Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
d. Kesusastraan Sesudah Perang
Pengarang-Pengarang Lama Aktif Kembali
Setelah perang berakhir, pengarang-pengarang besar yang
sampai waktu itu terpaksa tutup mulut, mulai bersama-sama bergerak mengikuti
keadaan yang telah membaik sesuai dengan kebebasan pers yang telah pulih
kembali. Selama itu terbit novel-novel Ukishizumi (timbul tenggelam), Odoriko
(penari), dan Towazugatari (bicara tanpa bertanya) karya Nagai Kafuu, Sasameyuki
(hujan salju kecil) dan Shooshoo Shigemoto-no Haka (Ibu mayor jenderal
Shigemoto) karya Tanizaki Junichiroo, Hairo-no Tsuki (bulan kelabu) karya Shiga
Naoya, Ningengirai (benci manusia) dan Nihon Dasshutsu (kabur dari Jepang)
karya Masamune Hakuchoo, Senbazuru (seribu burung bangau), dan Yama-no Oto
(suara gunung) karya Kawabata Yasunari beserta penyelesaian terakhir karya
terdahulunya Yukiguni (negeri salju). Selain itu masih ada lagi Meiro (jalan
sesat) karya Nogami Yaeko, Omoigusa (rumput berpikir) karya Uno Kooji, Yasei-no
Yuwaku (bujukan liar) karya Nagayo Senroo, Honjitsu Kyuushin (hari ini tidak
praktek) karya Ibuse Masuji dan novel-novel lain.
Di antara pengarang-pengarang kelas menengah antara lain
terdapat Dazai Osamu yang melukiskan dengan sangat menyayat hati
kesukaran-kesukaran para cendekiawan pada zaman yang lalu dalam bukunya Shayoo
(tenggelamnya matahari) dan Ningen Shikaku (orang tak berguna). Kemudian ada
lagi Ishikawa Jun dengan karyanya Yakeato-no Iesu (Tuhan Yesus yang dibakar),
Oda Sakunosuke dengan karyanya Doyoo Fujin (wanita hari sabtu), Sakaguchi Ango
dengan karyanya Tsuirakuron (jatuh), Itoo Sei dengan karyanya Narumi Senkichi
(kisah Narumi Senkichi) dan Hi-no Tori (burung api) dan lain-lain. Ada lagi
pengarang-pengarang baru yang menentang moral-moral yang telah terbentuk pada
waktu itu, semangat mengeritik ini merupakan suatu kenikmatan bagi dirinya.
Di antara buku-buku jenis “novel Aku” terdapat Sei Yohane
Byooinnite (di rumah sakit St. Yohanes) karya Kanbayashi Akatsuki, Mushi-no
Iroiro (bermacam-macam serangga) karya Ozaki Katsuo, Kane-no Yakata karya Amino
Kiku dan lain-lain. Kemudian, karya Shimagi Kensaku yang berjudul Akagaeru
(kodok merah) yang merupakan buku cerita psikologi juga populer.
Di antara buku-buku cerita rakyat ada Iyagarase-no Nenrei
(usia yang menjengkelkan) dan Kokuheki (dinding tangisan) karya Niwa Fumio,
Gamoo (bulu angsa) karya Funabashi Seiichi, Aoi Sanmyaku (pegunungan hijau)
karya Ishizaka Yoojiroo, Ningen-no Kabe (dinding manusia) karya Ishikawa Tatsuo, Ukigumo (awan mengambang) karya Hayashi Fumiko, Kikyoo
(pulang kampung) karya Osaragi Jiroo, Nikutai-no Mon (gerbang tubuh) karya
Tamura Taijiroo dan buku-buku lain. Ada lagi buku Fuuzoku Shoosetsuron (tentang buku cerita rakyat) karya Nakamura Mitsuo yang berisikan
kritikan-kritikan tentang buku-buku cerita rakyat pada waktu itu.
Pengarang-Pengarang Baru Yang Tumbuh Sesudah Perang
Perang yang merupakan pengalaman menyedihkan bagi bangsa Jepang
ternyata telah melahirkan corak baru dalam aliran sastra yang berbeda dengan
hasil karya sastra sebelumnya. Karya kesusastraan aliran ini dikelompokkan
sebagai kesusastraan pertama sesudah perang (daiichiji sengoha bungaku) dan
berpangkalan pada majalah sastra Kindai Bungaku. Mereka juga didukung oleh para
kritikus pada masa itu, antara lain Hirano Ken, Ara Masahito, Honda Shuugo,
Takahashi Yoshitaka, Katoo Shuuichi, Fukuda Tsuneari dan Hanada Kyoteru. Di
antara karya sastra yang mendapat pengaruh eksistensialisme antara lain adalah
Kuroi E (lukisan hitam) karangan Noma Hiroshi, Shinya-no Shuen (jamuan malam
hari) dan Eiennaru Joshoo karangan Shiina Rinzo, Shi-no Kageno Moto-ni (di bawah
bayangan mati) karangan Nakamura Shinichiroo, Sakurajima (pulau Sakura) karangan
Umezaki Haruo dan Mamushi-no Sue karangan Takeda Taijun. Selanjutnya karya
sastra yang timbul dari pangkalan aliran itu sendiri adalah Furyoki (kisah
tawanan) dan Nobi (api liar) karangan Ooka Shoohei. Karya Mishima Yukio yang
berjudul Kamen-no Kokuhaku (pengakuan palsu) diakui sebagai karya yang
menggambarkan “Keindahan akan keinginan mati muda”. Mishima Yukio berkedudukan
dekat dengan aliran romantis Jepang. Karyanya yang lain adalah Kinkakuji (kuil
Kinkaku) dan Hoojoo-no Umi (laut nan kaya).
Kesusastraan pertama sesudah perang lambat laun berakhir dan
dilanjutkan oleh kesusastraan kedua sesudah perang dengan karya-karya antara
lain Hiroba-no Kodoku (menyendiri di tengah lapangan) karangan Hotta Yoshie,
Kabe (dinding) karangan Abe Kimifusa, dan Tandoku Ryokoosha (wisatawan tunggal)
karangan Shimao Toshio. Sesudah itu, muncul Toogyuu (adu banteng) dan
Tenpyoo-no Iraka karangan Inoue Yasushi. Selanjutnya muncul pengarang-pengarang
baru lain yang disebut “Orang Baru Ketiga”, misalnya Yasuoka Shootaroo,
Yoshiyuki Junnosuke, Kojima Nobuo, Shoono Junzoo, Endoo Shuusaku, dan Agawa
Hiroyuki.
Munculnya pengarang-pengarang wanita yang baru juga
merupakan pertanda zaman itu, antara lain Kooda Aya dan Enchi Fumiko yang sudah
terkenal, kemudian adalah Sono Ayako, Ariyoshi Sawako, Kurahashi Yumiko dan
lain-lain.
Kesusastraan Demokrasi
Menyadari kegagalan kesusastraan proletar, kaum proletar
lama bersama-sama dengan orang baru mencetuskan ide untuk melahirkan
kesusastraan demokrasi dan berpangkalan pada majalah Shin Nihon Bungaku.
Sastrawan-sastrawan ini adalah Miyamoto Yuriko yang aktif sekali dengan hasil
karyanya Banshuu Heino (dataran rendah Banshuu), Futatsu-no Niwa (dua buah
taman) dan Dookyoo, Tokunaga Sunao dengan karyanya Tsuma-yo Nemure dan Shizukanaru
Yamayama (gunung-gunung yang tenang), Nakano Shigeharu dengan karyanya Muragimo dan Koo Otsu Hei Tei, Noma Hiroshi dengan karyanya Shinkuu
Chitai (daerah hampa) dan Seinen-no Wa (gelang pemuda) dan lain-lain
Di antara Nakano Shigeharu dan Ara Masahito serta Hirano Ken
yang bersandar pada majalah Kindai Bungaku timbul polemik yang hebat baik yang
bersifat sastra maupun yang bersifat politik, mengenai karya Kobayashi Takiji yang berjudul Tooseikatsusha.
Ada beberapa karya sastra yang menggambarkan kesedihan dan
penderitaan akibat ledakan bom atom, antara lain Natsu-no Hana (bunga musim
panas) karya Hara Tamiki, Shikabane-no Machi (kota mayat) karya Oota Yooko,
Ma-no Isan (warisan hantu) karya Agawa Hiroyuki, Kuroi Ame (hujan hitam) karya
Ibuse Masuji dan Juei (bayangan pohon) karya Sata Ineko. Karya-karya ini
bersama-sama dengan karya Tooge Sankichi yang berjudul Genbaku Shishuu
(kumpulan puisi bom atom) merupakan karya yang mengenangkan kesedihan-kesedihan
akibat bom atom yang tidak bisa dilupakan oleh setiap orang Jepang.
Perubahan Kualitas Sastra
Perkembangan pesat di bidang jurnalistik pada waktu itu
mengundang suatu keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu
kesusastraan dapat diterima secara meluas di masyarakat. Perbedaan antara
kesusastraan murni (junbungaku) dengan kesusastraan picisan (taishubungaku) dan
kesusastraan populer (tsuzokubungaku) tidak begitu jelas lagi, dan karya sastra
(novel) yang bersifat campuran (chuukan shoosetsu) menjadi populer. Tidak saja
cerita-cerita non fiksi dan reportase saja bahkan cerita detektif dan cerita SF
(science fiction) pun disambut dengan baik oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan
perubahan kualitas sastra itu sendiri. Sebagai kritikus sastra pada waktu ini
selain yang sudah dikemukakan di depan masih ada lagi Yoshida Kenichi, Okuno
Takeo, Yoshimoto Takaaki, Etoo Jun, Isoda Kooichi, Takei Teruo, Saeki Shooichi,
Muramatsu Takeshi, Akiyama Shun, Matsubara Shinichi dan lain-lain.
Hadiah Nobel Di Bidang Sastra
Pada tahun 1968 Jepang mendapat hadiah Nobel di bidang
sastra untuk pertama kalinya. Sastrawan yang mendapatkannya adalah Kawabata
Yasunari. Berkat ini kesusastraan Jepang menjadi mendapat perhatian dari dunia.
Karya Kawabata Yasunari yang berjudul Utsuku-shii Nihon-no Watashi – Sono
Josetsu (aku dan Jepang yang indah ini, suatu introduksi) menjelaskan keindahan
tradisional dalam kesusastraan Jepang).
Comments
Post a Comment