Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Sistem Nilai

Sistem Nilai


1.  Sistem Nilai


Kita telah menyatakan bahwa sistem nilai Jepang dicirikan oleh pengutamaan nilai-nilai "politis". Nilai-nilai itu dapat ditentukan artinya dengan kombinasi variabel pola partikularisme dan prestasi (performance), atau dengan nilai-nilai yang cocok bagi dimensi pencapaian tujuan dari sistem sosial; sebenarnya rumus itu hanya merupakan dua cara unguk mengatakan hal yang sama(3). Jika kita berkata bahwa kepedulian utama tertuju kepada tujuan sistem, pernyataan itu sudah mengandung penegasan atas nilai partikularisme. Yang dipentingkan adalah sistem khusus (partikular) atau kolektivitas di mana seseorang menjadi anggota, entah itu keluarga, han(4) atau Jepang sebagai keseluruhan. Tanggung jawab pada kolektivitas itu didahulukan atas tanggung jawab universal, seperti tanggung jawab atas kebenaran dan keadilan. Tentu saja ada nilai universalisme atau tanggung jawab di Jepang dalam masa Tokugawa. Yang kita tandaskan adalah bahwa partikularisme diutamakan. Pentingnya kolektivitas dan hubungan partikularistik seseorang dengannya, nampak dari kenyataan sangat pentingnya kedudukan simbolis kepala kolektivitas, entah dia itu kepala keluarga, tuan feodal atau kaisar. Kedudukan ini cenderung merupakan peran perwakilan—kepala mewakili kolektivitas—dan sangat sering itu tidak merupakan peran eksekutif; fungsi-fungsi eksekutif yang aktual diberikan kepada pegawai kepala, atau pembantu. Dengan demikian ikatan partikularistik seseorang kepada kolektivitasnya dilambangkan sebagai kesetiaan kepada kepalanya. Kesetiaan memang luar biasa pentingnya di Jepang; hal ini merupakan ungkapan konkret dari nilai-nilai yang menurut pandangan kita memang diutamakan. Penting untuk dicatat bahwa kesetiaan ini adalah kesetiaan kepada kepala kolektivitas, siapa pun dia itu. Itu lebih merupakan kesetiaan kepada status daripada kepada seorang pribadi tertentu. Ada kemungkinan, dan, sering kali memang benar, terdapat kelekatan pribadi yang mendalam kepada sang kepala, tetapi itu bukanlah syarat bagi kesetiaan. Hal ini penting dipertimbangkan dalam kaitannya dengan rasionalisasi politik. Di situ terkandung kemungkinan adanya kesetiaan yang mendalam kepada seseorang (misalnya, kaisar atau shogun) yang sama sekali tidak berhubungan secara pribadi dengan individu yang bersangkutan, dan dengan demikian terdapat pula kemungkinan terciptanya pengaruh politik yang kuat yang melebihi lingkup pengaruh yang semata-mata pribadi sifatnya. Partikularisme yang umum ini kemudian dengan cara-cara tertentu bisa berfungsi sebagai padanan bagi universalisme dalam proses rasionalisasi dan perluasan kekuasaan.

Begitu pula, jika kita mengatakan bahwa kepedulian utama terarah kepada tujuan sistem, itu berarti bawah nilai prestasi (performance)  diutamakan. Kepedulian pertama-tama tertuju kepada tujuan sistem daripada kepada pelestarian sistem, dan suatu tujuan harus dicapai. Demikianlah, prestasi (performance) atau pencapaian (achievement) menjadi nilai-nilai utama. Sangat pentingnya status di Jepang semula membawa saya kepada penegasan bahwa kualitas atau ciri bawaan (ascription) diutamakan dalam sistem nilai Jepang. Tak ayal lagi bahwa nilai ini memang sangat penting. Kendati demikian, mungkin pengutamaan nilai prestasi akan bisa lebih jelas, jika orang mempertimbangkan bahwa status sendiri tidak merupakan jaminan ketangguhan. Hanya prestasi dalam mengabdi tujuan sistem yang sungguh menjamin ketangguhan. Mereka yang menempati peran perwakilan yang sangat penting, kepala-kepala kolektivitas, dalam konteks yang lebih luas juga merupakan bawahan yang harus berjuang mengusahakan tercapainya tujuan sistem yang membawahi mereka. Bahkan kaisar pun terikat kepada leluhur atas perilakunya dan dia harus mempertanggungjawabkan semuanya kepada mereka.  Di tingkat kehidupan mana pun di Jepang tak ada kecenderungan bahwa gaya hidup status, sekali tercapai, selanjutnya merupakan jaminan ketangguhannya sendiri (sebagaimana misalnya, gaya hidup status bangsawan Cina). Pentingnya nilai prestasi (performance) selanjutnya tergambar dalam keluarga, tempat kualitas bawaan (ascription) biasanya diutamakan. Tingkat prestasi yang sangat intensif rupanya dituntut dari anak-anak dengan sekurang-kurangnya memberikan ancaman untuk tidak mendapat warisan bila mereka tak cakap atau suka menyeleweng(5). Demikianlah, ahli-ahli dalam kesenian dan kerajinan tidak jarang mengangkat murid-murid yang sangat berbakat menjadi pewaris atau pengganti mereka. Kesetiaan di Jepang tidak hanya mengandung arti kepatuhan pasif, melainkan pengabdian aktif dan prestasi. Harus dicatat bahwa penghargaan tinggi kepada prestasi mengandung perbandingan-perbandingan atas pencapaian relatif, dan patokan untuk perbandingan-perbandingan semacam itu harus dibuat bersifat universal. Pertimbangan ini bersama dengan universalisme semu yang terkandung dalam generalisasi partikularisme yang telah dibahas di atas membawa kita kepada kesimpulan bahwa universalisme boleh jadi cukup penting, meski hanya menduduki tempat kedua.

Perlu dicatat bahwa meskipun pencapaian tujuan merupakan kepedulian utama dalam sistem nilai, isi dari tujuan yang harus dicapai itu secara relatif bisa bervariasi. Tentu saja tujuan yang dipilih akan, atau diperkirakan akan, meningkatkan kekuasaan dan prestise kolektivitas. Tetapi kekuasaan dan prestise kolektivitas itu dapat ditingkatkan melalui kedamaian internal dan kemakmuran, melalui kemenangan dalam perang, melalui perluasan daerah secara imperialistis, dengan cara menjadi model bagi bangsa-bangsa lain dalam perdamaian dan taraf kebudayaan yang tinggi, dan sebagainya. Pengutamaan nilai pencapaian tujuan, nilai "politis" dalam arti yang dipakai di sini, dengan demikian tidak tergantung pada isi spesifik dari tujuan-tujuan yang dipilih. Oleh karena itu, suatu pergeseran radikal dan mendadak dalam isi tujuan tak bisa diharapkan mempunyai suatu dampak serius yang merusak sistem nilai sentral(6).

Nilai-nilai sentral yang mengutamakan dimensi pencapaian tujuan, sebagaimana sudah ditunjukkan di atas, tentu saja mempunyai implikasi penting bagi nilai-nilai yang berkaitan dengan ketiga dimensi yang lain(7). Berkenaan dengan masalah penyesuaian (adaptive problem) , perilaku yang sesuai dengan usaha mencapai tujuan kolektif dinilai paling tinggi. Militer, dalam kerangka konseptual kita kali ini, tepat merupakan kepanjangan adaptif dari politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika militer mesti mempunyai prestise yang sangat tinggi di Jepang. Itu merupakan kasus tipikal dari tindakan adaptif yang sama sekali tunduk kepada tujuan sistem. Perilaku ekonomi cenderung disangsikan, karena perilaku itu mungkin tidak bisa diletakkan di bawah tujuan sistem, melainkan di bawah tujuan subsistem; ini mungkin sangat "egoistik". Tetapi sejauh perilaku ekonomi dapat dilihat sebagai menunjang pencapaian tujuan sistem, hal ini sepenuhnya sah. Pada umumnya, kerja pada dirinya bukanlah nilai, tetapi kerja sebagai ungkapan pengabdian tulus (yang tidak egoistik) kepada tujuan kolektif dinilai tinggi. Kendati demikian, motivasi untuk bekerja dalam masyarakat seperti itu mungkin sama kuatnya dengan motivasi dalam masyarakat di mana kerja dinilai tinggi demi kerja itu sendiri.

Nilai-nilai integratif kuat, tetapi cenderung diabdikan kepada nilai-nilai pencapaian tujuan. Keselarasan harus dipertahankan dalam kolektivitas karena konflik di antara para anggota tidak hanya merupakan ketidaksetiaan kepada kepala, melainkan juga mengganggu kelancaran pencapaian tujuan kolektif. Demikianlah keselarasan, kesediaan untuk berkompromi, sikap tidak menyerang, dan sebagainya dinilai sangat tinggi, sedangkan sikap suka berdebat, suka menantang, ambisi berlebihan atau perilaku mengganggu lainnya dinilai sangat rendah. Untuk menghindari perselisihan, sebagian besar kehidupan sehari-hari diformalkan. Kepatuhan ketat kepada keharusan-keharusan bertindak yang sangat terinci cenderung mengurangi konflik menjadi sekecil-kecilnya dan menjamin kelancaran jalannya kehidupan kolektif(8). Namun demikian, nampak bahwa pola yang dominan adalah pengutamaan nilai-nilai pencapaian tujuan. Kesetiaan pada kepala kolektivitas dan kepada tujuan-tujuan sistem yang sangat menonjol dapat mengungguli kepedulian akan keselarasan dan mendorong penghancuran bentuk-bentuk sosial kuno, buyarnya kolektivitas lama, dan ditinggalkannya bentuk-bentuk lama perilaku yang diwajibkan. Potensi ini menunjang dinamisme dan kemampuan untuk perubahan sosial secara cepat tanpa merusak nilai-nilai integratif pelestarian sistem dan memandang nilai-nilai itu merupakan tujuan pada dirinya sendiri.

Akhirnya, lingkup nilai-nilai "budaya" rupanya mengandung dua macam kelompok nilai. Salah satu di antaranya adalah kelompok nilai yang ditundukkan kepada nilai-nilai utama, seperti yang telah dibahas di atas, sedang kelompok nilai lainnya ditempatkan di daerah yang sama sekali terpisah dari nilai-nilai sentral, meskipun dari segi-segi tertentu bersifat melengkapinya.

Kelompok pertama dapat diberi ilustrasi dengan nilai yang sangat kuat untuk belajar, melakukan studi atau keahlian (gakumon). Nilai yang berkaitan dengan penghargaan kepada kata yang tertulis, buku-buku, guru serta pendidikan pada umumnya, bukanlah tujuan pada dirinya. Nilai-nilai itu dijunjung tinggi karena hasil-hasilnya dalam tindakan. Belajar untuk belajar, sebagaimana akan kita lihat, cenderung tidak dihargai. Orang yang serba tahu semata-mata tidaklah layak dihormati. Belajar harus diwujudkan ke dalam praktek. Seorang yang sungguh-sungguh terpelajar akan juga menjadi seorang yang sungguh-sungguh setia dan patuh pada kepala keluarga. Pertimbangan-pertimbangan seperti itu berlaku pula bagi religi. Tentu saja sukar menghilangkan sama sekali sifat tujuan pada dirinya sendiri dalam religi, tetapi ada kecenderungan mencampurkan tujuan religius dengan tujuan-tujuan sekular, nilai-nilai religius dengan nilai-nilai sekular pencapaian tujuan. Kita masih akan membahas hal ini secara lebih panjang lebar dalam bagian tentang religi. Suatu contoh kecenderungan menilai tinggi religi karena hasil-hasilnya dalam wujud tindakan daripada religi demi religi adalah kelekatan kelas prajurit kepada Buddhisme Zen pada masa-masa tertentu. Itu dipandang hampir sebagai suatu sistem latihan yang membantu seseorang untuk mewujudkan tindakan-tindakan pengingkaran kepentingan diri demi pernyataan kesetiaan kepada tuannya. Yang terakhir itu tetap merupakan nilai sentral dan religi ditundukkan kepadanya (atau dimasukkan ke dalamnya). Kecenderungan umum untuk menilai tinggi fenomena budaya sebagai sarana tindakan dan bukan tujuan pada dirinya sendiri mungkin dapat dipandang sebagai kecenderungan menghindari penekanan yang sangat kuat pada teori daripada sebaliknya, pada praktek. Usaha-usaha dalam bidang teori, entah dalam filsafat atau dalam ilmu rupanya memang tidak berkembang kuat di Jepang yang tradisional. Sebaliknya, penghargaan tinggi kepada fenomena budaya yang menunjukkan hasil tindakan yang dapat dilihat mungkin bisa menerangkan mengapa masyarakat Jepang sangat tertarik kepada ilmu Barat, bahkan pada masa-masa ketika mengejar ilmu Barat itu sangat sukar atau berbahaya. Merupakan hal yang menarik bahwa disiplin yang pertama-tama dipelajari adalah ilmu kedokteran. Tabib-tabib Jepang abad ke 18 yang mempelajari buku-buku kedokteran Belanda lebih terpukau oleh ketepatan dalam informasi dan penerapan praktisnya daripada oleh kecanggihan teoritisnya.

Kelompok nilai-nilai "budaya" kedua yang bisa dibedakan, dapat disebut nilai estetis-emosional. Dipertentangkan dengan kelompok nilai yang telah dibahas di atas, nilai-nilai ini cenderung merupakan tujuan pada dirinya sendiri daripada ditundukkan kepada nilai-nilai sentral. Namun, nilai-nilai itu hanya boleh diungkapkan dalam konteks yang cukup tajam terpisahkan dan dengan syarat-syarat yang cukup ketat(9). Tetapi, tentulah keliru, jika kita meremehkan kepentingan nilai-nilai ini.  Bagi banyak orang dan juga banyak kelompok, nilai-nilai ini pada masa-masa tertentu menempati kedudukan utama, dan kehadiran mereka boleh jadi selalu merupakan ancaman bagi sistem nilai sentral. Nilai-nilai ini tidak berpusat pada tujuan-tujuan kolektif, tetapi pada pengalaman pribadi. Nilai-nilai ini menentukan lingkup ungkapan dan kesenangan individual. Ini mungkin terungkap dalam apresiasi estetik terhadap alam atau seni, dalam upacara teh yang serba rumit, dalam tekanan-tekanan atas pengalaman orang lain dalam drama, dalam seni bercinta yang serba pelik di tempat-tempat hiburan, atau dalam hubungan-hubungan percintaan dan persahabatan antar manusia yang sentimental dan meluap-luap. Perilaku seperti itu sah dan sungguh-sungguh dinilai tinggi dalam kebudayaan Jepang. Namun selalu ada kemungkinan bahwa hal itu menyimpang menjadi hedonisme yang berlebihan, meski penuh kepekaan, khususnya di kalangan kelas-kelas yang memang mampu menanggung biaya untuk memenuhi cita-rasa mereka itu. Dalam situasi seperti itu pencapaian tujuan individual menggeser pencapaian tujuan kolektif sebagai nilai sentral dan karenanya perasaan anti yang paling kuat harus dihimpun untuk menentangnya. Hedonisme semacam itu pada dasarnya adalah "sifat mementingkan diri" yang merupakan cacat yang paling tercela, seperti halnya kesetiaan merupakan keutamaan yang paling terpuji. Agar akibat itu dapat dicegah, nilai-nilai estetis-emosional dibatasi berlakunya pada bidang yang cukup terbatas; dan dalam bidang konsumsi pengekangan diri yang keras, yang mirip dengan sikap petapa, dinilai tinggi. Tetapi, pada kalangan tertentu kekuatan kecenderungan hedonistik ini justru nampak jelas dari perkembangan pengekangan diri yang sangat halus, peka dan sering kali sangat mahal, yang lebih mendukung pengungkapannya daripada penghancurannya.

Sejauh ini, kita hampir belum berbicara sama sekali tentang keluarga, yang begitu penting dalam kehidupan tradisional Jepang. Ini, menurut kami karena keluarga adalah negara dalam ukurannya yang kecil. Praktis semua yang telah dikatakan tentang sistem nilai seluruh masyarakat Jepang di atas, dapat diterapkan pada keluarga. Nilai tertinggi dalam keluarga adalah kepatuhan anak (ko), dan bukan kesetiaan; tetapi fungsinya sama. Itu mengandung sikap yang sama terhadap kepala kolektivitas dan kepedulian sentral yang sama terhadap tujuan kolektif. Dalam penggunaan istilah keluarga, kita bermaksud mencakup baik keluarga segaris (lineage), maupun keluarga inti. Keluarga Jepang dipandang sebagai sesuatu yang diteruskan secara berkelanjutan dari leluhur jaman dulu. Penghormatan terhadap orang tua ditempatkan dalam konsep yang lebih luas, yakni penghormatan terhadap leluhur. Ciri-ciri struktur keluarga Jepang masih akan diperbincangkan secara ringkas nanti pada bab ini juga, tetapi ijinkan kami meneruskan bahwa, keluarga-keluarga besar segaris berhubungan satu sama lain dalam kerangka rumah induk dan rumah cabang; rumah induk merupakan garis pewaris langsung, sedang cabang menjadi rumah mereka yang lebih muda. Di lingkup yang paling luas keluarga dan bangsa adalah satu: keluarga kaisar merupakan rumah induk bagi semua keluarga Jepang yang merupakan rumah cabang. Namun, rumah tinggallah yang merupakan fokus utama nilai kepatuhan anak. Suatu rumah tinggal secara ideal terdiri dari orang tua, anak sulung laki-laki yang akan menjadi pewaris rumah, beserta istri serta anak-anaknya. Sangat penting ditegaskan bahwa dalam sistem nilai yang dominan di Jepang masa itu, kepatuhan anak ditundukkan kepada kesetiaan pada tuan, negara mengatasi keluarga, dan bila terjadi konflik kesetiaan, kewajiban utama lebih tertuju kepada tuan daripada kepada keluarga. Hal ini jelas berbeda dari kebiasaan di Cina; di sana sebaliknyalah yang berlaku. Namun kedua nilai tersebut tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang kontradiktoris; keduanya justru dilihat sebagai saling menguatkan. Anak yang patuh kepada orang tua akan bisa menjadi pegawai yang setia; keluarga adalah pusat latihan keutamaan sosial. Selanjutnya, keluarga cenderung merupakan satuan dari masyarakat, bukan individu. Ke dalam, status kepala keluarga sangat sentral; sedangkan ke luar, status itu merupakan kedudukan "resmi" terbawah dalam negara. Keluarga tidak berdiri sendiri lepas dari negara, melainkan terintegrasikan di dalamnya, dan sampai tingkat tertentu dirasuki oleh negara. Keluarga bukanlah wahana sistem nilai yang berbeda, melainkan wahana sistem nilai yang praktis satu dan sama.

Di atas telah dibahas nilai-nilai yang penting pada tingkat sistem sosial, karena pelembagaan nilai-nilai tersebut dalam arti tertentu menentukan struktur sosial. Kita belum memperhatikan dasar-dasar "metafisik" nilai-nilai tersebut atau orientasi umum terhadap waktu, alam atau manusia. Pembahasan tentang hal-hal ini ditangguhkan ke bab berikut, tatkala hubungannya dengan nilai-nilai sosial yang dibahas di atas serta dengan sistem religi sudah dapat dianalisis.

Nilai-nilai yang dibahas pada sub bab ini pada umumnya berlaku tetap sepanjang masa Tokugawa. Kalaupun ada perubahan yang terjadi adalah bahwa nilai-nilai tersebut justru semakin pekat dan semakin dianut secara meluas dalam perkembangan masa itu, berkat pengaruh banyak gerakan religi, gerakan etika serta gerakan pendidikan yang timbul. Kelas samurai paling baik menampilkan nilai-nilai tersebut, sekurang-kurangnya menurut ideal, tetapi kemudian secara umum nilai-nilai itu dianut oleh semua kelas masyarakat pada akhir masa Tokugawa. Sebaliknya, memang jelas bahwa nilai-nilai hedonistik muncul cukup kuat di kota-kota baik di kalangan samurai, maupun di kalangan chonin(10). Kendati demikian, nilai-nilai hedonistik itu tak pernah bisa mendapatkan suatu legitimasi, dan selalu ditentang oleh para moralis dari seluruh kelas masyarakat. Sesungguhnya masa Meiji (1868-1911) merupakan puncak dan intensifikasi dari nilai-nilai sentral tersebut di atas daripada penolakan terhadapnya; dan nilai-nilai ini tetap kuat sepanjang masa modern. Pembahasan tentang berbagai tekanan yang menyebabkan disintegrasi parsial dari nilai-nilai tersebut pada jaman modern dan tentang usaha-usaha untuk mengukuhkannya kembali ada di luar lingkup kajian ini.


Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang




------------------------------
(3) Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang istilah-istilah ini silakan melihat Bagan 1.

(4) Han adalah kata Jepang untuk "kadipaten". Istilah ini sering kali diterjemahkan sebagai "klan", padahal sebenarnya berarti satu unit teritorial di bawah seorang adipati feodal, dan tidak berlaku untuk unit kekeluargaan.

(5) Tentang ini, cerita yang disampaikan oleh murid terkemuka Ninomiya Sontoku, Tomita Kokei, mungkin merupakan ilustrasi yang baik. Suatu pagi, ketika mulai berjalan dari rumahnya di desa menuju sekolah konfusius di Edo, dia mendengar langkah-langkah kaki mengikutinya; dan ketika dia menoleh, dilihatnya ibunya berlari mengejarnya. Dia bertanya mengapa; dan ibunya menjawab, "Kalau kau gagal, lebih baik tidak usah kembali ke rumah" (Amstrong, Just Before the Dawn, hlm. 153).

(6) Pendapat ini dikemukakan oleh Ruth Benedict dalam The Chrysanthemum and the Sword.

(7)  Analisis nilai yang dilakukan di sini menggunakan pendekatan konfigurasional. Nilai yang kita bicarakan bukan hanya dilihat dari ada atau tidaknya. Tetapi tidak semua masyarakat memberikan arti yang tinggi terhadap nilai-nilai ini sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Jepang. Nilai-nilai yang dianggap penting di dalam masyarakat lain bukan berarti tidak ada di Jepang, tetapi mempunyai kedudukan sekunder dan biasanya sangat kuat dipengaruhi oleh lingkaran nilai politik utama yang ada.

(8) Profesor Parsons menyatakan bahwa mungkin ini merupakan peralihan tahapan. Empat dimensi dalam bagan 1 secara temporal dapat kita lihat sebagai empat fase. Mungkin memang terdapat hambatan intern dalam keterikatan dasar kepada pencapaian tujuan yang menuntut adanya pergeseran periodik dalam penekanan kepada nilai-nilai integratif. Pergeseran yang sama, saya kira, dapat kita lihat juga di Cina, tetapi di sana titik beratnya adalah pada nilai-nilai integratif, sementara pergeseran kepada nilai-nilai pencapaian tujuan nampaknya menjadi lebih bersifat temporer.

(9) Hal ini dikemukakan oleh Ruth Benedict dalam The Chrysanthemum and the Sword.

(10) Chonin berarti "orang kota". Pengertian isilah ini mencakup kelas pedagang, pengrajin, dan sering kali digunakan sebagai padan kata dari shonin yang berarti pedagang.


Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau