Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Kewirausahaan Spiritual

Kewirausahaan Spiritual


Di saat tujuan dan energi dari para wirausaha sosial patut dipuji, kewirausahaan sosial masih belum membuktikan diri sebagai kendaraan yang layak untuk meraih tujuan sosial dan sebagai media untuk meraih keuntungan. Organisasi nonprofit jauh lebih sukses dan efektif untuk memperbaiki dunia ini. Bisnis tidak boleh dicampurkan dengan amal. Di saat yang sama, aktivitas mencari uang tidak harus terpisahkan dari jalannya kehidupan spiritual— keduanya bisa dan harus sejalan. Kita menyebut konsep sintesis antara spiritualitas dengan mencari untung sebagai "kewirausahaan spiritual".

Kewirausahaan spiritual jauh berbeda dengan kewirausahaan sosial, baik dalam bentuk maupun fungsinya. Fokus dari kewirausahaan sosial adalah untuk mencari uang saat berbuat kebaikan dalam masyarakat, sedang tujuan kewirausahaan spiritual adalah mencari uang melalui perusahaan profit yang legal dan etis. Kewirausahaan sosial mencoba mengubah bisnis menjadi sarana untuk mencapai perubahan sosial, sedangkan kewirausahaan spiritual menggunakan uang hasil dari bisnis untuk membuat perubahan itu. Kewirausahaan sosial hanya mengejar bisnis yang mendorong perubahan sosial, sedang kewirausahaan spiritual mengejar kesempatan bisnis yang tidak melanggar hukum dan etika. Kewirausahaan spiritual memandang bisnis sebagai sarana untuk meraih tujuan ketimbang menjadi tujuan itu sendiri. Di samping semangat mereka untuk mencari uang, agenda mereka juga untuk menggunakan uang tersebut demi untuk membuat dunia yang lebih baik dengan cara yang sejalan dengan apa yang mereka persepsikan sebagai tujuan Tuhan menciptakan alam semesta ini.

Ada satu lagi perbedaan penting antara kewirausahaan spiritual dengan kewirausahaan klasik. Banyak insan bisnis yang menyumbangkan uang untuk amal dan sebagian orang yang agamis bahkan menyumbangkan penghasilan mereka (yang berarti memberikan 10 persen—atau lebih jika Anda menginginkannya—dari penghasilan Anda sebagai amal). Tujuan utama mereka adalah mencari uang, bukan beramal. Mereka berbisnis terutama untuk menaikkan standar kehidupan dan kekayaan pribadi. Kewirausahaan spiritual sebaliknya, memandang keseluruhan bisnis penghasil uangnya melalui kacamata yang lebih tinggi untuk melihat lebih pada apa yang bisa dilakukan dengan uang. Ini bukan berarti bahwa kewirausahaan spiritual tidak memiliki gairah bisnis yang besar—pastinya mereka memilikinya. Namun bagi mereka ada banyak hal tentang mencari uang yang bukan sekadar tentang menumpuk kekayaan. Perusahaan spiritual memandang uang sebagai sarana untuk mencapai cita-cita di dunia. Mereka melihat kekayaan sebagai berkah dari Tuhan yang menjadikan mereka sebagai penjaga kekayaan tersebut. Mereka merasa bertanggungjawab untuk menggunakan uang mereka untuk kepentingan yang lebih tinggi di luar keinginan egoistis atas kepemilikan materi.

Kejadian berikut akan menggambarkan perbedaan tersebut. Ada perdebatan dalam sebuah radio akhir-akhir ini di mana seorang presenter tidak setuju memberikan uang untuk amal. Dia menyatakan "Saya telah bekerja keras untuk mendapatkan uang dan saya akan menggunakannya sendiri. Saya bekerja keras untuk mendapatkan mobil bagus, rumah indah, jalan-jalan liburan, jadi mengapa saya harus memberikan uang ke orang miskin? Jika mereka mau uang banyak, mereka harus bekerja keras seperti saya!" Sepertinya hal ini sangat masuk akal. Memang benar mengapa orang harus memberikan uang hasil jerih payah mereka kepada orang lain? Kalau mereka sudah membayar pajak, apakah mereka tidak boleh menikmati sisanya? Mengapa mereka harus menghilangkan kemewahan hidup hanya karena orang lain punya lebih sedikit dari yang mereka miliki? Saat argumentasi ini mulai masuk akal bagi orang-orang yang melihat kulit luar dari alam semesta sebagai jumlah total dari semua yang ada, namun bagi orang-orang yang bisa mengukur realitas yang lebih dalam dari yang kelihatan, argumentasi ini tidaklah bisa dipertahankan.

Untuk menjelaskan hal ini, mari kita pelajari apa yang dikatakan di Taurat tentang amal dan berbagi bagi orang lain. Taurat menjelaskan bagaimana amal dan sumbangan membawa kekayaan. Ayat tersebut mengatakan (Bilangan 5:9) "Dari persembahan-persembahan kudus yang disampaikan orang Israel kepada imam, persembahan khususnya adalah bagian imam". Menurut adat, kata "kudus" maksudnya adalah buah-buah pertama dari ladang, yang tertulis sebagai berikut (Keluaran 23:19) "Yang terbaik dari buah bungaran (buah pertama) hasil tanahmu haruslah kau bawa ke dalam rumah TUHAN (Yahweh-Ibrani), Allah (elohim-Ibrani)-mu". Ayat di kitab Bilangan menurut para penafsir, menambahkan bahwa setelah buah-buah pertama di bawah ke rumah Tuhan, mereka harus menyerahkannya kepada imam.

Kenyataan bahwa Taurat memisahkan dua detail tentang membawa buah pertama ke rumah Tuhan, tertulis di dalam kitab Keluaran, dan memberikan buah pertama kepada imam, tertulis dalam kitab Bilangan, menambah arti tertentu. Karena menumbuhkan buah membutuhkan usaha yang besar—Anda harus membajak tanah, menabur benih, memelihara, memanen, dll.—Anda boleh berpikir: setelah semua kerja keras ini mestinya saya menikmati buah pertamanya. Mengapa imam yang harus mendapatkannya? Sayalah yang bekerja keras, bukan dia.

Namun Taurat memberitahu kita secara eksplisit dalam kitab Keluaran 23:19 bahwa sebelum si pemilik boleh makan buahnya, "Yang terbaik dari buah bungaran (buah pertama) hasil tanahmu haruslah kau bawa ke dalam rumah TUHAN (Yahweh-Ibrani), Allah (elohim-Ibrani)-mu". Kita perlu menyadari bahwa buah yang kita tumbuhkan sebenarnya bukanlah milik kita sama sekali, tetapi milik Tuhan. Tanpa Tuhan, tidak ada buah. Saat si petani menyadarinya, hal ini menjadi lebih mudah baginya untuk membagi buah pertamanya dan memberikannya kepada imam.

Ini adalah cara Taurat memandang semua bentuk kehidupan. Pemberian dari buah pertama kepada imam dianalogikan ke dunia modern sebagai memberikan uang untuk amal. Taurat mengatakan bahwa kita harus menyumbangkan pendapatan kita setidaknya 10 persen untuk amal. Sebagaimana panen yang berhasil, kekayaan adalah berkah dari Yang Di Atas dan kita harus mengakuinya. Tuhan mempercayakan uang ke kita dan hanya meminta untuk membagi setidaknya 10 persen dan memberikannya sebagai amal sesuai pilihan kita. Bagian 90 persen yang lain bisa digunakan sesuai kehendak kita. Setelah memahami hal ini, akan mudah bagi kita untuk memberikan uang sebagai amal.

Dalam kenyataannya, adalah menggelikan untuk tidak memberi amal. Bayangkan klien terbesar Anda meminta 10 persen fee untuk amal. Apa Anda akan mengatakan tidak? Jika Anda mengatakannya, maka Anda akan kehilangan klien: dia akan mencari orang lain yang setuju dengan persyaratannya. Hal yang sama saat kita mendapat berkat dari Energi Semesta. Persyaratannya adalah kita memberikan setidaknya 10 persen untuk amal.

Sebagai tambahan, Tuhan menjanjikan kita bahwa pemberi tidak akan merugi karena membayar sumbangan. Sebaliknya, mereka bahkan akan beruntung. Dalam jasa memberikan setidaknya 10 persen dari penghasilan kita untuk amal, kita akan menerima kekayaan sebenarnya. Seperti yang dikatakan dalam Taurat di kitab Bilangan 5:9, "Dari persembahan-persembahan kudus yang disampaikan orang Israel kepada imam, persembahan khususnya adalah bagian imam". Talmud (Brachot 63a) menjelaskan maksud ayat ini: balasan dari pemberian amal adalah pendapatan kita akan meningkat.

Jadi menurut Taurat kekayaan bukanlah sesuatu yang kita terima secara otomatis karena kita bekerja keras. Yang pasti, kerja keras dibutuhkan tetapi keberhasilan finansial sejati tidak datang tanpa berkat dari Tuhan. Coba pikirkanlan orang-orang yang Anda tahu telah mencapai kekayaan namun, untuk suatu alasan tertentu, tidak berhasil mencapainya. Sekarang coba pikirkan mereka yang menjadi sukses karena kebetulan berada di tempat dan waktu yang tepat. Tanpa berkat untuk berada di tempat dan waktu yang tepat, keberhasilan menghindar dari sang pencarinya. Sangat penting untuk memahami bahwa tanpa Energi Semesta, keberhasilan finansial yang sebenarnya dan langgeng adalah mustahil. Tampaknya ini adalah bisnis yang menguntungkan. Energi Semesta membantu kita mendapatkan kekayaan dan yang diminta-Nya hanyalah komisi 10 persen. Tapi ternyata ini lebih menguntungkan lagi. Talmud mengatakan bahwa jika kita memberikan 10 persen komisi sebagai amal yang sejalan dengan tujuan Tuhan menciptakan alam semesta ini, kita akan mendapatkan lebih banyak kekayaan di kemudian hari.

Ini digambarkan dengan catatan berikut di Talmud. Imam besar Talmud, Rabi Meir (wafat 100 sebelum Masehi) ditengarai mengatakan (Kiddushin, 82a) "Seseorang harus selalu mengajarkan anaknya keahlian yang bersih dan mudah, dan berdoa kepada Dia yang memiliki semua kekayaan dan barang [kepada Tuhan], karena setiap keahlian mengandung kemungkinan kemiskinan dan kekayaan. Kemiskinan dan kekayaan bukanlah karena keahlian, tetapi keduanya tergantung dari kelayakan kita".

Bagaimanakan seseorang membangun kelayakan dalam pandangan Tuhan untuk mendapatkan berkat meningkatnya kekayaan? Talmud mengatakan, seperti dituliskan di atas, berdoa menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan kelayakan tersebut. Namun, ada jalan lain untuk mendapatkan kelayakan dan berkat yang membawa kekayaan, dan dua catatan yang memberi penerangan tentang ini (Shabbat 199a dan Ta'anit 9a). "Rebbe bertanya ke Rabi Ishmael, putra Rabi Jose, bagaimana orang kaya di Tanah Israel layak untuk kekayaan mereka? Dia menjawab, itu karena mereka membayar sumbangan, seperti tertuliskan (Ulangan 14:22), Asser te'asser, yang berarti bayarkan sumbangan ['asser] agar kamu bisa menjadi kaya [tit'asser]".

Talmud menghubungkan kisah lain yang menguatkan tentang hal ini. Rabi Yohanan meminta keponakannya untuk membaca ayat yang dia pelajari dari Taurat suatu hari di sekolah. Si anak laki-laki membaca "Bayarkanlah sumbangan". Dia kemudian bertanya pada pamannya, "Apa arti kata 'membayar sumbangan'?" Rabi Yohanan menjawab "Sana cobalah sendiri". Anak itu bertanya lagi "Apakah boleh mencoba Tuhan? Bukankah ayat mengatakan (Ulangan 6:16) bahwa 'Janganlah kamu mencobai Tuhan?'" Rabi Yohanan menjawab lagi, menyitir catatan imam lain bernama Rabi Oshaia: "Hal tentang membayar sumbangan menjadi perkecualian dari larangan untuk mencobai Tuhan, seperti tertuliskan (Maleakhi 3:10) "Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku, dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan".

Secara jelas Taurat melihat konsep sumbangan sebagai metode penjamin kelayakan yang mendatangkan berkat kekayaan. Menurut Taurat, hal ini tidak berarti bahwa Anda harus memberikan sumbangan di tempat Anda sembahyang. Anda boleh memberikan sumbangan langsung kepada orang miskin atau sebagai amal lain yang baik.

Gagasan ini merumuskan apa kewirausahaan spiritual: orang-orang yang memandang pemberian amal sebagai bagian dari strategi bisnis menuju sukses. Mereka memandang bisnis mereka sebagai saluran dari berkat Tuhan akan kekayaan. Mereka bergairah untuk menjadi penjaga kekayaan yang bertanggungjawab. Mereka mengerti bahwa bisnis mereka adalah metode lain yang dapat menghubungkan kepada kekuatan yang lebih tinggi dan ke orang lain, dengan cara membuat dunia menjadi lebih baik dan menjadi tempat yang lebih sensitif terhadap Tuhan, dan dengan melakukan hal ini sekaligus mereka mendapatkan uang lebih banyak.

Wirausaha spiritual bukanlah seorang yang egois yang menggunakan pemberian amal sebagai sarana untuk membesarkan keuntungan mereka. Namun lebih cenderung mereka memandang bahwa beramal sebagai dorongan untuk mencari lebih banyak uang lagi. Wirausaha spiritual memiliki kemampuan dasar untuk melihat melampaui kenyataan luar dari alam semesta. Dasar dari segala sesuatu yang ada, kata para guru kebatinan, adalah Energi Semesta yang menjaga itu semua.

Sifat Tuhan dikenal dalam Yudaisme sebagai Ain Sof, atau "Tiada Berakhir". Karena Tiada Berakhir, oleh karena itu masuk akal juga jika dikatakan bahwa sifat Tuhan adalah Tiada Berawal. Saat kita melakukan meditasi tentang gagasan ini, kita menyadari bahwa semua benda fisik bergantung pada Energi Semesta untuk tetap dalam keberadaannya, sifat alami dari semua benda adalah Energi Semesta yang terkandung di dalamnya. Energi Semesta tak terbatas. Menjadi tak terbatas berarti bahwa tidak ada habisnya kemungkinan dan kesempatan yang memancar dari-Nya.

Berlawanan dengan kulit luar yang disebut dengan realitas, dan perbedaannya sangatlah besar. Semua yang kita lihat bisa dihitung. Rumah dari seorang memiliki batas luas yang pasti, mobil yang dikendarai jelas buatan, model, tahun dan warnanya. Semua objek fisik yang bisa dikenali memiliki batas dan bisa diukur. Sebaliknya, kenyataan lebih dalam dari keberadaan tidak memiliki spesifikasi. Sifat alamiahnya adalah tak terbatas. Jika kita mampu menyadap hingga ke tingkat keberadaan yang satu ini, kita menyadap ke lapisan di mana semua hal adalah mungkin.

Ini adalah tingkat di mana wirausaha spiritual menjalani hidup mereka. Mereka memiliki visi yang jelas. Mereka mampu melihat melampaui permukaan dan tembus ke kenyataan yang lebih dalam. Karenanya, mereka mampu melihat bisnis lebih dari sekadar permainan mencari uang. Mereka memandang kewirausahaan sebagai jalan untuk meraih tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia. Bagi mereka, uang bukanlah sekadar sarana yang membawa mereka ke standar hidup yang lebih tinggi. Uang bukanlah sekadar apa yang mereka bisa nikmati seperti mobil sport baru atau liburan mahal. Uang ada di sana untuk mewujudkan misi yang lebih mulia untuk dipenuhi di dunia ini.

Ini bukan untuk mengatakan bahwa wirausaha spiritual tidak akan menikmati dan menuruti hal-hal enak dalam hidupnya—mereka bisa. Namun bagi mereka itu bukanlah motivasi utama mendapatkan uang—itu adalah bonus. Kemampuan mereka untuk melihat kenyataan yang lebih dalam yang terkandung di dalamnya Energi Semesta, membuat mereka melihat proses pencarian uang dengan pencerahan. Oleh karena itu mereka mampu menyadap Energi Semesta yang membawa keberhasilan finansial bagi mereka.


Intisari untuk Bisnis: Fokuslah pada tugas utama, yaitu mencari uang. Ingatlah untuk menyisihkan 10 persen dari uang Anda untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik dan lebih spiritual. Pendekatan ini baik bagi bisnis karena menarik tambahan Energi Semesta yang akan membawa keberhasilan lebih banyak lagi sebagai balasannya.

Intisari untuk Pribadi: Cobalah untuk membangun kelayakan Anda. Hal ini melibatkan kegiatan berdoa, beramal, dan menolong sesama. Makin Anda layak, makin besar Energi Semesta yang Anda tarik dan makin besar keberhasilan Anda dalam semua bidang kehidupan.



Baca: Buku Sukses Bisnis Cara Yahudi
 

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Observasi dan Penelitian Lapangan

3. Observasi dan Penelitian Lapangan Pengumpulan data untuk suatu tulisan ilmiah dapat dilakukan melalui observasi dan penelitian lapangan. Observasi adalah pengamatan langsung kepada suatu obyek yang akan diteliti, sedangkan penelitian lapangan adalah usaha pengumpulan data dan informasi secara intensif disertai analisa dan pengujian kembali atas semua yang telah dikumpulkan. Observasi dapat dilakukan dalam suatu waktu yang singkat, sebaliknya penelitian lapangan memerlukan waktu yang lebih panjang. Observasi dapat dilakukan mendahului pengumpulan data melalui angket atau penelitian lapangan. Dalam hal ini observasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai obyek penelitian sehingga dapat disusun daftar kuestioner yang tepat atau dapat menyusun suatu desain penelitian yang cermat. Sebaliknya observasi dapat juga dilakukan sesudah mengumpulkan data melalui angket atau wawancara. Dalam hal ini tujuan observasi adalah untuk mengecek sendiri sampai di mana kebenara