Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Waka, Kokugaku dan Kanshibun

Waka, Kokugaku dan Kanshibun


6.  Waka, Kokugaku dan Kanshibun

Grup Penyair Pada Zaman Kan-ei (1624-1647)

Pembuatan syair waka dan penyelidikan tentang syair pada permulaan zaman pra-modern disebarluaskan oleh anak didik Hosokawa Yuusai. Kaisar yang bernama Komizuno-o, kemudian Nakanoin Michikatsu, Karasumaru Mitsuhiro dan lain-lain adalah penyair-penyair yang berasal dari kaum bangsawan atau cendekiawan. Selain itu, terkenal juga beberapa penyair lain seperti Kinoshita Chooshooshi, Matsunaga Teitoku (1571-1653) dan lain-lain. Mereka ini adalah penyair-penyair yang aktif pada zaman Kan-ei dan merupakan anak didik penyair Hosokawa Yuusai. Gaya bahasa pantun waka pada zaman itu kurang segar. Biarpun pantun-pantun itu membawa ke arah yang lebih mencerahkan, tetapi secara ilmiah kurang berbobot. Pada zaman itu pantun waka yang dianggap bermutu adalah karya dari Kinoshita Chooshooshi yang berjudul Kyohakushuu dan karya dari Gensei, seorang pendeta dari aliran Budha Nichiren yang berguru pada Teitoku, yang hidup menyendiri di Kyoto. Matsunaga Teitoku yang pernah mengumpulkan pantun waka sejak zaman sebelumnya sebetulnya merupakan orang yang berjasa dalam menyebarluaskan dan mendorong penelitian pantun itu kepada kaum samurai, orang-orang kaya dan juga kepada rakyat biasa. Dari pengikut-pengikut Teitoku inilah muncul pengeritik-pengeritik terhadap ajaran klasik Jepang seperti Kitamura Kigin.

Pembaharuan Pada Zaman Genroku

Pada zaman Genroku Koda Mosui (1629-1706) mengadakan pembaharuan pada bidang pantun waka dan penelitian tentang pantun tersebut. Dia menulis buku tentang teori pantun waka yang bernama Higagoto Shirabe dan Nashi-no Motoshuu. Dia tidak setuju dengan pendapat penyair keluarga Nijoke yang terlalu berpegang teguh pada tradisi, dan menuntut adanya kebebasan dalam menetapkan kata-kata yang digunakan dalam pantun waka. Tetapi karena teknik pembuatan pantunnya tidak begitu baik, maka karya-karyanya pun tidak bernilai tinggi.

Timbulnya Kokugaku

Tidak berapa lama setelah zaman Genroku, di Kyoto muncul penyair-penyair yang meletakkan dasar-dasar untuk penelitian bahasa dan sastra klasik Jepang seperti Shimokoobe Chooryuu, Soo Keichuu, Kada no Azumamaro dan lain-lain. Chooryuu senang pada pantun waka dan penelitian sastra klasik Jepang. Di hari tuanya dia diminta untuk menulis penjelasan tentang buku Manyooshuu oleh orang besar Tokugawa Mitsukuni dari Mito. Tetapi karena sakit dia menyerahkan pekerjaan itu kepada Keichuu. Karena pengaruh Chooryuu, Keichuu melakukan penelitian sastra berdasarkan filologi dan salah satu hasilnya yang besar ialah Manyoo Daishooki (catatan tentang Manyooshuu), sesuai dengan permintaan Tokugawa Mitsukuni. Dalam hal penelitian bahasa juga ada karangannya yang terkenal yang bernama Waji Shooranshoo (kamus kanji Jepang). Tetapi baik Chooryuu maupun Keichuu kedua-duanya sebagai penyair tidak banyak mengeluarkan hasil karya yang berarti. Di pihak lain, Kada no Azumamaro yang tidak setuju dengan ajaran Konfusius, menganjurkan penelitian ‘kokugaku’, ia berusaha menyelidiki pemikiran asli orang Jepang di zaman kuno. Dia merupakan seorang yang berjasa dalam mengembangkan studi tentang Jepang, tapi bukanlah seorang penyair dalam arti yang sesungguhnya.

Pembentukan Kokugaku

Metode penelitian berasaskan pembuktian menurut Keichuu disatukan dengan usaha penelitian tentang pemikiran orang Jepang kuno yang berasal dari Azumamaro, sehingga terbentuklah Kokugaku. Orang yang berhasil membuka Kokugaku ini adalah Kamo no Mabuchi. Mabuchi berteman dengan Azumamaro. Karena pengaruh Azumamaro dia berkeinginan menjadi peneliti Kokugaku. Dia mempunyai hasil karya yang sangat baik seperti Manyookoo (studi tentang Manyooshuu) dan lain-lain. Kamo no Mabuchi merupakan juga seorang penyair yang terkenal. Gaya bahasa yang digunakannya mula-mula adalah gaya bahasa Shinkokinshuu, kemudian berubah menjadi gaya bahasa Manyooshuu. Di hari tuanya dia berkeinginan mempergunakan gaya bahasa sederhana yang digunakan untuk pantun rakyat yang terdapat dalam buku Nihonshoki dan Kojiki. Kumpulan pantun Waka yang ditulisnya sendiri berjudul Kamo no Ookashu (kumpulan pantun keluarga Kamo). Dari pengikut-pengikutnya inilah tampil orang-orang terkenal seperti Tayasu Umetake, Katoo Chikage, Murata Harumi, Katori Nahiko, Shimizu Hamaomi dan lain-lain.

Contoh pantun waka Kamo no Mabuchi :

Nihodori-no Katsushika wase-no niishibori kumitsutsu oreba tsuki katamukina
       5                           7                             5                 7                                  7
Apabila seorang minum sake yang dibuat dari pagi baru di Katsushika, dengan tidak disadari hari telah menjadi malam.


Shinano naru suga-no arano-o tobu sagi-no tsubasa-mo tawa-ni fuku arashikana
           5                               7                      5                  7                                  7
Burung bangau di Shinano (Nagano), sayapnya menjadi mekar karena ditiup angin padang rumput yang kencang.

Grup Penyair Kyoto Pada Pertengahan Zaman Edo

Ketika Mabuchi dan murid-muridnya aktif dalam dunia penyair di Edo, di Kyoto ada penyair yang bernama Ozawa Roan (1723-1801). Ozawa Roan tidak setuju dengan Mabuchi yang menyenangi sastra klasik Jepang. Dia menyenangi pantun biasa tanpa teknik khusus dan menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti tanpa terlalu terikat pada teknik penyairan. Dengan kalimat yang mudah dimengerti dan tanpa terikat pada teknik penyairan itu ia berusaha mengungkapkan suatu perasaan yang mendalam. Kumpulan pantun waka yang ditulisnya sendiri antara lain bernama Rokujoo Eisoo. Ueda Akinari yang sama-sama dari Kyoto muncul dengan kumpulan pantun wakanya yang beraliran baru yang bernama Tsuzurubumi.

Pematangan dan Perpecahan Kokugaku

Motoori Norinaga mengikuti jejak Keichuu, ia meneruskan penelitian tentang sastra klasik Jepang secara ilmiah. Ia juga menerima penjelasan-penjelasan tentang obyek penelitian klasik yang pernah diteliti oleh Mabuchi, dan berusaha memecahkan masalah tersebut. Hasil karya yang merupakan jerih payahnya adalah Kojikiden (tentang Kojiki).

Setelah Motoori Norinaga, Kokugaku mengalami perpecahan. Berkat jasa Motoori Norinaga, Kokugaku tersebar ke seluruh Jepang dan sampai membudaya ke dalam jiwa orang Jepang. Karena usaha Motoori Norinaga inilah Kokugaku menjadi mantap di kandangnya sendiri. Akan tetapi, sepeninggalnya para pengikutnya meneruskan penelitian tersebut berdasarkan keinginan masing-masing. Dengan demikian, Kokugaku mengalami perpecahan. Ada yang meneliti bidang filologinya saja sampai hal-hal yang kecil, di antaranya yang terkenal adalah Bannobu Tomo. Ada pula yang hanya meneliti pemikiran agama Shinto saja, di antaranya yang terkenal adalah Hirata Atsutane.

Contoh pantun waka Ozawa Roan :

Ooigawa tsuki-to hana-tono oboroyo-ni hitori kasumanu nami-no oto kana
       5                   7                        5                             7                          7
Suatu malam di musim semi di Ooigawa (sungai di Kyoto), bunga sakura sedang berkembang dan bulan memancarkan sinarnya, sedangkan air di sungai memperdengarkan suara gemercikannya, mendengar ini seorang diri serasa seperti suara ombak di laut.

Waka Pada Akhir Zaman Pra-Modern

Pada akhir zaman pra-modern di kalangan rakyat biasa waka makin lama makin populer, di seluruh negeri Jepang muncul penyair-penyair yang mempunyai warna masing-masing, di antaranya penyair Kagawa Kageki dari Kyoto yang mendapat pengaruh dari Ozawa Roan mengemukakan Shirabe-no Setsu (pendapat yang mementingkan unsur irama/sajak pada pantun waka). Ia mengusulkan pembacaan waka dengan irama yang lancar dan wajar untuk mengungkapkan perasaan. Selain itu ia juga banyak memakai bahasa lisan sehari-hari pada karyanya. Di antara kumpulan pantunnya terdapat karya Keien Isshi. Muridnya banyak dan di antaranya terdapat nama-nama seperti Kumagai Naoyoshi, Kinoshita Takabumi, Hatta Tomonori dan lain-lain. Pantun Kumagai Naoyoshi bercirikan sesuatu yang lembut. Kinoshita Takabumi menghasilkan karya dari bahan dan tema tersendiri sehingga patut disebut ‘Seikatsu Tanka’ (waka kehidupan). Hatta Tomonori menjadi pelopor aliran waka istana. Aliran ini pada akhir masa pemerintahan feodal-militer mempunyai pengaruh besar di bidang pantun waka dan pengaruh ini berlangsung terus sampai zaman Meiji.

Di samping penyair-penyair tersebut di atas, masih ada lagi penyair-penyair lainnya, misalnya di Echigo (Niigata) ada Ryookan, di Fukui ada Tachibana Akemi, di Bizen (Okayama) ada Hiraga Motoyoshi, di Fukuoka ada Ookuma Kotomichi dan penyair wanita Nomura Motoni, di Kyoto juga ada penyair wanita yang bernama Ootagaki Rengetsuni.

Ryookan dan Akemi sambil mempelajari Manyooshuu melalui pantunnya menuturkan perasaannya terhadap hidup secara bebas dan cerah. Motoyoshi juga mempelajari Manyooshuu dan pada karyanya ia menunjukkan variasi yang bersifat jujur tapi keras. Kotomichi tercipta dengan memakai bahasa sehari-hari sehingga karyanya bersifat segar dan baru.

Contoh :

Izuku-yori uchi iremu Sahogawa-no sazare-ni utsuru shiraguki-no hana. (Kageki)
Entah darimana kuda dibawa untuk minum di sungai Saho, di sana terlihat bunga seruni yang menyolok mata di antara batu-batu kerikil di pinggir kali.

Kaze-wa kiyoshi tsuki-wa sayakeshi iza tomo-ni odori akasamu oi-no nagori-ni. (Ryookan)
Pada waktu angin bertiup sejuk dan bulan bersinar-sinar, marilah kita menari bersama-sama sampai larut malam untuk kenang-kenangan karena entah kapan kita  harus mati.

Tanoshimi-wa mare-ni uo nite kora mina-ga umashi umashi-to iite ku-u toki. (Akemi)
Yang dikatakan gembira dan nikmat ialah saat ketika sekali-kali makan ikan bersama-sama dengan anak-anak berkata enak-enak.

Imooto-to futari akatoki tsuyu-ni tachinurete mukastu onoeno tsuki-o miru kamo. (Motoyoshi)
Bersama-sama dengan isteri berdua bangun pagi-pagi ke luar rumah dan sambil dibasahi embun pagi menonton wajah rembulan yang tenggelam di balik bukit di seberang sana.

Aki-no ame sabishiki kyoo-o tomo-mo nashi nori-o hi-ni atete hitori koso nome. (Kotomichi)
Di bawah hujan musim gugur, pada hari ini aku menyendiri tanpa ada kawan yang menemani, minum sake seorang diri sambil makan nori (ganggang laut kering) yang dipanggang di atas api.

Konfusianisme

Oleh karena pemerintah feodal militer menetapkan Konfusianisme aliran Chuzi sebagai ilmu resmi, maka aliran ini sangat berpengaruh sekali dalam hal belajar dan mengajar Konfusianisme. Pada aliran ini terdapat ahli-ahli terkenal seperti Hayashi Razan, Kaibara Ekiken, Arai Hakuseki, Muro Kyuusoo dan lain-lain. Karya Hakuseki yang berjudul Oritaku Shiba-no Ki dan karya Kyuu-soo yang berjudul Sundai Zatsuwa sangat dihargai sebagai essei bahasa Jepang.

Pada zaman Genroku (1688-1703) ada seorang sarjana yang bernama Itoo Jinsai. Ia berpendapat studi tentang Konfusianisme harus dikembangkan dengan mempelajari faham itu secara langsung dari karya-karya peninggalan Konfusius dan Mengzi. Pandangan ini dikategorikan sebagai ilmu filsafat kuno (Kogaku). Selanjutnya sarjana lain yang bernama Ogiu Sorai mengembangkan filologi dalam teks kuno (Kobunjigaku) karena ia berpendapat bahwa sebelum mempelajari kitab kuno, bahasa yang terdapat dalam kitab itu harus dipelajari terlebih dahulu secara seksama. Dengan demikian, sikap menghargai kitab kuno dan cara penelitian kongkrit yang terdapat pada Kogaku dan Kobunjigaku memberi pengaruh yang sangat besar pada perkembangan Kokugaku di kemudian hari.


Kanshibun


Pada awal zaman pra-modern, penyair Kanshibun yang patut dikenal hanya Ishikawa Joozan. Pada akhir zaman pra-modern, oleh karena di samping Konfusianisme sudah menjadi populer, juga terjadi kecenderungan lebih mementingkan perbuatan syair kanshibun daripada mempelajari ilmu pengetahuan, maka pada masa itu muncul banyak sekali penyair-penyair kanshibun yang terkenal seperti Hattori Nankaku, Kansazan, Yanagawa Seigan, Raisanyoo, Hirose Tansoo dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, juga mulai muncul penyair-penyair yang membuat syair kanshibun yang unik yang disebut ‘Kyooshi’ (syair gila). Di antaranya ialah Oota Shokusanjin dan Hiraga Gennai.


Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau