Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
4. Monogatari, Setsuwa dan Otogizooshi
Monogatari
Hikayat masih juga giat ditulis meskipun telah memasuki Zaman
Kamakura, tetapi penulisan ini mempunyai sifat yaitu kecenderungan untuk
mengenang kembali kehidupan kaum istana. Di antaranya banyak karya yang ditulis
panjang lebar, meniru gaya tulisan Genji Monogatari (Hikayat Genji) yang muncul
sebelumnya.
Pada tahap pertama muncullah karya-karya seperti Sumiyoshi
Monogatari (Hikayat Sumiyoshi) Iwashimizu Monogatari (Hikayat Iwashimizu) dan
Matsuranomiya Monogatari (Hikayat Matsuranomiya) dan lain-lain. Ketiga ceritera
ini mempunyai ciri-ciri tersendiri yang cukup menonjol, tetapi selain
karya-karya tersebut hampir semua ceritera yang muncul kemudian terdiri dari
ceritera klasik, dan menghilang pada akhir Zaman Kamakura.
Pada awal Zaman Kamakura muncul sebuah buku kritik dan
komentar terhadap hikayat berjudul Mumyoozooshi yang sangat mengagungkan Genji Monogatari
dan juga memuat kritikan terhadap hikayat yang muncul sesudah itu, yang
diuraikan berdasarkan zamannya. Pada masa mundurnya kesusastraan yang berpusat
pada hikayat ini, yang sangat menarik perhatian adalah munculnya beberapa karya
kritikan yang mencatat tentang sejarah hikayat itu sendiri.
Ceritera Sejarah
Untuk meneruskan langkah-langkah yang dirintis dalam bidang
ceritera sejarah pada zaman sebelumnya, pada permulaan abad pertengahan
ditulislah ceritera sejarah dengan judul Mizukagami. Mizukagami ditulis untuk
melengkapi ceritera sejarah berjudul Ookagami dan Imakagami yang sudah ada
sebelumnya. Dalam Mizukagami dikisahkan ceritera sejak Jinmu Tennoo sampai
Ninmyoo Tennoo sebanyak 54 generasi berikut kronologinya selama 1500 tahun.
Ceritera sejarah yang terakhir adalah Masukagami, yang disebut-sebut sebagai
hasil karya Nijoo Yoshimoto. Masukagami mengisahkan kejadian-kejadian sejak
lahirnya Gotoba Tennoo sampai kembalinya Godaigo Tennoo dari pengasingan di
Pulau Oki ke Kyoto, yang mencakup kisah 15 generasi dan berlangsung selama
kurang lebih 150 tahun. Masukagami adalah karya tulis klasik yang indah dan
bernilai tinggi dan merupakan ceritera sejarah yang bersumber pada keraton, dan
dapat dikatakan mempunyai nilai sejajar dengan Ookagami.
Argumentasi Sejarah
Kemudian muncullah buku berjudul Gukanshoo yang merupakan
kesusastraan sejarah yang berisikan argumentasi sejarah. Selain Gukanshoo
muncul pula buku yang sejenis yaitu Jinnooshootooki. Gukanshoo adalah karya
seorang penyair bernama Jien, mengisahkan bagian-bagian yang penting dalam
sejarah mulai dari Jinmu Tennoo sampai Juntoku Tennoo, dan juga menguraikan
teori sejarah. Tidak seperti lazimnya ceritera-ceritera sejarah yang hanya
menoleh ke belakang saja, di dalam Gukanshoo kita diajak memperhatikan
pergerakan zaman dan membandingkannya dengan keadaan zaman yang sedang
berlangsung, untuk menentukan langkah yang akan diambil bagi masa yang akan
datang. Gukanshoo ditulis dengan mempergunakan bahasa rakyat agar dapat dengan
mudah dimengerti pembacanya. Hal ini sangat berbeda sekali dengan
tulisan-tulisan sebelumnya.
Jinnooshootooki ditulis oleh Kitabatake Chikafusa pada tahun Engen 4 (1339) di Benteng Oda, Hitachi sehubungan dengan naik tahtanya Gomurakami Tennoo pada usia 12 tahun. Empat tahun kemudian dia menyempurnakannya di Benteng Seki. Jinnooshootooki mengisahkan bagian-bagian penting sejarah yang dimulai sejak masa sebelum Jinmu Tennoo sampai naik tahtanya Gomurakami Tennoo termasuk komentar dan kritik. Masa ini diperkirakan lamanya kira-kira 2000 tahun. Buku ini ditulis dengan bersumber pada agama Shintoo yang menerangkan bahwa Jepang merupakan negara yang istimewa, lain daripada negara yang lain.
Dijelaskan juga bahwa Godaigo Tennoo dan Gomurakami Tennoo
adalah dinasty Tennoo yang benar. Dalam hal berpegang pada suatu pendirian yang
tetap untuk menilai sejarah, Jinnooshootooki tidak berbeda dengan Gukanshoo,
yaitu Jinnooshootooki juga menguraikan teori tentang pemerintahan yang
diperuntukkan bagi Tennoo yang masih di bawah umur.
Karya ini memberikan perasaan cinta tanah air kepada pembaca
dan juga merupakan argumentasi sejarah yang memiliki nilai kesusastraan yang
memikat pembaca.
Gunki Monogatari
Gunki Monogatari (ceritera peperangan) sebagai kesusastraan
yang menggambarkan sejarah, dianggap memiliki nilai yang tinggi. Meskipun pada zaman
Heian telah ada Masakadoki yaitu catatan pertempuran yang ditulis dengan Kanbun
(gaya penulisan) dan Konjaku Monogatarishuu (kumpulan ceritera lama) yang
mengandung beberapa bab yang berisi ceritera peperangan, tetapi kedua ceritera
ini belum dapat dikatakan sebagai kesusastraan yang istimewa.
Dengan bertitik tolak dari kedua catatan peperangan tersebut
di atas dan ceritera-ceritera yang bermotif sejarah yang ditulis dengan Wabun
(gaya penulisan Jepang) pada Zaman Kamakura dibuatlah Gunki Monogatari. Ceritera
ini ditulis dengan meminjam beberapa bagian dari ceritera yang sedang populer
di kalangan rakyat banyak.
Beberapa ceritera yang termasuk dalam Gunki Monogatari
antara lain adalah Hoogen Monogatari (hikayat Hoogen), Heiji Monogatari
(Hikayat Heiji), Heike Monogatari (Hikayat Heike), Taiheiki (Hikayat Taihei),
Soga Monogatari (Hikayat Soga) dan Gikeiki (Hikayat Gikei).
Hoogen Monogatari dan Heiji Monogatari
Hoogen Monogatari dan Heiji Monogatari masing-masing terdiri
dari tiga jilid, ditulis pada permulaan Zaman Kamakura. Kedua ceritera ini
tidak diketahui siapa pengarangnya. Hoogen Monogatari menggambarkan
Pemberontakan Hoogen (1156) dan Heiji Monogatari menggambarkan Pemberontakan
Heiji (1159), yang dapat dikatakan sebagai permulaan sejarah politik samurai,
karena menggambarkan kelemahanan dan keruntuhan kaum bangsawan serta bangunnya
kekuatan kaum samurai.
Yang menjadi pahlawan dalam Hoogen Monogatari adalah seorang
samurai bernama Minamoto no Tametomo, dan pahlawan dalam Heiji Monogatari
adalah Akugenda Yoshihira, keduanya dilukiskan sangat berani dan gagah perkasa.
Kedua ceritera ini melukiskan gambaran manusia baru yaitu kaum samurai,
berlainan dengan ceritera-ceritera sebelumnya yang hanya menggambarkan kaum
bangsawan. Pengarangnya dengan indahnya melukiskan perpaduan antara semangat
kepahlawanan pada waktu pertemuan dan kesedihan setelah peperangan berakhir.
Kelemahannya ialah, tokoh ceritera yang menggerakkan tersebut tidak disorot
dengan lebih terperinci, dan struktur ceriteranya juga kurang teratur.
Kelemahan-kelemahan ini membuat kedua ceritera ini masih berada di bawah Heike
Monogatari.
Heike Monogatari
Heike Monogatari biasanya terdiri dari 12 jilid yang
ditambah dengan Kanjoo no Maki, sehingga menjadi 13 jilid, tetapi selain itu
ada juga buku yang terdiri dari 6 jilid, 12 jilid dan 20 jilid. Selain bentuk
seperti itu ada juga buku bernama Genpei Joosuiki (ceritera tentang masa jaya
dan hancurnya Genji dan Heishi) yang berjumlah 48 jilid. Mungkin aslinya
terdiri dari 3 jilid yang dibuat pada permulaan Zaman Kamakura, tetapi sejalan
dengan perkembangan zaman diperkirakan makin lama makin bertambah banyak.
Mengenai pengarangnya terdapat beberapa pendapat, tetapi dugaan yang paling
kuat adalah Shinano no Zenji Yukinaga, seperti yang tertulis dalam Tsurezure
Gusa bagian ke-226.
Yukinaga adalah seorang bangsawan yang mempunyai pengetahuan
luas dan bekerja pada Gotobain. Setelah Yukinaga menjadi pendeta dengan bantuan
Tendai Zashu no Jien, Ia menulis Heike Monogatari. Akan tetapi karena Yukinaga
kurang mengerti tentang samurai dan peperangan, lalu ia meminta seorang pendeta
buta bernama Shoobutsu yang lahir dan dibesarkan di Tokyo untuk
mempelajarinya langsung dari para samurai itu sendiri. Oleh karena itu, Heike
Monogatari adalah hasil kerjasama antara sastrawan dari keluarga bangsawan yang
sudah menjadi pendeta agama Budha yaitu Yukinaga dan seniman yang berasal dari
rakyat jelata yaitu Shoobutsu yang mempunyai hubungan erat dengan kaum samurai
yang sedang berkuasa. Dalam isi ceritera terlihat pula hubungan yang erat
dengan agama Budha.
Selain terdapat perpaduan yang harmonis antara penggambaran
sejarah menurut kronologi dan jenisnya, Heike Monogatari menceriterakan juga
tentang berdiri dan runtuhnya Keluarga Heike. Dari bagian permulaan sampai
jilid ke-6 yang menjadi tokoh utama adalah Taira no Kiyomori dan sebagai tokoh
kedua ditempatkan anaknya yaitu Shigemori. Disini digambarkan kesetiaan
Shigemori terhadap ayahnya, dan juga pergerakan pendeta, bangsawan dan samurai
yang tidak senang kepada Keluarga Heike.
Setelah Kiyomori meninggal seperti yang ditulis pada jilid
ke-6, kemudian sampai jilid ke-8 yang menjadi pusat pembicaraan adalah
penyerangan Kiso Yoshinaka ke Kyoto pada tahun 1180 dan kekalahan Keluarga
Heike yang kemudian melarikan diri ke Barat. Empat jilid berikutnya yaitu
jilid ke-9 sampai ke-12 menceriterakan peperangan antara Genji dan Heike yang
berakhir dengan musnahnya Keluarga Heike.
Dalam Kanjoo no Maki diceriterakan tentang Kenreimonin, seorang
pendeta wanita anak Kiyomori, dan pandangan-pandangannya terhadap masa yang
akan datang, setelah peperangan antara Keluarga Genji dan Heike berakhir.
Selain menggambarkan nasib keluarga Heike, yang menjadi
latar belakang ceritera ini adalah pemikiran-pemikiran agama Budha. Pada bagian
permulaan, yaitu dalam Gionshooja, pengarang memusatkan ceritera pada
kejadian-kejadian di dunia yang selalu berubah-ubah. Kehidupan manusia
diibaratkan sebagai roda yang sedang berputar, kadang-kadang naik kadang-kadang
jatuh, seperti runtuhnya Keluarga Heike dan munculnya Keluarga Genji.
Dalam Janjoo no Maki digambarkan tentang pemikiran agama
Budha yang percaya adanya Rokudoo Rinne (Enam Dunia) yaitu Nirwana, Dunia
Manusia, Dunia Setan yang selalu berperang, Dunia Binatang, Dunia Kelaparan,
dan Neraka. Akhir dari ceritera ini menggambarkan kebahagiaan yaitu naiknya
Kenreimonin ke Nirwana.
Seperti lazimnya ceritera peperangan yang lain, Heike
Monogatari menggambarkan kepahlawanan kaum samurai dan kata-kata pujian terhadap
mereka. Selain itu pengarang juga melukiskan sifat perikemanusiaan kaum samurai
di samping sifat keberanian, kekesatriaan dan kepahlawanannya. Juga selain
mengenai kehidupan kaum bangsawan yang penuh kemewahan dan keindahan,
digambarkan juga kehidupan baru kaum samurai yang penuh dengan kegembiraan.
Ceritera yang terdapat dalam Heike Monogatari ini bercorak
ragam, ada yang menggambarkan romantika kehidupan kaum bangsawan, kepahlawanan
kaum samurai dan juga tentang kehidupan rakyat biasa, yang dihiasi dengan
berbagai aspek misalnya cinta, kekuasaan, seni dan lain-lain.
Corak bahasanya juga adalah gabungan antara bahasa Jepang
halus dan kasar dengan gaya bahasa Cina, sehingga membuat susunan kalimatnya
kadang-kadang kurang serasi. Namun ada juga bagian-bagian yang enak didengar
sehingga bolehlah dikatakan merupakan karya sastra campuran gaya kalimat Jepang
dan Cina yang baik.
Ceritera-ceritera ini biasanya disajikan oleh pendeta Budha
yang buta. Penyajian seperti ini disebut Heikyoku. Dalam kenyataannya masyarakat
lebih senang mendengar dari pada membaca ceritera ini, yang dibawakan dengan
gaya deklamasi. Ceritera yang ada dalam Heike Monogatari ini dapat juga disebut
sebagai seni rakyat zaman pertengahan, yang mempunyai pengaruh besar pada
kesusastraan setelah Zaman Kamakura.
Di bawah ini adalah petikan dari Heike Monogatari jilid ke-7
berjudul Fukuhara Ochi, yang isinya antara lain sebagai berikut,
Akenureba Fukuhara no dairi ni hi wo kakete, shujoo wo hajime tatematshurite hitobito minna onfune ni mesu. Miyako wo tachishi hodo koso nakaredomo, kore mo nagori wa oshikarikeri. Ama no taku mo no yuukemuri, onoe no shika no akatsuki no koe, nagisa ni yosuru nami no oto, sode nih yadokaru tsuki no kage, chigusa ni sudaku shitsusotsu no kirigirisu, subete me ni mie mimi ni fururu koto hitotsu to shite aware wo moyohoshi, kokoro wo itamashimezu to iu koto nashi.
Kinoo wa Tookan no fumoto ni kutsuwami wo narabete juuman yoki. Kyoowa saikai no nami ni tomozuna wo toite nana senyonin unkai chinchin to shite seiten sude ni kurenan to su. Kotoo ni sekibu hedatete, tsuki kaijoo ni ukaberi, gyokuho no nami wo wake, shio ni hikarete iku fune wa, hanten no kumo ni sakanoboru. Hi kazoureba, miyako wa sude nisansen hodo wo hedatete, kumoi no yoso nizo nari ni keru. Harubaru kinu to omou ni mo, tada tsukisenu mono wa namida nari. Nami no ue ni shiroki tori no mureiru wo mitamaite wa, kare naran, Arihara no nanigashi no Sumidagawa nite koto toiken, na mo mutsumashiki miyakodori niya to aware nari. Juei ninen shichigatsu nijuugonichi ni, Heike miyako wo ochihatenu.Setelah malam tiba, Genji membakar istana Heike yang terletak di Fukuhara, dan semua bangsawan istana lari meninggalkan istana dengan perasaan sedih. Mereka meninggalkan istana dengan menaiki kapal yang berlabuh di tepi pantai di depan istana. Hati mereka sedih, teringat pada waktu mereka memasuki istana dua tahun yang lalu. Pada waktu melarikan diri, mereka sedih mengenang kehidupan indah waktu berada di istana. Ketika malam makin larut, kelihatan asap datang dari arah nelayan yang merebus rumput laut. Waktu pagi telah tiba di sekitar istana kedengaran bunyi rusa melengking dan deru ombak memecah di tepi pantai. Air mata yang bercucuran jatuh ke lengan baju, memantulkan sinar bulan purnama. Dari balik rerumputan terdengar bunyi jangkrik. Alangkah sedihnya kalau mengenang peristiwa itu kembali.
Kemarin 100ribu samurai telah berkumpul di atas punggung kuda di kaki gunung Tookan dan bersiap-siap untuk maju ke medan perang, tetapi hari ini 7000 orang lebih melarikan diri di atas kapan di Laut Barat. Awan dan laut tenang di keheningan malam, malam yang seolah-olah turut bersedih atas peristiwa ini. Pulau-pulau tertutup kabut, namun bulan memancarkan cahayanya. Kapal melaju menuruti arus pasang surut, seakan mau bertemu dengan awan. Dengan tidak disadari berhari-hari telah berlalu dan ibukota sudah tidak kelihatan lagi. Kalau semuanya dikenang, air mata bercucuran. Waktu pandangan ditujukan ke laut sekawanan burung sedang beterbangan. Mungkin burung itulah yang disebut Miyakodori (Burung Ibukota), seperti diceriterakan waktu Arihara no Narihira mengunjungi Kali Sumide di Tookyoo. Mendengar nama burung ini perasaan rindu akan ibukota yang sudah ditinggalkan muncul kembali. Pada tanggal 25 Juli tahun Juei 2 (1183 M), Heike terpaksa meninggalkan Kyooto karena kalah perang.
Taiheiki
Ada sebuah buku yang disebut Sibu Kassenjoo yang merupakan
kumpulan dari buku-buku Hoogen Monogatari, Heiji Monogatari, Heike Monogatari
dan Jookyuuki. Buku Jookyuuki menceriterakan tentang peristiwa Jookyuu yaitu
kudeta yang berhasil yang dilaksanakan oleh Godaigo Tennoo terhadap
pemerintahan Kamakura. Setelah Shibu Kassenjoo ini diterbitkan, maka muncullah
sebuah buku berjudul Taiheikei dalam 40 jilid, yang menceriterakan tentang
peperangan antara Kerajaan Utara dan Kerajaan Selatan di Kyooto. Buku ini dapat
dikatakan setaraf dengan Heike Monogatari yang melukiskan ceritera-ceritera
kepahlawanan.
Buku Taiheiki baru selesai ditulis pada tahun 1371. Secara
resmi pengarangnya adalah Kojima Hooshi, akan tetapi apakah karangan itu
berasal dari penyelidikan sendiri atau saduran dari buku-buku lain, tidak dapat
dipastikan. Taiheiki terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama
menceriterakan sampai Kenmuchuukoo atau berdirinya pemerintahan Godaigo Tennoo
setelah berhasil menjatuhkan pemerintahan Kamakura, bagian kedua mengisahkan
kejadian-kejadian sampai meninggalnya Godaigo Tennoo pada tahun 1339, dan
bagian ketiga yang menceriterakan peristiwa sampai pemerintahan Jenderal
Yoshimitsu.
Dalam bagian pertama mengisahkan suka-duka waktu
mengembalikan kekuasaan ke tangan Tennoo, yang ditulis dengan teratur.
Bagian kedua dan ketiga mengisahkan peperangan yang ditulis
tidak teratur dan kurang terarah. Pengarang buku Yaiheiki bermaksud menonjolkan
sifat egoisme manusia pada waktu terjadi kekacauan. Dia juga mengeritik
aspek-aspek sosial yang timbul akibat peperangan yang disorotinya melalui
ajaran moral Konfusianisme, sehingga kelihatan sedikit agak kaku. Gaya bahasa
yang digunakan merupakan campuran gaya bahasa Cina dan Jepang, akan tetapi gaya
bahasa Cinalah yang lebih dominan yang mengakibatkan bahasanya kurang luwes.
Kalau dibandingkan dengan Heike Monogatari, gaya bahasa yang digunakan dalam
Taiheiki kurang puitis, tetapi kejadian demi kejadian yang terjadi selama 50
tahun ditulis dengan terperinci. Selain itu pengarang buku Taiheiki zaman
Nanbokuchoo ini menampilkan pandangan baru yang tajam engan melukiskan kritikan
rakyat terhadap pemerintahan yang tidak beres dan juga melukiskan
kejelekan-kejelekan manusia pada masa itu.
Soga Monogatari dan Gikeiki
Sejak keluarnya buku Taiheiki ini sampai Zaman Muromachi,
banyak juga diterbitkan buku lain yang bertemakan peperangan di daerah-daerah.
Tetapi yang paling bermutu di antaranya adalah ceritera yang cenderung disebut
sebagai Eiyuu Denki Monogatari (Biografi Para Pahlawan). Pada zaman ini
ceritera-ceritera kepahlawanan sangat disenangi orang, di antaranya adalah
legenda kepahlawanan Soga Bersaudara dan Minamoto Yoshitsune. Buku tentang Soga
Bersaudara ini ditulis dalam Soga Monogatari dan tentang kepahlawanan Minamoto
Yoshitsune ditulis dalam buku berjudul Gikeiki. Pengumpulan dan pengolahan
ceritera kepahlawanan dalam kedua buku tersebut dimulai sejak Zaman Kamakura
sampai pada permulaan Zaman Muromachi.
Ceritera yang diuraikan dalam Soga Monogatari bertemakan
pembalasan dendam yang dijiwai semangat samurai Kantoo (daerah Tookyoo
sekarang), dan dibumbui dengan ajaran-ajaran agama Budha. Sebaliknya Gikeiki
menonjolkan perasaan belas-kasihan yang keluar dari perasaan kemanusiaan,
dengan berlatar-belakang kehidupan Yoshitsune pada masa kanak-kanak dan pada
masa tuanya, suatu kehidupan yang menonjolkan dua ruang lingkup yang berlainan.
Kedua ceritera tersebut di atas berhasil menarik perhatian masyarakat yang
sudah mulai jenuh dengan ceritera peperangan, dan berhasil membuka era baru
bagi ceritera-ceritera kepahlawanan.
Setsuwa
Legenda yang sejenis dengan Konjaku Monogatarishuu masih
terus ditulis sampai Zaman Pertengahan seperti Ujishuui Monogatari,
Kokonchomonjuu, Jikkinshoo dan lain-lain. Dalam Ujishuui Monogatari ditulis
legenda tentang setan yang mengambil benjolan dari kepala, burung gereja
membalas budi dan lain-lain. Legenda seperti ini sangat menarik dan merupakan
contoh-contoh legenda Zaman Pertengahan. Antologi legenda agama Budha yang
ditulis oleh pendeta dan pertapa di antaranya terdapat Hoobutshushuu yang
ditulis oleh Taira no Yasuyori, Hosshinshuu yang ditulis oleh Kamo no Choomei
dan lain-lain. Mujuu juga banyak menulis legenda yang diceriterakannya sambil
mengajarkan agama Budha, misalnya Shasekishuu. Semuanya ini membawa angin baru
bagi legenda rakyat hingga Zaman Pra Modern. Buku Shintooshuu yang disusun pada
Zaman Nanbokuchoo, selain berisi ajaran Shintoo, juga banyak memuat
legenda-legenda yang berhubungan dengan dewa-dewa Shintoo dan Budha.
Otogizooshi (sejenis dongeng)
Di Zaman Heian ceritera hikayat sangat populer sekali,
tetapi pada Zaman Pertengahan hal ini berubah, karena otogizooshi lebih
digemari. Dongeng ini banyak mendapat pengaruh dari ceritera-ceritera perang
yang seluruhnya berjumlah sekitar 400 sampai 500 buah berupa ceritera pendek
yang tidak diketahui dengan jelas siapa pengarangnya.
Isi dongeng ini bermacam-macam, ada yang mengambil contoh
dari ceritera roman, ceritera perang, ceritera kepahlawanan seperti
Shutensooji, ada yang menggambarkan tentang pendeta seperti Chido Monogatari
yang disebut juga Akunoyononaga Monogatari, dongeng pertapa seperti Sanin
Hooshi, dongeng tentang hubungan dewa agama Shintoo dengan dewa agama Budha
seperti Kumano no Honji, dongeng tentang flora dan fauna yang dilukiskan
sebagai manusia seperti Arokassen Monogatari dan lain-lain. Selain itu ada juga
yang bersumber dari dongeng rakyat, misalnya Bunshozooshi, Issunbooshi,
Hachikazuki dan sebagainya. Karya tulis dongeng ini merupakan pertanda
kebangkitan rakyat biasa, dan mempunyai pengaruh sampai dengan kesusastraan zaman
berikutnya yaitu Zaman Pra Modern.
Dongeng pada umumnya isinya sangat sederhana dan dangkal,
karena berlainan dengan jenis kesusastraan yang berpusat pada monogatari yang
pengarang dan pembacanya terbatas dengan kaum bangsawan, dongeng ditulis oleh
bangsawan kelas rendah, pertapa dan pedagang. Ruang lingkup para pembaca
dongeng pun lebih luas, mulai dari samurai, pendeta, pedagang, hingga rakyat
banyak.
Baca : Buku Sejarah Kesusastraan Jepang
Comments
Post a Comment