Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Monogatari, Setsuwa dan Otogizooshi

Monogatari, Setsuwa dan Otogizooshi




4.  Monogatari, Setsuwa dan Otogizooshi

 

Monogatari

Hikayat masih juga giat ditulis meskipun telah memasuki Zaman Kamakura, tetapi penulisan ini mempunyai sifat yaitu kecenderungan untuk mengenang kembali kehidupan kaum istana. Di antaranya banyak karya yang ditulis panjang lebar, meniru gaya tulisan Genji Monogatari (Hikayat Genji) yang muncul sebelumnya.

Pada tahap pertama muncullah karya-karya seperti Sumiyoshi Monogatari (Hikayat Sumiyoshi) Iwashimizu Monogatari (Hikayat Iwashimizu) dan Matsuranomiya Monogatari (Hikayat Matsuranomiya) dan lain-lain. Ketiga ceritera ini mempunyai ciri-ciri tersendiri yang cukup menonjol, tetapi selain karya-karya tersebut hampir semua ceritera yang muncul kemudian terdiri dari ceritera klasik, dan menghilang pada akhir Zaman Kamakura.

Pada awal Zaman Kamakura muncul sebuah buku kritik dan komentar terhadap hikayat berjudul Mumyoozooshi yang sangat mengagungkan Genji Monogatari dan juga memuat kritikan terhadap hikayat yang muncul sesudah itu, yang diuraikan berdasarkan zamannya. Pada masa mundurnya kesusastraan yang berpusat pada hikayat ini, yang sangat menarik perhatian adalah munculnya beberapa karya kritikan yang mencatat tentang sejarah hikayat itu sendiri.

 

Ceritera Sejarah

Untuk meneruskan langkah-langkah yang dirintis dalam bidang ceritera sejarah pada zaman sebelumnya, pada permulaan abad pertengahan ditulislah ceritera sejarah dengan judul Mizukagami. Mizukagami ditulis untuk melengkapi ceritera sejarah berjudul Ookagami dan Imakagami yang sudah ada sebelumnya. Dalam Mizukagami dikisahkan ceritera sejak Jinmu Tennoo sampai Ninmyoo Tennoo sebanyak 54 generasi berikut kronologinya selama 1500 tahun. Ceritera sejarah yang terakhir adalah Masukagami, yang disebut-sebut sebagai hasil karya Nijoo Yoshimoto. Masukagami mengisahkan kejadian-kejadian sejak lahirnya Gotoba Tennoo sampai kembalinya Godaigo Tennoo dari pengasingan di Pulau Oki ke Kyoto, yang mencakup kisah 15 generasi dan berlangsung selama kurang lebih 150 tahun. Masukagami adalah karya tulis klasik yang indah dan bernilai tinggi dan merupakan ceritera sejarah yang bersumber pada keraton, dan dapat dikatakan mempunyai nilai sejajar dengan Ookagami.

 

Argumentasi Sejarah

Kemudian muncullah buku berjudul Gukanshoo yang merupakan kesusastraan sejarah yang berisikan argumentasi sejarah. Selain Gukanshoo muncul pula buku yang sejenis yaitu Jinnooshootooki. Gukanshoo adalah karya seorang penyair bernama Jien, mengisahkan bagian-bagian yang penting dalam sejarah mulai dari Jinmu Tennoo sampai Juntoku Tennoo, dan juga menguraikan teori sejarah. Tidak seperti lazimnya ceritera-ceritera sejarah yang hanya menoleh ke belakang saja, di dalam Gukanshoo kita diajak memperhatikan pergerakan zaman dan membandingkannya dengan keadaan zaman yang sedang berlangsung, untuk menentukan langkah yang akan diambil bagi masa yang akan datang. Gukanshoo ditulis dengan mempergunakan bahasa rakyat agar dapat dengan mudah dimengerti pembacanya. Hal ini sangat berbeda sekali dengan tulisan-tulisan sebelumnya.

Jinnooshootooki ditulis oleh Kitabatake Chikafusa pada tahun Engen 4 (1339) di Benteng Oda, Hitachi sehubungan dengan naik tahtanya Gomurakami Tennoo pada usia 12 tahun. Empat tahun kemudian dia menyempurnakannya di Benteng Seki. Jinnooshootooki mengisahkan bagian-bagian penting sejarah yang dimulai sejak masa sebelum Jinmu Tennoo sampai naik tahtanya Gomurakami Tennoo termasuk komentar dan kritik. Masa ini diperkirakan lamanya kira-kira 2000 tahun. Buku ini ditulis dengan bersumber pada agama Shintoo yang menerangkan bahwa Jepang merupakan negara yang istimewa, lain daripada negara yang lain.

Dijelaskan juga bahwa Godaigo Tennoo dan Gomurakami Tennoo adalah dinasty Tennoo yang benar. Dalam hal berpegang pada suatu pendirian yang tetap untuk menilai sejarah, Jinnooshootooki tidak berbeda dengan Gukanshoo, yaitu Jinnooshootooki juga menguraikan teori tentang pemerintahan yang diperuntukkan bagi Tennoo yang masih di bawah umur.

Karya ini memberikan perasaan cinta tanah air kepada pembaca dan juga merupakan argumentasi sejarah yang memiliki nilai kesusastraan yang memikat pembaca.

 

Gunki Monogatari

Gunki Monogatari (ceritera peperangan) sebagai kesusastraan yang menggambarkan sejarah, dianggap memiliki nilai yang tinggi. Meskipun pada zaman Heian telah ada Masakadoki yaitu catatan pertempuran yang ditulis dengan Kanbun (gaya penulisan) dan Konjaku Monogatarishuu (kumpulan ceritera lama) yang mengandung beberapa bab yang berisi ceritera peperangan, tetapi kedua ceritera ini belum dapat dikatakan sebagai kesusastraan yang istimewa.

Dengan bertitik tolak dari kedua catatan peperangan tersebut di atas dan ceritera-ceritera yang bermotif sejarah yang ditulis dengan Wabun (gaya penulisan Jepang) pada Zaman Kamakura dibuatlah Gunki Monogatari. Ceritera ini ditulis dengan meminjam beberapa bagian dari ceritera yang sedang populer di kalangan rakyat banyak.

Beberapa ceritera yang termasuk dalam Gunki Monogatari antara lain adalah Hoogen Monogatari (hikayat Hoogen), Heiji Monogatari (Hikayat Heiji), Heike Monogatari (Hikayat Heike), Taiheiki (Hikayat Taihei), Soga Monogatari (Hikayat Soga) dan Gikeiki (Hikayat Gikei).

 

Hoogen Monogatari dan Heiji Monogatari

Hoogen Monogatari dan Heiji Monogatari masing-masing terdiri dari tiga jilid, ditulis pada permulaan Zaman Kamakura. Kedua ceritera ini tidak diketahui siapa pengarangnya. Hoogen Monogatari menggambarkan Pemberontakan Hoogen (1156) dan Heiji Monogatari menggambarkan Pemberontakan Heiji (1159), yang dapat dikatakan sebagai permulaan sejarah politik samurai, karena menggambarkan kelemahanan dan keruntuhan kaum bangsawan serta bangunnya kekuatan kaum samurai.

Yang menjadi pahlawan dalam Hoogen Monogatari adalah seorang samurai bernama Minamoto no Tametomo, dan pahlawan dalam Heiji Monogatari adalah Akugenda Yoshihira, keduanya dilukiskan sangat berani dan gagah perkasa. Kedua ceritera ini melukiskan gambaran manusia baru yaitu kaum samurai, berlainan dengan ceritera-ceritera sebelumnya yang hanya menggambarkan kaum bangsawan. Pengarangnya dengan indahnya melukiskan perpaduan antara semangat kepahlawanan pada waktu pertemuan dan kesedihan setelah peperangan berakhir. Kelemahannya ialah, tokoh ceritera yang menggerakkan tersebut tidak disorot dengan lebih terperinci, dan struktur ceriteranya juga kurang teratur. Kelemahan-kelemahan ini membuat kedua ceritera ini masih berada di bawah Heike Monogatari.

 

Heike Monogatari

Heike Monogatari biasanya terdiri dari 12 jilid yang ditambah dengan Kanjoo no Maki, sehingga menjadi 13 jilid, tetapi selain itu ada juga buku yang terdiri dari 6 jilid, 12 jilid dan 20 jilid. Selain bentuk seperti itu ada juga buku bernama Genpei Joosuiki (ceritera tentang masa jaya dan hancurnya Genji dan Heishi) yang berjumlah 48 jilid. Mungkin aslinya terdiri dari 3 jilid yang dibuat pada permulaan Zaman Kamakura, tetapi sejalan dengan perkembangan zaman diperkirakan makin lama makin bertambah banyak. Mengenai pengarangnya terdapat beberapa pendapat, tetapi dugaan yang paling kuat adalah Shinano no Zenji Yukinaga, seperti yang tertulis dalam Tsurezure Gusa bagian ke-226.

Yukinaga adalah seorang bangsawan yang mempunyai pengetahuan luas dan bekerja pada Gotobain. Setelah Yukinaga menjadi pendeta dengan bantuan Tendai Zashu no Jien, Ia menulis Heike Monogatari. Akan tetapi karena Yukinaga kurang mengerti tentang samurai dan peperangan, lalu ia meminta seorang pendeta buta bernama Shoobutsu yang lahir dan dibesarkan di Tokyo untuk mempelajarinya langsung dari para samurai itu sendiri. Oleh karena itu, Heike Monogatari adalah hasil kerjasama antara sastrawan dari keluarga bangsawan yang sudah menjadi pendeta agama Budha yaitu Yukinaga dan seniman yang berasal dari rakyat jelata yaitu Shoobutsu yang mempunyai hubungan erat dengan kaum samurai yang sedang berkuasa. Dalam isi ceritera terlihat pula hubungan yang erat dengan agama Budha.

Selain terdapat perpaduan yang harmonis antara penggambaran sejarah menurut kronologi dan jenisnya, Heike Monogatari menceriterakan juga tentang berdiri dan runtuhnya Keluarga Heike. Dari bagian permulaan sampai jilid ke-6 yang menjadi tokoh utama adalah Taira no Kiyomori dan sebagai tokoh kedua ditempatkan anaknya yaitu Shigemori. Disini digambarkan kesetiaan Shigemori terhadap ayahnya, dan juga pergerakan pendeta, bangsawan dan samurai yang tidak senang kepada Keluarga Heike.

Setelah Kiyomori meninggal seperti yang ditulis pada jilid ke-6, kemudian sampai jilid ke-8 yang menjadi pusat pembicaraan adalah penyerangan Kiso Yoshinaka ke Kyoto pada tahun 1180 dan kekalahan Keluarga Heike yang kemudian melarikan diri ke Barat. Empat jilid berikutnya yaitu jilid ke-9 sampai ke-12 menceriterakan peperangan antara Genji dan Heike yang berakhir dengan musnahnya Keluarga Heike.

Dalam Kanjoo no Maki diceriterakan tentang Kenreimonin, seorang pendeta wanita anak Kiyomori, dan pandangan-pandangannya terhadap masa yang akan datang, setelah peperangan antara Keluarga Genji dan Heike berakhir.

Selain menggambarkan nasib keluarga Heike, yang menjadi latar belakang ceritera ini adalah pemikiran-pemikiran agama Budha. Pada bagian permulaan, yaitu dalam Gionshooja, pengarang memusatkan ceritera pada kejadian-kejadian di dunia yang selalu berubah-ubah. Kehidupan manusia diibaratkan sebagai roda yang sedang berputar, kadang-kadang naik kadang-kadang jatuh, seperti runtuhnya Keluarga Heike dan munculnya Keluarga Genji.

Dalam Janjoo no Maki digambarkan tentang pemikiran agama Budha yang percaya adanya Rokudoo Rinne (Enam Dunia) yaitu Nirwana, Dunia Manusia, Dunia Setan yang selalu berperang, Dunia Binatang, Dunia Kelaparan, dan Neraka. Akhir dari ceritera ini menggambarkan kebahagiaan yaitu naiknya Kenreimonin ke Nirwana.

Seperti lazimnya ceritera peperangan yang lain, Heike Monogatari menggambarkan kepahlawanan kaum samurai dan kata-kata pujian terhadap mereka. Selain itu pengarang juga melukiskan sifat perikemanusiaan kaum samurai di samping sifat keberanian, kekesatriaan dan kepahlawanannya. Juga selain mengenai kehidupan kaum bangsawan yang penuh kemewahan dan keindahan, digambarkan juga kehidupan baru kaum samurai yang penuh dengan kegembiraan.

Ceritera yang terdapat dalam Heike Monogatari ini bercorak ragam, ada yang menggambarkan romantika kehidupan kaum bangsawan, kepahlawanan kaum samurai dan juga tentang kehidupan rakyat biasa, yang dihiasi dengan berbagai aspek misalnya cinta, kekuasaan, seni dan lain-lain.
Corak bahasanya juga adalah gabungan antara bahasa Jepang halus dan kasar dengan gaya bahasa Cina, sehingga membuat susunan kalimatnya kadang-kadang kurang serasi. Namun ada juga bagian-bagian yang enak didengar sehingga bolehlah dikatakan merupakan karya sastra campuran gaya kalimat Jepang dan Cina yang baik.

Ceritera-ceritera ini biasanya disajikan oleh pendeta Budha yang buta. Penyajian seperti ini disebut Heikyoku. Dalam kenyataannya masyarakat lebih senang mendengar dari pada membaca ceritera ini, yang dibawakan dengan gaya deklamasi. Ceritera yang ada dalam Heike Monogatari ini dapat juga disebut sebagai seni rakyat zaman pertengahan, yang mempunyai pengaruh besar pada kesusastraan setelah Zaman Kamakura.

Di bawah ini adalah petikan dari Heike Monogatari jilid ke-7 berjudul Fukuhara Ochi, yang isinya antara lain sebagai berikut, 

Akenureba Fukuhara no dairi ni hi wo kakete, shujoo wo hajime tatematshurite hitobito minna onfune ni mesu. Miyako wo tachishi hodo koso nakaredomo, kore mo nagori wa oshikarikeri. Ama no taku mo no yuukemuri, onoe no shika no akatsuki no koe, nagisa ni yosuru nami no oto, sode nih yadokaru tsuki no kage, chigusa ni sudaku shitsusotsu no kirigirisu, subete me ni mie mimi ni fururu koto hitotsu to shite aware wo moyohoshi, kokoro wo itamashimezu to iu koto nashi.

Kinoo wa Tookan no fumoto ni kutsuwami wo narabete juuman yoki. Kyoowa saikai no nami ni tomozuna wo toite nana senyonin unkai chinchin to shite seiten sude ni kurenan to su. Kotoo ni sekibu hedatete, tsuki kaijoo ni ukaberi, gyokuho no nami wo wake, shio ni hikarete iku fune wa, hanten no kumo ni sakanoboru. Hi kazoureba, miyako wa sude nisansen hodo wo hedatete, kumoi no yoso nizo nari ni keru. Harubaru kinu to omou ni mo, tada tsukisenu mono wa namida nari. Nami no ue ni shiroki tori no mureiru wo mitamaite wa, kare naran, Arihara no nanigashi no Sumidagawa nite koto toiken, na mo mutsumashiki miyakodori niya to aware nari. Juei ninen shichigatsu nijuugonichi ni, Heike miyako wo ochihatenu.

Setelah malam tiba, Genji membakar istana Heike yang terletak di Fukuhara, dan semua bangsawan istana lari meninggalkan istana dengan perasaan sedih. Mereka meninggalkan istana dengan menaiki kapal yang berlabuh di tepi pantai di depan istana. Hati mereka sedih, teringat pada waktu mereka memasuki istana dua tahun yang lalu. Pada waktu melarikan diri, mereka sedih mengenang kehidupan indah waktu berada di istana. Ketika malam makin larut, kelihatan asap datang dari arah nelayan yang merebus rumput laut. Waktu pagi telah tiba di sekitar istana kedengaran bunyi rusa melengking dan deru ombak memecah di tepi pantai. Air mata yang bercucuran jatuh ke lengan baju, memantulkan sinar bulan purnama. Dari balik rerumputan terdengar bunyi jangkrik. Alangkah sedihnya kalau mengenang peristiwa itu kembali.

Kemarin 100ribu samurai telah berkumpul di atas punggung kuda di kaki gunung Tookan dan bersiap-siap untuk maju ke medan perang, tetapi hari ini 7000 orang lebih melarikan diri di atas kapan di Laut Barat. Awan dan laut tenang di keheningan malam, malam yang seolah-olah turut bersedih atas peristiwa ini. Pulau-pulau tertutup kabut, namun bulan memancarkan cahayanya. Kapal melaju menuruti arus pasang surut, seakan mau bertemu dengan awan. Dengan tidak disadari berhari-hari telah berlalu dan ibukota sudah tidak kelihatan lagi. Kalau semuanya dikenang, air mata bercucuran. Waktu pandangan ditujukan ke laut sekawanan burung sedang beterbangan. Mungkin burung itulah yang disebut Miyakodori (Burung Ibukota), seperti diceriterakan waktu Arihara no Narihira mengunjungi Kali Sumide di Tookyoo. Mendengar nama burung ini perasaan rindu akan ibukota yang sudah ditinggalkan muncul kembali. Pada tanggal 25 Juli tahun Juei 2 (1183 M), Heike terpaksa meninggalkan Kyooto karena kalah perang.


 

Taiheiki

Ada sebuah buku yang disebut Sibu Kassenjoo yang merupakan kumpulan dari buku-buku Hoogen Monogatari, Heiji Monogatari, Heike Monogatari dan Jookyuuki. Buku Jookyuuki menceriterakan tentang peristiwa Jookyuu yaitu kudeta yang berhasil yang dilaksanakan oleh Godaigo Tennoo terhadap pemerintahan Kamakura. Setelah Shibu Kassenjoo ini diterbitkan, maka muncullah sebuah buku berjudul Taiheikei dalam 40 jilid, yang menceriterakan tentang peperangan antara Kerajaan Utara dan Kerajaan Selatan di Kyooto. Buku ini dapat dikatakan setaraf dengan Heike Monogatari yang melukiskan ceritera-ceritera kepahlawanan.

Buku Taiheiki baru selesai ditulis pada tahun 1371. Secara resmi pengarangnya adalah Kojima Hooshi, akan tetapi apakah karangan itu berasal dari penyelidikan sendiri atau saduran dari buku-buku lain, tidak dapat dipastikan. Taiheiki terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama menceriterakan sampai Kenmuchuukoo atau berdirinya pemerintahan Godaigo Tennoo setelah berhasil menjatuhkan pemerintahan Kamakura, bagian kedua mengisahkan kejadian-kejadian sampai meninggalnya Godaigo Tennoo pada tahun 1339, dan bagian ketiga yang menceriterakan peristiwa sampai pemerintahan Jenderal Yoshimitsu.

Dalam bagian pertama mengisahkan suka-duka waktu mengembalikan kekuasaan ke tangan Tennoo, yang ditulis dengan teratur.

Bagian kedua dan ketiga mengisahkan peperangan yang ditulis tidak teratur dan kurang terarah. Pengarang buku Yaiheiki bermaksud menonjolkan sifat egoisme manusia pada waktu terjadi kekacauan. Dia juga mengeritik aspek-aspek sosial yang timbul akibat peperangan yang disorotinya melalui ajaran moral Konfusianisme, sehingga kelihatan sedikit agak kaku. Gaya bahasa yang digunakan merupakan campuran gaya bahasa Cina dan Jepang, akan tetapi gaya bahasa Cinalah yang lebih dominan yang mengakibatkan bahasanya kurang luwes. Kalau dibandingkan dengan Heike Monogatari, gaya bahasa yang digunakan dalam Taiheiki kurang puitis, tetapi kejadian demi kejadian yang terjadi selama 50 tahun ditulis dengan terperinci. Selain itu pengarang buku Taiheiki zaman Nanbokuchoo ini menampilkan pandangan baru yang tajam engan melukiskan kritikan rakyat terhadap pemerintahan yang tidak beres dan juga melukiskan kejelekan-kejelekan manusia pada masa itu.

 

Soga Monogatari dan Gikeiki

Sejak keluarnya buku Taiheiki ini sampai Zaman Muromachi, banyak juga diterbitkan buku lain yang bertemakan peperangan di daerah-daerah. Tetapi yang paling bermutu di antaranya adalah ceritera yang cenderung disebut sebagai Eiyuu Denki Monogatari (Biografi Para Pahlawan). Pada zaman ini ceritera-ceritera kepahlawanan sangat disenangi orang, di antaranya adalah legenda kepahlawanan Soga Bersaudara dan Minamoto Yoshitsune. Buku tentang Soga Bersaudara ini ditulis dalam Soga Monogatari dan tentang kepahlawanan Minamoto Yoshitsune ditulis dalam buku berjudul Gikeiki. Pengumpulan dan pengolahan ceritera kepahlawanan dalam kedua buku tersebut dimulai sejak Zaman Kamakura sampai pada permulaan Zaman Muromachi.

Ceritera yang diuraikan dalam Soga Monogatari bertemakan pembalasan dendam yang dijiwai semangat samurai Kantoo (daerah Tookyoo sekarang), dan dibumbui dengan ajaran-ajaran agama Budha. Sebaliknya Gikeiki menonjolkan perasaan belas-kasihan yang keluar dari perasaan kemanusiaan, dengan berlatar-belakang kehidupan Yoshitsune pada masa kanak-kanak dan pada masa tuanya, suatu kehidupan yang menonjolkan dua ruang lingkup yang berlainan. Kedua ceritera tersebut di atas berhasil menarik perhatian masyarakat yang sudah mulai jenuh dengan ceritera peperangan, dan berhasil membuka era baru bagi ceritera-ceritera kepahlawanan.


 

Setsuwa

Legenda yang sejenis dengan Konjaku Monogatarishuu masih terus ditulis sampai Zaman Pertengahan seperti Ujishuui Monogatari, Kokonchomonjuu, Jikkinshoo dan lain-lain. Dalam Ujishuui Monogatari ditulis legenda tentang setan yang mengambil benjolan dari kepala, burung gereja membalas budi dan lain-lain. Legenda seperti ini sangat menarik dan merupakan contoh-contoh legenda Zaman Pertengahan. Antologi legenda agama Budha yang ditulis oleh pendeta dan pertapa di antaranya terdapat Hoobutshushuu yang ditulis oleh Taira no Yasuyori, Hosshinshuu yang ditulis oleh Kamo no Choomei dan lain-lain. Mujuu juga banyak menulis legenda yang diceriterakannya sambil mengajarkan agama Budha, misalnya Shasekishuu. Semuanya ini membawa angin baru bagi legenda rakyat hingga Zaman Pra Modern. Buku Shintooshuu yang disusun pada Zaman Nanbokuchoo, selain berisi ajaran Shintoo, juga banyak memuat legenda-legenda yang berhubungan dengan dewa-dewa Shintoo dan Budha.

 

Otogizooshi (sejenis dongeng)

Di Zaman Heian ceritera hikayat sangat populer sekali, tetapi pada Zaman Pertengahan hal ini berubah, karena otogizooshi lebih digemari. Dongeng ini banyak mendapat pengaruh dari ceritera-ceritera perang yang seluruhnya berjumlah sekitar 400 sampai 500 buah berupa ceritera pendek yang tidak diketahui dengan jelas siapa pengarangnya.

Isi dongeng ini bermacam-macam, ada yang mengambil contoh dari ceritera roman, ceritera perang, ceritera kepahlawanan seperti Shutensooji, ada yang menggambarkan tentang pendeta seperti Chido Monogatari yang disebut juga Akunoyononaga Monogatari, dongeng pertapa seperti Sanin Hooshi, dongeng tentang hubungan dewa agama Shintoo dengan dewa agama Budha seperti Kumano no Honji, dongeng tentang flora dan fauna yang dilukiskan sebagai manusia seperti Arokassen Monogatari dan lain-lain. Selain itu ada juga yang bersumber dari dongeng rakyat, misalnya Bunshozooshi, Issunbooshi, Hachikazuki dan sebagainya. Karya tulis dongeng ini merupakan pertanda kebangkitan rakyat biasa, dan mempunyai pengaruh sampai dengan kesusastraan zaman berikutnya yaitu Zaman Pra Modern.

Dongeng pada umumnya isinya sangat sederhana dan dangkal, karena berlainan dengan jenis kesusastraan yang berpusat pada monogatari yang pengarang dan pembacanya terbatas dengan kaum bangsawan, dongeng ditulis oleh bangsawan kelas rendah, pertapa dan pedagang. Ruang lingkup para pembaca dongeng pun lebih luas, mulai dari samurai, pendeta, pedagang, hingga rakyat banyak.



Baca : Buku Sejarah Kesusastraan Jepang


Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau