Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Keikutsertaan Emosional dan Hubungan Satu sama Lain

Keikutsertaan Emosional dan Hubungan Satu sama Lain


2.  Keikutsertaan Emosional dan Hubungan Satu sama Lain


Dari bagian yang terdahulu jelas bahwa kelompok-kelompok sosial yang dibentuk dengan hubungan khusus pada situasi, yaitu kerangka, mencakup para anggota dengan atribut yang berbeda-beda. Suatu kelompok yang terbentuk berdasarkan persamaan atribut dapat memiliki suatu perasaan eksklusivitas yang kuat, atas dasar homogenitas ini, walaupun tanpa keselarasan pada setiap bentuk hukum. Tentu saja kekuatan relatif dari faktor ini bergantung pada satu varietas lingkungan yang dipengaruhi berbagai kondisi, tetapi pada dasar-dasar pembentukan kelompok homogenitas di antara para anggota kelompok ini sebagian besar bertahan karena kekuatan sendiri sedangkan kondisi merupakan hal sekunder. Bila suatu kelompok berkembang atas dasar kerangka yang dipengaruhi situasi, maka bentuk pertamanya adalah suatu kawanan sederhana yang pada dirinya tidak mempunyai unsur-unsur positif intern yang dapat membentuk suatu kelompok sosial. Unsur-unsur pembentuk dalam kelompok boleh jadi heterogen dalam atribut mereka, tetapi mungkin tidak saling mengisi. (Di sini pembicaraan tidak ada kaitannya dengan teori bercorak Durkheim; perbedaannya ada di antara masyarakat di mana orang berhimpun karena mereka sama dan masyarakat di mana orang berhimpun karena mereka saling mengisi). Misalnya, sekelompok rumah yang dibangun di daerah yang sama mungkin membentuk satu desa semata-mata berkat demarkasi fisik dari rumah-rumah lainnya. Tetapi untuk menciptakan suatu kelompok kerja sama fungsional diperlukan satu organisasi intern yang akan menghubungkan rumah tangga-rumah tangga yang mandiri ini. Dalam situasi semacam ini harus dikembangkan semacam undang-undang untuk mengarahkan kepaduan kelompok.

Di samping tuntutan awal akan kerangka yang kuat dan tahan lama, selanjutnya diperlukan usaha memperkokoh kerangka itu dan membuat unsur kelompok lebih kompak lagi. Secara teoritis hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah mempengaruhi para anggota dalam kerangka itu sedemikian rupa sehingga mereka mempunai perasaan "kesatuan"; cara yang kedua adalah menciptakan organisasi intern yang akan mengikat individu-individu dalam kelompok satu dengan yang lain dan kemudian memperkuat organisasi ini. Dalam prakteknya, kedua cara ini dilakukan bersama-sama, dikaitkan bersama dan maju bersama; dalam kenyataannya mereka menjadi satu tata tertib tindak yang berlaku umum, tetapi demi mudahnya kedua hal ini akan saya bicarakan sendiri-sendiri. Dalam bagian ini saya bahas perasaan kesatuan pada bab berikutnya akan saya bicarakan organisasi intern.

Orang-orang yang berbeda atributnya dapat dibuat merasa menjadi anggota kelompok yang sama. Perasaan ini dikukuhkan, dengan menekankan kesadaran akan "kita" terhadap "mereka", yaitu orang-orang luar, dan dengan mempertajam rasa bersaing dengan kelompok sejenis lainnya. Dengan cara ini dalam hati orang berkembang ikatan sebagai "anggota dari himpunan yang sama".

Karena disparitas atribut merupakan masalah rasional, maka orang mempergunakan emosi untuk mengatasinya. Ancangan emosional ini diperlancar dengan kontak antarmanusia yang tidak pernah berhenti, yang seringkali dapat mengganggu hubungan antarmanusia yang sepenuhnya bersifat pribadi dan rahasia. Konsekuensinya, daya dan pengaruh kelompok tidak hanya mengenai dan merasuk dalam tindakan orang perorangan; daya itu bahkan mengubah gagasan dan cara berpikirnya. Anatomi orang perorangan ditekan hingga sekecil-kecilnya. Bila hal ini terjadi, titik akhir kehidupan berkelompok atau bermasyarakat dan titik awal kehidupan pribadi tak dapat dipisahkan lagi. Ada orang yang menganggap hal ini sebagai suatu bahaya, rongrongan pada kewibawaan mereka sebagai perseorangan; di pihak lain, ada orang yang merasa lebih aman dalam kesadaran berkelompok sepenuhnya. Orang meragukan apakah yang disebutkan terakhir ini merupakan mayoritas. Suasana kehidupan mereka biasanya memusat hanya di dalam komunitas desa atau di tempat-tempat kerja. Orang Jepang biasa membicarakan masalah rumah tangga dan percintaan mereka dengan rekan sekerja; perkawinan antar sesama warga desa atau sesama pekerja di suatu perusahaan sering terjadi; keluarga acapkali ikut serta dalam darmawisata yang diselenggarakan perusahaan. Pemberian fasilitas rumah oleh perusahaan, satu praktek yang biasa sekali dalam perusahaan besar, merupakan contoh yang baik dalam hal ini. Rumah-rumah perusahaan semacam ini biasanya terpusat di satu wilayah khusus dan membentuk suatu entitas tersendiri katakanlah dalam lingkaran luar suatu kota besar. Dalam lingkungan seperti itu para istri pekerja bergaul lebih akrab dan menjadi lebih mengerti akan kegiatan suami mereka masing-masing. Dengan demikian, dalam hal tata fisik, satu perusahaan, bersama dengan para pekerja beserta keluarganya membentuk suatu kelompok sosial yang berbeda. Satu contoh ekstrem: perusahaan tertentu mungkin mempunyai daerah pemakaman umum sendiri untuk para pekerjanya, seperti makam keluarga. Dengan adanya kesadaran kelompok yang begitu mendalam, hampir tidak ada kehidupan sosial di luar kelompok khusus yang merupakan tempat bergantung sebagian besar dari kehidupan ekonomis orang-perorangan. Masalah apa pun harus dipecahkan dalam kerangka ini. Dengan demikian keikutsertaan kelompok menjadi sederhana dan padu. Yang kemudian terjadi ialah bahwa masing-masing kelompok atau lembaga memperoleh banyak kebebasan dan keakraban, dengan tata tertib sendiri yang sepenuhnya mengikat para anggota.

Bentuk awal jenis kelompok demikian ialah "rumah tangga" Jepang (ie) seperti yang telah kita lukiskan di atas. Misalnya, di Jepang ibu mertua dan menantu perempuan bila mempunyai masalah diharapkan dipecahkan dalam keluarga, dan anak perempuan kandung yang malang harus berjuang sendirian, tanpa pertolongan dari keluarga, kerabat atau tetangganya. Sebagai perbandingan, di desa-desa petani di India pengganti perempuan tidak hanya dapat mengunjungi rumah orang tuanya, tetapi bahkan saudara-saudaranya sering berkunjung dan membantunya dengan berbagai rasa. Bila mertua dan menantu wanita bertengkar, mereka berteriak-teriak dengan nada tinggi. Dan bila teriakan mereka didengar oleh segenap tetangga, tetangga perempuan semuanya (dari kasta yang sama) datang untuk membantu. Bantu membantu antaristri dari desa yang lain merupakan faktor yang patut dicontoh, tetapi sama sekali tak terbayangkan di antara para perempuan Jepang. Di sini, kembali fungsi dari faktor atribut sosial (istri) diperlihatkan; fungsi ini melebihi dari kerangka rumah tangga. Sebaliknya di Jepang "orang tua pergi bila anak-anak mereka berkelahi" dan, seperti yang akan saya terangkan secara terperinci nanti, struktur di sini sama sekali berlawanan dengan struktur di India.

Ide-ide moral seperti "suami memimpin, istri patuh setia" atau "lelaki dan istrinya adalah satu daging" membentuk tekanan orang Jepang akan kepaduan. Namun di antara orang-orang India, saya sering melihat suami-istri mengungkapkan pendapat yang amat bertentangan tanpa keraguan sedikit pun. Tentu saja hal semacam ini jarang terjadi di hadapan umum di Jepang. Kekuasaan kepala rumah tangga tradisional Jepang, karena dianggap sebagai ciri utama sistem keluarga, meliputi perilaku, ide dan cara berpikir para anggota keluarga. Dalam hal ini kepala rumah tangga di Jepang dapat dikatakan memperoleh kekuasaan yang jauh lebih besar daripada sesamanya di India. Di dalam kehidupan keluarga India memang ada segala macam tata tertib yang berlaku menurut kedudukan masing-masing anggota keluarga. Misalnya, istri tidak boleh bercakap-cakap secara langsung pada para saudara tua suaminya. Namun dalam hal ide dan cara berpikir setiap anggota keluarga mempunyai kebebasan dan individualitas yang kuat. Ini akan mencengangkan orang Jepang. Tambahan pula tata tertib demikian tidak berbeda-beda dalam keluarga yang satu dari keluarga yang lain. Tata tertib itu berlaku umum dalam seluruh masyarakat, khususnya di antara para anggota kasta yang sama dalam masyarakat. Dengan kata lain, tata tertib itu lebih bersifat universal daripada khusus atau menurut situasi masing-masing keluarga seperti di Jepang. (Tentu saja ada norma standar atau norma umum yang dianut oleh keluarga-keluarga di Jepang sebagai suatu keseluruhan atau lebih tepatnya suatu masyarakat lokal atau strata yang berbeda tetapi dalam hubungan ini setiap keluarga biasanya memiliki cara-cara sendiri untuk mengatur perilaku dan bahasa masing-masing anggota keluarga). Bila dibandingkan dengan kehidupan keluarga Jepang tradisional, ikatan praktek tradisi keluarga seseorang pada para anggota keluarga itu di India amat longgar.

Seorang India yang belajar di Jepang selama bertahun-tahun pernah membandingkan praktek orang Jepang dan India sebagai berikut:
Mengapa orang Jepang harus berdiskusi dengan rekan-rekannya tentang hal-hal yang sangat remeh? Orang Jepang selalu bermusyawarah mengenai hal yang sangat sepele dan menyelenggarakan banyak sarasehan, walaupun nyaris sangat informal, untuk membuat sesuatu keputusan. Di India, kita memiliki tata tertib tertentu sebagai anggota keluarga (dan ini juga berlaku bagi kelompok sosial lainnya) sehingga bila seseorang bermaksud membuat sesuatu, ia tahu apakah hal itu benar menurut pertimbangan berdasarkan tata tertib tersebut, ia tak pernah berdiskusi dulu dengan kepala atau anggota keluarga. Di luar tata tertib ini, anda bebas bertindak sebagai seorang pribadi; apa pun yang anda lakukan, anda hanya perlu bertanya apakah tindakan anda menentang atau sesuai tata tertib yang bersangkutan.

Sebagaimana jelas kelihatan, di India "tata tertib" dianggap suatu bentuk sosial yang tertentu tapi abstrak, bukan sebagai bentuk kongkret dan individual yang khusus bagi setiap keluarga atau kelompok sosial seperti di Jepang. Di India individualitas satuan keluarga tidak begitu kuat. Tetapi di dalam keluarga Jepang partisipasi kelompok oleh anggota keluarga dalam rangka keterlibatan emosional juga lemah. Di India keluarga sebagai satu unit yang hidup (atau sebagai satu kelompok yang memiliki ciri yang umum) tidak merupakan komunitas tertutup seperti keluarga Jepang. Jadi, berlawanan dengan praktek orang Jepang, orang per orang di India erat pada jaringan sosial di luar keluarga.

Kontras dengan sistem Jepang, sistem India memberikan kebebasan dalam hal ide dan cara berpikir yang mungkin bertentangan. Karena itu saya yakin, kendati ada hambatan etik dan ekonomis terhadap modernisasi masyarakat, orang India tidak menganggap sistem keluarga tradisionalnya sebagai penghambat kemajuan, seperti yang dilakukan orang Jepang. Pandangan ini mungkin kontradiksi dengan anggapan umum mengenai keluarga India, Di sini perlu dicatat bahwa perbandingan ini dibuat di antara sistem Jepang dan Hindu berdasarkan hubungan antarpribadi aktual, bahkan perbandingan pola keluarga barat dan India dalam pandangan umum. Di sini saya tidak bermaksud menyajikan struktur dan jalannya hubungan pribadi aktual dalam keluarga-keluarga Jepang dan Hindu secara terperinci, tetapi pokok berikut ini akan membantu memberikan petunjuk pada tesis saya. Dalam rumah tangga tradisional Jepang yang ideal, misalnya, pendapat para anggota rumah tangga harus bulat tanpa pandang apa yang jadi masalah, dan biasanya ini berarti bahwa semua anggota menerima pemimpin rumah tangga, sekalipun tanpa mendiskusikan masalahnya. Bila ada ungkapan pendapat kontradiktif terhadap pendapat pemimpin rumah tangga, hal itu dipandang sebagai isyarat adanya perilaku yang keliru, yang mengganggu keselarasan tata kelompok. Bertentangan dengan proses pengambilan keputusan yang dilakukan sepihak dalam rumah tangga orang Jepang, di India keluarga memberi keleluasaan untuk diskusi di antara para anggota; mereka, entah anak laki-laki, entah istri, entah anak perempuan, dapat menyatakan pandangan mereka jauh lebih bebas dan mereka benar-benar dapat menikmati satu diskusi, kendati keputusan akhir diambil oleh pemimpin rumah tangga. Secara hirarkis struktur keluarga Hindu sama dengan keluarga Jepang, tetapi hak-hak orang per orang dalam keluarga Hindu sangat terpelihara. Di dalam sistem Jepang semua anggota keluarga berada dalam satu kelompok di bawah kepala keluarga, tanpa hak apa pun juga menurut status orang per orang dalam rumah tangga tersebut. Sistem keluarga Jepang berbeda dari sistem keluarga Cina. Dalam keluarga Cina etika selalu didasarkan atas saling hubungan antara orang-orang tertentu seperti bapak dan anak, saudara lelaki dengan saudara perempuan, orang tua dari anak, atau suami istri. Di Jepang etika selalu berdasarkan kelompok kolektif, yaitu anggota suatu rumah tangga, jadi bukan berdasarkan hubungan orang per orang.

Sistem keluarga Jepang tentu saja lebih banyak menimbulkan frustasi di antara anggota keluarga yang lebih rendah statusnya dalam hirarki, dan memungkinkan kepala rumah tangga menyalahgunakan kelompok atau anggota perseorangan. Di Jepang, khussnya segera sesudah Perang Dunia II berakarlah anggapan bahwa sistem keluarga (ie) merupakan pertumbuhan jahat, feodalistis, dan menghambat modernisasi, dan orang dapat menunjukkan campur tangan kekuasaan kepala rumah tangga secara tak terbatas. Tetapi di sini harus diperhatikan bahwa walaupun kekuasaan setiap kepala rumah tangga pribadi dianggap miliknya secara eksklusif, namun sesungguhnya kelompok sosial "rumah tangga" itulah yang memiliki kekuasaan pemersatu yang tertinggi, kekuasaan yang membatasi dan perilaku masing-masing anggota, termasuk kepala rumah tangga. 

Salah satu ciri kelompok lainnya yang terpateri dalam rumah tangga Jepang tampak bila satu perusahaan dianggap sebagai suatu kelompok sosial. Dalam hal ini suatu kelompok sosial yang tertutup terbentuk dari "Sistem pengaryaan selama hidup". Posisi seorang pekerja baru dan sikap penerimaan perusahaan terhadapnya sama dengan posisi dan sikap terhadap bayi yang baru lahir, menantu baru atau pengantin wanita yang masuk dalam rumah tangga suaminya. Sejumlah gambaran khusus yang terkenal mengenai sistem pengaryaan Jepang memperjelas ciri ini, misalnya, fasilitas perumahan dari perusahaan, tunjangan rumah sakit, kelompok rekreasi keluarga untuk para karyawan, hadiah uang dari perusahaan pada waktu pernikahan, kelahiran atau kematian, bahkan nasihat dari konsultas perusahaan mengenai keluarga berencana. Hal yang menarik di sini adalah kecenderungan ini tampak jelas pada perusahaan besar yang paling mengindahkan masa depan, atau pada manajemen yang dianggap modern dan maju. Konsep itu malah lebih jelas lagi dalam sistem pembayaran dasar di Jepang, yang dipergunakan oleh setiap perusahaan industri dan organisasi pemerintah, dalam mana tunjangan keluarga merupakan unsur pokok. Konsep ini terulang lagi dalam kaidah sistem pembayaran menurut masa kerja yang lebih lama.

Hubungan antara majikan dan pekerja tidak harus dijelaskan dengan istilah-istilah yang bersifat kontrak. Sikap majikan diungkapkan lewat pepatah "perusahaan adalah orangnya". Pepatah ini menyatakan kepercayaan bahwa majikan dan pekerja terikat menjadi satu oleh nasib dalam berbagai kondisi yang menghasilkan tali ikatan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Tali ikatan itu sedemikan kuat dan eratnya sehingga menyerupai ikatan antara suami dan istri. Hubungan semacam ini nyata tidak semata-mata bersifat kontrak antara majikan dan pekerja; pekerja sudah menjadi anggota rumah tangga majikan, dan semua anggota keluarga rumah tangga majikan biasanya termasuk dalam "keluarga" perusahaan yang lebih besar. Para majikan tidak mempekerjakan seseorang sebagai tenaga kerja saja tetapi sebagai manusia seutuhnya benar-benar, sebagaimana ditunjukkan dalam ungkapan matugakae (seluruhnya termasuk di dalamnya). Kecenderungan ini dapat diturut secara konsisten dalam manajemen Jepang dari masa Meiji hingga saat ini.

Sistem mempekerjakan orang selama hidup yang dapat dilihat dari keikatan yang padu dan abadi di antara majikan dan pekerja amat kontras dengan mobilitas tenaga kerja yang tinggi di Amerika Serikat.

Telah ditunjukkan bahwa sistem ini berkembang dari situasi ekonomi Jepang dan berkaitan erat dengan surplus tenaga kerja. Tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh J.C Abegglen dalam analisanya yang mendalam (J.C Abegglen, The Japanese Factory, 1958, Bab 2). ketidakmobilan tenaga kerja ini juga berkaitan erat dengan sifat struktur sosial orang Jepang. Hal ini niscaya akan menjadi jelas dalam pembahasan saya. Sesungguhnya, hubungan perburuhan Jepang dalam hal kelebihan dan kekurangan tenaga kerja sekurang-kurangnya mempengaruhi sistem mempekerjakan orang selama hidup. Tentu saja, situasi yang bertentangan ini bersama-sama telah ikut memperkembangkan sistem itu.

Di sini mungkin baik sekali untuk memberikan gambaran ringkas mengenai sejarah perkembangan sistem mempekerjakan orang selama hidup di Jepang. Pada masa awal industrialisasi di Jepang, sebenarnya tingkat perpindahan tenaga kerja pabrik dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain cukup tinggi, persis seperti beberapa tipe khusus pekerja atau para tukang di kota praindustri Jepang yang bergerak bebas dari pekerjaan yang satu ke pekerjaan yang lain. Mobilitas semacam ini pada beberapa pekerja di Jepang pada masa praindustri dan pada masa industri awal tampaknya disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut: suatu tipe khusus mata pencaharian yang persentase pekerjanya agak kecil dari jumlah keseluruhan penduduk yang bekerja dan permintaan akan pekerja dalam mata pencaharian itu sangat tinggi; para pekerja ini berada dalam situasi yang ada di luar sistem-sistem yang sudah sangat melembaga. Mobilitas para pekerja pabrik disebabkan oleh ketidakpastian dan ketidakmampuan para majikan mempertahankan gugus tugas yang tetap. Untuk melawan arus yang demikian keras ini, kebijakan manajemen sedikit demi sedikit berubah ke arah usaha mengikat para pekerja di perusahaan selama usia kerja mereka dan tidak lagi mengembangkan suatu sistem berdasarkan peraturan kontrak. Pada permulaan abad ini perusahaan-perusahaan besar sudah mulai mengembangkan kebijakan manajemen berdasarkan ikatan selama usia kerja ini; bentuk mereka bisa jadi bermacam-macam jaminan kesejahteraan, perumahan perusahaan dengan uang sewa nominal, kemudahan pembelian dengan potongan dan lain-lain semacam itu. Kecenderungan itu khususnya makin menonjol sesudah Perang Dunia I ketika kekurangan tenaga kerja menjadi akut.

Pada akhir Perang Dunia I itu juga sistem mempekerjakan orang secara regular mulai menjadi kebiasaan di antara perusahaan-perusahaan besar. Dengan sistem itu, setiap musim semi perusahaan merekrut sejumlah besar anak yang baru saja lulus sekolah. Perkembangan ini berasal dari permintaan akan personalia yang terampil untuk perusahaan, personalia yang terbiasa dengan sistem-sistem produksi dengan mempergunakan mesin akibat diperkenalkannya macam-macam mesin baru dari Jerman dan Amerika Serikat. Anak-anak yang baru lulus dari sekolah merupakan gugus tenaga kerja yang paling baik potensinya untuk industri dengan mekanisasi karena mereka lebih mudah dibentuk untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perusahaan. Mereka dididik dan dilatih oleh perusahaan bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara moral. Di Jepang ada kepercayaan bahwa moral individu dan sikap mental berpengaruh penting terhadap daya produktivitas. Kesetiaan terhadap perusahaan dinilai tinggi. Seseorang boleh saja dianggap sebagai teknisi yang sangat baik, tetapi bila cara berpikir dan sikap moralnya tidak sesuai dengan ideal perusahaan maka perusahaan yang bersangkutan tidak akan segan-segan memecatnya. Orang-orang yang pindah dari perusahaan lain pada satu tahap yang sudah sangat tua dalam usia-kerja mereka biasanya dianggap sulit dibentuk atau dicurigai kesetiannya. Oleh karena itu kemudahan dididik merupakan alasan utama mengapa perekrutan pekerja makin lama makin diarahkan pada anak-anak yang baru saja lulus sekolah (pernyataan yang bagus sekali mengenai kondisi yang berkenaan dengan hal ini dapat dilihat pada Abegglen, op. cit., Bab1).

Dengan demikian metode perekrutan sudah meratakan jalan bagi perkembangan sistem mempekerjakan orang selama hidup. Satu sarana tambahan dikembangkan untuk mempertahankan para pekerja dalam satu perusahaan, misalnya, sistem pembayaran masa kerja berdasarkan lama kerja, usia dan kualifikasi pendidikan, dengan tambahan sejumlah pensiun yang bagus. Prinsip dibalik sistem penggajian menurut masa kerja ini memperoleh keuntungan dari ikatan erat dengan pola tradisional manajemen niaga dan pertanian dalam lingkungan Jepang praindustri. Dalam perusahaan-perusahaan dengan gaya lama ini ukuran operasionalnya relatif kecil, satu rumah tangga atau sekelompok rumah tangga yang dihimpun memusat pada satu rumah tangga khusus, yang kepalanya bertindak selaku majikan, sementara para anggota keluarganya dan para anggota yang bergabung ataupun para hamba bertindak selaku pegawai tetap. Dengan demikian pola penempatan kerja di perusahaan industri modern mempunyai ikatan yang erat secara struktural dan ideologis dengan manajemen rumah tangga tradisional.

Perubahan ke arah mempekerjakan orang selama hidup pada dasawarsa kedua dan ketiga abad ini ditunjang oleh perkembangan struktur birokrasi usaha bisnis: suatu pembagian seksi-seksi yang kian banyak disertai oleh penggolongan yang lebih baik pada pangkat-pangkat resmi. Selama dua puluh tahun itu timbullah bermacam-macam pakaian seragam bagi para pekerja, lencana yang dipergunakan sebagai lambang perusahaan dan strip yang terpasang pada topi seragam menunjukkan bagian atau pangkat. Dengan demikian para pekerja ditempatkan dalam suatu hirarki kelembagaan yang lebih ketat lagi. Tetapi mereka juga memperoleh perangsang yang lebih besar dengan harapan akan naik pangkat.

Sewaktu perang sistem ini diperkokoh lebih lanjut dengan diterapkannya pola militer. Ketidakmobilan tenaga kerja ditunjang lagi oleh kebijakan pemerintah yang menghambat gerak maju mobilitas yang mengakibatkan kekurangan jumlah tenaga kerja yang akut. Kekangan atas gerakan tenaga kerja pindah dari pabrik yang satu ke pabrik yang lain ditopang oleh alasan moral bahwa seorang pekerja dapat mengabdi sebaik-baiknya pada negaranya melalui pelayanan yang terpusat pada pabriknya sendiri. Pabrik harus dianggap sebagai satu rumah tangga atau keluarga, dalam mana majikan akan dan harus memperhatikan baik kehidupan materiil maupun mental pekerja berikut keluarganya. Menurut "Rancangan Undang-Undang Perburuhan" (Terbitan Kementerian Kesejahteraan Umum, Februari 1945):
"Berdasarkan produksinya, pabrik merupakan kancah untuk mewujudkan cita-cita sejati tenaga kerja Kekaisaran. Orang yang memelihara cita-cita ini menjadi pemersatu buruh. Atasan dan bawahan harus saling membantu. Para rekan sejawat harus saling bekerjasama dan dengan kekerabatan sebagai dalam satu keluarga, kami akan menggabungkan buruh dan manajemen".

Dengan demikian fungsi pabrik yang serupa dengan keluarga itu terbentuk sebagian oleh karena kekuasaan negara. Dalam hubungan ini, suatu sikap moral dan patriotisme dianggap lebih penting daripada keahlian teknis. Untuk mengatasi kekurangan dalam pasar komoditi, pabrik tersebut berusaha menyediakan beras, sayur-sayuran, pakaian, tempat tinggal, akomodasi dan pelayanan kesehatan, dan lain-lain.

Paham kekeluargaan, pelayanan kesejahteraan dan pembayaran tambahan yang diberikan oleh perusahaan dengan demikian dikembangkan sepenuhnya dalam lingkungan khusus bersuasana perang, dan tetap dipertahankan sebagai pola kelembagaan dalam tahun-tahun sesudah perang. Perlu juga dicatat bahwa proses itu selanjutnya ditunjang oleh kegiatan serikat buruh sesudah perang. Seusai perang, serikat buruh timbul seperti cendawan. Ada 48.000 serikat buruh yang mendaftarkan 9.000.000 buruh sebagai anggotanya. Serikat-serikat buruh ini pertama-tama dibentuk dalam satu perusahaan tertentu dan mencakup anggota yang tipe mata pencaharian dan kualifikasinya berbeda-beda, baik staf maupun pekerja. Dikatakan bahwa dalam beberapa segi suatu serikat buruh seperti halnya Kelab Patriotisme Industri selagi perang (Sangyo-hokoku-kai) hanya kekurangan presiden perusahaan. Jadi serikat buruh itu hanya menjadi sebagian dari basis asas kekeluargaan. Pemberian rumah perusahaan, pusat-pusat rekreasi di pantai laut atau di pegunungan, semuanya merupakan hal-hal yang diminta oleh serikat buruh di samping tambahan gaji. Terutama, satu-satunya keberhasilan serikat buruh yang paling penting adalah diperolehnya hak untuk naik banding terhadap keputusan pemutusan hubungan kerja atau pemecatan. Pada masa-masa yang tak lama sesudah perang itu pemutusan hubungan kerja berarti kelaparan; bersama dengan makin bertambahnya kekuasaan serikat buruh secara cepat, ini merupakan pendorong keberhasilan dalam memperoleh hak istimewa yang mengagumkan itu. Dengan demikian mempekerjakan buruh seumur hidup yang merupakan kebijakan prakarsa manajemen mencapai bentuk yang paling sempurna lewat akibat dari aliran serikat buruh seusai perang. Sekali lagi, untuk memerangi kekurangan tenaga kerja muda dan para insinyur ahli yang sekarang ini dirasakan akut, kebijakan manajemen beranjak lebih lanjut ke arah usaha mempertahankan tenaga kerja yang ada dengan memberikan jaminan-jaminan yang lebih menguntungkan.

Sebagaimana telah diperlihatkan dalam arah perkembangannya, mempekerjakan buruh selama hidup bermanfaat bagi bagi majikan maupun bagi pekerja. Bagi majikan sistem itu membantu mempertahankan jasa para pekerja ahli pada masa-masa di mana terjadi kekurangan tenaga kerja. Bagi para pekerja sistem itu memberikan rasa aman pada masa-masa dalam keadaan kelebihan tenaga kerja; bagaimanapun lingkungan pasarnya, kecil sekali kemungkinan bagi seorang pekerja untuk mendapatkan pekerjaan baru, sekali ia pernah meninggalkan jabatannya di suatu pabrik. Di sini diperlihatkan suatu perbedaan pendapat yang radikal antara kebijakan perburuhan manajemen di Amerika dan di Jepang; seorang majikan Jepang membayar tenaga kerja di masa depan potensial, dan seorang majikan Amerika mempekerjakan buruh menurut kebutuhan saat ini. Menurut penalaran Jepang, setiap kekurangan dalam tenaga kerja saat ini akan dikompensasikan oleh perkembangan daya maksimum gugus tenaga kerja itu di masa depan; majikan Jepang membeli potensi tenaga kerja itu dan membentuknya sampai tepat sekali memenuhi kebutuhan produksinya. Di Amerika manajemen membeli tenaga kerja yang siap pakai.

Asas kekeluargaan, salah satu hasil lain dari mekanisme operasional perusahaan industri modern, merupakan saudara kembar dari sistem mempekerjakan orang seumur hidup. Kita sudah memusatkan perhatian pada konsep "Satu Keluarga Kereta Api" (lihat halaman 4) yang dianjur-anjurkan sejak 1909 oleh orang yang kemudian menjadi Presiden Perusahaan Negara Kereta Api, Goto Shinpei. Konsep itu diperkokoh lagi selama tahun-tahun perang dan tampak dalam slogan-slogan yang begitu favorit dari manajemen seusai perang seperti "jiwa cinta pada perusahaan" dan "asas kekeluargaan baru". Menurut apa yang disebut teori manajemen modern yang maju, suatu "jiwa cinta pada perusahaan" yang sejati dan merasuk tidak semata-mata dianjurkan, melainkan benar-benar suatu atmosfir yang timbul dari kebijakan manajemen, sedemikian sehingga "tumbuh subur atau tidaknya rasa cinta pada perusahaan merupakan barometer dari bakat dan kemampuan staf manajemen". Bahkan juga dalam ungkapan-ungkapan abadi yang sepertinya bersifat antitesis "kita harus mencintai perusahaan" dan "jiwa cinta pada perusahaan adalah bodoh" — motivasi dasarnya adalah tetap untuk memelihara partisipasi emosional dari pekerja seutuhnya.

Ringkasnya, ciri-ciri perusahaan Jepang sebagai kelompok sosial adalah, pertama-tama, bahwa kelompok itu sendiri seperti keluarga, dan kedua, bahwa perusahaan itu merasuk bahkan sampai ke kehidupan pribadi para pekerjanya, karena setiap keluarga secara ekstensif bergabung dalam perusahaan tersebut. Ciri-ciri ini secara sadar dikembangkan oleh para manajer dan administrator dengan taatnya, mulai dari masa Meiji. Adalah benar bahwa pengembangan ini selalu berhasil dan mendatangkan buah.

Rasa perpaduan kesatuan kelompok seperti yang telah ditunjukkan dalam mekanisme operasional keluarga dan perusahaan, merupakan dasar yang esensial bagi keikutsertaan emosional dari orang per orang dalam kelompok itu; rasa perpaduan itu ikut membina suatu dunia yang tertutup dan menghasilkan pengasingan atau kebebasan kelompok yang kuat. Tak dapat tidak hal ini menumbuhsuburkan adat kebiasaan rumah tangga dan tradisi perusahaan. Dua hal yang disebut terakhir itu pada gilirannya ditekankan dalam berbagai motto yang mempertebal rasa persatuan dan solidaritas kelompok. Jadi lebih memperkokoh kelompok itu. Selaras dengan itu kebebasan kelompok dan stabilitas kerangka yang diperkuat oleh rasa persatuan itu menciptakan jurang pemisah antara kelompok tersebut dengan orang-orang lain dari atribut yang sama tetapi berada di luar kerangka; sementara itu jarak antara orang-orang yang berbeda atributnya yang berada di dalam kerangka makin dipersempit dan berfungsinya setiap kelompok yang dibentuk atas dasar atribut yang sama dilumpuhkan. Para pekerja dalam suatu perusahaan, suka atau tak suka, harus tetap bersama kelompok: bukan hanya karena mereka tidak mau pindah ke perusahaan lain; bahkan sekalipun mereka berminat pindah mereka tidak punya sarana untuk melaksanakan niat itu. Karena tidak ada ikatan di antara para pekerja dengan jenis yang sama, seperti halnya dalam serikat tukang yang "horisontal", mereka tidak dapat memperoleh baik informasi maupun bantuan dari rekan-rekannya yang lain. (Situasi ini sama saja dengan situasi saudara wanita yang menikah, seperti yang telah dilukiskan di depan tadi). Jadi dalam jenis organisasi sosial ini, demikian masyarakat bertumbuh semakin stabil, kesadaran akan kualitas yang sama melemah dan sebaliknya, kesadaran akan perbedaan antara "orang-orang kita" dan "orang luar" makin tajam.

Kesadaran akan "mereka" dan "kami" diperkuat dan makin menjadi-jadi sehingga hal-hal yang begitu kontras dalam hubungan antarmanusia berkembang di masyarakat yang sama, dan setiap orang di luar "orang-orang kita" tidak dianggap manusiawi lagi. Terjadilah berbagai situasi yang tak masuk akal, misalnya bahwa orang akan mendahului orang asing berebut kursi kosong, tetapi kemudian, biar bagaimanapun capainya dia, kursi itu akan diserahkannya pada seseorang yang dikenalnya, terutama bila yang terakhir itu adalah pejabat yang lebih tinggi kedudukannya dalam perusahaan tempat dia bekerja.

Satu contoh ekstrem mengenai sikap perilaku kelompok adalah dinginnya orang Jepang (yang tidak semata-mata sikap acuh tak acuh, melainkan rasa bermusuh yang aktif) yang mengherankan, rasa jijik dan penolakan yang akan mereka tunjukkan pada orang asing dari pulau lain, atau pada mereka yang hidup dalam "buraku" (dulu kelompok sosial yang dikucilkan tetapi sekarang sudah dianggap secara hukum sama dengan yang lain walaupun masih juga didiskriminasikan). Di sini sikap sempurna mengasingkan orang dari luar dunia "kita" dilembagakan. Di India kita kenal adanya kasta paling rendah yang disebut "paria" (yang tak boleh disentuh). Tetapi sekalipun sekilas pintas sikap orang India terhadap anggota kasta lain tampak sama dengan perilaku orang Jepang, tetapi sesungguhnya tidak demikian. Orang India tidak menarik perbedaan yang tajam antara "mereka" dan "kita" sebagai dua kelompok yang berbeda. Di antara macam-macam kelompok orang India, A, B, C, dan sebagainya, seseorang mungkin anggota kelompok A, sedang orang lain anggota kelompok B; tetapi baik A, B, C maupun kelompok lainnya lagi bersama-sama membentuk satu masyarakat. Anggota kelompok A tadi akan beranggapan bahwa kelompoknya merupakan bagian dari masyarakat keseluruhan, sementara bagi orang Jepang, dunia "kita" dipertentangkan dengan dunia keseluruhan itu. Sikap orang India terhadap orang dari kelompok lain lebih menunjukkan perilaku acuh tak acuh daripada perilaku bermusuhan.

Ciri-ciri pembentukan kelompok ini menyatakan bahwa afiliasi dan hubungan manusia kelompok Jepang satu terhadap yang lain sangat eksklusif: kesetiaan dianggap satu-satunya nilai yang paling tinggi dan kuat. Tentu saja ada banyak contoh mengenai keanggotaaan lebih dari satu kelompok (keanggotaan ganda), tetapi dalam contoh-contoh itu selalu ada satu kelompok yang paling disukai sementara kelompok yang lain dianggap sekunder. Orang Cina sebaliknya, sama sekali tidak bisa memutuskan mana kelompok yang paling penting di antara beberapa kelompok yang diikutinya. Sejauh kelompok-kelompok itu berbeda sifatnya, orang Cina tidak melihat adanya pertentangan dan beranggapan bahwa sangatlah wajar bila seseorang sekaligus menjadi anggota beberapa kelompok. Terhadap sikap semacam itu orang Jepang akan mengatakan: "Orang itu mencari muka dimana-mana!" Ungkapan ini mengandung suatu penilaian moral. Fakta bahwa orang Jepang berbangga diri mengenai anggapannya itu dan menyebutnya sikap kritis ini sangat khas Jepang. Ungkapan "tidak seorang pun dapat mengabdi dua tuan", dianggap sepenuhnya benar oleh orang Jepang. Dalam partisipasi badan-jiwa emosional tidak ada tempat untuk pengabdian pada dua tuan. Jadi, seseorang atau suatu kelompok selalu mempunyai hubungan tunggal yang amat unik dengan yang lain. Cita-cita semacam ini juga tampak dalam hubungan antara guru dan murid, dosen dan mahasiswa dewasa ini. Bagi seorang sarjana Jepang, orang yang disebutnya guru selalu sarjana tertentu yang senior, dan secara linear dia diakui sebagai milik guru tersebut. Baginya, mendekati sarjana lain yang bersaing dengan sang guru dianggap pengkhianatan, dan biasanya amat sangat memukul hati sang guru. Sebaliknya orang Cina beranggapan bahwa biasa saja orang memiliki beberapa guru dalam hidupnya dan orang bebas belajar dari semua guru, itu tanpa menghiraukan bahwa di antara mereka terjadi persaingan.

Jadi dalam masyarakat Jepang tidak ada ikatan kelompok individual satu terhadap yang lain, tetapi juga ikatan yang menghimpun individu-individu satu terhadap yang lain. Ciri satu ikatan dalam hubungan sosial merupakan dasar dari cita-cita berbagai kelompok yang bermacam-macam, dalam satu masyarakat keseluruhan. Cara hubungan antarpribadi itu mencerminkan kaitan satu per satu akan kita bicarakan panjang lebar dalam bab yang akan datang.



Baca: Buku Masyarakat Jepang

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau