Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Struktur Dasar Organisasi Vertikal

Struktur Dasar Organisasi Vertikal


2.  Struktur Dasar Organisasi Vertikal


Susunan kepangkatan yang menghasilkan perbedaan yang pelik di antara para anggota suatu kelompok sekaligus juga mengembangkan hubungan pribadi yang kuat di antara atasan dan bawahan. Hubungan semacam itu membentuk inti sistem suatu organisasi kelompok. Struktuk kelompok yang didasarkan atas hubungan vertikal sekokoh ini tampak amat berbeda dari struktur kelompok lain yang didasarkan atas hubungan horisontal.

Tetapi perbedaan struktural di antara kelompok X (vertikal) dan kelompok Y (horisontal) dapat diperlihatkan dalam bentuk berikut ini. Dalam gambar 1 ketika titik a, b dan c merupakan para anggota tiap-tiap kelompok, dengan mengandaikan bahwa tiap-tiap kelompok itu terdiri dari sekian anggota yang sama jumlahnya. Pada Y ketiga titik ini berhubungan demikian sehingga membentuk suatu segitiga atau lingkaran, tetapi pada X dasar segitiga itu hilang atau sangat lemah. Kalaupun ada hubungan, sifat hubungan b-c jauh berbeda dari hubungan a-b atau a-c. Jadi bentuk struktur itu tidak membentuk segitiga atau lingkaran melainkan suatu Ʌ yang terbuka (selanjutnya diberi tanda Ʌ). Walaupun a, b dan c membentuk suatu kelompok, namun setiap a,b dan c tidak harus memenuhi syarat yang sama untuk mendasari pembentukan satu kelompok. Kelompok terjadi dengan akumulasi hubungan a, b dan a-c dengan a sebagai titik pusat. Sebaliknya, berkenaan dengan Y, a, b, dan c memberikan atribut yang sama yang merupakan dasar kebutuhan untuk membentuk kelompok. Dengan demikian sifat keanggotaan jelas dan menjadi dasar pembentukan kelompok. Maka orang luar akan cepat mengerti akan sifat tertentu itu dan dapat mempertimbangkan apakah ia mau bergabung dengan kelompok tersebut atau tidak. Akan halnya kelompok X, di sini tidak ada aturan pokok yang menentukan keanggotaan, sehingga setiap orang luar asal saja dapat berkenalan dengan seorang anggota dan diterima olehnya, boleh saja menjadi anggota; proses masuknya seseorang ke dalam kelompok lebih merupakan proses pribadi dan situasional, yang konteksnya berbeda satu dari yang lain. Masuknya seorang anggota baru tidak mengakibatkan pergeseran tempat dari anggota yang sudah ada, tetapi orang baru itu diberi tempat dalam tatanan yang paling rendah.

Struktur Dasar Organisasi Jepang Chie Nakane

Tetapi di dalam kelompok Y partisipasi setiap anggota akan mempengaruhi setiap anggota lainnya. Tetapi begitu ia berhasil masuk, kedudukannya akan sama dengan semua anggota lainnya. Dalam kelompok X terdapat banyak sekali variasi cara untuk memasukinya, sehingga orang luar mudah sekali diterima sebagai anggota, tetapi struktur di dalam kelompok itu tidak fleksibel dan setiap orang di dalamnya tidak dapat mengubah kedudukan tetangganya. Partisipasi perseorangan dalam kelompok diatur oleh hubungan yang sudah ada dengan anggota lain dari kelompok itu, yang merupakan batu loncatan baginya untuk masuk ke dalam kelompok tersebut. Di pihak lain, secara teori di dalam Y setiap orang dapat mengambil alih tempat orang lain, dan setiap anggota baru memiliki dasar berpijak yang sama dengan anggota yang lama. Perbedaan struktural ini terlihat dalam kedudukan dan fungsi a. Pada Y kedudukan a (dan setiap anggota kelompok) dapat berubah menurut perubahan yang terjadi pada semua anggota kelompok lainnya. Organisasi kelompok Y dapat tetap ada sekalipun a tidak ada, karena b berhubungan dengan c. Tetapi pada X, karena b dan c masing-masing hanya berhubungan dengan a, sebagai engsel organisasi, maka bila a tidak ada organisasi pun tidak bisa bertahan lagi. Dari sinilah timbul masalah penting yang berkaitan dengan ciri-ciri kepemimpinan kelompok.

Bila kita meneliti saling hubungan antara suatu kelompok dengan pemimpinnya pada kelompok X, kita lihat bahwa selain tidak mungkin, juga sulit untuk diadakan perubahan pemimpin. Lagi pula, kepemimpinan selalu terbatas pada satu orang saja. Dalam struktur X adalah tidak mungkin bagi dua orang atau lebih untuk menduduki posisi yang sama. Jadi berbagai hubungan yang mengaitkan pemimpin pada para anggota kelompok lainnya tidak perlu mempunyai sifat-sifat yang sama. Dalam Gambar 2 hubungan yang mengaitkan pemimpin pada seorang anggota d (atau a pada g) hanyalah operatif melalui b (atau c).

Gambar 2 Struktur Organisasi Vertikal

Sebagaimana telah dikatakan, kelompok yang didasarkan atas akumulasi saling hubungan antara dua orang: kelompok yang dilukiskan dalam Gambar 2, terdiri dari hubungan-hubungan a-b, a-c, b-d, b-e, c-f, dan c-g. Saling hubungan di antara dua orang yang kedudukannya tidak sama, satu di bawah, satu di atas merupakan dasar bagi masyarakat Jepang.

Hubungan yang penting ini diungkapkan dengan istilah tradisional oyabun  dan kobun. Oyabun berarti orang yang memiliki status orang tua (oya) sedang kobun berarti orang yang berstatus anak (ko). Dalam Gambar 2, b adalah kobun dari a (oyabun), tetapi sekaligus juga oyabun dari d. Seseorang dapat saja memainkan beberapa peran di sini. Hubungan tradisional kobun - oyabun beralih bentuk menjadi misalnya pelindung dengan klien, tuan tanah dengan penyewa tanah, atau guru dan murid. Ungkapan-ungkapan itu hingga sekarang masih dipergunakan, sekalipun secara informal. Oyabun mungkin saja dipergunakan untuk orang paling senior di tempat kerja, menurut orang yang telah lama bekerja sama dengannya dan memiliki hubungan pribadi yang akrab. Unsur yang pokok dalam hubungan demikian ialah bahwa kobun mendapatkan keuntungan atau bantuan dari oyabun-nya, misalnya bantuan untuk mempertahankan pekerjaan dan utuk mendapatkan promosi kenaikan pangkat, serta nasihat pada saat-saat harus membuat keputusan yang penting. Kobun sebaliknya, harus bersedia membantu oyabun kapan saja diperlukan. Dalam rangka pemakaman orang yang berpangkat tinggi, misalnya, orang-orang yang dulu menjadi bawahannya berbondong-bondong membantu keluarga mempersiapkan segala sesuatu dan justru lebih banyak bekerja dibandingkan dengan sanak keluarga atau pun tetangga orang yang meninggal tersebut.

Kebanyakan orang Jepang, apa pun status dan jabatannya, terlibat dalam hubungan oyabun - kobun. Salah satu contoh adalah pada waktu diadakan pemilihan Gubernur Tokyo. Ketika calon yang berhasil terpilih, seorang profesor ekonomi yang terkenal, diminta agar berdiri sebagai calon bersama Partai Komunis dan Partai Sosialis, yang pertama-tama dilakukannya adalah berlari kepada gurunya dulu, seorang ekonom yang juga terkenal dan hampir berusia 80 tahun. Kepada oyabun-nya inilah ia menyerahkan waktu yang diberikan padanya untuk berpidato, apa pun jawaban oyabun, menerima atau menolak. Kalangan pers menganggap hal semacam ini wajar saja dan sudah meramalkan pertemuan antara kedua profesor itu; justru kabar pada keesokan harinya memuat gambar-gambar dari pertemuan tersebut dan menekankan pentingnya pendapat dari profesor yang oyabun. Hubungan oyabun - kobun terjadi melalui kegiatan dan pendidikan yang berkaitan dengan jabatan seseorang, dan menimbulkan implikasi baik sosial maupun pribadi, yang secara simbolis akan tampak dalam masa-masa kritis kehidupannya. Tentu saja oyabun  memainkan peranan seorang ayah, sebagaimana diungkapkan dalam istilahnya. Dan tidaklah sesuatu yang luar biasa bila kemudian oyabun memainkan peranan yang lebih penting daripada seorang ayah kandung.

Sejauh mana hubungan ini berfungsi, berbeda-beda satu dari yang lain. Bermacam-macam unsur, seperti misalnya kemampuan sang oyabun, status dan daya tarik pribadinya serta kelemahan relatif dari sang kobun, membantu kokohnya ikatan tersebut. Oyabun tertentu memiliki banyak kobun. Wibawa dan pengaruhnya amat luas. Tetapi ada pula oyabun yang hanya memiliki beberapa kobun saja. Ada lagi orang yang tidak dianggap oyabun, tetapi praktis dianggap sebagai seorang senior senpai. Sama halnya dengan kobun: ada yang sama sekali tidak dapat menyebutkan siapa orang yang menjadi oyabun-nya, atau bahkan tokoh yang tergolong senior (senpai) dan dianggap oyabun, yang terhadap permintaannya akan bantuan tertentu sulit untuk ditolak. Mungkin ada lebih dari satu orang senpai semacam ini, tetapi seseorang biasanya mempunyai hubungan pribadi yang akrab dengan salah satu di antaranya. Kecenderungan untuk menganggap seorang senpai istimewa sebagai oyabun menjadi lebih tegas bila hubungan oyabun - kobun makin efektif. Seseorang mungkin saja mengubah oyabun-nya. Namun perubahan semacam ini dengan sendirinya mengungkapkan lemahnya ikatan. Dan mungkin, tentunya, ada perkecualian karena tidak memiliki oyabun (tetapi mungkin memiliki kobun mungkin juga tidak), atau menolak untuk mengakui kekuasaan senpai-nya. Orang semacam ini, serigala yang sendiri (ippiki okami) aktif dan berpengaruh besar, tetapi sulit diajak kompromi. Karena seorang oyabun biasanya berkelompok dengan para oyabun lainnya yang sebaya, maka menolak mengakui oyabun dapat menimbulkan kesulitan yang berasal dari para oyabun lainnya. Bagaimanapun variasi yang terdapat dalam tiap-tiap kasus, mungkin dapat dikatakan bahwa berbagai kelompok di Jepang terbentuk oleh penggandaan hubungan vertikal di antara dua orang. Dengan demikian tempat seseorang secara tidak resmi ditentukan dalam jaringan hubungan semacam itu.

Sekarang marilah kita lihat kembali Gambar 2, untuk membicarakan mekanisme jaringan yang membentuk kelompok. Bila kaitan di antara a dan b terputus, kaitan yang menghubungkan d dan e pada a dengan sendirinya putus pula: pengendalian a atas d (seperti juga atas e, f dan g) hanya mungkin melalui b dan c. Dalam hubungan a-b, sejauh a dapat mengendalikan b maka a dapat juga mengendalikan d dan e. Sebagai konsekuensinya, inti ikatan terletak pada hubungan a-b dan a-c. Bila hubungan a-b dan a-c ini putus, tak dapat tidak, kehancuran intern dalam kelompok akan segera menyusul.

Karena itu dalam X adanya a (dan kaitan a-b, a-c) tak terkirakan pentingnya untuk dipertahankan kelompok, sekalipun tidak begitu dalam kelompok Y. Betapapun kuatnya persatuan, betapapun kelompok amat "berbahagia" (demikian biasanya istilah yang digunakan orang Jepang) dalam kelompok X perginya seorang pemimpin secara tiba-tiba merupakan pukulan keras, dan dengan sendirinya menyebabkan "pergolakan rumah tangga" (ungkapan Jepang untuk menggambarkan gejolak intern).

Dikatakan bahwa kelemahan tempur yang terbesar dari angkatan perang Jepang di waktu yang lalu adalah sekali pemimpin peleton terbunuh, prajuritnya segera kocar-kacir. Peleton yang kehilangan engsel organisasi dengan tertembaknya letnan yang menjadi pemimpin, mudah sekali merosot seperti gerombolan yang kacau balau, sehingga menyebabkan banyak kesalahan dalam pengambilan keputusan. Dalam angkatan perang Inggris atau Amerika, kekacauan semacam itu tidak terjadi karena pengganti pemimpin peleton akan cepat timbul dari jajarannya dan mengendalikan peleton sehingga tidak mengganggu pertempuran. Sekalipun tampaknya organisasi kelompok di Jepang yang menyerupai segitiga mempunyai garis lintang pada alasnya, namun tali ikatan ini nyaris tidak berfungsi sama sekali; tanpa a, hubungan antara b can d tidak dapat dipertahankan. Selanjutnya, timbul kerumitan karena b dan c tampaknya mau mengembangkan ambisi-ambisi yang bertentangan, yang dapat membelah kelompok hingga terpecah-pecah.

Dari sini terlihat peranan penting dan dominan seorang pemimpin; dia adalah pemegang status yang sah dan juga berkepribadian paling hebat, yang harus mampu menyelaraskan hubungan antara angota dan menekan antagonisme di antara mereka. Ketiadaan pemimpin dari suatu kelompok sekalipun hanya untuk sementara waktu, dapat meningkatkan antagonisme di antara mereka. Saga Buddhis, Honen (1133-1212) mengakui hal ini. Ia tahu bahwa bila ia tidak berada di tengah-tengah para murinya, mereka tidak dapat hidup bersahabat satu sama lain dan saling cekcok. Karena itu, ketika menemui para pengikutnya, Honen berkata, "Kalian tak boleh tinggal bersama, tetapi masing-masing harus pergi mengikuti jalannya sendiri."

Dengan sifat kelompok yang seperti ini perubahan kepemimpinan menyebabkan timbulnya masa yang sangat kritis bagi kelangsungan hidup dan stabilitas kelompok. Menurut banyak contoh berbagai kelompok segera terpecah-pecah menjadi sejumlah pangsa yang kecil-kecil dan saling bermusuhan sepeninggal pemimpinnya. Kekacauan itu jarang dapat diatasi dari dalam. Kesulitan yang dialami dalam menempatkan seorang pemimpin baru adalah terletak pada hubungan di antara pemimpin baru itu dengan para anggota lainnya, bukan pada kemampuan pemimpin baru itu dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Yang paling penting, posisi orang yang akan menjadi pemimpin baru, bagaimanapun akan sah bila penerimaan dirinya sebagai pemimpin tidak merusak hubungan yang sudah ada di dalam kelompok tersebut. Kesahan itu didasarkan atas senioritas, (tetapi tidak selalu karena usia, melainkan karena panjangnya masa kerja yang sudah dilewati seseorang di dalam kelompok itu). Orang yang paling senior sangat boleh jadi adalah orang yang pangkatnya persis di bawah pemimpin yang lama, karena hirarki kelompok dibentuk berdasarkan saat masuknya seseorang dalam kelompok itu. Bila dalam pangkat itu ada lebih dari satu orang maka orang yang paling tua umurnya akan merupakan calon utama untuk menjadi pemimpin baru. Skema penggantian pemimpin semacam itu tentu dapat dipengaruhi atau malah terganggu oleh situasi tertentu atau unsur-unsur suasana tertentu, tetapi walau bagaimanapun itulah prosedur yang dapat diterima oleh semua anggota kelompok.

Kedua, dalam rangka melaksanakan kepemimpinan, orang harus mempunyai sobat-sobat pribadi yang langsung lekat padanya, sebagai soko guru kepemimpinannya. Calon pemimpin seharusnya bukan hanya orang yang paling senior dengan hubungan langsung pada pemimpin yang lama, melainkan juga orang yang mempunyai banyak kobun yang mempunyai kaitan langsung dengannya. Kobun pemimpin yang dia gantikan tidak selalu bersedia mengingatkan diri pada pemimpin yang baru itu, melainkan dapat membina posisi yang bersaing dengannya. Oleh karena alasan inilah seorang anak laki-laki biasanya gagal mewarisi kedudukan ayahnya: dalam kenyataannya, orang yang paling seniorlah yang kebetulan mempunyai hubungan langsung dengan pemimpin lama, yang kemudian mengambil alih kedudukan pemimpin, dan bukan putra pemimpin tersebut (lihat hal 152-154).

Tetapi berkaitan dengan struktur kelompok, apakah yang menjadi pengganti adalah putra sang pemimpin atau orang tertua yang paling dekat dengan sang pemimpin, dan apakah orang yang memiliki kemampuan ataukah tidak, pemimpin baru akan mendapatkan rintangan dalam melaksanakan kepemimpinan, karena dibanding-bandingkan dulu dengan kepemimpinan yang lama. Pemimpin pertama dari kelompok (bila kelompok itu masih muda, artinya didirikan oleh sang pemimpin pertama) memiliki keuntungan abadi sehubungan dengan struktur kelompok. Ia akan selalu menang bila dibandingkan dengan semua anggota kelompoknya yaitu dalam hal bahwa ia berhasil menjadi ketua kelompok karena daya upaya dan jasanya sendiri, sehingga semua anggota kelompok de jure dan de facto  merupakan kobun-nya. Inilah yang membuatnya secara drastis berbeda dari para pemimpin yang kemudian menjadi penggantinya.

Ada banyak contoh berkenaan dengan perusahaan-perusahaan yang berhasil pada masa sesudah perang. Mereka mulai dari ukuran kecil sekali dan berkembang di bawah kepemimpinan pendirinya menjadi perusahaan terkemuka dengan lebih dari 10.000 pegawai. Misalnya, National, Sony dan Sanyo yang terkemuka di bidang elektronika dan Honda serta Idemitsu yang terhormat di bidang motor dan minyak; semuanya masih dikendalikan oleh para pendirinya, yang melaksanakan kepemimpinan yang sangat berlainan dari kepemimpinan mereka yang berhasil menjadi presiden direktur perusahaan yang lebih tua dan tradisional.

Adalah pola umum bahwa perusahaan-perusahaan yang demikian, kehilangan sebagian dari vitalitasnya begitu di bawah pemimpin pengganti; dalam generasi yang kedua mungkin sudah berkembang stabilitas birokrasi yang siap menjaring semua golongan dan menumpulkan prakarsa awal dari para perintis. Bila suatu perusahaan belum dimantapkan sebelum pemimpin-pendirinya meninggal dan mempunyai kesulitan dalam menentukan penggantinya maka kekacauan dalam perusahaan itu serta berbagai percekcokan sebagaimana biasa akan mengantarkan perusahaan kepada kebangkrutan dan perpecahan. Salah satu di antara para direktur yang terkemuka dari suatu perusahaan industri menyatakan bahwa para manajer bertugas mempersiapkan penggantinya, dan bila tanggung jawab ini dilalaikan maka mustahil manajemen yang benar akan terselenggara. Menurut pemikiran orang Jepang, karenanya, sebelum meninggal para pemimpin bertanggung jawab untuk mempersiapkan dan menunjuk seorang pengganti yang dapat diterima oleh para anggota kelompok. Penyiapan seorang pengganti juga vital artinya bagi suatu partai politik. Kelangsungan dan keretakan berbagai golongan (habatsu) dalam partai-partai politik Jepang terutama bergantung pada adanya pengganti yang cocok sesudah oyabun meninggal.

Dalam struktur kelompok yang dijadikan contoh pada X di Gambar 1 dan 2 (lihat halaman 53 dan 54) perlu diperhatikan bahwa struktur itu dapat pecah bukan hanya karena tiadanya atau meninggalnya a (si pemimpin), tetapi juga dari tidak stabilnya kaitan antara a-b dan a-c. Ketidakstabilan semacam itu dapat terjadi bila pemimpin tidak mampu memperlihatkan pengaruh yang kuat dan bawahan langsungnya merebut kesempatan untuk memperkuat wibawanya sendiri. Misalnya, bila b mengagumkan banyak pengikuti dan mempunyai banyak kekuatan untuk memanipulasi kehidupan kelompok, biasanya ia akan frustasi karena tidak dapat mengambil alih kekuasaan a, atau karena a masih tetap berada dalam kelompok. Tidak dapat pula b, bawahan yang mampu tetapi mengalami frustasi itu mendapatkan peluang untuk mengadakan persahabatan dengan sang pemimpin, karena posisi mereka sejak awal sebagai pemimpin dan bawahan tidak dapat berubah. Pengesahan kepemimpinan mendasar pada pembentukan historis mampu menggoncangkan tatanan yang ada, maka perkembangan yang terjadi adalah sebagai berikut:
     Memperhatikan pergolakan b, c mungkin menganggap ada peluang dan mendekati a, lalu meniup-niup a sehingga hubungan a-b makin tegang, agar pada akhirnya terciptalah situasi kritis yang tidak stabil yang menimbulkan krisis. Dengan demikian, sekalipun a masih berkuasa perpecahan terjadi juga di lingkungan kelompok. Ini akan melengkapkan bencana, dan tak sesuatu pun dapat diselamatkan daripadanya. Tetapi dalam perjuangan semacam itu b tidak dapat bekerja sama dengan a atau c. Hal ini bukan disebabkan oleh karena para pengikuti itu emosional atau suka dirayu-rayu, melainkan merupakan konsekuensi dari situasi struktural yang inherent, yang tidak memungkinkan dua orang atau lebih sederajat, atau tidak memungkinkan lebih dari satu orang untuk menjadi pemimpin.

Ada dua alternatif jalan keluar dari bencana semacam itu. Salah satunya, a (biasanya bersama-sama c) diasingkan dari kelompok (menurut istilah Jepangnya "kepala kerani mengambil alih toko"). Dalam cara yang lain, b "memboyong keluarga dan pengikutnya" dan membentuk kelompok yang baru dan mandiri, suatu proses yang disebut fisi. Setelah c dikucilkan, apakah f dan g akan mengikuti c atau membentuk ikatan baru dengan b, d atau e sehingga menjadi bagian dari golongan b, tergantung pada kokoh tidaknya hubungan c-f atau c-g. Bagi para anggota kelas bawah itu ada berbagai-bagai kemungkinan untuk menyesuaikan diri pada situasi. Karena para anggota kelas bawah itu berada di luar kelompok inti dan berada di tepi-tepi kelompok maka mereka bebas untuk membuat satu perhimpunan baru karena struktur kelompok memungkinkan setiap anggota berhubungan erat dengan anggota baru. Struktur beroperasi sangat efektif di lingkungan inti sehingga bagaimanapun daya seorang anggota baru, hampir tidak mungkin baginya untuk mendobrak lingkungan inti.

Dengan demikian struktur X mengungkapkan ketidakstabilan yang selalu berkaitan dengan risiko fisi. Tentu saja fisi dalam banyak kesempatan dianggap biasa saja pada tahap pertumbuhan tertentu dari suatu kelompok. Ini dapat disebut fisi yang "bersahabat", karena fisi itu diinginkan baik oleh pemimpin maupun oleh para anggota lainnya bila ada bawahan yang dianggap sudah mampu berdiri sendiri. Tetapi kelompok yang memisahkan diri tidak selalu mempertahankan hubungan yang bersahabat dengan kelompok asalnya. Seringkali kelompok baru itu justru menjadi pesaing, kecuali bila pemimpin dari kelompok yang mula-mula dapat mengendalikannya atau mengarahkannya secara tertentu, atau kecuali bila kelompok yang kedua demikian lemahnya sehingga mengharapkan bantuan dari kelompok induknya.

Lukisan terbaik dari proses semacam itu adalah perilaku tradisional berkenaan dengan ditetapkannya rumah tangga petani yang baru atau diresmikannya kedai dagang yang baru dari anak kedua atau anak angkat, atau hamba atau penyewa dari rumah tangga yang terdahulu atau pemilik toko yang terdahulu. Di antara orang-orang modern terjadi pula proses yang sama, misalnya di antara para pengacara dan dokter. Adalah biasa bagi seorang pengacara atau dokter muda yang baru saja mendapatkan kesarjanaannya masuk dalam formasi kepegawaian kantor pengacara atau dokter yang sudah mapan, dibimbing oleh kepala kantor, dan sesudah beberapa tahun kerja ia kemudian memisahkan diri dan mendirikan kantor sendiri. Khususnya orang yang berkemampuan tidak akan tinggal terus di kantor atasannya, karena seperti telah dikemukakan di atas, bagi orang itu tidak ada kemungkinan untuk menjadi rekan kerja. Tentunya ambisi orang muda Jepang yang memiliki kemampuan semacam itu adalah untuk memiliki kantor dan berpraktek sendiri. Tidak ada sistem rekanan dalam arti seperti yang dimaksudkan orang Amerika atau Inggris, karena bagi orang Jepang sulit untuk membentuk rekanan dalam arti Barat itu. Walaupun sesuatu hubungan dibentuk dengan gaya seperti "rekanan", tetapi bila diperhatikan lebih dekat selalu akan tampak bahwa de facto yang ada di situ adalah hubungan senior-junior, yang akan makin jelas lagi dalam proses pengambilan keputusan. Bahkan rekanan semacam ini tampaknya tak akan bisa jalan bila memiliki anggota lebih dari tiga orang.

Satu sistem yang didasarkan atau hubungan vertikal akan berjalan sangat efektif bila anggota junior puas berada di bawah seniornya. Tetapi bila seorang anggota yang mempunyai kemampuan istimewa dan sumbangannya amat menonjol pada kelompoknya, makin bertambah rasa tidak puasnya terhadap seniornya, maka mekanisme kelompok tidak akan memungkinan perwujudan dari ketidakpuasan semacam itu. Sebagaimana nanti akan dijelaskan, sistem Jepang tidaklah memiliki pembagian tenaga kerja yang tegas, demikian pula peranan masing-masing anggota kelompok tidak dirumuskan dengan jelas. Setiap hasil dari sumbangan masing-masing pribadi dinikmati kelompok sebagai keseluruhan, dengan hasil bahwa gengsi sang pemimpin jadi bertambah; sementara itu orang yang memiliki kemampuan tinggi dan memberikan hasil yang menyolok itu tetap saja menjadi anggota junior dalam kelompok. Atasan dan rekan-rekannya mungkin amat menyadari sumbangannya yang besar itu, tetapi mereka menganggap wajar saja memiliki anggota yang berkemampuan tinggi semacam itu. 

Jadi, bila orang tidak berada dalam posisi puncak, jarang sekali ia memiliki kesempatan untuk menikmati pujian umum dan meningkatkan gengsi. Mekanisme sosial inilah yang menyebabkan banyak orang Jepang memiliki obsesi perasaan "saya dibawahkan oleh seseorang", dan diarahkan oleh hasrat untuk menjadi ketua, bagaimanapun juga kemampuan dan kepribadiannya. Dalam rangka mencapai tujuan, hanya ada dua alternatif bagi seseorang, pertama, orang menunggu gilirannya, atau kedua, ia harus meninggalkan kelompok itu dan membina kelompok baru sendiri. Orang yang sangat tinggi kemampuannya biasanya sulit untuk tetap tinggal dalam kelompoknya. Bila kontribusinya sangat jelas bagi siapa saja di luar kelompok dan reputasinya membuat dirinya populer di luaran, seringkali rekan-rekannya malah cemburu dan memusuhinya. Setiap popularitas atau reputasi di luaran seharusnya dapat dinikmati oleh kelompok sebagai keseluruhan, tidak hanya oleh orang per orang; popularitas orang per orang tidak boleh melebihi popularitas senior atau atasannya. Etika Jepang menempatkan nilai yang tinggi atas integrasi yang harmonis di antara para anggota kelompok. Penyimpangan kualitas perseorangan dan prestasinya yang berasal dari struktur kelompok seringkali menyebabkan orang yang berkemampuan tidak segera mendapatkan peluang untuk menjadi pemimpin sehingga terpaksa pergi dan mendirikan kelompok barunya yang mandiri.

Di situ struktur intern kelompok tidak memungkinkan perubahan intern mengenai tempat relatif anggota perseorangan atau tidak memungkinkan orang itu menjadi atasan langsung dari bawahan yang berkaitan secara langsung. Kemungkinan terjadinya perpecahan atau fisi laten dan perkembangan fisi itu merupakan sifat potensial yang tetap. Ukuran inti fungsional aktual suatu kelompok selalu kecil. Keadaan ini menyebabkan dua sifat orang Jepang yang terkenal, pembentukan kelompok dalam kelompok dan perkembangan sejumlah kelompok mandiri yang serupa dalam bidang kegiatan yang sama. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki sarana pengendalian atau untuk menyesuaikan diri satu sama lain.

Masyarakat Jepang penuh dengan contoh-contoh dari sifat seperti itu. Partai Liberal Demokrasi misalnya, terdiri dari sembilan golongan besar (habatsu), dan sifat yang sama ditemukan pula pada partai-partai sosialis. Zengakuren (Federasi Mahasiswa seluruh Jepang dengan perhimpunan yang berdiri sendiri) yang didirikan pada tahun 1948 terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok dengan doktrin yang berbeda-beda. Jumlah golongan dan tingkat kepaduan di antara kelompok terus menerus berubah. Selaras dengan inter-gerak semacam itu banyak waktu dan tenaga terbuang untuk berbagai pertengkaran di antara golongan-golongan yang bersaingan. Kekuatan kelompok sebagai keseluruhan (misalnya sebagai suatu partai politik) didasarkan atas keseimbangan dari daya persaingan di antara golongan-golongan yang paling dominan (seringkali jumlahnya tiga).

Perpaduan kelompok sebagai keseluruhan pertama-tama terbentuk dari riwayat perpangsaan di bawah pendiri umum: berbagai unit dalam kelompok dikait-kaitkan dan karena itu dibedakan dari unit-unit lain atau dari orang luar. Kedua, mungkin satu faktor yang lebih penting lagi dalam kepaduan kelompok adalah situasi di luar; bila tiap golongan merasa dikepung oleh apa yang disebut sebagai musuh, maka kelompok dapat mempertahankan satu kestabilan yang didasarkan atas keseimbangan kekuatan dan tata susunan hirarkis dalam berbagai golongan di dalamnya, sebagai ganti dari persaingan dan perlawanan di antara sesama golongan.

Perluasan kelompok selalu diarahkan kepada pencapaian anggota baru atau kelompok-kelompok secara vertikal. Kelompok-kelompok itu dikaitkan oleh ketua kelompok yang lebih lemah baik kepada ketua maupun salah satu anggota kelompok yang lebih kuat; tidak pernah ada hubungan horisontal di antara dua ketua kelompok. Proses ini mengarah pada penciptaan, baik satu-satunya lembaga yang besar maupun satu kelompok khusus dalam mana sejumlah besar lembaga atau kelompok diorganisasikan secara hirarkis. Di Jepang setiap macam organisasi besar selalu berasumsi akan struktur birokrasi; sama sekali tidak ada organisasi kelompok seperti kasta-kasta. Konsekuensi dari orientasi struktural pembentukan kelompok ini adalah bertumbuhnya gambaran kontras, di satu pihak sejumlah lembaga kecil yang serupa dan di pihak lain lembaga besar atau kelompok tunggal dari berbagai lembaga, yang melukiskan masyarakat Jepang sekarang.

Struktur Masyarakat Jepang

Seberapa pun besarnya, kelompok-kelompok orang Jepang mempunyai ciri-ciri struktural yang sama. Dan biar bagaimanapun besarnya kelompok sebagai keseluruhan, inti yang secara efektif berfungsi sangat kecil, biasanya hanya dua belas atau dua puluh empat orang anggota saja, suatu ukuran kelompok yang memungkinkan setiap anggota dapat berhubungan secara langsung dengan semua anggota lainnya, yang dapat diorganisasi dalam dua atau tiga tingkatan, termasuk pemimpin yang ada di tatanan puncak; dengan demikian para anggota dari tingkatan yang paling rendah tidak berdiri terlalu jauh (yaitu melalui banyak tingkatan) dari sang pemimpin. Tipe ideal dari kelompok yang efektif adalah pada Gambar 3. Kelompok ini diorganisasi menjadi dua tingkatan, dan para anggotanya dihubungkan secara langsung pada pemimpin. Bila suatu kelompok menjadi makin besar, dan jumlah tingkatan di dalamnya makin bertambah, maka efektivitas sistem seluruhnya cenderung menurun, dan inti fungsional meningkat pada setiap tingkatan.

Tata kerja sistem itu melarang seseorang dari tingkatan yang lebih rendah (atau paling rendah) berkomunikasi secara langsung dengan seseorang yang berada di tingkatan paling tinggi dalam organisasi. Suara orang-orang dari tingkatan bawah itu hanya disalurkan melalui orang yang langsung berhubungan dengan orang dari tingkatan tertinggi itu, dan orang itu mempunyai kesulitan untuk memperoleh informasi dari sumber yang pertama. Seseorang dari tingkatan yang paling bawah yang berbicara atau mohon bertemu langsung dengan seorang kepala divisi atau direktur dianggap melanggar peraturan; ia tidak boleh melewati begitu saja kepala bagiannya, atasan langsungnya, karena kegiatan seperti itu akan mempermalukan atasannya dan merupakan penghinaan bagi sang kepala divisi atau direktur. Satu pendapat atau ide yang bagus dapat saja disampaikan dari orang yang tingkatannya lebih rendah ke tingkatan puncak dalam organisasi, tetapi hanya melalui jalan yang sah, yaitu melalui atasan langsungnya. Salah satu contoh yang tepat mengisahkan seorang presiden universitas yang menolak mempertimbangkan usul dari profesor biasa, tetapi mau menerima dengan pasti usul yang sama itu beberapa hari kemudian dari dekan fakultas di mana profesor yang tadi disebutkan aktif mengajar.

Faktor-faktor ini menyebabkan tidak efisiennya organisasi, dalam hal komunikasi yang buruk dari sektor-sektor yang lebih rendah pada tingkatan puncak dan komunikasi di antara seksi-seksi. Tetapi ketidakefisienan semacam itu mungkin saja lebih dari seimbang karena adanya efisiensi yang luar biasa dari komunikasi tingkatan puncak kepada tingkat yang paling rendah. Tentu saja sejauh mana mobilisasi para anggota dari tingkatan puncak kelompok dianggap mulus di Jepang, tidak dapat disamakan dengan yang terjadi pada masyarakat lainnya. Rahasia tindakan yang mulus semacam itu dan sumber energi dari kelompok tingkatan tinggi itu tampaknya terletak pada sifat inti organisasi kelompok, berdasarkan hubungan antara dua orang yang berhubungan secara langsung. Hukum utama yang berlaku di sini ialah bahwa orang yang lebih muda tak dapat tidak harus melaksanakan perintah apa pun dari atasan langsungnya, karena kaitan langsung di antara kedua orang itu merupakan sumber hidup orang yang lebih muda itu dalam organisasi yang bersangkutan. Keengganan atau penolakan akan merupakan pemerkosaan sistem, bahkan sekalipun pelaksanaan perintah tersebut berada di luar peranan yang sudah dibebankan kepadanya, sebab yang penting ialah bekerjanya sistem vertikal dan bukan sifat pekerjaan atau pemberian secara resmi peranan tertentu. Bila pihak yang junior akan segera menerima perintah maka pihak yang senior akan merasa diperhatikan dan akumulasi hubungan serah terima semacam itu selanjutnya akan memperkokoh ikatan di antara keduanya dan menyebabkan mobilisasi kelompok sebagai satu keseluruhan.

Tetapi hubungan yang demikian eratnya antara kedua orang itu sekaligus juga menimbulkan fenomenon "penciptaan kelompok dalam kelompok", pembentukan seksi-seksi yang biasanya menjadi sumber keretakan organisasi orang Jepang. Hal ini menghambat hubungan horisontal. Adalah sulit bagi hubungan horisontal atau kerja sama yang sepadan untuk berfungi di antara seksi-seksi di Jepang. Keseimbangan kekuasaan yang sama di antara para rekan sejawat atau kolaborasi di antara dua kelompok yang sepadan tetapi bersaingan hampir tidak dapat dijumpai dalam masyarakat Jepang, karena bila ada lebih dari satu golongan dalam satu kelompok, salah satu golongan akan dominan. Adanya kekuatan setara yang saling bersaingan merupakan situasi yang paling tidak stabil di Jepang; stabilitas selalu berada di dalam ketidakseimbangan di antara kekuatan-kekuatan yang ada, dengan salah satu kekuatan mendominasi kekuatan lainnya.

Suatu koalisi de facto dari berbagai golongan yang setara adalah mustahil di Jepang, karena salah satu di antara golongan-golongan itu akan memiliki bobot yang jauh lebih besar. Atas dasar inilah pemimpin merupakan pengantar bagi berbagai golongan yang saling berlawanan dalam rangka mencapai konsensus kelompok, dan akan meminta golongan yang lebih lemah untuk mengalah "demi memberi muka pada saya", yaitu demi kedudukan dan reputasinya; dan bila muka pemimpin dapat diselamatkan, demikian pulalah muka mereka. Dengan struktur kelompok seperti itu serta penggunaan himbauan emosional dapatlah timbul suatu pendapat yang didukung mayoritas. Jadi walaupun masalahnya sendiri tidak pernah diuji secara logis, kelompok dapat saja mendapatkan kesepakatan untuk bertindak berdasarkan keputusan yang diterima secara umum. Persetujuan umum menekankan kesediaan untuk bertindak, dan bila suatu kelompok minoritas yang bandel dengan gigih menolak konsesi, mungkin suatu tindakan radikal pada akhirnya diambil sehingga minoritas tersebut terpental keluar dari kelompok. Karena itu, mereka yang tidak setuju, cenderung selalu menjadi anggota dari kelompok minoritas, apa pun masalahnya. Kecenderungan ini seringkali menyebabkan kelompok minoritas melakukan tindakan yang radikal dan sia-sia; pandangan-pandangannya selalu tidak bisa efektif, dan pada akhirnya kelompok minoritas ini selalu menjadi pihak yang kalah dalam pembuatan keputusan. Orang Jepang senang sekali menyebut metode pengambilan keputusan semacam ini demokratis, dengan menerapkan prinsip persetujuan mayoritas yang mengalahkan pihak minoritas. Di dalam kelompok-kelompok dinamis Jepang, stabilitas kelompok, bila terdiri dari dua golongan, lebih dapat dipelihara dengan ketidakseimbangan kekuatan dan bobot golongan-golongan tersebut, dengan mengorbankan pihak minoritas.

Bahkan dalam suatu kelompok saja sulit untuk diadakan suatu hubungan kerja sama yang setara di antara dua subkelompok. Hampir tidak ada kemungkinan untuk menciptakan kaitan horisonal di antara kedua atau lebih kelompok yang mandiri.

Bila dua orang pemimpin bekerja sama, mereka mengikutsertakan pengikut masing-masing dan berusaha membentuk suatu kelompok gabungan yang baru, sekalipun bila kedua pangsa sebelumnya merupakan bagian-bagian dari satu kelompok lain yang lebih besar dan memisahkan diri daripadanya tanpa ada kemungkinan untuk bersatu lagi. Proses ini dilukiskan dalam Gambar 2. Bila karena a mati kelompok-kelompok b yang terpisah dari c memadu kekuatan sambil berusaha mempertahankan struktur mereka (dengan demikian ada usaha untuk menciptakan hubungan horisontal di antara mereka), tampaknya usaha itu akan gagal, karena sesuatu hubungan tidak dapat dibina di antara mereka selama struktur dalam mereka yang lama tetap tidak berubah. Seandainya mereka sejak semula berkembang sebagai kelompok-kelompok yang terpisah, sekalipun kegiatan dan tujuan mereka serupa, mereka tidak dapat digabungkan menjadi satu kecuali bila mereka berhasil mendapatkan pemimpin tunggal yang diakui sah, cocok dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Penggabungan kedua kelompok dapat terjadi hanya bila salah satu kelompok menyerap atau mendominasi kelompok yang lain. Atau bila timbul seorang pemimpin yang memuaskan kedua belah pihak. Tetapi kemungkinan yang disebutkan terakhir itu jarang ditemui. Bahkan sekalipun kedua belah pihak mengaku "bahu membahu", kata-kata itu biasanya tinggal menjadi slogan semata dan tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.

Di sini perlu diperhatikan bahwa sejarah Jepang tidak mengenal adanya oligarki. Partai-partai politik Jepang dalam masa modern ini juga tidak pernah mengambil bentuk koalisi. Sesuatu partai selalu mendominasi partai-partai yang lain, dan selalu ada satu pemimpin saja yang yang sah dan diakui oleh segala pihak, sekalipun belum tentu pemimpin yang kuat.

Masih sangat sulit untuk membina kerja sama di antara dua kelompok, sekalipun keduanya memiliki tujuan dan kegiatan yang sama. Ini menimbulkan berbagai situasi yang sulit atau mustahil dijelaskan berdasarkan titik pandangan akal sehat. Salah satu contoh yang tepat adalah peringatan meledaknya bom atom yang dilakukan pada tahun-tahun belakangan ini. Pada tahun 1963 misalnya, partai-partai komunis dan sosialis (termasuk Sohyo) tidak dapat bersama-sama melakukan upacara peringatan itu, sehingga gedung upacara malahan menjadi gelanggang perkelahian terbuka di antara mereka. Selanjutnya, upacara peringatan bagi korban-korban percobaan bom hidrogen di Pulau Bikini, dilakukan oleh kelompok-kelompok yang bermusuhan di Yaizu, di tempat yang sama tetapi pada saat yang berbeda (oleh Asosiasi Perdamaian Orang-Orang Religius Jepang dan Sohyo). Pertentangan mereka yang tidak begitu tampak membingungkan baik Walikota Yaizu maupun keluarga yang kehilangan warganya, karena terpaksa melaksanakan kewajiban sosial menghadiri kedua upacara yang sama, dan dua kelompok yang bertentangan itu tidak begitu berhasil mengatasi penilaian buruk rakyat setempat dan masyarakat umum. Selain berbagai reaksi yang datang dari luar semacam itu, kelompok-kelompok banyak yang rusak sendiri akibat berbagai pertentangan di antara bagian-bagian yang ada di dalamnya. Sementara itu orang luar mulai mempermasalahkan tanggung jawab sosial kelompok. Inilah sebab-sebabnya mengapa klik-klik politik (habatsu) begitu mudah diserang berdasarkan norma-norma etika; dari luar, mereka tampak sibuk mengurus hubungan antarpribadi dalam bagian-bagian yang ada di dalamnya, saling hubungan di antara bagian-bagian itu dan berbagai pertentangan antarbagian. Dengan demikian tujuan organisasi cenderung tertutup oleh prosedur harian kehidupan kelompok.

Bidang industri tidak luput juga dari akibat struktur kelompok dalam tersebut. "Reorganisasi perusahaan-perusahaan industri" yang dimaksudkan sebagai penggabungan dari berbagai perusahaan sejenis telah menjadi salah satu usaha utama bangsa Jepang untuk membendung masuknya perusahaan asing ke Jepang, diikuti dengan penerapan kebijakan ekonomi yang bertujuan mewujudkan pasar bebas internasional di Jepang beberapa tahun terakhir. Bagi situasi Jepang tertentu, pada hakekatnya pendirian perusahaan yang lebih besar ini akan dapat bersaing di dalam pasar internasional dan meningkatkan laba secara proporsional dengan menghindarkan persaingan dalam negeri yang sebenarnya tidak perlu ataupun investasi ganda. Para direktur perusahaan yang lebih besar yang tahu akan manfaat penggabungan itu secara teoritis, sayangnya, mendapatkan bahwa harapan mereka menghadapi hambatan besar yang dapat timbul dari persaingan perseorangan, baik di antara para direktur dan eksekutif perusahaan-perusahaan yang bersangkutan, maupun di antara para manajer dan staf manajemen dalam masing-masing perusahaan. Ada banyak contoh yang mengungkapkan perkembangan kesulitan semacam itu dari struktur kelompok yang telah dijelaskan di atas. Berikut ini dikemukakan dua contoh untuk didiskusikan. Yang satu contoh penggabungan yang berhasil, yang lain contoh kegagalan usaha penggabungan.

Contoh yang pertama berkenaan dengan tiga perusahaan besar yang sebelum perang membentuk suatu kelompok Zaibatsu (lihat halaman 135-136) yang disebut Mitsubishi Heavy Industries Company. Pada tahun 1950 kelompok ini terbagi menjadi tiga: Mitsubishi Japan Heavy Industries Company, New Mitsubishi Heavy Industries Company, dan Mitsubishi Ship Manufacturing Company. Sebelum penggabungan terwujud, lama sekali diadakan perundingan yang rumit tetapi perlu. Alasan yang mendasari keberhasilan terwujudnya penggabungan adalah hubungan pribadi yang sangat menggembirakan di antara para direkturnya. Menurut kritikus ekonomi Seki Tadatake, redaktur Zaikai (Dunia Usaha), tokoh yang paling menentukan adalah S. Fujii. Bekas Presiden New Mitsubishi Heavy Industries Company ini menjadi direktur menggantikan direktur lama perusahaan tersebut yang baru saja meninggal. Ia dihormati sebagai senpai oleh dua direktur lainnya dan dikenal sangat tinggi prestasinya dan tidak memiliki kepribadian yang egosentris. Tambahan pula, dulu dia menjadi rekan sejawat dari kedua presiden perusahaan lainnya; ketiga orang itu masuk ke Mitsubishi pada waktu yang hampir bersamaan dan bekerja sama sehingga tidak ada kesulitan bagi kedua direktur lainnya untuk menjadi direktur dua dan direktur tiga di bawah Fujii. Keberhasilan penggabungan ketiga perusahaan ini berasal dari fakta bahwa penggabungan itu tidak merusak salah satu di antara struktur dalam masing-masing perusahaan dan tidak menyebabkan pergeseran pemangkatan dari sistem pemangkatan tradisional yang secara khusus dihargai oleh orang-orang dari Mitsubishi.

Dalam contoh lainnya, sementara orang-orang yang menduduki jabatan puncak sepakat bergabung, usaha itu gagal karena oposisi dari para eksekutif salah satu perusahaan. Perusahaan Bir Asahi dan Perusahaan Bir Sapporo pada mulanya merupakan satu perusahaan yang bernama Perusahaan Bir Dainihon. Perusahaan ini pecah segera sesudah perang, menjadi dua perusahaan yang telah disebutkan di depan. Kedua direkturnya dalam hubungan yang baik semula bersama-sama dalam Perusahaan Dainihon, dan sama-sama bermaksud mengadakan penggabungan. Bila dan kapan saja penggabungan itu terbentuk maka yang akan menjadi direktur perusahaan gabungan adalah T. Yamamoto, direktur Perusahaan Bir Asahi. Orang tahu bahwa Yamamoto bersikap sewenang-wenang, sementara Matsuyama, direktur Sapporo dikenal sebagai manajer yang demokratis dan perintis teknik ilmiah dalam produksi bir di Jepang.

Ketika cerita tentang rencana itu tersiar, seluruh staf eksekutif Perusahaan Bir Sapporo bergabung menentang rencana tersebut, dan menyatakan tidak mau bekerja di bawah pimpinan direktur yang sewenang-wenang. Mereka cukup bahagia dipimpin oleh direktur sekarang yang bersikap demokratis, dan walaupun mereka menyadari keuntungan yang bakal dicapai dari usaha penggabungan itu dalam arti kemajuan bisnis, namun mereka merasakan bahwa yang lebih penting dan relevan adalah masalah organisasi dari hari ke hari. Karena oposisi yang kuat ini maka usaha penggabungan ini dibatalkan dalam waktu hanya dua hari setelah rencananya diumumkan pers. Selanjutnya setelah mengalami hal ini direktur Sapporo menyatakan bahwa tak pernah memikirkan masalah penggabungan lagi. Orang dapat saja bertanya, mengapa ia tidak memaksa orang-orangnya menyepakati penggabungan tersebut, dengan menunjukkan kepemimpinan populernya yang menguntungkan. Tetapi, seperti yang akan dibahas nanti, kekuasaan seorang pemimpin Jepang sangat terbatas oleh konsensus kelompok. Bila direktur Sapporo memaksakan penggabungan yang bertentangan dengan kehendak para pekerjanya maka ia akan menanggung risiko kehilangan kerja sama dan kepatuhan mereka.

Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan dua sifat negatif struktur kelompok X berikut ini:
  1. Kelompok selalu berada di dalam bayang-bayang keretakan intern;
  2. Kelompok mempunyai kelemahan ekstern yang parah, yaitu tidak dapat bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain. Dari sisi yang positif, bila kelompok berfungsi dengan kekuatan dan efisiensi puncak dari X dengan sebaik-baiknya dan memusatkan serta memobilisasikan energi para anggotanya, maka kelompok tersebut dapat melampaui struktur Y, karena dalam kelompok X yang mengikat himpunan perorangan adalah emosional dan stabil. Tetapi selanjutnya, efisiensi X mudah runtuh oleh berbagai peristiwa buruk dan ambisi yang membuat keseimbangan kekuatan jadi timpang.
Dapat saja ditunjukkan bahwa hirarki informal dan perpecahan yang berkembang di antara para anggota suatu kelompok (organisasi yang tak kelihatan yang dibahas di atas) bertumpang tindih dan amat mempengaruhi organisasi administrasi yang formal dari suatu lembaga (yang kelihatan). Dalam lembaga-lembaga yang sudah tua dan organisasi pemerintahan, ketidakstabilan dan cerai-berainya kelompok-kelompok informal dapat dialihkan berkat kerangka kelembagaannya sendiri. Sekalipun hirarki informalnya dibubarkan atau diobrak-abrik, para anggota perorangan masih tetap tinggal di dalam kerangka yang sama dan sekalipun efisiensinya diperkecil namun kelompok dapat melindungi diri dengan perantaraan organisasi administrasi yang formal. Kerangka kelembagaan tentu saja memenuhi fungsi penting yaitu untuk menghimpun para anggota selalu bersama, apa pun golongan yang mereka ikuti; dan karena para anggota dikelompokkan terutama oleh lembaga, maka apa pun persaingan intern yang mereka rasakan, mereka menyadari bahwa mereka berada dalam perahu yang sama yang sedang berlomba dengan perahu lain. Dapatlah dikatakan bahwa tingkat efektivitas kerangka kelembagaan (kepaduan di antara para anggota) tampak menyolok bila lembaga yang bersangkutan memiliki gengsi yang luas dan peranan yang penting dalam masyarakat.

Bila satu kelompok tidak memiliki kerangka tetap dengan sistem administrasi kelembagaan formal, seperti suatu perusahaan atau desa, fungsi organisasi hirarki cenderung menjadi lebih penting. Ini terjadi dalam kelompok-kelompok seperti partai politik dan organisasi-organisasi bawah tanah; di sini organisasi informal vertikal sendiri menjadi organisasi de jure dari kelompok. Suatu prototipe dari organisasi semacam ini terdapat dalam iemoto-sei (harfiah, "awal mula sistem keluarga") dalam seni tradisional seperti no, seni merangkai bunga atau upacara minum teh. Ie-moto (kepala sekolah) berdiri di pucuk organisasi dan pergantian untuk menduduki jabatan biasanya berdasarkan keturunan darah. Ada banyak sekali hubungan garis vertikal berasal dari kantor iemoto melalui hubungan guru murid, dan sehubungan dengan sekolah-sekolah yang lebih tua dan berhasil maka bentuk merupakan jaringan yang mencakup hampir seantero Jepang. Adalah semacam kejutan bahwa sekolah-sekolah yang tua ini mempertahankan organisasi yang sama sejak beberapa abad yang lalu dan bahwa beberapa di antaranya masih berkembang hingga sekarang. Iemoto bukan hanya menarik gengsi yang tertinggi tetapi juga menawarkan keuntungan ekonomis yang terbesar; ia dapat menarik biaya atas kartu keanggotaan dari orang yang secara tidak langsung dikaitkan dengannya dalam organisasi hirarki, seperti biaya pengajaran yang diberikannya secara langsung. Dengan demikian sistem itu tidak hanya berguna untuk mengalihkan teknik-teknik artistik, tetapi juga memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang lebih luas dan lebih efektif.

Hubungan di antara berbagai sekolah yang berlainan dalam bidang kesenian yang sama, buruk sekali. Dalam no, misalnya, ada lima sekolah besar, masing-masing dengan satu organisasi yang berdiri sendiri tetapi memiliki fungsi dan struktur yang persis sama. Para anggota dari sekolah yang berlainan jarang bermain pentas bersama, walaupun mereka sama-sama mempelajari satu naskah yang sama, dan seorang aktor tidak akan menghadiri pementasan dari sekolah lain. Sekalipun dalam suatu acara terdapat pementasan dari beberapa sekolah, beberapa penonton yang berasal dari sekolah tertentu biasanya akan meninggalkan tempat duduk mereka selama pementasan dari sekolah lain itu berlangsung. Bukan hanya para artis saja yang tidak mau campur dengan murid-murid sekolah lain dalam bidang yang sama; tetapi bahkan dalam sekolah yang sama para murid enggan berganti guru. Sistem iemoto menuntut setiap orang agar mempertahankan garis vertikal, sekali garis itu dibina di antara guru-murid. Pola perilaku semacam itu sangat cocok dengan prinsip struktural organisasinya. Di sini orang menyadari implikasi yang jauh secara struktural dari hukum pokok etika Jepang: "Tidak ada seorang pun yang mengabdi pada dua tuan!"

Pola dasar organisasi ini diwarisi hingga tingkat tertentu, sekalipun kecil, oleh para profesional modern seperti para artis masa kini, sarjana, pengacara dan lain-lain. Komposisi intern dari gabungan para pengacara di Jepang, misalnya, jelas sekali didasarkan atas hubungan vertikal, walaupun kegiatan mereka didasarkan atas kehendak pribadi dan bukan berdasarkan pengangkatan kerja dalam lembaga tertentu. Hubungan vertikal yang terdapat di antara masing-masing advokat dibina oleh hubungan guru-murid dan senpai-kohai dari universitas yang sama semasa lampau, atau guru-murid dan hubungan senpai-kohai dalam kantor advokat dimana mereka bekerja sejak permulaan karir mereka. Melalui hubungan vertikal seperti ini kelompok mewujudkan suatu pertalian garis seperti organisasi. Menarik sekali mempelajari bahwa bagi para advokat ini setiap kelompok dikonsepsikan seperti suatu masyarakat desa dan tentunya, istilah Jepang yang dipergunakan secara tradisional untuk kelompok-kelompok ini adalah mura, artinya desa. Pada suatu rapat panitia yang terdiri dari para wakil dari masing-masing kelompok, bila suatu masalah penting diperbincangkan dan salah satu wakil tidak dapat memberikan keputusan langsung, ia akan berkata: "Saya tunda dulu keputusan saya hingga saya dapat berkonsultasi dulu dengan mura saya". Satu fraksi dalam partai politik biasanya disebut mura juga. Seorang calon baru yang diajukan sebagai anggota dewan penasihat akan ditanya, ia berasal dari mura yang mana. Ia menunjukkan ketidaktahuannya akan jargon tersebut dengan menjawab, "Saya dari Tokyo!" yang berarti bahwa ia lahir di Tokyo. Tetapi tentu saja yang sebenarnya ditanyakan adalah, ia berasal dari fraksi apa. Komunitas primer (lazimnya disebut mura) di Jepang sekarang, adalah golongan dalam satu kelompok profesional atau kelompok mata pencaharian.

Tanpa "kerangka" maupun garis-garis vertikal tampaknya mustahil orang Jepang dapat membentuk suatu kelompok fungsional. Sebenarnya di Jepang sulit sekali untuk membentuk dan mempertahankan semacam perhimpunan sukarela seperti yang ditemui dalam masyarakat Barat, yang pembentukannya tidak berdasarkan kerangka atau hubungan pribadi yang sudah ada secara vertikal. Ada banyak usaha untuk mengorganisasikan kelompok kesejahteraan yang didasarkan atas rasa sukarela sesudah Perang Dunia II dengan pola yang ada di Amerika. Kebanyakan kelompok demikian gagal berfungsi terutama dari rekan yang bukan Amerika, karena kurang orang yang dapat memimpin organisasi, sementara dari pihak anggotanya kurang berpartisipasi aktif, dan dari masyarakat umum tidak ada pengakuan sosial. Menghadapi kesulitan yang tidak diharapkan seperti itu kebanyakan pemimpin organisasi mendekati Pemerintah untuk memperoleh dukungan baik formal maupun informal, yang memungkinkan diadakannya pemantapan jaringan yang efektif pada tingkat nasional dan untuk memperoleh pengakuan sosial.

Kesulitan semacam itu tidak hanya dihadapi oleh kelompok-kelompok sukarelawan, tetapi juga dalam pengembangan masyarakat lokal baru di daerah-daerah pinggiran kota-kota besar. Para penguasa kota serta para sosiolog dan lain-lain telah mengembangkan serangkaian rencana pengembangan apa yang disebut "kehidupan komunitas" (konsep lain yang diimpor dari Amerika) yang pada umumnya gagal. Saya lihat pembentukan kelompok-kelompok semacam itu mengandaikan adanya garis-garis horisontal di antara para anggota, menembus batas-batas kelompok yang ada di tempat-tempat kerja. Karena terikat pada kelompok-kelompok yang didasarkan atas kegiatan bisnis primer mereka enggan memberikan iuran atau mengorbankan waktu bagi kelompok di kampung-kampung mereka (RT, RW). Beberapa penelitian dari para sosiolog mengenai komunitas setempat menunjukkan bahwa yang paling mungkin dijadikan dasar pembentukan organisasi komunitas lokal adalah daerah jangkauan sekolah dasar; kontak-kontak melalui Persatuan Orang Tua Murid dan Guru memberikan banyak peluang untuk mengemukakan ide dan berhimpun, tetapi sekalipun demikian ada juga kesulitan dalam cara mengikutsertakan rumah tangga yang tidak memiliki anak sekolah.

Kepaduan yang kuat dalam masyarakat pedesaan Jepang sering ditafsirkan sebagai kepaduan kelompok setempat; tetapi perlu diingat bahwa desa tradisional merupakan kelompok yang para anggotanya melaksanakan kegiatan ekonomis mereka yang vital (yaitu pertanian) dan terjalin erat sebagai satuan sosiologis dari generasi ke generasi dan bukan sekedar kelompok setempat saja. Bila para penduduk desa pindah ke daerah perkotaan maka tempat kerja mereka terpisah dari tempat tinggal. Mereka mulai lebih mementingkan tempat kerja yang merupakan komunitas mereka (dipandang sebagai desa), ketimbang tempat tinggal mereka. Seperti dalam hal para advokat dan politisi, "desa" mereka adalah kelompok "garis" profesional dan bukan rukun tetangga di tempat tinggal mereka. Dulu di Jepang dalam rangka pemilihan umum disebarkanlah kartu pilihan melalui desa, para penduduk desa sepakat membantu calon yang diusulkan oleh atasan setempat; dewasa ini satu perusahaan (dengan beberapa satelit dan perusahaan subkontraktor) merupakan tempat pemilihan bagi seorang calon terpilih, biasanya dengan kesepakatan antara buruh dan manajemen mengenai pilihan tersebut. Dalam hal semacam ini komunitas setempat tidak dapat memadukan fungsi kekuasaan dan kekuatan fungsional perusahaan sebagai satu kelompok. Partisipasi kelompok tunggal dengan demikian diwujudkan tanpa keselarasan dengan perkembangan komunitas setempat yang baru di daerah-daerah perkotaan di Jepang (lihat juga hal 173).

Walaupun mungkin gagal mengembangkan suatu komunitas setempat yang baru, banyak penduduk kota yang baru bergabung dengan kelompok keagamaan baru, yang kebanyakan di antaranya adalah Soka-gakkai yang hingga sekarang berhasil, dengan anggota sekitar tiga juta orang. Soka-gakkai adalah sejenis kelompok pelindung yang berkaitan dengan salah satu kuil Buddha tertentu milik sekte Nichiren dan semua anggotanya awam. Penelitian mengenai kelompok itu menunjukkan bahwa para anggota terutama berasal dari bagian atas dari lapisan bawah penduduk kota, dan penggabungan diri dengan kelompok tersebut biasanya terjadi selang dua atau tiga tahun dari kepindahan orang dari desa ke kota. Para anggota kelompok yang aktif sebagai keseluruhan merintis partisipasi kelompok atas masuknya anggota dalam perhimpunan tersebut dari tempat kerja mereka. Yang menyolok sekali ialah bahwa Soka-gakkai diorganisasikan menurut garis-garis vertikal, sehingga gerakan tersebut diberi nama tate-sen (harfiah, garis-garis vertikal). Tate-sen merupakan hasil perluasan garis-garis langsung yang dibina di antara beberapa orang. Tempat tiap-tiap orang dalam tate-sen ditentukan pada saat ia masuk dalam Soka-gakkai, dan tate-sen ini pada akhirnya mencapai sang pemimpin pada pucuk organisasi, memintas batas-batas kedaerahan dan lembaga-lembaga lainnya. Organisasi di dalam sektor puncak dari staf yang amat loyal mencerminkan sistem militer Jepang tempo dulu. Keberhasilan kelompok-kelompok keagamaan baru yang mencengangkan ini, sehingga mereka bertumbuh begitu besar dan cepatnya, tampaknya terutama disebabkan oleh sistem organisasi vertikal mereka.

Di dalam masyarakat tidak semua kelompok mengalami pengaruh yang sama derajatnya dari pemfungsian kaidah organisasi itu. Orang dapat menemukan satu kelompok yang tidak mengenal kaidah pengorganisasian model vertikal seperti yang dilukiskan di atas; tetapi amat boleh jadi dalam hal seperti ini kelompok itu terbentuk belum begitu lama dan belum memiliki cukup waktu untuk menjadi masak sebagai satu badan, atau mungkin kelompok itu bukan kelompok yang sungguh-sungguh fungsional yang mengikat para anggotanya kuat-kuat. Tetapi seandainya demikian maka suatu kelompok fungsional yang masak benar tentunya berukuran kecil, mungkin anggotanya kurang dari dua puluh empat orang, atau mungkin terjadi dari orang-orang yang amat homogen yang sama kedudukan ekonomi dan sosialnya dan amat mengenal satu sama lain (seperti dalam masyarakat desa di mana para kerabat hidup bersama beberapa generasi). Dalam hal perkecualian semacam ini kelompok bisa jadi demokratis seluruhnya, tanpa hirarki yang kaku dari struktur dalamnya. Tetapi ada kemungkinan pula ditemukan satu kelompok yang para anggotanya memiliki latar belakang pendidikan dan latihan yang sama, sekalipun berbeda bidang spesialisasinya. Mungkin justru tingginya derajat spesialisasi di antara para anggota individual itulah yang menyebabkan timbulnya tempat-tempat khusus yang menghambat perkembangan bawahan atau merintangi usaha menjalin hubungan dengan para anggota lainnya. Juga menghalangi peningkatan saling tanggap di antara para anggota seraya memelihara otonomi masing-masing pribadi.

Kendati dalam situasi yang sangat berlainan dalam pembentukan kelompok ini, satu kelompok yang tidak memiliki susunan hirarki intern atau tipe hubungan manusia antara atasan dan bawahan masih memerlukan partisipasi sepihak dari para anggotanya serta mengarahkan mereka agar membina kelompok tertutup. Jadi sekali lagi keseragaman, keseimbangan kekuasaan dan mentalitas demokratis di antara para anggota kelompok sulit dipelihara bila kelompok tersebut makin besar. Bila suatu kelompok homogen memasukkan anggota baru dari luar lingkungan mereka atau mengalami pengaruh dari luar maka kelompok akan mengalami diferensiasi intern. Sedangkan bila kelompok dalam hal penambahan anggota berdasarkan spesialisasi pribadi maka akan terbinalah hubungan vertikal, karena seperti yang telah dikemukakan di atas, satu pangkat yang sama tidak bisa diduduki oleh dua orang.

Maka ada atau tidaknya hirarki vertikal di dalam suatu kelompok dan tingkat pelembagaannya bergantung pada berbagai faktor situasi pembentukannya. Yang paling penting ialah bahwa di Jepang kelompok pada akhirnya, tidak dapat tidak akan mengembangkan tipe struktur organisasi vertikal. Selanjutnya struktur organisasi yang didasarkan atas prinsip verikal tampak lebih tegas lagi dalam lembaga-lembaga yang sudah mapan dan besar, dengan gengsi yang lebih tinggi. Ini merupakan sumber stabilitas organisasi, yang di Jepang tampaknya merupakan kekuatan utama.

Ada gunanya diperhatikan bahwa di Jepang setiap kelompok yang mencapai keberhasilan dan makin besar ukurannya sambil juga mengembangkan stabilitasnya, selalu setia pada pola struktural yang sama itu. Derajat fungsi hubungan vertikal bisa jadi berbeda menurut macam-macam kelompok; pada beberapa kelompok mungkin ada hubungan-hubungan yang tidak jelas. Tetapi dapat disimpulkan bahwa makin kuat pemfungsian kelompok, tampaknya makin tegas bahwa hubungan manusiawi di dalamnya dibina sejalan dengan garis-garis tersebut. Prinsip struktural ini tidak kelihatan dalam kelompok-kelompok sosial di Jepang.

Kekuatan struktur ini terletak pada efektivitasnya demi komunikasi terpusat dan kemampuannya mengadakan mobilisasi himpunan kekuatan para anggotanya secara efisien dan lancar. Sumbangannya bagi proses modernisasi tidak ada tara pentingnya. Di atas tadi sudah dikatakan bahwa struktur inilah yang bertindak membina ekonomi Jepang sesudah perang. Namun struktur vertikal yang disebut oyabun-kobun itu oleh orang Jepang sendiri dan oleh orang Amerika dianggap "feodal" dan "tradisi keluarga". Sesuatu yang belum modern dan menghambat hasrat mengadakan modernisasi. Pandangan demikian ini tidak dapat melihat betapa struktur itu penting sekali, karena oyabun-kobun dan sistem birokrasi modern bersama-sama membentuk orientasi struktural, hanya saja mereka berbeda tingkat (bukan kualitas) sebab bila hubungan oyabun-kobun menyangkut dan lebih menerima berbagai unsur pribadi, sistem birokrasi modern lebih bersifat impersonal (nonpribadi).


Baca: Buku Masyarakat Jepang


  

 



 

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Observasi dan Penelitian Lapangan

3. Observasi dan Penelitian Lapangan Pengumpulan data untuk suatu tulisan ilmiah dapat dilakukan melalui observasi dan penelitian lapangan. Observasi adalah pengamatan langsung kepada suatu obyek yang akan diteliti, sedangkan penelitian lapangan adalah usaha pengumpulan data dan informasi secara intensif disertai analisa dan pengujian kembali atas semua yang telah dikumpulkan. Observasi dapat dilakukan dalam suatu waktu yang singkat, sebaliknya penelitian lapangan memerlukan waktu yang lebih panjang. Observasi dapat dilakukan mendahului pengumpulan data melalui angket atau penelitian lapangan. Dalam hal ini observasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai obyek penelitian sehingga dapat disusun daftar kuestioner yang tepat atau dapat menyusun suatu desain penelitian yang cermat. Sebaliknya observasi dapat juga dilakukan sesudah mengumpulkan data melalui angket atau wawancara. Dalam hal ini tujuan observasi adalah untuk mengecek sendiri sampai di mana kebenara