Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
8. Sharebon, Ninjoobon dan Kokkeibon
Sharebon
Sharebon adalah buku bacaan yang mengambil panggung di
tempat hiburan (tempat prostitusi) dan menceritakan orang-orang yang keluar
masuk di tempat itu serta orang-orang yang tahu betul akan jalan gelap itu.
Sharebon ini mendapat pengaruh dari buku-buku tentang pelacuran di negeri Cina
dan merupakan kesusastraan yang bersifat percobaan yang pertama-tama dilakukan
oleh kaum cendekiawan.
Banyak orang berpendapat bahwa Sharebon baru menjadi
kesusastraan yang mantap setelah terbit buku Yuushi Hoogen (cerita seorang anak
yang pandai melacur) karangan Inakaroojin Tadanojijii. Karya ini dibagi atas
lima bab, perubahan adegan dari bab ke bab sangat diperhatikan, menceritakan
seorang anak yang sebenarnya masih hijau dan orang-orang yang setengah pandai
melacur. Di dalamnya ada dialog antara para pelacur dan temannya. Cara
penulisan seperti ini tidak lagi diikuti oleh buku-buku Sharebon yang terbit
kemudian.
Pengarang terkemuka yang mempunyai kecakapan alamiah adalah
Santoo Kyooden. Karya Santoo Kyooden antara lain Musukobeva (kamar sang putera)
dan Tsuugen Soomagaki. Dari tahun Tenmei (1781) sampai awal tahun Kan Sei
(1789) Sharebon mencapai puncak kejayaannya tetapi sebaliknya isinya bertambah
rumit dan mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah. Dengan adanya pengawasan
ketat ini tema sharebon diganti dari tema erotis menjadi tema percintaan atau
‘giri’ (budi) serta ‘ninjoo’ (perasaan) sehingga menjadi ‘Ninjoobon’.
Ninjoobon
Ninjoobon lahir berdasarkan sharebon. Buku jenis ini
mengalami kepopulerannya dari tahun Bunsei (1818) sampai akhir zaman
pemerintahan feodal-militer. Tidak seperti sharebon yang lebih menonjolkan
cerita di tempat hiburan sebagai temanya, ninjoobon melukiskan kisah percintaan
dari kehidupan sehari-hari masyarakat pedagang. Kemudian, ninjoobon pada
prinsipnya sama saja dengan sharebon, biarpun luarnya bersifat pengajaran,
sebetulnya di dalamnya menggambarkan kegilaan dunia dan kebobrokan masyarakat
pada akhir zaman pemerintahan feodal-militer seperti apa adanya. Di antaranya
yang terkenal adalah Kanamajiri Musumesetsuyoo dan Shunzhoku Umegoyomi.
Shunshoku Umegoyomi adalah ceritera yang mengisahkan seorang anak muda tampan
yang tidak mempunyai kemauan dicemburui oleh tiga orang wanita yang bernama
Ochoo, sebagai calon isterinya, Yonehachi dan Adakichi, ‘geisha’ (hostes di
Jepang pada zaman dulu) dari Fukagawa, yang saling salah pengertian. Kalimatnya
banyak menggunakan bentuk percakapan sehingga dapat diketahui melalui
percakapan tersebut watak dari masing-masing tokoh.
Ninjoobon merupakan sebuah novel percintaan yang populer dan
disukai masyarakat karena bacaan tidak sulit dan mudah dimengerti kalau
dibandingkan dengan yomihon, kemudian pemaparannya lebih rumit dan lebih
terperinci bila dibandingkan dengan gookan. Walaupun buku jenis ini mendapat sambutan
hangat dari masyarakat tetapi tidak luput dari pengamatan dan pengawasan
pemerintah. Pada tahun Tenpoo 13 (1832) pengarang Shunsui dihadapkan ke
pengadilan oleh wakil pemerintah Mizuno Tadakuni berdasarkan peraturan
pembaharuan yang dibuatnya sehingga sejak itu buku bacaan ini dalam waktu
singkat hilang dari peredaran.
Kokkeibon
Fuuryuushi Dookenden merupakan buku pertama kokkeibon yang
dipelopori oleh Furaisanjin Hiragagennai. Buku ini dilengkapi dengan pemikiran
Shinto, Budha, ajaran Konfusius dan satire. Dengan adanya pembaharuan satire
dan kelucuan dibuat menjadi jenis gookan yang mengakibatkan keistimewaannya
menjadi hilang. Begitu pula buku sharebon akhirnya menghilangkan satirenya dan
terlalu condong kepada pelukisan perasaan manusia sehingga menjadi jenis
ninjoobon. Dengan demikian, sebagai gantinya muncul bacaan yang mengutamakan
pelukisan kelucuan dan ini dikenal dengan nama ‘Kokkeibon’ sekitar tahun Koowa
(1801). Bentuk buku ini berbeda dengan ‘dangibon’ (buku kumpulan catatan
kuliah), isinya lebih mengutamakan permainan kata-kata yang bersifat lucu.
Dengan demikian, buku jenis ini menjadi bacaan rendahan. Pengarang terkemuka
kokkeibon adalah Jippensha Itsuku dan Shikitei Sanba. Itsuku menanjak dengan
cepat setelah menulis karyanya yang berjudul Doochuu Hizakurige dan kemudian
disusul dengan jilid lanjutannya. Buku Doochuu Hizakurige adalah sebuah buku
bacaan jenaka rendahan yang menggambarkan seorang anak Edo bernama Tochimenya
Yajirobei dipermainkan dan diganggu oleh kenalannya Kitahachi, sedangkan
Kitahachi sendiri ditolong dan diberi penghidupan oleh Tochimenya. Buku ini
mendapat sambutan hangat dari masyarakat sehingga banyak bermunculan buku-buku
lain yang menirunya.
Shikitei Sanba mulanya menulis sharebon dan gookan tetapi
kemudian menulis kokkeibon yang bermutu baik sehingga membuat namanya menanjak.
Karya Sanba antara lain Ukiyoburo (tempat mandi umum) dan Ukiyodoko (tempat
menata rambut). Dalam karya tersebut Sanba melukiskan kehidupan masyarakat yang
berkumpul di tempat mandi umum dan di tempat pemangkas rambut dengan
menampilkan tokoh dalam bermacam-macam karakter. Kalau dibandingkan dengan karya
Itsuku karya Sanba mengandung lelucon ejekan yang keras. Buku-buku yang terbit
berikutnya adalah Hanagoyomi Hatsushoojin karangan Ryuutei Rijoo dan
Myoochikurinwa Shichihenjin karangan Haitei Kinga. Masing-masing karya tersebut
mencerminkan kelesuan kehidupan masyarakat di akhir zaman pemerintahan
feodal-militer dalam bentuk lelucon-lelucon yang porno. Oleh karena itu, nilai
sastranya makin lama makin menurun.
Comments
Post a Comment