Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Lahirnya Kesusastraan Jepang Modern

Lahirnya Kesusastraan Jepang Modern


                                                              Bab 4
                        LAHIRNYA KESUSASTRAAN JEPANG MODERN



Tahun 1868 adalah awal tahun Meiji dan berarti pula dimulainya zaman Meiji. Pada permulaan zaman itu pemerintah banyak melakukan pembaharuan atau reformasi sehingga zaman itu disebut zaman Restorasi Meiji. Pembaharuan dititikberatkan pada bidang politik dan ekonomi, sedangkan adat atau tradisi serta pola pemikiran lama masih tertinggal. Begitu pula bidang kesusastraan, tidak mengalami perubahan sama sekali sehingga pembaharuan di bidang kesusastraan mengalami keterlambatan hingga dua dasawarsa kemudian.

Keadaan kesusastraan pada zaman Edo bukanlah suatu yang dianggap penting. Kesusastraan hanyalah merupakan bacaan kaum wanita dan anak-anak, bukan bacaan orang dewasa atau bacaan golongan intelektual. Kedudukan sastrawan pun dianggap rendah, padahal pada waktu itu telah banyak sastrawan yang terkenal seperti Ihara Saikaku dan Ueda Akinari. Masyarakat pembaca waktu itu sangat terbatas ditambah dengan harga buku bacaan yang sangat mahal. Pada umumnya isi cerita pun oleh pemerintah Tokugawa dan terbatas pada kanzen choaku. Karena itulah keadaan kesusastraan pada zaman Edo boleh dikatakan mengalami kemunduran.

Pada permulaan zaman Meiji (1868), setelah pemerintahan Bakufu Tokugawa runtuh dimulailah era baru dengan kebijakan-kebijakan baru yaitu adanya Reformasi Meiji. Pemerintah menempatkan Tenno sebagai pemimpin tertinggi negara.  Kebijakan ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh keadaan dunia pada waktu itu, di mana negara-negara Eropa memperebutkan pasar untuk menjual hasil industrinya akibat revolusi industri yang bermula di Inggris. Namun, faktor yang secara langsung mendorong agar Jepang terpaksa membuka negerinya adalah tekanan Komodor Perry yang mengancam dengan empat buah kapal perang pada tahun 1853. Pada masa itu dalam sejarah dunia ditandai dengan dinobatkannya Louis Napoleon dan pecahnya Perang Krim, sedangkan di Cina ditandai dengan terjadinya pemberontakan Taihei Tengoku. Pemerintah Tokugawa yang merasa terancam bahaya, cemas melihat keadaan Cina pada Perang Candu tahun 1840 dan terpaksa mengalah terhadap diplomasi keras berbentuk ancaman yang dipaksakan oleh Komodor Perry tersebut. Sikap diplomasi pemerintah Bakufu ini pulalah yang mempercepat runtuhnya pemerintahan Bakufu itu sendiri. Dengan kata lain, pemerintah Edo bertahan selama dua ratus tahun berkat politik isolasi dan runtuh akibat adanya politik pintu terbuka.

Tujuan pemerintahan Meiji adalah menerapkan modernisasi cara Barat di Jepang. Tema penting yang dianut oleh negara Jepang setelah terbangun dari tidurnya yang lama adalah secepat-cepatnya mengejar ketinggalan dari Barat. Berbagai bidang seperti politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan kemiliteran gaya Barat diimpor dan dilaksanakan dengan sangat gencar. Ideologi modernisasi ini bentuk luarnya adalah bentuk politik datsu-anyu-O (keluar dari Asia masuk Eropa), sedangkan dalam melaksanakan politiknya memakai wakon yosai (kepribadian Jepang, teknologi Barat).

Bentuk dan proses di bidang kesusastraan Jepang, diawali dengan munculnya sebuah buku yang terkenal yaitu berjudul Gakumon no Susume karya Fukuzawa Yukichi, yang meninggalkan banyak karya dan mengisi khazanah pemikiran zaman Meiji. Buku yang terbit pada tahun 1872 itu menekankan bahwa yang paling penting bagi modernisasi Jepang adalah pendidikan dan sains. Buku Gakumon no Susume  ini mengabaikan kesusastraan, kalau tidak dapat dikatakan bernada negatif terhadapnya. Hal yang ditekankan oleh Fukuzawa Yukichi berkali-kali adalah jitsugaku (ilmu praktis yang langsung berguna dalam kehidupan). Kebijaksanaan pemerintah Meiji yang berusaha secepatnya membangun negeri Jepang dengan model Barat untuk menghindari agresi kolonialisme negara-negara kapitalis yang kuat, sangat lumrah dan dapat dimengerti. Dalam keadaan seperti itu tentu kesusastraan tidak dibutuhkan. Jalan pikiran seperti ini dapat dikatakan merupakan konsensus masyarakat umum pada permulaan zaman Meiji. Oleh karena itu, pada awal Meiji modernisasi digalakkan dalam segala bidang, kecuali kesusastraan. Kesusastraan pada masa itu masih merupakan kelanjutan kesusastraan zaman Edo, yakni kesusastraan gesaku; sedangkan corak kesusastraan Barat belum diimpor. Namun, selama sekitar 10 tahun, sejak 1876, jenis kesusastraan yang dalam sejarah kesusastraan disebut novel politik, merupakan novel propaganda ideologi diterbitkan dalam jumlah besar akibat terjadinya pergerakan demokrasi Jepang. Novel politik ini juga dapat digolongkan dalam karya yang mendapat pengaruh dari kesusastraan Barat. Adapun yang dimaksud dengan kesusastraan modern Jepang adalah kesusastraan yang bermodelkan kesusastraan modern Eropa. Dengan demikian bila bermaksud membicarakan berbagai masalah mengenai lahirnya kesusastraan modern Jepang, secara langsung dan mau tidak mau kita harus menyinggung diimpornya kesusastraan modern model Eropa dan pertumbuhannya yang mantap di Jepang.

Ada beberapa syarat untuk menjadi kesusastraan modern. Pertama, menyangkut masalah kemandirian kesusastraan sehingga bukan merupakan alat politik maupun moral, seperti novel politik dan novel gesaku pramodern seperti yang sudah dibicarakan. Pemikiran seperti itu sudah diterapkan di Eropa. Selain itu, pemikiran seperti ini tentu harus memiliki gaya bahasa dan metode tersendiri. Gaya bahasa merupakan hal yang sangat penting karena media yang dipakai untuk mengungkapkan kesusastraan hanya satu, yakni bahasa. Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah ego, yakni ego manusia modern. Kesusastraan modern Eropa sudah menampilkan berbagai tokoh yang memiliki ego manusia modern. Goethe, Balzac, Dickens, Stendhal, Dostoevsky, Flaubert, Turgenev, Baudelaire, atau Rimbaud sudah menciptakan tokoh yang memiliki ego manusia modern. Diciptakannya tokoh yang sadar akan ego manusia modern dapat dianggap sebagai suatu persyaratan mendasar bagi lahirnya kesusastraan modern. Kesusastraan Jepang pada permulaan zaman Meiji diwarnai dengan novel kesusastraan gesaku yang bermula dari zaman pramodern, dan novel politik, sedangkan modernisasi kesusastraan Jepang lahir melalui bentuk yang tidak terduga sama sekali.

Sekitar tahun 1880 Tsubouchi Shoyo yang belajar ilmu politik di Universitas Tokyo, tidak naik tingkat karena menulis makalah tentang novel Hamlet karya Shakespeare dengan pemikiran kanzen choaku (pemikiran yang menganggap bahwa yang benar pada akhirnya akan berhasil, sedangkan yang jahat pada akhirnya akan menemui kegagalan) seperti lazimnya tema-tema yang ada pada novel gesaku. Pengalaman pahit ini membuka mata Tsubouchi Shoyo untuk mempelajari kesusastraan Eropa. Sebagai hasilnya tahun 1885 ia menerbitkan semacam buku petunjuk novel berjudul Shosetsu Shinzui.

Inti novel adalah ninjo (kemanusiaan), sedangkan setai fuzoku (keluarga dan adat) berada di bawahnya.

Inilah kata pembukaan yang terkenal dari buku Shosetsu Shinzui. Dengan kalimat itu kita sudah dapat mengetahui pandangan Tsubouchi tentang bagaimana seharusnya novel itu ditulis, yakni ninjo yang dalam bahasa sekarang dapat juga diartikan dengan shinri, yaitu unsur psikologi seseorang yang harus dibuat sebagai tema. Dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut belum pernah terjadi dalam perjalanan panjang kesusastraan Jepang. Benar-benar merupakan teori baru. Ia mengatakan bahwa kesusastraan haruslah berdiri sendiri sebagai kesusastraan, bukan sebagai alat propaganda politik maupun moral, dan realisme diterapkan dalam teknik penulisannya. Seperti tersebut di atas, penyebab langsung Tsubouchi berkenalan dengan kesusastraan Eropa (dalam hal ini kesusastraan Inggris), yang membuatnya memahami sesuatu tentang kesusastraan modern adalah kegagalannya naik tingkat di Universitas Tokyo. Shosetsu Shinzui yang meminjam teori kesusastraan Eropa ini memberi pengaruh sangat besar pada sastrawan muda pada masa itu. Mereka seakan-akan sudah menunggu munculnya teori kesusastraan baru yang sesuai dengan tuntutan zaman Meiji. Dengan munculnya Tsubouchi Shoyo maka jelaslah arah yang akan ditempuh kesusastraan modern. Karena teorinya sudah dipersiapkan, tinggal hasil karya yang merupakan pelaksanaannya harus ditulis dengan gaya bahasa yang baru pula.

Kira-kira bertepatan waktunya dengan peristiwa di atas, Hasegawa Tatsunosuke, seorang pemuda yang belajar bahasa Rusia di Sekolah Bahasa Asing Tokyo (sekarang Tokyo Gaikokugo Daigaku) dan seperti Tsubouchi yang belajar politik di Universitas Tokyo, sangat berminat menjadi diplomat. Mungkin sangat lumrah bila Hasegawa yang belajar bahasa Rusia dengan memakai teks buku kesusastraan Rusia akhirnya tertarik kepada kesusastraan Rusia itu sendiri. Hal ini terjadi karena kesusastraan Rusia abad XIX merupakan zaman keemasan, dengan hadirnya sastrawan terbaik seperti Pushkin, Nikolai V. Gogol, Dostoevsky, Tolstoy dan Turgenev. Hasegawa makin lama makin terbuka mata dan hatinya terhadap kesusastraan modern melalui karya sastrawan-sastrawan ini. Kemudian, Hasegawa Tatsunosuke atau Futabatei Shimei berusaha menerjemahkan karya sastra Rusia ke dalam bahasa Jepang. Dalam usaha menerjemahkan itu ia mengalami kesulitan yang belum pernah dialami tokoh kesusastraan sebelumnya, yakni dalam masalah gaya bahasa. Gaya bahasa yang dipakai pada masa itu secara garis besarnya adalah ragam bahasa Wabuntai (ragam bahasa asli Jepang) dan Kambuntai (ragam bahasa Cina gaya Jepang).

Kedua ragam bahasa ini termasuk dalam ragam bahasa tulisan. Futabatei yang pada waktu itu berumur sekitar 20 tahun mencoba menerjemahkan dengan susah payah. Belakangan Futabatei mengaku bahwa ia merasa tidak puas terhadap terjemahan yang dibuat dengan ragam bahasa tulisan itu. Kemudian, Futabatei menerjemahkan kesusastraan Rusia itu persis sebagaimana adanya ke dalam bahasa Jepang. Usahanya ini melahirkan gaya bahasa baru. "Aibiki", satu episode dari The Diary of A Hunter karya Turgenev berhasil diterjemahkan dengan baik dan akurat oleh Hasegawa, dan sampai sekarang belum ada terjemahan yang dapat menyainginya. Gaya bahasanya disebut dalam bahasa Jepang genbun itchi.

Bertepatan waktunya dengan perubahan hati Futabatei dari minat menekuni bidang politik ke bidang kesusastraan, terbitlah buku Shosetsu Shinzui karya Tsubouchi Shoyo. Dalam suatu pertemuan langsung, Tsubouchi yang lebih tua menyarankan agar Futabatei menulis novel, dan terbukti kemudian muncullah novel pertama Futabatei berjudul Ukigumo  yang diterbitkan pada tahun 1887. Novel ini dalam sejarah kesusastraan Jepang dianggap sebagai karya sastra pertama kesusastraan modern Jepang. Ukigumo yang sebenarnya belum rampung ini memenuhi berbagai prasyarat kesusastraan modern tipe Eropa; seperti memiliki kemandirian sebagai hasil karya sastra, menggambarkan ego manusia modern, dan ditulis dengan metode dan gaya bahasa yang baru.

Kalau kita lihat perjalanan kesusastraan Jepang selanjutnya — sambil memberi penilaian seperti di atas — tampaknya bahwa kesusastraan Jepang sangat kekurangan segi romantika yang seharusnya dimiliki sebuah novel. Hal ini karena sangat terpengaruh oleh lukisan perasaan maupun unsur psikologi novel Ukigumo, sebuah novel yang dapat dikatakan sebagai monumen. Beralihnya sastrawan aliran naturalis pada tahun 1910-an yang dapat dianggap sebagai "anak" Futabatei ke shishosetsu (novel aku) yang merupakan karya sastra yang sama sekali tidak mengakui adanya segi romantik, tidak dapat dipisahkan dengan eksistensi Ukigumo ini.

Bila direnungkan kembali, usaha yang dirintis Futabatei melalui novel pertamanya ini adalah suatu mukjizat. Bila kita ambil satu hal saja dari Ukigumo, misalnya gaya bahasanya, mau tidak mau kita terpaksa merasakan demikian. Gaya bahasa genbun itchi yang dirintis Futabatei ini adalah cikal bakal, sekaligus nenek moyang gaya bahasa Jepang modern dewasa ini. Gaya bahasa ini dipakai secara umum dalam penulisan novel pada tahun 1910, dua puluh tahun sesudah Futabatei merintisnya. Seluruh isi surat kabar memakai gaya bahasa ini baru pada sekitar tahun 1922. Memang sangat mengherankan dan barangkali tidak ada duanya di dunia ini bahwa buah pikiran seorang pemuda berumur 20 tahun dapat mengubah gaya bahasa suatu negara. Namun, seperti kebanyakan pionir berbakat, karier kesusastraan Futabatei tidak dapat dikatakan berjalan dengan mulus. Bahkan, dapat dikatakan nasibnya sama seperti yang dialami novel Ukigumo yang belum rampung itu sendiri. Di lain pihak, Tsubouchi juga merasa terdesak oleh bakat sastra yang dimiliki Futabatei yang lebih muda sehingga ia berhenti menulis novel dan memusatkan perhatiannya pada penerjemahan karya Shakespeare ke dalam bahasa Jepang, dan ini merupakan peristiwa pertama di Jepang.

Dapat disimpulkan bahwa lahirnya kesusastraan modern Jepang didasarkan teori yang dibuat Tsubouchi melalui Shosetsu Shinzui dan novel Ukigumo, karya Futabatei. Kedua karya ini lahir secara kebetulan dan berpadu secara kebetulan pula. Hasil karya Futabatei karena lahir terlalu cepat barulah dimengerti dan mendapat penilaian yang wajar dan dipakai 20 tahun kemudian oleh sastrawan aliran naturalis. Sastrawan aliran naturalis ini mewarisi pula satu sisi novel Ukigumo, yakni kekurangan segi romantika. Setelah itu, muncullah novel aku, sebuah bentuk novel khas Jepang yang kemudian hari membentuk aliran terbesar dalam novel Jepang.

Masalah terbesar yang harus dilalui dunia kesusastraan Jepang sesudah Perang Dunia II adalah perihal ditolaknya mentah-mentah unsur romantik oleh novel aku. Novel aku merupakan salah satu gaya penulisan objektivisme dari pengalaman nyata kehidupan pengarang itu sendiri, yang berarti pula menunjang lahirnya kesusastraan naturalisme di Jepang.


Baca: Buku Pengantar Kesusastraan Jepang

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Observasi dan Penelitian Lapangan

3. Observasi dan Penelitian Lapangan Pengumpulan data untuk suatu tulisan ilmiah dapat dilakukan melalui observasi dan penelitian lapangan. Observasi adalah pengamatan langsung kepada suatu obyek yang akan diteliti, sedangkan penelitian lapangan adalah usaha pengumpulan data dan informasi secara intensif disertai analisa dan pengujian kembali atas semua yang telah dikumpulkan. Observasi dapat dilakukan dalam suatu waktu yang singkat, sebaliknya penelitian lapangan memerlukan waktu yang lebih panjang. Observasi dapat dilakukan mendahului pengumpulan data melalui angket atau penelitian lapangan. Dalam hal ini observasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai obyek penelitian sehingga dapat disusun daftar kuestioner yang tepat atau dapat menyusun suatu desain penelitian yang cermat. Sebaliknya observasi dapat juga dilakukan sesudah mengumpulkan data melalui angket atau wawancara. Dalam hal ini tujuan observasi adalah untuk mengecek sendiri sampai di mana kebenara