Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
c. Perkembangan Naturalisme pada Zaman Meiji
Dalam sejarah Jepang kita mengenal periode zaman Meiji yang dimulai pada tahun 1868. Dalam zaman inilah terjadi pembaharuan yang kita kenal dengan sebutan Restorasi Meiji. Pemerintah Meiji mengadakan pembaharuan besar-besaran terutama di bidang politik, ekonomi, industri, kebudayaan, dan lain sebagainya. Pemerintah mendahulukan bidang-bidang yang sifatnya mendesak. Dalam bidang politik misalnya, kita kenal sebutan fukokukyohei yaitu strategi dalam kekuatan militer, kemudian ekonomi dan industri mengakibatkan lahirnya kapitalisme, sedangkan di bidang kebudayaan yang di dalamnya termasuk kesusastraan belum begitu mengalami pembaharuan. Oleh karena itu, pembaharuan di bidang kesusastraan mengalami keterlambatan hampir mencapai dua abad lamanya sejak pemerintah Meiji dimulai.
Sekitar 300 tahun lamanya pemerintah Shogun Tokugawa memerintah Jepang (berakhir pada tahun 1867). Pemerintahan Meiji lahir pada tahun berikutnya. Cepat atau lambat dalam pemerintahan Meiji, bidang kebudayaan pada umumnya dan kesusastraan khususnya akan mengalami pembaharuan. Pembaharuan dalam bidang kesusastraan tercipta setelah pemerintahan Meiji berlangsung 20 tahun. Pemerintah Meiji bergegas meniru dan mengolah kebudayaan Barat. Pendidikan dan ilmu pengetahuan memegang peranan penting. Begitu pula dalam bidang kemasyarakatan, orang-orang berusaha menyerap secepatnya pemikiran kebudayaan Barat dan meninggalkan pemikiran lama.
Seperti halnya dalam struktur masyarakat lama, yaitu masyarakat pada zaman pramodern, telah terdapat pemikiran sistem kelas dalam masyarakat yang disebut Shinokosho. Kenyataan tersebut sudah tidak cocok lagi dan harus ditiadakan. Kemudian, dalam bidang ekonomi dikenal struktur ekonomi masyarakat kecil yang berupa manufaktur harus diganti dengan sistem modal raksasa, yaitu dalam industri raksasa. Begitu pula pola pemikiran masyarakat lama hendaknya diganti dengan pola pemikiran modern — modern pada waktu itu berarti pola berpikir yang didasarkan ilmu pengetahuan dan logika akal — seperti halnya orang-orang Eropa. Masyarakat yang telah lama terbelenggu kini menjadi bebas dan haus akan pendidikan dan ilmu pengetahuan seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli filsafat Jepang, Fukuzawa Yukichi (1834-1901), dalam bukunya yang berjudul Gakumon no Susume (Kemajuan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan) dan juga dalam Bunmei Kaika no Gairyaku (Risalah Kemajuan Peradaban). Jelaslah bahwa bidang ilmu pengetahuan merupakan inti dari modernisasi nasional bangsa Jepang di satu pihak, dan di lain pihak dengan tergesa-gesa menyerap ilmu pengetahuan serta kebudayaan Barat menyebabkan tidak sedikit hal-hal yang diringkas ataupun dipaksakan. Oleh karena itu, di tengah-tengah pembaharuan banyak terjadi hal-hal yang bersifat kontradiksi, seperti halnya pemikiran modern dan pemikiran lama, kekuasaan militer dan kebebasan individu.
Dengan terbentuknya masyarakat modern, maka terbentuk pulalah kesusastraan Jepang modern. Dalam menelaah kesusastraan Jepang modern, kiranya perlu ditinjau terlebih dahulu bagaimana terbentuknya masyarakat modern atau masyarakat zaman Meiji, karena kesusastraan Jepang modern lahir dalam masyarakat Meiji. Begitu pula sifat-sifat kesusastraan Jepang modern merupakan gambaran dari masyarakat zaman Meiji.
Sebelum membiasakan kesusastraan zaman Meiji, kita tinjau sejenak kesusastraan pra-Meiji, yaitu kesusastraan zaman Edo (1603-1867). Pada zaman Edo kesusastraan bukanlah bidang yang diminati banyak orang, begitu pula karya sastra, hanya dibaca oleh orang-orang dari golongan terendah, wanita, dan anak-anak (Kumimatsu Akira dalam Nihon Kindaishi). Oleh karena itu, minat baca sangat lemah apalagi untuk menjadi sastrawan. Dunia sastra dianggap memiliki derajat rendah sehingga tidak mengalami perkembangan yang pesat, di samping alat-alat percetakan belum menunjang. Pada zaman pra-Meiji telah ada pujangga-pujangga terkenal seperti Ihara Saikaku (1693-1842), Ueda Akinari (1734-1809), masing-masing menulis karya sastra Ukiyozoshi dan Ugetsu Monogatari. Tema sastra pada zaman itu banyak berkisar pada kanzen choaku yang mempunyai arti yang jujur akan mujur dan yang salah akan kalah.
Sesudah memasuki zaman Meiji — merupakan zaman memasuki peradaban baru — dikenal dengan Bunmei Kaika. Untuk sementara pengetahuan kesusastraan tersisih dan tidak tergolong dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang segera diperlukan, sedangkan yang didambakan masyarakat pada waktu itu adalah bidang ilmu lainnya.
Kedudukan kesusastraan pada awal zaman Meiji, sesungguhnya belum melahirkan kesusastraan Jepang modern. Setelah susunan masyarakat Jepang modern terbentuk, barulah lahir kesusastraan Jepang modern setelah hampir dua dasawarsa berselang. Dengan lahirnya karya sastra Shosetsu Shinzui yang merupakan ulasan sastra (Makna dari Novel) dari Tsubouchi (1859-1935), lahirlah kesusastraan Jepang modern (1855).
Setelah adanya Shosetsu Shinzui barulah minat sastra dari kalangan pemuda pada zaman Meiji 20-an beranjak setingkat. Dengan kata lain, kedudukan Shosetsu Shinzui mengangkat derajat sastra ke peringkat yang lebih tinggi. Hal ini karena dahulu sastra merupakan bacaan kaum rendah, begitu pula tanggapan terhadap sastrawan. Akan tetapi dengan munculnya Tsubouchi Shoyo, seorang sastrawan yang berpendidikan tinggi dan merupakan lulusan Universitas Tokyo, sanggup menggetarkan hati masyarakat dalam menambah minat baca karya sastra. Sesudah itu, bukan hanya karya Tsubouchi Shoyo saja yang mendapat perhatian masyarakat tetapi juga karya lainnya.
Dapat kita tandai bahwa Shoyo merupakan pembuka tabir kesusastraan zaman Meiji atau kesusastraan Jepang modern. Setelah Shoyo banyak bermunculan pujangga besar lainnya seperti Futabatei Shimei (1864-1909), Mori Ogai (1862-1922), Ozaki Koyo (1868-1903), Koda Rohan (1867-1947), dan Higuchi Ichiyo (1872-1896).
Kemudian, dengan melewatkan beberapa bagian perkembangan kesusastraan secara terinci, kami mencoba langsung menuju pada kejadian-kejadian penting dalam sejarah kesusastraan pada zaman Meiji, yaitu lahirnya paham baru dalam kesusastraan modern. Paham atau aliran baru tersebut tidak lain adalah naturalisme. Akibat Perang Jepang-Rusia (1904-1905), yang berakhir dengan kemenangan Jepang, pada saat itu lahirlah aliran baru yang disebut Nihon Shizensugi atau naturalisme yang semakin dikenal masyarakat Jepang. Untuk meninjau aliran tersebut, kami mencoba langsung menyimak salah seorang sastrawan pelopor aliran naturalisme Jepang yaitu pujangga Shimazaki Toson (1872-1943), dengan karya awalnya Hakai yang mempunyai arti Melanggar Petuah Ayah (1906). Dengan demikian, sampailah pada tema kedudukan naturalisme Jepang pada zaman Meiji.
Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa Tsubouchi Shoyo yang kemudian diikuti Futabatei Shimei adalah pelopor terbentuknya kesusastraan Jepang modern. Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Jepang modern, aliran baru yaitu naturalisme, seperti diutarakan oleh sastrawan yang bernama Nakamura Mitsuo dalam sejarah kesusastraan Meiji, adalah salah satu produk kesusastraan zaman Meiji yang kemudian menjadi dasar terbentuknya kesusastraan zaman Taisho. Naturalisme dalam kedudukannya merupakan aliran yang penting dan dijadikan inti dalam sejarah perkembangan novel kesusastraan Jepang modern.
Baca: Buku Pengantar Kesusastraan Jepang
Comments
Post a Comment