik, sekurang-kurangnya jelas menuju ke arah itu, sehingga mereka menunjukkan dengan jelas arah tujuan yang akan dicapai oleh semua masyarakat lain, bila mereka memodernisasikan diri. Itu tidak berarti orang mengingkari adanya kejahatan. Fasisme dan komunisme dan segala malapetaka bagi modernitas semacam itu, termasuk hal-hal yang juga ada di Amerika Serikat, memang diakui adanya, tetapi hal-hal itu dianggap sebagai penyimpanang atau patologi dari jalur "normal" modernisasi.
Talcott Parsonss, guru saya, ketika itu merupakan ahli teori modernisasi yang terkemuka dan, sebagian karena lamanya menggumuli pemikiran Max Weber, dia merupakan ahli teori yang jauh lebih kompleks dan rumit dari kebanyakan ahli-ahli teori lain. Tetapi tepat sebagaimana ahli-ahli psikoanalis Amerika telah menciptakan seorang Freud yang optimistis, begitulah Parsons telah menciptakan Weber yang optimistis pula. Bagi Parsons, proses modernisasi dalam arti proses rasionalisasi, sebagaimana diartikan oleh Weber, tidaklah mesti bermuara di kurungan besi, seperti yang diyakini oleh Weber. Bagi Parsons jalur normal perkembangan rasionalisasi adalah menuju kepada masyarakat yang baik.
Sukarlah bagi kita sekarang untuk membayangkan betapa optimis, betapa cerianya suasana ilmu sosial Amerika pada dasawarsa pertama sesudah Perang Dunia II itu. Keyakinan bahwa ilmu sosial akan cepat menjadi ilmiah dan keyakinan bahwa hasil-hasilnya akan sungguh-sungguh berarti bagi perbaikan masyarakat masih lekat begitu erat, sehingga sukar untuk dibayangkan kini, tatkala kita sudah menjadi jauh lebih rendah hati dalam hal pretensi ilmiah ilmu sosial maupun dalam hal maknanya bagi perbaikan masyarakat. Tetapi, begitulah suasana ketika Religi Tokugawa ditulis. Jepang, adalah satu-satunya bangsa non-Barat yang telah mentransformasikan dirinya menjadi "bangsa industri yang modern", dan masuk dalam lingkaran sejumlah kecil bangsa yang menjadi contoh dalam menjalani jalur yang akan ditempuh oleh semua. Religi Tokugawa ingin menunjukkan bagaimana akar-akar budaya pra-modern Jepang ikut membantu tercapainya sukses itu.
Para ilmuwan masa kini jauh kurang pasti tentang pemahaman kita tentang makna modernisasi dan meragukan apakah akibat-akibatnya pada umumnya baik. Kita sekarang akan jauh lebih ragu untuk menegaskan bahwa Amerika Serikat merupakan contoh arah yang akan dituju oleh semua masyarakat lain. Ketika masalah-masalah Amerika sendiri—fiskal, politik, internasional—mulai bertimbun, khususnya sejak pertengahan tahun 1960-an, kita bahkan mulai bertanya-tanya apakah mungkin ada masyarakat lain yang mampu memberi jalan keluar bagi kita (orang Amerika) yang sudah mengalami kebuntuan. Dan ironisnya, justru Jepang yang pada tahun 1945 menyerah tanpa syarat kepada Amerika, kini sering diajukan sebagai model untuk diteladani Amerika. Tetapi masih ada yang lebih merajalela daripada kehebatan Jepang yang telah berjangkit di Amerika Serikat selama beberapa tahun; hal itu adalah skeptisisme mengenai apakah kita tahu tentang apa yang bisa dijadikan tolak ukur bagi "modernisasi yang sukses" dan keraguan apakah ada masyarakat yang bisa menjadi contoh dari sukses semacam itu.
Pada tahun 1958 dalam suatu pembahasan penting yang pertama kali ditulis orang tentang Religi Tokugawa (timbangan buku yang paling panjang dan paling serius yang pernah saya terima), Maruyama Masao mengajukan keraguan atas analisis yang termuat dalam buku itu; keraguan itu selanjutnya juga tumbuh semakin kuat dalam pikiran saya.¹ Maruyama, ahli ilmu sosial yang mungkin paling besar pengaruhnya masa pasca Perang Dunia II, berpendapat bahwa buku itu merangsang berpikir sekaligus membuat geram. "Tidak banyak buku yang terdapat di sekitar kita bisa bisa menggoncangkan kita dari kelambanan kita", tulisnya. "Dari banyak karya penelitian orang Amerika tentang Jepang yang terus menerus diterbitkan, bulu Bellah, lebih daripada yang lain dalam jangka waktu panjang, telah membangkitkan selera dan semangat juang saya". Yang disenangi Maruyama adalah kuatnya kerangka teoritis buku itu yang menunjukkan dengan terang benderang masalah-masalah sentral modernisasi Jepang. Yang tidak disukainya adalah apa yang menurut anggapannya merupakan penafsiran optimistik tentang perkembangan-perkembangan penting dalam Jepang Modern yang cenderung mengarah kepada "rasionalisasi" dan "modernisasi".
Secara khusus, Maruyama meragukan titik sentral dalam argumen saya, yakni bahwa Jepang sudah menemukan "padanan fungsional" yang memadai bagi etika universal Kristen Protestan yang di Barat jelas-jelas telah menyumbang bagi perkembangan modern dalam bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, keluarga, maupun di bidang lain. Dia mempertanyakan apakah mungkin partikularisme Jepang, kecenderungannya untuk memusatkan diri pada kesetiaan kepada kelompok tertentu dan pemimpin-pemimpinnya, dari tingkat kaisar dan bangsa Jepang turun sampai tingkat keluarga, sungguh-sungguh bisa mengganti secara memadai universalisme etis, sebagaimana saya kemukakan. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam modernisasi Jepang, menurut Maruyama, bukanlah peristiwa kebetulan, melainkan sesuatu yang merupakan pancaran ciri dasarnya. Suatu modernisasi yang dapat diamini oleh Maruyama, masih menantikan datangnya universalisme yang menurut penglihatannya belum kunjung muncul.
Analisis Maruyama memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ditanggapi secara memadai baik dalam buku Religi Tokugawa, maupun dalam perubahan teori modernisasi pada tahun 1950-an yang dijadikan kerangka analisis buku itu. Saya berpangkal dari asumsi bahwa ekonomi merupakan bidang kritis dalam modernisasi dan bahwa semua saja yang berperan dalam membebaskan ekonomi dari kekangan-kekangan tradisional dan membiarkannya berkembang mengikuti hukum-hukumnya sendiri adalah positif bagi modernisasi. Saya mengasumsikan bahwa perkembangan ekonomi tidak hanya baik pada dirinya, melainkan juga bahwa keuntungan-keuntungan lain dari modernisasi kurang lebih pasti akan muncul dari perkembangan ekonomi tersebut. Maruyama mengemukakan bahwa perkembangan ekonomi tidak niscaya berkaitan dengan demokratisasi politik dan universalisme etis. Dia berpendapat bahwa perkembangan ekonomi tanpa disertai dengan perubahan-perubahan tertentu lainnya, bahkan bisa merongrong kondisi yang menyangga kelangsungan perkembangannya.
Namun bagaimanapun, peristiwa-peristiwa tiga dasawarsa terakhir berupaya membuktikan bahwa pandangan saya benar dan kritik Maruyama nampak seperti hanya mengada-ada. Kemantapan pertumbuhan ekonomi Jepang hampir-hampir seperti mukjizat. Pada tahun 1960 Perdana Menteri Ikeda mengumumkan pelipatduaan produksi nasional bruto (PNB) sebagai tujuan nasional. Sejak itu, tujuan tersebut sudah berulang kali terlampaui, dan laju pertumbuhan Jepang terus menerus menduduki peringkat tertinggi di dunia. Ketika Religi Tokugawa ditulis, Jepang mengekspor mobil, untuk mengambil contoh yang paling mencolok, sedangkan kini mobil-mobil Jepang meramaikan kompetisi dimana-mana di dunia. Pada tahun 1957 Jepang baru sekadar pulih dari kehancuran Perang Dunia II; pada tahun 1985 Jepang merupakan negara adikuasa ekonomi yang melejit melampaui semua saingannya.
Tetapi, bila kita mempertanyakan apa saja harga yang harus dibayar demi kesuksesan Jepang itu, ceritanya menjadi lebih rumit. Sukses Jepang dalam kompetisi ekonomi sebagian didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat paling efektif di seluruh dunia. Birokrat Jepang sangat terlatih, berdedikasi tinggi, dan efisien. Hal ini paling nyata terwujud pada Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri (MITI, Ministry of International Trade and Industri), yang dengan cermat mengatur ekonomi sehingga cepat tanggap terhadap perubahan pasar internasional. MITI berhasil mencapai hal itu bukan lewat komando, karena ekonomi Jepang, tentu saja, bercorak pasar bebas, swasta. Terutama dengan mengendalikan informasi dan kredit, serta mengandalkan kerja sama mitra kerja dalam industri swasta, para birokrat pemerintah mampu mewujudkan suatu tingkat perencanaan tertentu dalam kehidupan ekonomi, yang lebih efektif dari pada yang terjadi di balik Tirai Besi. Serikat Buruh diorganisir menurut perusahaan, dan tidak menurut jenis industri; mereka bekerja sama erat dengan pihak pengelola perusahaan untuk menjami produktivitas yang tinggi. Komunikasi massa dan pendidikan terkait erat dengan aparat pengendali yang dominan.
Jepang mempunyai konstitusi demokratis dan undang-undang perlindungan hak-hak warga negara, yang sama baiknya dengan negara mana pun di dunia. Tetapi Jepang bukanlah negara demokrasi dalam arti sebagaimana diharapkan oleh Maruyama dan para kritisi kawan-kawannya pada tahun 1950. Jepang merupakan model masyarakat administrasi, yang nampaknya sedang dituju oleh kebanyakan masyarakat industri. Beberapa orang Amerika, khususnya di kalangan pendidikan administrasi niaga, bahkan menuntut agar Amerika Serikat lebih cepat mengikuti teladan Jepang. Tetapi, masyarakat administratif itu, juga bisa disebut "despotisme adminstratif", bila yang dimaksudkan istilah itu adalah despotisme yang halus dan baik hati dari pemerintahan ala guru, dan bukan tirani kasar kediktatoran ideologis.
Meskipun mungkin orang meragukan kemampuan masyarakat mana pun saja dewasa ini untuk mewujudkan universalisme etis, masyarakat Jepang rupanya merupakan contoh mencolok yang tidak menyambut baik universalisme etis itu. Kebanyakan orang Jepang sampai sekarang, masih terikat erat dalam kelompok-kelompok yang menuntut kesetiaan mereka dan menutup mereka dari simpati terhadap orang dari luar kelompok. Kato Shuichi menyebut fenomena ini dengan istilah competitive groupism ² atau "kelompokisme yang bersaingan", dan Shimazono Susumu menamakannya group utilitarianism³. Sikap semacam itu bisa mendorong pengorbanan diri dan pengabdian, tetapi tujuan dari perilaku etis seperti itu jarang sekali melampaui kepentingan-kepentingan kelompok masing-masing. Bahkan religi-religi baru, yang merupakan ungkapan terpenting spiritualitas Jepang pasca perang juga lebih menekankan kepentingan kemakmuran pribadi dan kelompok serta moralitas kesatuan kelompok dari pada anjuran etis yang sifatnya lebih transenden. Individualisme etis yang menuntut penghayatan atas martabat pribadi orang-seorang, juga bila diperhadapkan dengan tuntutan atas konformitas kelompok, nampaknya masih asing di Jepang masa kini seperti pada masa-masa yang lalu. Bagi perempuan Jepang, misalnya, sangat sedikit kemajuan yang telah mereka capai dalam usaha mereka mengejar persamaan sosial, bila dibandingkan dengan apa yang telah terjadi pada masyarakat industri yang lain. Dalam hal ini pun, sangat sedikit yang dapat melegakan mereka, yang pada tahun 1950-an mengharapkan terjadinya transformasi yang lebih mendasar dari masyarakat Jepang.
Tetapi, tidakkah kita menjadi terlalu kritis, bahkan utopis? Betapapun, bukankah jalan Jepang itu merupakan satu-satunya jalan yang mesti ditempuh? Bukankah kita dalam masa modernitas lanjut ini, juga memerlukan bimbingan piawai dari para pakar dan "disiplin sosial" bagi rakyat? Bukankah itu satu-satunya dasar yang bisa menjamin kemakmuran yang terus berlanjut di dunia modern ini dan bukankah itu, akhirnya, yang dikehendaki kebanyakan orang?
Kendati demikian kita mesti bertanya, tidakkah hasil-hasil pertumbuhan pesat ekonomi, yang demikian kuatnya didukung oleh tradisi Jepang (sebagaimana dilukiskan dalam Religi Tokugawa) beserta perubahan-perubahannya di zaman modern, sudah mulai merongrong kondisi-kondisi yang justru telah memungkinkan pertumbuhan itu terjadi. Marilah kita ambil contoh tentang pegawai Jepang selama beberapa dasawarsa yang telah lampau dan bertanya tidakkah kehidupan serta makmur yang baru saja mulai dinikmatinya mengancam kesetiaannya pada tradisi.
Kita harus segera mencatat keuntungan-keuntungan yang sungguh-sungguh diperoleh barang-barang yang semakin beraneka ragam, kesempatan untuk bepergian, pelayanan kesehatan yang meningkat, dan sebagainya. Tetapi kita juga dapat melihat bahwa pola-pola kehidupan tradisional tertentu terancam. Rumah keluarga, biar kecil, dalam tradisi merupakan karya seni. Rumah itu meliputi taman, walaupun mungil, dan melibatkan, lebih daripada arsitektur perumahan Barat, gaya hidup yang memungkinkan keikutsertaan orang pada perputaran musiman alam yang begitu kuat tertanam dalam semangat Jepang. Kini sama sekali mustahil mewujudkan kembali gaya hidup semacam itu dalam bangunan apartemen. Kamar-kamarnya hampir semua bergaya Barat dengan dinding-dinding permanen. Tidak ada taman, meskipun mungkin ada balkon dengan kotak bunga. Arus hidup antara malam dan siang sangat berbeda dari yang terdapat dalam rumah trasidional. Anak-anak mempunyai kamar sendiri-sendiri tempat mereka belajar siang malam. Televisi mendominasi ruang keluarga. Hampir tak ada lagi tempat bagi pusat pemujaan keluarga, sehingga anak-anak tidak tumbuh dalam keakraban dengan praktek penghormatan terhadap leluhur. Apalagi, penghuni apartemen, seperti di Barat, mungkin asing satu sama lain. Tetangga boleh jadi memusuhi, jika anak-anak kecil membuat gaduh. Suasana ketetanggaan kota-kota besar dan kecil Jepang kuno, kini makin melemah atau sama sekali hancur. Akhirnya, suami dan ayah kita makin menjadi seorang asing daripada yang terjadi menurut tradisi, karena dia harus bekerja sampai larut senja dan menempuh jarak jauh antara rumah dan tempat kerja. Dalam keadaan seperti itu sukar dibayangkan bagaimana tradisi yang telah membuat orang tua menjadi pekerja keras dan warga negara yang bersemangat kerja sama bisa diteruskan tanpa cela. Anak-anak akan belajar, seperti di Amerika Serikat bahwa penumpukan harta dan pengungkapan perasaan seseorang merupakan makna hidup. Orang akan bertanya-tanya berapa lama etos kerja dan disiplin sosial yang tangguh akan bisa bertahan.
Lebih jauh lagi, nampaknya tak mungkin lagi pola hidup lama dapat diwujudkan secara meluas. Harga tanah di Tokyo dan daerah-daerah metropolitan lain telah membubung setinggi langit. Keluarga-keluarga kelas menengah tidak mungkin lagi berharap bisa menikmati gaya hidup lama. Mereka akan melewatkan hari-harinya di apartemen, kondominium atau tempat-tempat hunian semacam itu. Tentu saja, banyak hal masih bisa lestari dalam keadaan seperti itu, tetapi saya tetap berpikir bahwa selayaknyalah orang mempertimbangkan betapa besarnya beban yang ditimpakan kepada nilai-nilai tradisional di kemudian hari. Kiranya tak usah disebut bahwa ikatan dengan daerah pedesaan, yang begitu penting sampai satu generasi yang lalu, kini sedang mengurai dengan cepat. Sekarang tak ada lagi "kampung halaman" (furusato) bagi kebanyakan orang Jepang. Hal ini sangat melemahkan peranan Shinto, yang demikian terkait dengan lokasi geografis tertentu. Situasi diperburuk lagi, bila kita ingat bahwa tempat-tempat pemujaan di kota lagi punya hubungan dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Pendatang tidak merasakan ikatan yang sama dengan penghuni asli kota-kota.
Sejak lama kita diberitahu bagaimana kelompok kerja Jepang mampu meneruskan kesetiaan lama terhadap keluarga dan kelompok lokal kepada situasi industri yang baru. Tetapi bila kesetiaan lama itu sedang menjadi berantakan, apa lagi yang mau diteruskan? Kendati tanda-tanda melemahnya hal itu masih sedikit, tetapi hampir tak mungkin lagi kita menatap masa depan tanpa kerisauan. Sungguh, kecenderungannya sudah jelas tersurat.
Bangsa Jepang rupanya menuju ke arah nasib yang sama yang telah menimpa masyarakat-masyarakat modern lain yang telah dijadikan suar oleh banyak bangsa. Kedudukan sebagai Nomor Satu di dunia rupanya tak begitu enak, dan tidak ada satu bangsa pun yang dapat mempertahankannya dalam jangka yang lama. Selama jangka waktu tertentu Inggris rupanya menjadi model yang dikagumi oleh bangsa-bangsa lain, termasuk banyak orang Perancis, meskipun Perancis juga mempunyai pengagum-pengagum sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun orang Inggris dan Perancis berjuang untuk mempertahankan jejak-jejak kejayaan mereka di masa lampau, sementara pada tahun 1950-an, ada orang-orang yang menyebutkan bahwa abad ini adalah "abad Amerika" dan sampai sekarang masih ada yang berpendapat begitu. Tetapi sejak beberapa waktu, Amerika Serikat sudah kehilangan keunggulan dalam persaingan yang pernah dimilikinya; dan meski kekuasaannya sangat besar, Amerika tak lagi mengilhami bangsa-bangsa lain dengan gagasan bahwa Amerika sungguh-sungguh merupakan model masa depan. Jika ada bangsa yang mempunyai peranan semacam itu kini, justru Jepanglah bangsa itu. Tetapi kerusakan yang tak terhindarkan menyertasi industrialisasi yang cepat; kerusakan yang memang berlangsung menggerogoti prasyarat-prasyarat sukses modernisasi itu sendiri jelas tampak sedang terjadi di Jepang, sehingga tampaknya hampir tak ada dasar untuk meramalkan bahwa Jepang akan tetap unggul pada dasawarsa-dasawarsa yang akan datang.
Sampai sejauh ini dalam pengantar ini saya sudah berusaha untuk menempatkan Religi Tokugawa pada latar sejarah kelahirannya dan untuk menghubungkan kekuatan serta kelemahan analisisnya pada keadaan waktu itu. Kekuatannya tampak jelas dan cukup banyak. Saya mencirikan masyarakat Jepang sebagai masyarakat yang memberi tekanan besar pada kesetiaan kelompok di satu pihak dan pencapaian individual serta kolektif di lain pihak. Penggabungan ini memungkinkan aksi kelompok yang kuat dan efektif. Saya menempatkan asal mula pola ini pada struktur sosial, kepercayaan, dan praktek-praktek masyarakat Jepang pada masa Tokugawa, dengan memusatkan perhatian pada kehidupan rakyat biasa. Saya mengajukan pendapat bahwa pola umum itu tersebar ke seluruh penduduk, mengatasi benteng-benteng kasta feodal dan kelas. Keseragaman budaya dan juga keyakinan akan kesamaan kedudukan (egalitarianism) yang merupakan tuntutan negara modern sudah dipersiapkan di Jepang pada zaman Tokugawa. Dinamisme Jepang modern menurut pendapat saya bermula pada gaya hidup orang-orang Jepang biasa pada masa Tokugawa. Pada saat ini semuanya itu bagi saya benar dan pantas dipertimbangkan serta dikaji lebih lanjut.
Kelemahan buku itu, sebagaimana yang diajukan oleh Maruyama, terletak pada keengganan saya untuk menatap kelemahan-kelemahan pola Jepang atau memperhitungkan harga yang mesti dibayar oleh modernisasi Jepang. Benar bahwa saya memang membatasi diri pada masa Tokugawa dan maksud buku itu memang untuk menganalisis akar-akar modernisasi Jepang, tetapi bukan proses modernisasinya sendiri. Namun, ketika saya berusaha menggali akar-akar kesuksesan Jepang, seharusnya saya juga sudah melihat akar-akar kekurangan dari kesuksesan itu. Mungkin, pada waktu itu, pertengahan dasawarsa 1950-an, saat Jepang sedang bergulat keluar dari malapetaka, tapi belum menjadi unggul, orang lebih mudah mengabaikan harga yang harus dibayar oleh pola modernisasi Jepang daripada saat sebelum atau sesudahnya.
Namun demikian, kelemahan terbesar buku itu tak ada kaitannya dengan Jepang, melainkan dengan kelemahan teori modernisasi yang saya gunakan: saya gagal untuk melihat bahwa penumpukan kekayaan dan kekuasaan yang tak kenal henti tidak akan membawa kepada masyarakat yang baik, tetapi justru merongrong prasyarat-prasyarat yang mutlak diperlukan untuk mendukung berlangsungnya kehidupan masyarakat sendiri. Saya menderita kekurangan karena menggeser tujuan dengan upaya, atau berusaha menjadikan upaya sebagai tujuan, yang justru merupakan sumber patologi modernisasi. Sesaat, pada ujung akhir buku itu, rupanya saya sadar bahwa ada sesuatu yang kurang pada analisis saya. Saya tulis, "Setelah semua hal mengenai fungsi-fungsi religi Jepang telah kita bahas, akhirnya kita harus mempertimbangkan makna dari fungsi-fungsi tersebut menurut kerangka pemahaman religi sendiri" (hlm. 270). Apa yang kemudian mengikuti kalimat itu, tidak begitu jelas, tetapi rupanya saya mengkontraskan situasi di mana religi digunakan sebagai cara untuk mencapai tujuan lain (modernisasi) dengan situasi di mana religi tetap mempertahankan kepeduliannya terhadap nilai akhir, yakni di mana religi tetap menjadi religi. Maruyama memang benar ketika dia menunjukkan pada akhir bahasannya bahwa keengganan saya untuk menguraikan apa sesungguhnya makna dari religi Jepang "sebagai religi", memasang selubung ketidakpastian pada argumen sentral buku itu.
Mungkin saya masih bisa berusaha pada kesempatan ini, kendati secara ringkas, melakukan apa yang tidak (tidak bisa?) saya lakukan pada tahun 1957. Mungkin pada waktu itu nampaknya terlalu naif untuk membahas religi Jepang begitu saja—sebagaimana tampaknya—tetapi kini kiranya pantas untuk dicoba. Untuk memeras rangkaian fenomena yang luar biasa kompleksnya menjadi suatu rumusan yang sangat sederhana, saya ingin menyatakan bahwa religi Jepang pada dasarnya mempunyai kepedulian pada keselarasan, yaitu keselarasan antara manusia dan keselarasan dengan alam. Masing-masing akar tradisi itu memandang keselarasan secara agak berlainan dan menyajikan pendekatan masing-masing yang khusus. Namun, semuanya itu bermuara pada gagasan tentang hidup sebagai upacara, sebagai permainan, hampir sebagai tarian, yang mengungkapkan rasa iba, sayang kepada semua yang ada di dalam alam semesta. Shinto mencakup pemujaan pada 80.000 dewa yang menghuni segala macam bentuk alam dan menguasai segala kegiatan manusia. Puncak shinto terjadi pada upacara pesta matsuri, ketika dewa-dewa dan manusia berkumpul bergembira ria merayakan karunia dumi ini dengan tarian yang merupakan paradigma kehidupan. Budhisme mengandung kepercayaan bahwa hakikat Buddha terdapat pada semua yang ada, pada manusia dan binatang, pada gunung dan sungai, bahkan juga pada pecahan genteng dan debu di jalanan. Orang menganggapi pemahaman ini dengan menghadirkan diri di hadapan hakekat Buddha dalam segala yang ada, dan di hadapan hakekat Buddha yang ada dalam dirinya sendiri. Orang hanya minum teh, berjalan-jalan, berbaring, tidur. Namun, semua tindakan itu dengan sempurna terpadu dan dengan sempurna tanggap terhadap tingkah berjuta-juta hal yang ada, sehingga alam semesta sendiri seakan-akan seperti jajaran penari-penari independen, yang bergerak terpadu seperti gelombang. Konfusianisme mempunyai pemahaman bahwa tatanan langit dan bumi sama seperti tatanan manusia. Kehidupan merupakan pola upacara (rei) di mana kita mewujudkan kepedulian kita terhadap sesama dengan memenuhi apa yang sepantasnya kita lakukan menurut peranan kita masing-masing. Pada Bab 3, saya melukiskan dua aspek hakikat religi Jepang, yaitu syukur terhadap segala yang menumbuhkan, dan identifikasi dengan dasar realitas. Kedua hal itu adalah uraian yang lebih luas dari pola umum yang saya lukiskan di sini: keselarasan (harmoni) tarian bela rasa.
Pemahaman dasar atas kehidupan seperti ini cukup membuat kehidupan lahiriah lebih menyenangkan di Jepang daripada di kebudayaan lain mana pun. Tetapi kita mungkin meragukan apakah kehidupan lahir itu, keindahan bentuk praktek dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, sungguh-sungguh mengungkapkan tujuan akhir masyarakat. Seandainya memang sungguh begitu, mengapa alam begitu bebas dijarah? Mengapa martabat pribadi individual begitu mudah dikorbankan bagi kebutuhan kelompok? Mengapa belas kasih bagi segala yang ada mendapat peringkat begitu dan penumpukan kekayaan serta kekuasaan dihargai begitu tinggi sebagai motivasi bagi aksi-aksi sosial yang sungguh-sungguh? Ketimbang menentukan tujuan-tujuan hidup, pola tarian bela rasa itu rupanya lebih dipergunakan sebagai sarana untuk maksud-maksud lain. Hal itu berguna untuk sosialisasi individu agar menjadi peka terhadap kebutuhan kelompok dan memberikan kepada individu kesempatan untuk melarikan diri secara ekspresif dari tekanan mengejar sukses dan mewujudkan kesetiaan kelompok. Sebagaimana di Barat religi Kristen sering kali menjadi suatu bentuk terapi untuk "menentramkan" individu-individu yang mengalami tekanan terlalu berat dari suasana persaingan dalam "dunia nyata" (jadi lebih menguatkan ketimbang menantang aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang tak kristiani itu), begitu juga religi Jepang sering kali menjadi pelarian estetis dari tekanan yang sama dalam kehidupan orang Jepang (kita tentu saja mesti mengakui bahwa "penggunaan" religi Jepang secara sosial-psikologis dewasa ini jauh lebih baik daripada manipulasi religi—khususnya Shinto dan Konfusianisme—bagi pembangunan negara kebangsaan yang militeristik pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh).
Apa artinya membalikkan proses fungsionalisasi religi, proses penyempitan ruang lingkup tujuan-tujuan akhir, kepada kedudukan sebagai sarana? Bagaimanakah kiranya yang akan terjadi apabila religi menentukan tujuan-tujuan, dan sarana-sarana (kekayaan dan kekuasaan) yang telah menduduki status sebagai tujuan itu dikembalikan lagi pada statusnya sebagai sarana? Apakah perubahan semacam itu merupakan suatu bentuk "modernisasi" atau apakah hal itu menunjukkan bahwa modernisasi telah mencapai batas akhirnya yang, apabila terlewati, akan membawa kepada perwujudan total ciri penghancuran diri yang memang melekat pada dirinya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukanlah sesuatu yang mengada-ada sekarang ini. Hanya sedikit saja orang yang sungguh berpikir yang akan setuju dengan seorang Amerika yang terkenal, yang baru-baru ini berkata, "Tak ada batas bagi pertumbuhan". Sekurang-kurangnya, pasti ada batas bagi kemampuan pertumbuhan ekonomi untuk menjawab persoalan makna kehidupan. Kita ini seperti murid calon tukang sihir yang sedang magang: apa yang kita bangkitkan berada di luar kendali kita sendiri. Hal ini sungguh berlaku di Jepang, lebih daripada di tempat lain. Tradisi Jepang kaya akan alternatif. Masih akan dapat disaksikan apakah akan ada orang yang mempunyai kekuatan dan keberanian untuk menerobos struktur-struktur masyarakat administratif itu dan menunjukkan kepada kita cara lain lagi.
Maksud Religi Tokugawa bukanlah untuk menjelajahi sumber daya yang terdapat dalam tradisi Jepang bagi terobosan semacam itu. Perhatian saya memang lebih tertuju pada dampak kepercayaan dan perilaku religius bagi modernisasi dalam bidang sosial dan ekonomi; dan ini sungguh tepat. Tetapi, apabila buku ini dibaca dengan saksama, akan tampak bahwa suatu keprihatinan akan keutuhan tradisi bukannya tidak ada. Semakin spesifik contoh-contoh yang saya ajukan, semakin jelas tampak keutuhan tradisi itu.
Pembahasan saya tentang Ishida Baigan, yang sampai sekarang masih merupakan pembahasan yang paling komprehensif tentang tokoh tersebut di dalam bahasa Inggris, merupakan contoh yang baik. Baigan dikemukakan sebagai orang yang sangat peduli terhadap martabat para pedagang, sebagai orang yang selalu menegaskan bahwa sumbangan para pedagang itu sama pentingnya dengan sumbangan kaum Samurai. Tetapi Baigan tidaklah dilukiskan sebagai tokoh yang menganjurkan jalan itu sebagai sarana untuk menjadi kaya. Hidupnya sendiri, yang merupakan contoh pengabdian yang tulus kepada sesama, terwujud dalam kesederhanaan yang besar, dan sama sekali tidak menumpuk kekayaan duniawi. Dia sendiri merupakan vonis bagi Jepang masa kini, tetapi sekaligus juga perintisnya. Apa yang tampaknya aneh dalam diri orang itu beberapa tahun yang lalu mungkin kini justru yang paling perlu kita pelajari dari dia. Dalam usaha berkesinambungan untuk menghayati lagi tradisi Jepang untuk menghadapi realitas masa kini, Religi Tokugawa kiranya juga bisa memberi sumbangan, meski tidak mencolok.
Juli 1985 Robert N. Bellah
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------
¹Maruyama Masao, pembahasan mengenai Tokugawa Religion: The Values of Pre Industrial Japan (Free Press, 1957), dalam Kokka Gakkai Zasshi (Jurnal Asosiasi Ilmu Politik dan Sosial), vol.72, no.4, April 1958, Tokyo. Tatsuo Arima menerjemahkannya dalam bahasa Inggris (tetapi tak pernah diterbitkan) setelah kurang lebih 50 halaman ketik.
²Kato Shuichi, "Competitive Groupism In Japan" Dalam The Japanese Challenge and the American Response" A Symposium, Research and Policy Studies, no.6, Institute Of East Asian Studies, University Of California, Berkeley, 1982, hlm. 9-14.
³Shimazono Susumu, "Two Frameworks for Future Study of Japan's New Religions in Comparative Perspective", tak diterbitkan, 1985.
Comments
Post a Comment