Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
3. Otogizoshi
Otogizoshi adalah suatu dongeng yang timbul pada zaman pertengahan. Dongeng ini mendapat pengaruh dari cerita perang yang seluruhnya berjumlah sekitar 500 buah, berupa cerita pendek yang tidak diketahui dengan jelas siapa pengarangnya. Isi cerita dari dongeng ini bermacam-macam, ada yang mengambil contoh dari cerita roman, perang, kepahlawanan, cerita tentang para dewa, dongeng tentang flora dan fauna, dan ada pula yang bersumber dari dongeng rakyat biasa. Dongeng ini merupakan pertanda kebangkitan rakyat biasa dan mempunyai pengaruh sampai zaman berikutnya, yakni zaman pramodern.
Isi dari otogizoshi pada umumnya sangat sederhana dan dangkal. Berlainan dengan jenis kesusastraan yang berpusat pada monogatari, yang pengarang dan pembacanya terbatas pada kaum bangsawan, otogizoshi ini ditulis oleh kaum bangsawan kelas rendah, pertapa dan pedagang, serta ruang lingkup para pembacanya lebih luas yakni mulai dari samurai, pendeta, pedagang, hingga rakyat biasa.
Sebetulnya contoh dari dongeng ini cukup banyak, tetapi di sini penulis hanya memberikan contoh otogizoshi yang berjudul Hachi Katsugi (Putri Bertopi Mangkuk).
Konon, pada zaman dahulu di daerah Kawachino Kami (sekarang daerah Osaka) terdapat sebuah desa bernama Katano dan di sana tinggal seorang bichuno kami (semacam kepala/penguasa daerah). Sanetaka, demikianlah nama buchino kami itu, adalah orang yang cukup kaya. Pada mulanya keluarga Sanetaka belum dikaruniai seorang anak sehingga kebahagiaan yang mereka peroleh belum dapat dikatakan sempurna. Namun, tidak lama kemudian hadirlah seorang bayi perempuan dan lengkaplah kebahagiaan keluarga Sanetaka. Untuk mensyukuri anugerah dewa, mereka mendoakan keselamatan putri siang dan malam di kuil.Sayangnya, kebahagiaan ini tidak berlangsung lama, pada waktu putrinya berumur 12 tahun sang ibu jatuh sakit. Pada saat sekarat, sambil berlinang air mata sang ibu mengambil sebuah kotak kecil dan mengisi sesuatu ke dalamnya. Kotak kecil itu kemudian diletakkan di atas kepala putrinya dan pada bagian atas kotak itu ditutup dengan mangkuk besar, dengan posisi terbalik. Kotak itu lalu dipakaikan seperti memakaikan topi sehingga menutupi seluruh kepala sampai ke pundak putrinya. Tidak lama kemudian sang ibu meninggal.Setelah upacara kematian berlalu, saya ayah hendak melepaskan mangkuk besar dari kepala putrinya, tetapi entah mengapa mangkuk itu tidak dapat terlepas dari kepala putrinya. Sang ayah sangat bersedih hati. Selain baru ditinggal oleh istrik tercinta, rupa dari putri satu-satunya pun menjadi aneh; karena kepalanya bertopikan mangkuk.Masa berkabung lewat dan sudah berubah saat-saat sedih, saudara-saudara Sanetaka menganjurkan agar Sanetaka menikah kembali. Tidak lama kemudian Sanetaka mempunyai istri baru, sekaligus ibu tiri bagi putrinya. Sejak awal sang ibu tiri sudah tidak suka kepada putri Sanetaka, ditambah dengan rupa putri yang buruk karena tertutup mangkuk yang besar. Mulailah masa-masa pahit bagi putri ini, dan satu-satunya tempat untuk mencurahkan isi hatinya adalah makam ibunya. Di sanalah dia mengadukan segala kesedihan atas penderitaan dan nasib buruknya akibat perlakuan ibu tirinya, apalagi setelah hadir adik tirinya. Sampai pada suatu ketika sang putri diusir oleh ayah kandungnya sendiri — yang sudah terpengaruh oleh istrinya — karena ulah ibu tirinya.Lenyaplah penderitaan sang putri sehingga dia berpikir untuk bunuh diri. Untunglah nasib baik masih berpihak padanya. Dia terdampar di sebuah keluarga Yama Kagen No Sangmi Chiju. Chiju menyuruh pelayan-pelayannya untuk membuka mangkuk dari kepala putri ini, tetapi lagi-lagi mangkuk itu tidak terlepas. Sang putri kemudian diperintahkan untuk bekerja sebagai pelayan, yang menyediakan air panas untuk mandi pada keluarga Chiju.Chiju mempunyai empat orang putra. Ketiga putra Chiju sudah menikah, kecuali si bungsu yang bernama Sai Sho no Kuni. Pada suatu ketika Sai Sho no Kuni meminta bantuan dari putri yang menjadi pelayan ini untuk mengambilkan air untuk mandi. Dia terkejut begitu melihat rupa putri itu karena bertopi mangkuk. Yang aneh bagi Sai Sho no Kuni adalah tangan dan kaki pelayannya sangat mulus, suaranya merdu, dan mencerminkan seseorang dari kalangan atas, tidak terlihat seperti pelayan biasa. Dia tertarik dan selalu mencuri kesempatan untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan pelayannya. Lama-kelamaan mereka mulai saling tertarik satu sama lain.Hubungan ini ternyata diketahui oleh istri Chiju sehingga dia melarang putranya untuk berhubungan dengan pelayannya. Namun, karena Kuni sudah sangat tertarik akan tutur kata putri yang menjadi pelayan ini, dia tidak menghiraukan kata-kata ibunya dan bertekad untuk memperistri sang putri ini. Chiju tidak kehilangan akal. Diadakanlah sayembara memperlombakan kepandaian dan keterampilan yang harus dimiliki oleh para gadis bila ingin menjadi menantunya, dengan harapan bahwa si pelayan atau putri ini tidak dapat melaksanakan lomba apa pun yang akan diadakan.Ketika perlombaan berlangsung — entah ada keajaiban apa — mangkuk di atas kepala putri pecah menjadi dua, dan dari dalam kotak yang tadinya tersimpan di atas kepala sang putri itu keluar benda-benda ajaib, seperti pakaian yang indah dan perhiasan yang tak terhingga nilainya. Dengan adanya benda-benda itu, sang putri dapat menghadiri perlombaan kepandaian itu, dan sang putri ini pun dapat memberikan hadiah yang paling baik dan indah kepada calon mertuanya, daripada gadis-gadis yang lain. Chiju menjadi tertarik kepada sang putri yang semula adalah pelayannya, ditambah lagi dengan pembacaan puisi maupun permainan Koto yang dapat dilakukan dengan sempurna oleh sang putri. Akhirnya, Chiju memberi izin dan merestui pernikahan putra bungsunya dengan bekas pelayannya. Begitulah sang putri ini dapat hidup berbahagia di sisi pujaan hatinya, seseorang yang terpandang dan cukup pandai. Mereka kemudian dikaruniai putri yang lucu-lucu.Dalam kebahagiaan itu sang putri teringat akan kuil yang sering dikunjungi bersama kedua orang tuanya ketika dia masih kecil. Sang putri mengajak keluarganya mengunjungi kuil itu untuk berdoa dan bersyukur atas apa yang mereka peroleh. Pada saat kunjungan itulah dia bertemu kembali dengan ayahnya yang sedang berdoa agar dipertemukan kembali dengan putrinya yang pernah dia usir. Sang ayah ternyata jatuh miskin dan hidup menjadi pendeta. Ayah dan putri ini dapat berjumpa kembali dan saling melepas rindu. Kemudian, sang putri mengajak ayahnya untuk hidup bersama dengannya. Dengan bertemunya sang putri dengan ayahnya maka lengkaplah kebahagiaan sang putri.
Baca: Buku Pengantar Kesusastraan Jepang
Comments
Post a Comment