Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
2. Pantun Waka dan Pantun Renga
Shinkokinshuu
Awal Zaman Kamakura merupakan masa keemasan bagi kelompok
penyair pantun. Pada masa ini diselenggarakan secara meriah Roppyakuban
Utaawase (600 buah kombinasi pantun) pada tahun ke-4 Kenkyuu (1193) dan
Sengohyakuban Utaawase (1500 buah kombinasi pantun) pada tahun pertama Kennin
(1201) serta kombinasi pantun lainnya. Bekas Kaisar Gotoba yang sangat
menyenangi Waka memerintahkan kepada 6 orang penyair yaitu Minamoto no
Michitomo, Fujiwara no Ariie, Fujiwara no Teika, Fujiwara no Ietaka, Fujiwara
no Masatsune dan Jakuren (meninggal tahun berikutnya) pada tahun pertama Kennin
(1201) untuk menyusun pantun-pantun pilihan. Kemudian usaha mereka ini
menghasilkan Shinkokin Wakashuu pada tahun ke-2 Genkyuu (1205). Bekas Kaisar
Gotoba setelah itu rupanya masih menambah dan mengurangi isi kumpulan pantun
ini.
Shinkokin Wakashuu seluruhnya berjumlah 20 jilid yang
ditulis dengan huruf Kana dan Kanji, susunannya dianggap sangat teratur
dibandingkan dengan kumpulan-kumpulan pantun yang ada sebelumnya. Gaya utama
yang diterapkan dalam buku ini adalah gaya Yuugen (gaya abstrak dan halus) yang
dirintis oleh Fujiwara Shunzei dan gaya Ushin (gaya yang mendekati realisme)
yang dirintis oleh Fujiwara Sadaie (anak Fujiwara Shunzei). Diantara
pantun-pantun tersebut banyak yang memiliki nilai-nilai seni yang tinggi.
Pantun ini banyak yang selesai dalam bait pertama, bait
ketiga dan ada juga yang ditutup dengan kata-kata subyek saja. Bentuk
kalimatnya banyak mempergunakan sisipan yang berfungsi sebagai penghalus
kalimat. Penyusunan kata-kata diatur sedemikian rupa disesuaikan dengan situasi
dan kondisi yang dapat menggugah hati pembaca. Biarpun judul pantun makin
bertambah, mungkin karena sempit dan kurangnya pengalaman penyair pada masa
itu, para penyair cenderung meminjam kata-kata lama yang sudah mapan suatu
ekspresi dalam pantun barunya. Konsep pemikiran seperti ini disebut : Kotaba wa
furuki o tatobi, kokoro wa atarashi kare. Konsep seperti inilah yang membuat
Honkadori sangat populer di antara para penyair. Yang dimaksud dengan Honkadori
adalah, berdasarkan pantun lama digubah pantun baru dengan memberi bumbu
suasana kehidupan dan kesegaran. Dalam pembaharuan pantun-pantun ini ada
hubungannya dengan kenangan kembali masa lalu dan berusaha menghidupkannya
kembali, tetapi banyak kemungkinan membuat pantun tersebut menjadi pantun
tiruan.
Penyair Shinkokinshuu ini terutama terdiri dari
penyair-penyair kenamaan seperti Saigyoo, Jien, Fujiwara no Yoshitsune,
Fujiwara Shunzei, Shokushinai Shinnoo, Fujiwara Teika, Fujiwara no Ietaka,
Jakuren dan bekas Kaisar Gotoba. Di antara para penyair ini, Jien adalah
pendeta Budha aliran Tendai dan adik Kanpaku (semacam perdana menteri) bernama
Kujoo Kanezane. Selain itu Fujiwara no Yoshitsune anak Kujoo Kanezane adalah
bangsawan tinggi pejabat Kaisar yang mendapat gelar Gokyoogoku Sessyoo.
Bersama-sama dengan bekas Kaisar Gotoba, kedua orang ini adalah penyair ulung,
pencinta dan pelindung Waka.
Fujiwara Teika
Fujiwara Teika adalah anak Fujiwara Shunzei. Dia
meninggalkan sebuah catatan harian dalam Kanbun (bahasa Jepang yang ditulis
mengenai gaya bahasa Cina dan semuanya memakai huruf Kanji) yang berjudul
Meigekki. Dari catatan harian ini kita dapat mengetahui sifat-sifatnya yang
egois, berambisi tinggi, cepat marah dan tidak tenang. Gaya khas yang menonjol
dalam pantun yang digubahnya adalah gaya Ushin. Selain itu dia juga sering
membumbui pantunnya dengan unsur-unsur yang melkuiskan kegairahan dengan
rangkaian kata-kata yang halus, kendati apa yang dilukiskannya tersebut hanya
berdasarkan khayalan belaka.
1.
Haru no yo no (5)
Satu pagi musim semi
Yume no ukihashi (7) Ketika aku menengadah ke langit
Todae shite (5)
Setelah terbangun dari mimpi hampa
Mine ni wakaruru (7) Gumpalan awan memanjang
Yokogumo no sora (7) Menjauhi gunung tenang melayang
2.
Tamayura no (5)
Ketika aku menangis rindu
Tsuyu mo namida mo (7) Rindu ibuku yang telah tiada
Todomarazu (5)
Angin musim gugur bertiup melaju
Nakihito kouru (7) Menggugurkan embun di daun
rumput
Yado no akikaze (7) Lenyap senyap entah kemana
(dikarang
oleh Fujiwara Teika, dimuat dalam Shinkokinshuu)
Selain menulis pantun, Fujiwara Teika menulis juga tentang
teori-teori pantun yang dikumpulkan dalam buku Kindai Shuuka dan Eika Taigai.
Pada hari tuanya dia menulis buku penelitian mengenai Genji Monogatari, suatu
karya yang meneliti kesusastraan klasik Jepang. Buku yang memuat kumpulan
pantun yang digubahnya berjudul Shuuigusoo.
Fujiwara Ietaka
Fujiwara Ietaka yang dapat disejajarkan dengan Fujiwara
Teika belajar membuat pantun dari Fujiwara Shunzei. Dia mempunyai sifat yang
baik, ramah dan terus terang. Ketika Kaisar Gotoba dibuang ke Pulau Oki dekat
Kyuushuu karena mencoba mengadakan kudeta, Fujiwara Ietaka terus mengadakan hubungan
dengan berkirim-kiriman pantun, karena bekas Kaisar Gotoba telah menjadikannya
sebagai orang yang dapat dipercaya.
Ciri-ciri khas pantunnya adalah nyata dan terus terang, baik
dalam cara menganalis satu persoalan maupun cara mengungkapkannya. Gaya pantunnya
menarik, memberikan cahaya dan harapan karena dia banyak mengambil kiasan
tentang bulan. Tema yang ditonjolkannya adalah sifat-sifat tenang dan jernih
seakan-akan tidak bernoda. Kumpulan pantun yang dikarangnya disebut Minishuu.
Ikusato ka (5)
Angin musim semi
Tsuki no hikari mo (7)
Bertiup membawa keharuman
Niou ramu (5)
Bunga ume di lereng gunung
Ume saku yama no (7)
Dan menyebar ke desa-desa
Mine no haru kaze (7)
Nan bermandikan cahaya bulan
(dari
Shinchokusenshuu)
Selain dari penyair pria yang disebutkan di atas, ada juga
beberapa penyair wanita pada zaman ini, antara lain ialah Shikishi Naihinnoo
(putri Kaisar), Shunzei no Musume (putri Fujiwara Shunzei) dan Kunaikyoo.
Tama no o yo (5)
Daripada hidup tiada arti
Taenaba taene (7)
Tiada cita tiada cinta
Nagaraeba (5)
Biarlah hidupku berakhir
Shinoburu koto no (7)
Biarlah aku pergi
Yowari mo zo suru (7)
Aku tak kuasa lagi
(dikarang
oleh Shikishi Naishinnoo)
Kaze kayou (5)
Satu malam di musim semi
Nezame no sode no (7)
Aku terbangun dari mimpi
Hana no ka ni (5)
Mendengar gemerisik angin bertiup
Kaouru makura no (7)
Menaburkan kelopak bunga di pembaringan
Haru no yo no yume (7)
Membuat bantal berbau wangi
(dikarang
oleh Shunzei no Musume)
Usuku koki (5)
Kalau memandang ke padang rumput
Nobe no midor no (7)
Pada awal musim semi
Wakakusa ni (5)
Pucuk muda mulai tumbuh
Ato made miuru (7)
Segar indah mempesona
Yuki no mura kie (7)
Di sela-sela salju yang mencair
(dikarang
oleh Kunaikyoo)
Minamoto no Sanetomo
Di antara para penyair yang hidup pada permulaan Zaman
Kamakura, terdapat seorang penyair yang berbeda dengan penyair lainnya karena
dia adalah Jenderal ke-3 pemerintahan Kamakura Bakufu. Dari mudanya dia sangat
mencintai kebudayaan yang berpusat di Kyoto. Dia adalah murid Fujiwara Teika.
Minamoto no Sanetomo memiliki perasaan yang sangat peka dan sangat mengagumi
Man yooshuu, sehingga pantun yang ditulisnya banyak sekali dipengaruhi
keindahan dan kelembutan gaya bahasa Man yooshuu tersebut. Kumpulan pantun
berjudul Kinkai Wakashuu ditulisnya ketika masih berumur 22 tahun. Ekspresi
yang diterimanya dari Manyooshuu dan dituangkannya dalam Kinkai Wakashuu sangat
berbeda dengan ekspresi Shikkokinshuu yang ada di Kyoto. Karena itulah
pantun-pantun yang terdapat dalam Kinkai Wakashuu ini menempati posisi penting
dalam sejarah pertumbuhan seni pantun di Jepang.
Ooumi no (5)
Ombak besar yang menerpa
Iso no todoro ni (7)
Batu karang di pinggir pantai
Yosuru nami (5)
Remuk redam berkeping-keping
Warete kudakete (7)
Dan menjadi buih-buih
Sakete chirukamo (7)
Lenyap menghilang entah ke mana
(dari
Kinkai Wakashuu)
Hakoneji o (5)
Setelah melalui jalan mendaki
Waga koekureba (7)
Jalan di lereng Gunung Hakone
Izu no umi ya (5)
Nun jauh di sana terbentang Laut Izu
Oki no kojima ni (7)
Dan ombak seakan kejar-mengejar
Nami no yoru miyu (7)
Menuju pulau di tengah laut
(dari
Kinkai Wakashuu)
Beberapa kumpulan pantun setelah Shinkokinshuu
Sesudah peristiwa Kookyuu no Ran pada tahun 1221, yaitu
peristiwa diadakannya kudeta yang tidak berhasil oleh bekas Kaisar Gotoba
terhadap pemerintahan Kamakura, Kaisar Jookyuu memerintahkan Fujiwara Teika
untuk mengumpulkan pantun-pantun yang penting. Kumpulan pantun yang disusun
oleh Fujiwara Teika tersebut diberi nama Shinchokusen Wakashuu, yang gayanya
berbeda dengan Shinkokinshuu. Pantun-pantun dalam Shinchokusen Wakashuu isinya
lebih mendalam, gaya bahasanya mudah dimengerti dan tidak terikat pada teknik
tertentu. Hal ini disebabkan pengaruh bangsawan bertambah lemah dan minat
Fujiwara Teika sendiri yang sangat besar terhadap gaya pantun seperti itu.
Fujiwara Teika mempunyai anak pertama Tameie yang mengikuti
jejak ayahnya menggubah pantun dengan gaya bahasa yang sama. Dia juga menjadi
editor kumpulan pantun Shokugosen Wakashuu dan lain-lain. Tameie mempunyai tiga
orang putra yaitu Tameuji, Tamenori dan Tamesuke. Ketiga orang ini
masing-masing membentuk kumpulan penyair yang disebut Nijoo, Kyoogoku dan
Reizei. Di antara ketiga kumpulan penyair ini, Nijoo-lah yang mengikuti gaya
ayahnya karena menganggap paling baik dan klasik, sedangkan Kyoogoku dan Reizei
mengembangkan gaya yang baru. Kumpulan penyair Nijoo selalu bertentangan dengan
kedua aliran ini. Di antaranya yang sangat bertentangan adalah aliran Nijoo
Tameyo dengan aliran Kyoogoku Tamekane.
Ada sebanyak 13 kumpulan pantun yang disusun berdasarkan
perintah Kaisar sejak munculnya Shinchokusen Wakashuu pada pertengahan Zaman
Kamakura (kira-kira tahun 1232) sampai kumpulan pantun Shinzoku Kokin Wakashuu
yang disusun pada awal Zaman Muromachi (kira-kira tahun 1439). Kumpulan pantun
yang berjumlah 13 ini dikenal dengan nama Jusandaishuu. Selain Gyokuyoo
Wakashuu dan Fuga Wakashuu, hampir semua pantun yang ada dalam Jusandaishuu ini
ditulis oleh Nijoo.
Kumpulan penyair yang lain, pada masa ini sangat dipengaruhi
oleh kumpulan penyair Nijoo yang memiliki gaya klasik dan monoton. Karena itu,
bersamaan dengan pudarnya pengaruh penyair yang berasal dari kaum bangsawan,
maka perkembangan dunia pantun pun menjadi menurun.
Gyokuyooshuu dan Fugashuu
Atas perintah bekas Kaisar Fushimi, seorang penyair bernama
Kyoogoku Tamekane menyusun pantun yang kemudian dinamakan Gyokuyooshuu. Dia
berbeda pendapat dengan Nijoo yang memiliki gaya klasik dan monoton dan pada
umumnya kurang menarik. Tamekane yang menganut aliran realis mengeritik aliran
Nijoo yang mengharuskan penggunaan kata-kata tertentu dalam pantunnya.
Kyoogoku Tamekane merupakan pelopor penggunaan gaya bahasa
Man yooshuu, namun biarpun demikian dia tetap mengindahkan kaidah-kaidah dan
gaya yang terdapat dalam kumpulan pantun Shinkokinshuu. Gaya bahasa seperti itu
merupakan gaya bahasa yang baru yang membebaskan diri dari ketentuan lama.
Pantun-pantun yang ada dalam Gyookuyooshuu karangan Tamekane dan pantun-pantun
yang ada dalam Fugashuu karangan bekas Kaisar Hanasono yang belajar dari
Tamekane sendiri dibantu oleh bekas Kaisar Koogon mengekspresikan keadaan alam.
Kedua kumpulan pantun ini tercatat sebagai yang terbaik dalam kumpulan pantun
Juusandaishuu.
Eda ni moru (5)
Cahaya matahari pagi
Asahi no kage no (7)
Yang merembes hanya sedikit
Sukunaki ni (5)
Membuat sangat sejuk
Suzushisa fukaki (7)
Bila berada
Take no oku kana (7)
Di hutan bambu ini
(dikarang
oleh Kyoogoku Tamekane)
Pada zaman Nanbokuchoo (133601392) terdapat empat penyair
pantun Waka yang terkemuka yaitu Tonna, Kenkoo, Jooben dan Kyooun. Mereka
disebut empat besar atau empat raja Waka. Akan tetapi di antara mereka yang
paling menonjol adalah Tonna yang belajar dari Nijoo Tameyo. Kumpulan pantun
hasil karya Tonna yaitu Sooan Wakashuu biarpun mendapat pengaruh dari aliran
Nijoo, tetapi isinya mudah dimengerti sehingga dapat dianggap mewakili pantun
aliran Nijoo pada waktu itu.
Selain itu dapat ditambahkan sebuah kumpulan pantun berjudul
Shinyoo Wakashuu yang disusun oleh Munenaga Shinnoo (Pangeran Munenaga) yang
merupakan pantun yang dikarang oleh bangsawan Dinasti Nanchoo pada masa
peperangan. Oleh karena itu tidak sedikit jumlah pantun yang ada di dalamnya
yang menggambarkan perasaan pengarang yang sesungguhnya.
Shootetsu
Ketika memasuki Zaman Muromachi, pantun Waka lambat laun
mengalami kemunduran dan hampir tidak ada penyair terkenal yang berasal dari
kalangan bangsawan. Hanya penyair yang mengikuti aliran Reizenha seperti
Imagawa Ryooshun, Shootetsu dan Shinkei saya yang pantas mendapat perhatian. Di
antara mereka ini Shootetsulah yang paling menonjol karena memiliki bakat dan
berhasil membuat pantun romantik yang sangat indah. Dia sebenarnya adalah
seorang sekretaris di Kuil Toofukuji yang menganut aliran Rinzaisen di Kyooto.
Mula-mula ia belajar dari Reizei Tametada dan Imagawa Ryooshun, karena sangat
tertarik pada pantun karangan Fujiwara Teika. Selama hidupnya Shootetsu telah
menulis sebanyak 40.000 buah pantun. Dalam kumpulan pantunnya Sookon Wakashuu
terlihat gayanya yang bebas dan tidak terlalu terikat pada ketentuan menggubah
pantun yang ada sebelumnya, meskipun susunannya masih tetap memakai formula
5.7.5.7.7.
Ikusato no (5)
Suasana desa musim semi
Hanadori no ne mo (7)
Matahari lembut bersinar
Kasumi hi no (5)
Bunga membuka kuncupnya
Hikari no uchi ni (7)
Menyambut burung berkicau
Komoru haru kana (7)
Dalam kedamaian
(dari
Sookon Wakashuu)
Pantun Renga Menjadi Populer
Setelah Zaman Nanbokuchoo, pantun Renga mulai populer
menggantikan pantun Waka. Mula-mula susunan Renga terdiri dari dua bait yaitu
bait pertama (5.7.5) yang dibacakan oleh satu orang dan bait kedua (7.7) yang
dibacakan oleh orang lain sebagai jawaban atas bait pertama. Pada waktu itu
Renga disebut juga Tsukuba no michi untuk mengingat sejarah terjadinya Renga,
karena untuk pertama kalinya Renga dibacakan oleh Yamato Takeru no Mikoto di
Sakaori no Miya Propinsi Yamanashi yang berbunyi : Niibari Tsukuba wo sugite
ikuyoka netsuru. (artinya adalah setelah melalui Niibari Tsukuba sudah berapa
malamkah berlalu? Kemudian dijawab oleh Nihitaki, seorang tukang masak tua dari
istana dengan : Kaganabete yo ni wa kokono yo hi ni wa tooka wo. (artinya
adalah, hari-hari berlalu tanpa terasa sudah 9 malam 10 hari). Namun sebenarnya
ini adalah sejenis pantun yang disebut Kata Uta Mondo. Renga yang benar-benar
dianggap merupakan bentuk pertama adalah yang berbunyi : Sahogawa no mizu wo
sekiirete ueshi ta wo (artinya adalah sawah yang pada waktu menanam padi
dialiri dengan membendung Sungai Saho) dibacakan oleh seorang biarawati dan
kemudian dijawab oleh Ootomo no Yakamochi dengan : Karu Wasaii wa hitori
narubeshi (artinya adalah, waktu memotong padi memakan bekal sendiri).
Pada Zaman Heian sebenarnya sudah ada Renga pendek yang
dimuat dalam kumpulan pantun Gosenshuu dan Kinyooshuu, tetapi Renga panjang
barulah dibuat setelah memasuki Zaman Kamakura, Renga yang mulanya berasal dari
pantun Waka yang dicoba membuatnya sambil bermain-main, malah akhirnya
berkembang sampai mengalahkan kepopuleran pantun Waka itu sendiri. Renga
panjang yang biasanya disebut dengan hanya Renga saja susunannya adalah 5.7.5
dan 7.7 berganti-ganti, terdiri dari 50 sampai 100 bait. Meskipun sangat
panjang, setiap dua bait, misalnya bait pertama dengan bait kedua, bait ketiga
dan keempat dan demikian seterusnya, baik arti maupun susunannya saling
berkaitan. Jadi seluruh bait tidak selalu harus berhubungan dan bisa juga
mengalami perubahan. Renga adalah kesusastraan karya beberapa orang yang
dihasilkan pada waktu berkumpul bersama-sama. Umumnya para penyair ini
bergabung dalam satu perkumpulan dan terikat satu sama lain. Populernya jenis
kesusastraan seperti ini mungkin ada hubungannya dengan pola pemikiran yang
berdasarkan keinginan berkelompok dan pola pemikiran yang membebaskan diri dari
keadaan masa lalu maupun masa yang akan datang.
Nijoo Yoshimoto
Tokoh yang sangat berjasa mempopulerkan Renga adalah Nijoo
Yoshimoto. Ia adalah seorang politikus yang berasal dari keluarga bangsawan
tinggi pada Dinasti Hokuchoo, tetapi biarpun demikian, berkat pengetahuannya
yang dapat diandalkan dalam bidang kesusastraan klasik karena belajar dari
Tonna, dia mencoba untuk menghidupkan kembali pantun Waka, terutama Renga. Lalu
dia mengumpulkan para penyair Jige (penyair yang dianggap termasuk dalam kelas
rendah) bersama-sama dengan penyair Gusai untuk membuat Renga. Pada tahun Enbun
I (1356) mereka menerbitkan kumpulan pantun Renga yang pertama berjudul Tsukuba
Mondoo, bersama-sama Gusai ia menetapkan peraturan-peraturan baru penulisan
Renga yang dimuat dalam buku berjudul Renga Shinshiki. Gusai adalah murid
Zenna, yang merupakan penyair pantun Renga terkemuka dalam zaman Nanbokuchoo.
Populernya kesusastraan yang berdasarkan atas kerjasama kaum bangsawan dan
penyair kelas rendah yang berasal dari masyarakat yang disebut Jige seperti ini
merupakan hal yang perlu diperhatikan.
Shinkei
Pada awal Zaman Muromachi pantun Renga kehilangan pamornya
untuk sementara. Pada masa itu hanya muncul seorang tokoh yang bernama Bontoo
Anshu (Asayama Morotsuna). Tetapi setelah itu muncullah kembali penyair-penyair
Renga seperti Takayama Soozei, Shinkei dan lain-lain sehingga menyebabkan Renga
menjadi populer kembali. Shinkei belajar membuat Waka dari Shootetsu, kemudian
mengkhususkan diri dalam penulisan Renga. Ia memberi ciri-ciri khas pada
kesusastraan Renga pada masa itu, antara lain karyanya Sasamegoto merupakan
karya yang berbau filsafat yang memadukan secara sinkronis unsur-unsur Waka,
Renga dan Butsudoo (ajaran agama Budha).
Soogi
Pada masa pemberontakan Oonin (1467-1477) muncullah seorang
tokoh Renga bernama Soogi yang berguru pada Soozei dan Shinkei. Tokoh Soozi
inilah yang membawa Renga sampai mencapai puncak zaman keemasannya. Ia
mempunyai hubungan yang erat dengan seorang sastrawan dari keturunan bangsawan
bernama Sanjoo Nishi Sanetaka, dan dengan bantuan seorang tokoh lain bernama
Kensai, pada tahun Meioo 4 (1495) ia berhasil menyelesaikan kumpulan Renga yang
diberi nama Shinsen Tsukubashuu. Shinsen Tsukubashuu ini sama seperti Tsukubashuu
ditunjuk sebagai karya sastra pilihan Kaisar.
Soogi adalah seorang sastrawan pengembara seperti Saigyoo.
Ia mengadakan perjalanan keliling, selain untuk memuja dan menikmati keindahan
alam, juga untuk menyebarkan kesusastraan.
Renga yang bermutu yang berhubungan dengan Soogi cukup
banyak, antara lain Yuyama Sangin, tetapi yang terbaik di antaranya adalah
Minase Sangin Hyakuin yang digubah bersama-sama dengan Shoohaku dan Soochoo.
Contoh Renga di bawah ini adalah bagian awal dari Minase
Sangin Hyakuin yang dibawakan oleh Soogi, Shoohaku dan Soochoo.
Yuki nagara yamamoto kasumu yuube
kana (oleh Soogi)
Yuku mizu tooku yume niou sato (oleh
Shoohaku)
Kawakaze ni hitomura yanagi haru
miete (oleh
Soochoo)
Fune sasu oto mo shiruki akegata (oleh
Soogi)
Tsuki ya nao kiri wataru yo ni
nokoruran (oleh
Shoohaku)
Shimo oku nohara aku wa kurekeri (oleh
Soochoo)
Naku mushi no kokoro tomo naku kusa
karete (oleh Soogi)
Kakine wo toeba arawa naru michi (oleh
Shoohku)
Di puncak gunung masih terlihat ada salju, tetapi di kaki gunung secara samar-samar sudah terlihat datangnya musim semi. Di kaki gunung mengalir sungai ke tempat jauh, di desa di pinggirnya tercium bau bunga plum. Melihat daun sekelompok pohon willow bergoyang ditiup angin di pinggir sungai, terasalah musim semi sudah tiba. Bunyi dayung perahu yang berlayar di sungai di waktu fajar menyingsing terdengar jelas sekali. Namun pada malam berkabut yang segera akan menjadi terang itu, masih terlihat wajah sang rembulan. Melihat di padang rumput turun embun yang membeku, terasalah sebentar lagi musim dingin akan tiba. Tanpa menghiraukan jeritan serangga, rumputpun mengering satu demi satu. Bila berkunjung ke rumah teman, kita akan melalui jalan yang kotor karena rumputnya sudah mati.
Setelah Soogi meninggal, walaupun Renga makin populer juga,
tetapi bentuknya sudah tetap dan tidak pernah berkembang lagi. Penyair yang
menonjol pada masa ini adalah Shoohaku, Soochoo dan Sooseki. Kemudian pada Zaman
Azuchi Momoyama muncul seorang tokoh Renga bernama Satomura Jooha yang
meneruskan Renga sampai Zaman Edo.
Haikai no Renga
Renga sebenarnya merupakan suatu permainan kata-kata
berbentuk pantun yang berasal dari Waka. Oleh karena itu, pada tahap permulaan
cara membuatnya masih bersifat bebas dan di dalamnya terdapat unsur kelucuan
dan kecerdasan. Tetapi lama kelamaan berkembang menjadi salah satu jenis
kesusastraan yang sungguh-sungguh, dan cara pembuatannya sudah membutuhkan
beberapa peraturan atau syarat antara lain dalam hal bentuk dan pemilihan kosa
kata, sehingga sifat kebebasannya menjadi hilang. Pada masa ini, para penggemar
Renga mulai mengadakan pertemuan untuk membacakan Renga yang disebut Haikai no
Renga.
Pada akhir Zaman Muromachi, tokoh yang dianggap sebagai
pelopro Haikai ialah Arakida Moritake dan Yamazaki Sookan. Moritake adalah
pejabat yang bertugas di kuil agama Shintoo di Ise.
Pada tahun Tenmon 9 (1540) ia membacakan karyanya berjudul Haikai no Renga Dokugin Senku atau disebut juga Tobiume Senku. Sookan adalah seorang yang mengabdi pada keluarga Ashikaga, tetapi kemudian dia berhenti bertugas sebagai militer dan menjadi pendeta agama Budha. Ia mendirikan gubuk tempat tinggal di Yamazaki dan tempat-tempat lain dan hidup secara santai. Selama kehidupan seperti itulah ia menaruh perhatian terhadap Haikai dan akhirnya menyusun kumpulan Haikai yang disebut Shinsen Inu Tsukubashuu. Di dalam buku ini biarpun ada karya yang tidak memenuhi syarat dan tak pantas dimasukkan, tetapi unsur semangat rakyat jelata dan ide-ide yang bersifat bebas dilukiskan dengan jelas, sehingga dianggap sebagai pelopor Haikai yang berkembang pada zaman berikutnya yaitu Zaman Kinsei.
Baca : Buku Sejarah Kesusastraan Jepang
Comments
Post a Comment