Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Yomihon

Yomihon


7.  Yomihon


Yomihon adalah salah satu bentuk sastra (novel) pada zaman pramodern Jepang. Yomihon berasal dari ciri yomihon atau furyu yomihon. Baik ciri yomihon maupun furyu yomihon adalah bentuk cerita bergambar, mirip dengan cerita komik.

Ciri-ciri yomihon:
  1. banyak mengambil episode-episode dari data-data sejarah Jepang maupun data sejarah Cina;
  2. banyak mengambil pemikiran-pemikiran Cina dan meminjam cerita-cerita Cina;
  3. gaya bahasa yang dipakai pengarang adalah perpaduan antara gaya bahasa Jepang dan Cina; dan
  4. banyak menampilkan cerita tentang setan.
Perkembangan yomihon terbagai dalam dua periode. Periode awal berpusat dan berkembang di daerah Kansai atau daerah Kyoto dan Osaka. Pengarang yang terkenal pada periode ini ialah Ueda Akinari (1734-1809) dengan karyanya Ugetsu Monogatari (1776) dan Harusame Monogatari; Takebe Ayatari (1717-1774) dengan karyanya Nishiyama Monogatari dan Honcho Suikoden. Pada periode akhir, yomihon berkembang dan berpusat di Edo (Tokyo). Pengarang yang terkenal pada periode akhir ini adalah Santo Kyoden yang menulis Chusin Suikyoden dengan memakai tulisan Hiragana, dan Takizawa Bakin (1767-1848) yang menulis Nanso Satomi Hakkenden dan Chinsetsu Yumiharitsuki. 

Ciri-ciri khas yomihon pada periode akhir ialah:
  1. ditulis dengan Hiragana dan kalimatnya mudah sehingga dapat dibaca oleh wanita dan anak-anak;
  2. walaupun ceritanya panjang dan sarat dengan bermacam-macam peristiwa tetapi dinamis sehingga mudah dipahami;
  3. pemikiran dasar dari yomihon adalah kanzen choaku, artinya yang benar akan menang dan kejahatan akan musnah oleh kebaikan. 
Yomihon mencapai kemajuan pesat akibat persaingan dari kedua pengarang ini Bakin dan Kyoden. Namun, akhirnya Kyoden berhasil dikalahkan oleh Bakin sehingga Bakin menjadi pengarang besar yomihon pada zaman pramodern Jepang. Bisa jadi keberhasilan Bakin karena yomihon yang dibuatnya ditunjang oleh berbagai ilmu pengetahuan klasik Cina maupun Jepang, gaya kreatif yang berskala besar, struktur cerita yang sangat erat kaitannya satu dengan yang lainnya, dan gaya bahasa simbolik yang dipakainya. Dasar pemikiran yang terdapat dalam karya-karya Bakin tidak lepas dari pemikiran kanzen choaku, segala sesuatu yang benar akan menang dan yang jahat akan dikalahkan oleh kebaikan.

Berikut ini akan diuraikan secara garis besar karya-karya Takizawa Bakin dan Ueda Akinari.


UGETSU MONOGATARI

Ugetsu Monogatari ditulis oleh Ueda Akinari pada tahun 1776. Kumpulan cerita pendek ini merupakan salah satu karya terbaik pada zaman pramodern (zaman Edo). Terdiri dari 9 buah cerita pendek, tema dititikberatkan pada keindahan jiwa yang murni dari diri manusia di dalam kesembilan cerpen itu. Cerita ini hanya fiksi semata dan berisi tentang cerita-cerita aneh yang menakutkan. Pengarang mencari kemurnian tentang jiwa manusia di luar alam nyata dan cerita semacam ini cocok sekali dengan sifat dan karakter dari yomihon. Salah satu dari kesembilan cerita dalam Ugetsu Monogatari yang terkenal itu adalah "Asajigayado". Ringkasan ceritanya adalah sebagai berikut.
Miyagi adalah istri Katsu Shiro. Selain cantik, dia pun seorang istri yang setia. Suatu ketika sang istri menasehati suaminya agar membatalkan keberangkatannya ke Kyoto untuk berdagang, tetapi sang suami tetap pada pendiriannya dan berkeras akan berangkat. Sang istri terpaksa melepaskan suaminya dan berpesan agar suaminya cepat-cepat pulang dan jangan melupakan dirinya. Dia mengatakan hal itu karena dia menganggap bahwa dia adalah seorang wanita yang lemah bila ditinggalkan suaminya seorang diri, dan dia tidak dapat berbuat apa-apa selain bingung bila tidak didampingi suami. Katsushiro berjanji akan pulang pada musim gugur tahun ini, dan dia berharap agar istrinya menunggu dengan hati yang kuat. Setelah itu, Katsushiro pergi ke Kyoto dengan tenangnya.
     Ternyata, Katsushiro yang sedang dalam perjalanan menuju Kyoto terperangkap oleh keadaan perang sehingga dia tidak dapat pulang ke kampungnya. Tujuh tahun berlalu, dan ketika kembali ke rumah, dia mendapatkan rumahnya sudah tua. Di sana dia disambut oleh istrinya. Pertemuan kedua insan ini tidak berlangsung lama hanya semalam, dan keesokan harinya sang suami baru menyadari bahwa istri yang menemaninya semalam itu adalah arwah dari Miyagi; arwah yang sudah lama meninggal tetap menunggu kepulangan suaminya. Katsushiro semakin yakin setelah mengetahui berita istrinya dari seorang tua di kampung itu yang telah menemani dan mengurus Miyagi sampai meninggalnya. Katsushiro mengagumi kesetiaan istrinya. Dia kemudian pergi berziarah ke makam istrinya dan di sana dia menangis sekuat-kuatnya. 

Cuplikan dialog berikut ini diambil ketika Katsushiro bertemu kembali dengan istrinya yang sebetulnya adalah arwah Miyagi, setelah mereka berpisah selama tujuh tahun.
"Setelah kita berpisah, sebelum musim gugur yang ditunggu-tunggu tiba, terjadilah kekacauan orang-orang di kampung ini. Semua orang meninggalkan rumah mereka masing-masing dan pergi bersembunyi ke gunung. Orang-orang yang tinggal hanyalah orang-orang jahat yang berhati harimau dan serigala.
     Walaupun mereka semua merayu dengan mulut manis namun aku tetap berjanji tidak akan berbuat serong, walaupun mati akan kuhadapi demi menjaga kesucian diriku. Akhirnya, bintang Bima Sakti mulai tampak jelas menandakan musim gugur akan tiba, namun kau belum kembali. Musim dingin berlalu dan datangnya musim semi, namun tidak ada satu pun berita yang datang. Aku ingin mencoba menyusulmu ke Kyoto, tetapi tertahan di perbatasan, karena laki-laki kuat saja tidak dapat keluar dari perbatasan apalagi hanya seorang wanita yang lemah. Aku ditemani oleh rubah dan burung hantu selama menunggumu di rumah yang sunyi sepi ini. Tapi sekarang aku sangat gembira telah melepaskan rinduku".


NANSO SATOMI HAKKENDEN

Bakin menghabiskan waktu selama 28 tahun untuk mengerjakan Nanso Satomi Hakkenden sampai karya ini dirampungkan. Karya ini termasuk salah satu karya sastra terpanjang di Jepang. Alur ceritanya bercabang-cabang dan tidak mudah untuk dituliskan secara singkat. Akan halnya Bakin, pada hari tuanya dia mengalami kebutaan dan untuk menuliskan hasil karyanya, dia dibantu oleh janda menantunya.

Di bawah ini akan diambil satu bagian kecil ringkasan cerita Nanso Satomi Hakkenden.
Pada awal cerita, diceritakan rahasia kelahiran 8 samurai yang gagah berani dan mengabdikan diri pada keluarga Satomike. 
     Ketika Satomi Yoshizane kalah dalam kancah peperangan, dia pergi menyeberang ke negeri Awa diikuti oleh beberapa orang pengikutnya yang setia. Yoshizane ditolong oleh seorang samurai yang bernama Kanawarita Kayoshi yang sedang bersembunyi untuk menjatuhkan Yamashita Sagakane, seorang Daimyo yang menguasai daerah itu. Yoshizane menghukum salah seorang selir Sagakane. Tamazusa (selir Sagakane) sebelum mati mengutuk bahwa keturunan Yoshizane akan menjadi anjing.
     Beberapa tahun kemudian setelah Yoshizane mendapat separuh dari negeri Awa, dia diserang oleh Anzai Kagesoro. Yoshizane sambil bergurau berkata kepada anjing kesayangannya yang bernama Yatsubusa, "Jika engkau dapat membunuh dan membawa kepala Jenderal Kagesoro maka akan kuberikan putriku yang bernama Fusehime untukmu".
     Pada malam itu Yatsubusa pergi ke perkemahan musuh dan kembali membawa kepala Kagesoro. Dengan demikian, Satomike dapat memenangkan peperangan. Kemudian, anjing Yatsubusa memperlihatkan sikap meminta puteri Fusehime seperti yang telah dijanjikan. Yoshizane berniat membunuh Yatsubusa, tetapi puteri Fusehime yang berhati mulia itu melarang ayahnya, dan sebaliknya dia bersedia meninggalkan kerajaan ikut bersama-sama Yatsubusa. Fusehime kemudian hidup bersama dengan Yatsubusa pada sebuah gua di dalam gunung dan menghabiskan hari-harinya dengan berdoa.
     Sementara itu, putra Takayoshi, yang merupakan calon suami Fusehime, menemukan Fusehime dan Yatsubusa di dalam gua. Dia menembak Yatsubusa dan bermaksud akan menolong Fusehime. Ternyata peluru Takanori tidak saja mengenai Yatsubusa tetapi mengenai juga tubuh Fusehime.
     Sebelum menghembuskan nafasnya, Fusehime sempat menerangkan pada Takanori bahwa dia tidak berhubungan badan dengan Yatsubusa. Sebagai bukti dia meminta agar Takanori membelah perutnya. Terbuktilah dari mulut luka keluarlah asap putih dan delapan butir kristal yang melilit kerah baju. Fusehime naik ke langit, dan delapan kristal tersebut mengeluarkan cahaya serta terpencar ke delapan arah.
     Melihat kenyataan itu Takanori memutuskan untuk menjadi pendeta dan pergi mengembara untuk mencari ke delapan butir kristal itu. Sesuatu yang aneh adalah bahwa ke delapan kristal itu muncul dengan nama masing-masing. Cji, Rei, Chi, Chu, Shin, dan Ko. Delapan samurai yang gagah berani itu masing-masing mempunyai satu butir kristal. Pada nama pendekar itu tercantum nama anjing, yaitu Imujuka, Imugai, Imuyama, Imuda, Imubawa, Imumura, Imue, dan Imuzuka.
     Demikianlah bagian awal cerita tersebut. Akhirnya ke delapan pendekar itu saling mengisi pengalaman, dan bersatu untuk membantu Satomike. Kemudian, ke delapan pendekar tersebut dikawinkan dengan ke delapan puteri Satomike. Pada hari tuanya mereka meninggalkan istana dan tinggal di dalam gunung dan menjadi pendekar sakti.



Baca: Buku Pengantar Kesusastraan Jepang
   

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau