Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Essei, Catatan Harian dan Catatan Perjalanan

Essei, Catatan Harian dan Catatan Perjalanan




4.  (Zuihitsu/Essei), Nikki (Catatan Harian) dan Kikoo (Catatan Perjalanan)


Essei dan catatan harian pada Zaman Heian ditulis oleh kaum wanita, tetapi pada Zaman Pertengahan ditulis oleh pertapa yang umumnya adalah pria. Contoh kesusastraan essei misalnya Hoojooki dan Tsurezure Gusa. Hoojooki ditulis oleh Kamo no Choomei, berasal dari keturunan pendeta agama Shintoo. Ia sangat berbakat menggubah Waka dan memainkan alat musik tradisional. Di Gunung Hinoyama dia bertapa, mengasingkan diri dari keramaian. Hoojooki, sebuah essei yang ditulis oleh sastrawan tua yang matang dalam agama Budha di suatu gubuk kecil, dimulai dengan kata-kata Yuku kawa… (Air sungai mengalir…). Pengarang mengungkapkan bahwa segala sesuatu yang ada di dalam dunia yang fana ini tidak ada yang kekal. Peristiwa-peristiwa yang sangat menyedihkan seperti kebakaran besar, angin topan, kelaparan, gempa bumi dan lain-lain telah mendorongnya untuk mengasingkan diri. Pemikiran-pemikiran agama Budha bahwa segala sesuatu di dunia yang fana ini tidak ada yang abadi dan bahwa dunia ini kotor harus dijauhi dan berdoa demi kebahagiaan dunia yang akan datang, juga merupakan latar belakang penulisan essei Hoojooki ini. Namun isi Hoojooki bukanlah merupakan pelajaran agama Budha, tetapi merupakan pencetusan sikap dan hati pengarang yang berusaha memisahkan diri dari kancah kehidupan rakyat biasa, kemudian menyendiri di gubuk yang ada di gunung dengan tenang, seakan dia jera akan kehidupan dunia fana ini. Tetapi meskipun demikian, Hoojooki sebagai sebuah essei merupakan suatu karya tulis dengan nada indah dan sangat logis sifatnya.

Yuku kawa no nagare wa taezu shite, shikamo moto no mizu ni arazu. Yodomi ni ukabu utakata wa, katsu kie katsu musubite, hisashiku todomaritaru tameshi nashi. Yo no naka ni aru hito to sumika to mata kaku no gotshi. Tamashiki no miyako no uchi ni mune wo narabe iraka wo arasoeru takaki iyashiki hito no sumai wa, yoyo wo hate tsukisenu mono naredo, kore wo makotoka to tazunereba, mukasih arishi ie wa mare nari. Aruiwa kozo yakete kotoshi tsukureri. Aruiwa ooie horobite koie to naru. Sumu hito mo kore ni onaji. Tokoro mo kawarazu hito mo ookaredo, inishie mishi hito wa, nisanjuunin ga naka ni wazuka hitori futari nari. Ashita ni shini, yuu ni umaruru narai, tada mizu no awa ni zo nitari keru.

Air sungai selalu mengalir, tetapi airnya akan berbeda. Buih-buih air itu pecah lalu mengalir, kemudian timbul lagi buih yang baru, tidak ada yang bertahan lama. Manusia dan segalanya dalam dunia ini tak ubahnya seperti air dan buih, tiada yang kekal. Juga rumah-rumah yang berjejer di ibukota, seakan bersaing dalam kemegahannya. Rumah pembesar maupun rumah si miskin kelihatannya seakan tetap ada sepanjang masa melalui beberapa generasi. Tetapi kalau kita tanya apakah rumah itu ada dari dulu, ternyata tidaklah demikian. Rumah yang lama sudah terbakar kemudian diganti dengan yang baru. Ada juga rumah yang dulu besar, karena sudah hancur tinggallah hanya gubuk kecil saja. Meskipun tempat dan jumlah manusianya tidak berubah, tetapi manusia yang dulu ada 20 atau 30 orang, kini hanya tinggal 2 atau 3 orang saja. Pagi meninggal sorenya lahir, begitulah dunia ini seperti halnya buih-buih yang mengapung di sungai.

 

Tsurezure Gusa

Tsurezure Gusa adalah sebuah essei yang muncul pada akhir Zaman Kamakura, ditulis oleh Yoshida Kenkoo. Nama samarannya yang lebih populer adalah Urabe no Kaneyoshi, dilahirkan di lingkungan keluarga pendeta agama Shintoo. Keluarga ini diakui sebagai keluarga bangsawan dan mengabdi kepada Kaisar Gonijoo.

Ketika berumur 30 tahun, Kenkoo menjadi pendeta agama Budha. Sebagai penyair yang berbakat, dia juga mempelajari sistem adat istiadat kuno, upacara kuno, waka, agama Budha begitu juga ajaran Konfusius. Dengan latar belakang bermacam-macam keahlian di atas, di tempat pengasingan diri yang sunyi dan tenang dia berhasil menciptakan sebuah essei yang dikenal dengan nama Tsurezure Gusa. Essei ini terdiri dari 243 bab tidak termasuk pra kata, yang memuat berbagai hal, antara lain nostalgia zaman kuno (zaman sebelumnya Kamakura yaitu sekitar Zaman Heian) yang merindukan keindahan dunia Genji, yaitu tokoh dalam Hikayat Genji, dunia kehidupan bangsawan termasuk adat istiadat yang berlaku pada zaman itu.

Dengan didasari ajaran agama Budha, dalam buku ini diterangkan bagaimana caranya menghadapi dan mengatasi kehidupan sehari-hari yang penuh liku-liku dan persoalan yang memang betul-betul dialami setiap orang. Dia memberikan contoh-contoh yang mudah dimengerti sehingga buku ini dapat dikatakan termasuk buku yang berguna bagi pendidikan. Di dalam buku ini ada juga bagian yang isinya berlawanan dengan bagian yang lain, tetapi secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak menonjolkan hal-hal yang logis dan rasional, yang mencerminkan cara berpikir penulisnya yang serius dan logis.

Tsurezure Gusa dan Makura no Sooshi dianggap sebagai dua essei yang terbaik dalam kesusastraan klasik Jepang. Dengan membandingkan kedua essei ini, kita dapat mengetahui perbedaan kesusastraan dua zaman, yaitu Zaman Heian (Zaman penulisan Makura no Sooshi) dan Zaman Kamakura (Zaman penulisan Tsurezure Gusa).

Tsurezure naru mama ni, higurashi, suzuri ni mukaite, Kokoro ni itsuri yuku yoshi nashi koto wo, sokowaka to naku kaki tsukureba, Ayashi koso monoguru hoshikere.
Di kala senggang dan santai, sehari suntuk menghadapi batu tulis, semua yang terbayang dalam hatiku, langsung kutulis kadang kala kuhapus. Tetapi semua yang kutulis itu, membingungkan diriku sendiri.

 

Nikki dan Kikoo

Pada Zaman Kamakura ada juga Nikki (catatan harian) yang ditulis oleh wanita, yaitu Kenshunmonin Chuunagon Nikki karya Fujiwara Shunzen no Musume, Kenreimonin Ukyoo no Daibushuu karya Kenreimonin Ukyoo no Daibu, Nakatsukasa Naishi Nikki karya Fushimiin Nakatsukasa dan Benno Naishi Nikki karya Benno Naishi. Selain itu ada juga Nikki yang berjudul Towazugatari karya Gofukakusain Nijoo yang dianggap unik dan mempunyai warna tersendiri. Selain Nikki yang ditulis oleh wanita, ada juga beberapa Nikki yang ditulis oleh pria dalam huruf Kana, antara lain adalah Haru no Miyamaji karya Asukai Massari dan Soochoo no Shuki karya Soochoo. Shoochoo no Shuki adalah sebuah Nikki yang menarik karena menggambarkan kehidupan seorang penyair pantun Renga.

Dengan dibukanya Kamakura sebagai pusat pemerintahan Bakufu, pusat kegiatan politik terbagi menjadi dua tempat yaitu Kyoto dan Kamakura. Akibatnya kedua tempat tersebut banyak dikunjungi pelancong yang menyebabkan timbulnya kesusastraan Kikoo adalah Kaidooki dan Tookankikoo. Tookankikoo merupakan salah satu contoh Kikoo yang ditulis dengan campuran gaya bahasa Jepang dan gaya bahasa Cina.

Salah satu Kikoo yang terkenal selain kedua Kikoo yang sudah disebutkan di atas adalah Isayoi Nikki yang ditulis oleh Abutsuni, isteri Fujiwara Tameie. Kalimat dan gaya bahasanya sangat indah dan halus karena sangat menonjolkan sifat kewanitaan penulisnya. Isayoi Nikki melukiskan kisah perjalanan dari ibukota Kyooto menuju Kamakura dan keadaan kehidupannya selama bertempat tinggal di Kamakura.

Setelah Zaman Nanbokuchoo berakhir, keadaan lalu lintas bertambah maju dan ramai, sehingga memungkinkan banyak orang bepergian atau bertamasya. Hal ini menyebabkan banyak sekali karya kesusastraan Kikoo muncul. Tetapi Kikoo yang dapat dikatakan bernilai tinggi setelah Zaman Nanbokuchoo berakhir hanyalah Tsukushi no Michi no Ki karya Soogi.



Baca : Buku Sejarah Kesusastraan Jepang


Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau