Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Sistem Politik

Sistem Politik


2.  SISTEM POLITIK


Sebagaimana telah ditunjukkan dengan kedudukannya yang sentral pada sistem nilai, pada sistem politik Jepang masa Tokugawa ada masukan yang kuat dari nilai kesetiaan. Pemerintahan Tokugawa merupakan langkah maju yang cukup jauh dalam generalisasi serta perluasan kekuasaan di Jepang, tetapi tidak berhasil menciptakan struktur kekuasaan yang rasional dan terpadu seperti pada Masa Meiji. Ada dua keterbatasan pokok dalam generalisasi kekuasaan Tokugawa. Pertama adalah tingkat kebebasan yang tetap dimiliki oleh tuan-tuan feodal, khususnya tozama(12), atau tuan-tuan kawasan luar. Dalam banyak hal, han atau wilayah feodal merupakan satuan politik yang lebih penting daripada bangsa. Benar bahwa semua kota besar di bawah kendali langsung keshogunan Tokugawa; dan ini merupakan daerah inti yang kokoh bagi seluruh bangsa, tetapi dalam kenyataan masih terdapat daerah-daerah yang luas yang penting yang tidak terintegrasikan dengan daerah inti tersebut. Keterbatasan kedua menyangkut legitimasi dari keshogunan itu sendiri. Memang, keshogunan merupakan pusat kekuasaan sesungguhnya di Jepang. Dalam teori, kaisarlah yang memegang pusat kekuasaan dan shogun hanyalah merupakan pegawai belaka. Kharisma yang melekat pada kaisar selalu merupakan ancaman potensial bagi keshogunan, yang akhirnya memang disingkirkan oleh polarisasi semua unsur oposisi di sekitar kedudukan kharismatis itu. Masa Meiji tinggal membebaskan diri dari kedua keterbatasan generalisasi kekuasaan itu, dengan menghancurkan han dan dengan menjadikan pemerintahan kekaisaran sebagai pemerintahan pusat. Pemerintahan Meiji kemudian hanyalah merupakan pemenuhan logis dari pemahaman sistem politik yang sudah terdapat pada masa Tokugawa.

Kesetiaan, yang begitu sentral dalam masa Tokugawa, masih tetap kabur karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada generalisasi kekuasaan yang telah diterangkan di atas. Kekaburan itu berasal dari pertanyaan, kesetiaan kepada siapa? Khotbah-khotbah moral tentang kesetiaan biasanya membicarakan kesetiaan kepada tuan seseorang (kun), istilah yang tidak spesifik acuannya. Ada juga perintah, khususnya bagi samurai, untuk tetap setia kepada tuan kawasan feodal, bagi rakyat umum untuk setia kepada shogun, dan bagi semua orang Jepang untuk tetap setia kepada kaisar. Meski kekaburan yang berkaitan dengan otoritas politik penting dan punya akibat-akibat yang berarti, itu semua tidak mempengaruhi cara merumuskan hubungan individu dan kelompok dengan otoritas politik. Garis-garis besar yang akan dilukiskan di bawah berlaku tanpa memandang otoritas yang dipersoalkan. Mungkin saja ada keterbatasan praktis terhadap jangkauan pelaksanaan peranan yang diharapkan, tetapi harapan-harapannya sendiri tetap berlaku.

Pertama-tama, kesetiaan yang mewajibkan dan dominan terhadap otoritas politik harus dilihat dalam konteks gagasan tentang on. Otoritas politik berkewajiban melimpahkan berkat (on) kepada rakyat yang dibawahinya. Bentuk nyata dari konsep ini dalam kaitannya dengan golongan samurai adalah diberikannya gaji kepada mereka, walaupun sebetulnya arti konsep itu jauh lebih luas. Misalnya salah satu bentuk berkat yang dilimpahkan oleh shogunat kepada seluruh rakyat adalah kedamaian. Pemberian kedamaian ini yang sering kali diulang-ulang dan ditekankan terutama pada tahun-tahun awal periode itu; setelah seratus lima puluh tahun terjadi perang hampir terus menerus, perdamaian memang lalu terasa sebagai satu berkat yang tinggi. Hal ini menjadi salah satu ideologi dasar yang menopang keabsahan keshogunan. Selain itu, baik han maupun pemerintahan keshogunan juga melaksanakan program-program penanggulangan kelaparan, banjir, peremajaan tanah dan program-program serupa lainnya yang menjadi"berkah" untuk rakyat yang berada di bawah pemerintahannya . Pada umumnya dirasakan bahwa kondisi ekonomi dan politik yang membaik adalah berkah yang dilimpahkan oleh penguasa politik. Secara teoritik, kesetiaan tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan nyata pemberian berkah sebagaimana dilukiskan di atas, tetapi adalah kewajiban mutlak. Kendati demikian, sulit untuk disangsikan bahwa kenyataannya kegagalan untuk mewujudkan "berkah" dalam tindakan nyata akan melunturkan kesetiaan, meningkatnya penderitaan, terutama di kalangan samurai, dan akhirnya telah melemahkan keshogunan pada tahun-tahun terakhirnya.

Selaras dengan konsep on adalah konsep hoon atau on yang ditambah. Konsep ini menyangkut kewajiban umum untuk menghormati dan mentaati aturan-aturan pemerintah. Adanya papan pengumuman resmi tempat menempelkan ketetapan atau peraturan terakhir dari bakufu(13) pada setiap desa dan kota; dan sikap taat yang ditujukan atasnya, merupakan bukti dari tingkat kepatuhan terhadap penguasa, bahkan di kalangan yang berada di lapis terbawah struktur sosial. Tingkat ketertiban umum yang relatif tinggi, dibanding di Cina, misalnya, merupakan bukti lain tentang adanya sikap tunduk ini, sebagaimana juga kesiapan samurai untuk melaksanakan perintah seppuku(14) atau pergi ke pengasingan jika diperintahkan. Contoh-contoh di atas dan beberapa lainnya memberikan gambaran seberapa jauh pemerintah bisa melaksanakan kontrolnya melalui pengaruh yang dipunyainya, dalam artian melalui manipulasi perasaan atau sentimen. Pemerintahan bakufu dan han jelas mempunyai kekuatan di tangan mereka yang bisa digunakan untuk memaksa rakyat agar patuh, tetapi justru, dan ini merupakan yang sangat menarik secara sosiologis, dalam banyak hal kepatuhan itu terjadi atau diberikan secara sukarela. Dalam analisis di depan dinyatakan bahwa identifikasi diri oleh rakyat kepada negara merupakan faktor yang menentukan terjadinya hal itu. Mereka merasa dirinya bagian dari apa yang kemudian dikenal sebagai kokutai(15), pemerintah nasional, suatu simbol yang sangat penting, terutama pada masa Meiji dan pasca Meiji. Mereka memperoleh kepuasan melalui identifikasi diri sebagai anggota dari negara, mereka ikut melibatkan diri dalam prestise dan makna negara, dan dengan demikian mereka secara sukarela memenuhi tuntutan-tuntutan penguasa negara, menganggap bahwa kepentingan negara identik dengan kepentingan dirinya. Proses identifikasi semacam ini cenderung menjadi sangat kuat ketika tujuan-tujuan sistem yang ingin diperjuangkan dan dicapai oleh penguasa negara terumuskan secara jelas dan bermanfaat bagi semua. Sebaliknya, identifikasi akan cenderung sangat terganggu jika penguasa negara tidak mempunyai tujuan, kecuali semata-mata konservatif dan hanya peduli dengan usaha mempertahankan kekuasaannya. Dalam keadaan seperti itu akan sulitlah untuk mempertahankan kesetiaan dan tingkat kontrol yang tinggi dengan cara memainkan perasaan, yang dalam beberapa hal, merupakan inti dari jenis masyarakat yang sedang kita bicarakan. Ditinjau dari konteks ini, dapatlah kita katakan bahwa rejim Tokugawa yang telah memaksakan rasionalisasi politik jauh melampaui apa yang pernah dilakukan oleh siapa pun sebelumnya, telah "berdandan rapi tanpa tujuan jelas mau pergi ke mana." Tujuan untuk memulihkan kedamaian, ketertiban dan kesejahteraan memang mungkin memadai untuk dasawarsa pertama periode itu, tetapi selanjutnya, dengan berlalunya dasawarsa itu dia cenderung tenggelam dalam kemandegan konservatisme. Sama sekali bukan kebetulan jika gerakan yang akhirnya menggulingkan bakufu mempunyai ciri dua tujuan yang jelas dan dinamis: pulihkan kembali kekaisaran dan turunkan kaum biadab.

Hubungan antara negara dengan ekonomi merupakan masalah yang paling pelik dan menimbulkan kemarahan dari masa Tokugawa. Pajak menjadi sumber pengadaan dari fasilitas untuk melancarkan jalannya pemerintahan. Sumber utama pajak adalah petani, yang diwajibkan membayar pajak tanah yang nilainya menghabiskan sebagian besar nilai produksi yang dihasilkan tanah tersebut. Kelemahan pertama-tama dari bakufu adalah bahwa dia menarik pajak hanya dari tanahnya sendiri, tidak dari kepunyaan para tuan tanah feodal yang lain. Dengan demikian dia harus menjalankan satu pemerintahan nasional tanpa sistem perpajakan nasional. Kelemahan lainnya adalah bahwa sumber-sumber selain pajak tanah tidak secara sistematik digali. Para pedagang memang membayar tinggi untuk mendapatkan kemudahan mendirikan gilda yang mempunyai hak monopoli dan membayar pajak tanah untuk kapling-kapling mereka di kota, tetapi sebenarnya secara keseluruhan kewajiban pajak mereka sangat ringan. Mereka dipaksa untuk mengambil pinjaman dan bahkan dikenai penyitaan, tetapi semua itu bukanlah sumber pendapatan yang bisa secara rutin digunakan tanpa memberikan dampak merusak yang serius terhadap perekonomian secara keseluruhan. Cukai dari perdagangan asing di Nagasaki memasukkan sejumlah pendapatan tetapi volume perdagangan yang kecil menjadikan sumber ini relatif tidak berarti. Kenyataan bahwa pajak tanah dibayar dalam bentuk padi-padian tetapi negara menerapkan satu ekonomi uang berarti bahwa harga padi yang rendah dan harga kebutuhan lain yang tinggi akan mengurangi pendapatan nyata pemerintah.(16) Semua faktor ini menunjukkan bahwa bakufu kekurangan dana sampai tingkat yang kronis sehingga harus menerapkan cara-cara yang untuk jangka panjang justru semakin memperlemah kedudukannya. Devaluasi mata uang dilakukan berkali-kali tetapi itu merupakan kebijakan yang efektif untuk jangka pendek. Menurunkan gaji para pembantu langsung shogun merupakan kebijakan yang lebih berbahaya lagi karena akan memperlemah ikatan kesetiaan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan. Para tuan tanah feodal, kecuali beberapa, berada dalam posisi yang bahkan lebih susah. Tidak banyak ruang gerak dan kebijakan yang bisa mereka lakukan dan banyak dari mereka yang terjerat lintah darat. Terlepas dari segala permasalahan ini satu kenyataan tetap tidak bisa dipungkiri, yaitu bahwa persentase terbesar kekayaan Jepang mengalir melalui tangan para penguasa negara dan ini tentu saja berperan dalam menopang kekuasaan mereka. Selain itu, beberapa han yang mendorong tumbuhnya industri dan perdagangan, serta menerapkan kebijakan yang menguntungkan pertanian berhasil mempunyai kondisi keuangan yang sehat dan dalam beberapa hal merupakan purwarupa (prototype) bagi rejim yang merasionalisasikan sistem perpajakan dan memberikan dasar yang kukuh bagi keuangan pemerintah. Pemerintah berusaha melaksanakan satu kontrol yang agak ketat di bidang ekonomi tetapi akibatnya justru bermacam-macam, kegagalan yang paling jelas mungkin terlihat dari usahanya menetapkan harga melalui pengumuman resmi. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap organisasi gilda, perputaran uang dan pertukaran komoditi, lisensi bagi pekerjaan dan jalan raya, dan sebagainya. Undang-undang yang diberlakukan dimaksudkan untuk membatasi kemewahan dan memang mengatur sampai detil yang terkecil pola konsumsi. Walaupun semua itu dan bentuk-bentuk kontrol merupakan suatu usaha untuk mengatur kehidupan ekonomi dalam kaitannya dengan keseluruhan konteks politik, tidak bisa dikatakan bahwa secara keseluruhan mereka berhasil mencapai tujuan itu. Dengan menjaga agar pola harapan orang tetap tertib dan teratur pemerintah memang mungkin telah membantu perkembangan ekonomi. Dengan mempertahankan hak istimewa yang dipunyainya, dan keputusan-keputusan terdahulu, serta dengan mengubah-ubah kebijakan ketika turun tangan mengatasi kesulitan keuangan, pemerintah mungkin telah merintangi perkembangan ekonomi. Kendati demikian, sebetulnya kebijakan itu bukan untuk mendorong atau menghambat ekonomi, tetapi untuk mempertahankan status quo politik.

Bakufu tetap memegang fungsi-fungsi utama pembuatan dan pelaksanaan hukum di tangannya.(17) Dia menggariskan sejumlah peraturan dan ajaran yang berlaku bahkan untuk mereka yang secara teoritis merupakan kelompok paling terhormat yaitu, para bangsawan kerajaan. Aturan-aturan serupa juga untuk para tuan tanah feodal dan para pembantu Tokugawa. Bagi rakyat kebanyakan hanya terdapat keputusan-keputusan yang ditempel di papan-papan pengumuman resmi. Hukum yang mengatur mereka dirahasiakan dari umum dan ditulis dalam buku-buku panduan untuk para hakim yang kerahasiaannya dijaga keras. Ordonansi khusus dikeluarkan setiap kali diperlukan oleh shogun. Secara keseluruhan sistem hukum menghormati hak istimewa dan hukum tertulis. Hukum itu menekankan bahwa pemilikan harta kekayaan didasarkan atas pengakuan bahwa pemilikan perjanjian harus dipenuhi. Juga secara khusus ditekankan bahwa maklumat shogun harus dengan tegas dijalankan, dan tingkat moralitas umum harus dijaga. Karena tidak ada sistem jurisprudensi yang rasional, penafsiran dari hukum dilakukan berdasarkan moralitas umum sesuai pertimbangan hakim yang berwenang. Jelas pemihakan itu tertuju kepada penguasa, bukan kepada hukum itu sendiri atau kepada rakyat. Namun, pemerintah berprinsip bahwa kemantapan pemerintahannya ditopang oleh dipertahankannya keputusan-keputusan terdahulu dan prinsip mufakat; karenanya pemerintah cenderung untuk mendukung satu sistem hukum yang relatif stabil dan konsisten.

Masa Tokugawa ditandai oleh suatu sistem kelas yang resmi dan turun temurun. Kerangka utamanya dapat ditarik dari sistem nilai yang berlaku: prestise berhubungan secara langsung dengan kekuasaan. Kekuasaanlah yang menentukan status bukan kekayaan, satu hal yang sebagaimana akan kita lihat nanti mengakibatkan munculnya ketegangan. Berada di titik puncak sistem itu adalah kaisar, shogun dan tuan tanah feodal. Satu tingkat di bawahnya adalah samurai atau kaum bushi, yang berkedudukan tinggi karena dia melaksanakan kekuasaan politik baik di bidang militer maupun di jabatan sipil. Satu jurang memisahkan golongan-golongan tersebut dengan mereka yang berada di bawah. Di atas adalah sang penguasa dan di bawah yang terkuasai. Tingkat kedudukan rakyat jelata diatur sesuai pandangan tradisional yaitu, berdasar produktivitas mereka. Petani berada pada tingkat paling atas karena mereka yang menjadi sumber penghasilan utama kaum penguasa. Berikutnya adalah kaum pengrajin karena mereka juga memproduksi untuk kaum penguasa. Sedang pedagang berada di paling bawah karena mereka dianggap tidak produktif. Walaupun nanti akan kita lihat bahwa perlakuan terhadap pedagang ini bukannya tidak pernah ditentang tetapi demikianlah yang tertera dalam sistem kelas yang resmi. Di bawah kelas-kelas tersebut masih terdapat beberapa kelompok paria, tetapi jumlah mereka relatif sedikit sehingga tidak perlu kita perhatikan.

Di antara kelas itu terdapat mobilitas: beberapa pedagang mendapatkan status samurai sebagai balas jasa atas pengabdian yang luar biasa kepada pemerintah, beberapa samurai memutuskan menanggalkan statusnya untuk menjadi pedagang, banyak petani yang pindah ke kota dan menjadi pengrajin atau pedagang. Namun, mobilitas lebih banyak terjadi di dalam kelas, bukan antar satu kelompok kelas dengan yang lain. Perlu dicatat di sini bahwa birokrasi diambil dari kelas samurai berdasar keturunan dan bukan melalui sistem ujian umum seperti di Cina. Anak seorang pedagang kaya, dengan demikian akan tetap menjadi pedagang di Jepang daripada memasuki birokrat sebagaimana sering terjadi di Cina.

Satu hal yang perlu menjadi perhatian kita adalah bahwa dengan berjalannya waktu pemilikan kekayaan cenderung semakin lama semakin tidak ada hubungannya dengan posisi dalam hirarki kelas. Kaum pedagang pada khususnya menjadi semakin kaya sementara kelas samurai mengalami proses pemiskinan. Situasi ini menimbulkan ketegangan di antara kedua kelompok tersebut: yang satu mempunyai kekayaan tetapi tidak prestise sedang lainnya punya prestise tetapi tidak kekayaan. Yang menarik adalah keduanya ternyata tidak menyerang sistem nilai sentral dalam usaha menemukan keseimbangan. Pedagang bukannya menuntut agar prestise didasarkan pada kekayaan atau "keberhasilan" ekonomi, tetapi menyatakan bahwa pedagang adalah rakyat yang setia dan pekerja keras, yang melaksanakan fungsi yang sangat dibutuhkan oleh kolektivitas, dan yang karenanya berhak atas prestise. Tidak terdapat ideologi "borjuis" yang secara langsung menyerang ideologi "feodal" pada masa Tokugawa. Restorasi tahun 1868 sama sekali tidak bisa dianggap sebagai satu "revolusi borjuis". Jika pedagang tidak menyerang sistem nilai sentral apalagi kaum samurai rendah yang jatuh miskin. Yang mereka lakukan adalah mencoba melakukan pengaturan kembali terhadap masyarakat sehingga sistem nilai itu akan bisa diterapkan sebagaimana seharusnya. Serangan mereka kepada keshogunan diformulasikan dalam ungkapan bahwa keshogunan tidak mentaati sistem nilai yang ada, dan pengabdian mereka kepada kaisar mencerminkan satu penguatan bukannya penipisan dari keterikatan mereka terhadap nilai-nilai sentral. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa semakin kurangnya keterkaitan antara prestise dengan imbalan materi merupakan satu faktor lain yang membawa kepada keruntuhan rejim Tokugawa.


Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang


--------------------------------------------
(12) Tozama adalah para adipati yang menyerah kepada kekuasaan Tokugawa hanya setelah kemenangan terakhir Ieyasu. Mereka dipisahkan dari lingkaran dalam keshogunan dan mendapat berbagai larangan atau pembatasan, tetapi juga tidak harus membayar pajak, dan hampir-hampir otonom dalam wilayah hannya sendiri. 
(13) Bakufu secara harfiah berarti "pemerintahan tenda" dan biasanya digunakan secara bergantian dengan kata "keshogunan".
(14) Seppuku adalah pengertian yang lebih umum dari apa yang di Barat dikenal dengan harakiri.
(15) Pembahasan lebih lanjut tentang kokutai dapat ditemukan pada bab IV.
(16) Untuk pembahasan tentang sistem perpajakan pada masa Tokugawa, lihat Honjo, "Views in the Taxation on Commerce in the Closing days of the Tokugawa Age." Dia memperkirakan bahwa sumber penghasilan pajak yang diterima oleh Bakufu pada tahun 1842 adalah sebagai berikut: petani, 84%; samurai, 12%; dan pedagang, 4%.
(17) Untuk pembahasan yang menarik tentang hukum Tokugawa, lihat Henderson, "Some aspects of Tokugawa Law".

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau