Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
c. Aliran Pseudoklasik
Lahirnya Kenyuusha dan Seikyoosha
Akhirnya timbullah suatu golongan yang mengkritik dan menentang
westernisasi yang ekstrim, yaitu yang memasukkan ilmu pengetahuan baru dari
Barat secara tergesa-gesa. Meiji tahun 20 (1887) diselenggarakanlah Rokumeikan
Kasoobutookai (parade yang diselenggarakan oleh golongan yang menerima
perluasan kebudayaan Barat di Jepang) sebagai puncak dari westernisasi. Tetapi
paham ini lama kelamaan berubah menjadi fasisme. Sementara itu timbul dengan
cepat golongan yang menentang westernisasi, antara lain yang dipelopori oleh
Narushima Ryuuhoku dengan karyanya berjudul Ryuukyoo Shinshi. Meiji tahun 21
(1888) Miyake Setsurei, Shiga Shigetaka, Sugiura Shigetake dan kawan-kawannya
mendirikan perkumpulan bernama Seikyoosha. Majalah perkumpulan ini yang
berjudul Nihonjin (orang Jepang) yang kemudian ganti nama menjadi Nihon Oyobi
Nihonjin (Jepang dan Orang Jepang) memuat tulisan yang mengeritik westernisasi.
Di dalam dunia kesusastraan Jepang timbul kecenderungan
sastrawan untuk kembali ke sastra klasik, sehingga pengarang-pengarang sastra
klasik seperti Saikaku dan Chikamatsu memperoleh penghargaan kembali, khususnya
karya-karya Saikaku kembali mendapat perhatian yang besar. Kecenderungan untuk
mempergunakan kembali metode klasik dalam dunia sastra dipelopori oleh
Kenyuusha yang berpusat pada Ozaki Kooyoo. Mereka menerbitkan majalah bernama
Garakuta Bunko. Masa ini disebut dari nama dua pengarang yang berpengaruh pada
masa itu yakni Kooyoo (Ozaki Kooyoo) dan Rohan (Kooda Rohan).
Karya Kooyoo yang berhasil dan diakui dunia sastra adalah
Nininbikuni Irozange dan kemudian disusul oleh karya-karya lain misalnya
Kyaramakura, Ninin Nyooboo dan Sannin Tsuma. Dalam karya-karya tersebut di atas
dapat dilihat pengaruh gaya bahasa dan pemikiran Saikaku. Kooyoo juga menaruh
perhatian pada kehidupan zaman baru seperti terlihat dalam buku Tajoo Takon dan
Konjikiyasha yang gaya bahasanya dapat dibanggakan.
Tetapi biarpun dia berhasil memperbaiki teknik penyatuan
bahasa lisan dan bahasa tulisan dan maju selangkah ke depan dalam pemaparan
segi psikologi, dalam karya-karyanya, tetapi karena kemampuannya yang terbatas
memahami pemikiran yang hidup dalam zaman baru, Kooyoo tidak berhasil menjadi
pusat kesusastraan modern. Di antara pengikut-pengikutnya yang patut diketahui
antara lain Izumi Kyooka, Oguri Fuuyoo dan Tokuda Shuusei.
Kooda Rohan
Sekitar tahun 1890 muncul seorang sastrawan terkenal,
sejajar dengan pengarang Ozaki Kooyoo, yang juga mendapat pengaruh dari Ihara
Saikaku dalam menyegarkan gaya penulisan bahasa klasik. Sastrawan tersebut
bernama Kooda Rohan. Dia juga terkenal dalam teknik penulisan gaya bahasa agama
Budha dan penulisan gaya bahasa Cina seperti dalam karyanya berjudul Issetsuna
dan Tsuyu Dandan, terutama sekali dalam bukunya yang terkenal berjudul Fuuryuu
Butsu yang menggambarkan suatu kisah cinta yang indah dengan latar belakang
seni yang dijalin dengan cita-cita tinggi dan agama. Selain itu dia juga
menulis buku berjudul Ikkooken dan Gojuu no Too yang merupakan buku karya
terbaiknya. Dalam buku ini dia melukiskan pria ideal yang mencurahkan hidupnya
untuk seni dan pekerjaan. Karya-karyanya yang lain adalah Fuuryuu Mijinzoo,
Sorautsu Nami dan lain-lain. Gaya karangannya lambat laun bersifat realis.
Kooda Rohan juga menulis beberapa biografi dan essei.
Pembahasannya tentang suatu karya yang berjudul Bashoo Sichibushuu mendapat
tanggapan yang baik dari masyarakat. Ozaki Kooyoo terkenal mahir melukiskan
tokoh wanita dan banyak menulis Fuuzoku Shoosetsu (Novel Masyarakat), sedangkan
Kooda Rohan terkenal mahir melukiskan tokoh wanita dan banyak menulis tentang
Risoo Shoosetsu (Novel Idealisme).
Pengarang Wanita Higuchi Ichiyoo
Muncullah seorang pengarang wanita yang mendapat pengaruh
dari Kooda Rohan bernama Higuchi Ichiyoo. Permulaannya dia menulis dengan cara
Gesaku dan meniru gaya dan cara penulisan yang sudah ada, tetapi akhirnya ia
berusaha menulis tentang penderitaan yang dialami wanita yang hidup dalam alam
feodal, sehingga merintis corak kesusastraan baru.
Karangannya yang terkenal antara lain adalah Take Kurabe dan
Nigorie. Take Kurabe adalah sebuah novel yang sangat terkenal pada zamannya
bahkan sampai sekarang juga masih dibawa orang. Dalam Take Kurabe, dia membuat
Daionjimae dekat Yoshiwara yang terkenal sebagai daerah Geisha sebagai latar
belakang ceritera. Dalam bahasa yang indah dan peristiwa yang menggugah hati,
dia menggambarkan gejolak hati pemuda-pemudi yang mendekati masa remaja.
Kalimat-kalimatnya sangat menarik, romantis dan puitis, seperti gaya tulisan
Ihara Saikaku. Dia juga menulis Nikki (Buku Harian) yang menggambarkan perasaan
dan pergolakan hati wanita, sehingga dapat menggugah perasaan pembacanya.
Sayang sekali, pengarang wanita berbakat ini meninggal dalam usia 25 tahun.
Di bawah ini adalah cuplikasi isi Take Kurabe,
Miru ni kinodoku naru wa ame no
naka no kasa nashi. Tochuu ni hana wo fumikiritaru bakari wa nashi. Midori wa
shooji no naka ngara garasu goshi ni tooku nagamete. Are dareka hana wo kitta
hito ga aru. Kakasan kira wo yatte mo yoogosanzuka to tazunate. Haribako no
hikidashi kara yuuzen chirimen no kirehashi wo tsukamidashi. Niwageta haku mo
modokashikiyooni. Hasedete ensaki no koomori sasu yori hayaku niwa ishi no ue
wo tsutaute isogi ashi ni kitarinu. Sore to miru yori Midori no kao wa akaku
narite. Nanno yoono daiji ni demo aishiyooni. Mune no dooki no hayaku utsu wo.
Hito no miruka to ushiro no mirarete. Osoru osoru mon no soba e yoreba. Shinnyo
mo futto furikaerite. Kore mo mugon ni waki wo nagaruru hiaase. Hadashi ni
narite nigedashitaki omoi nari. (Take Kurabe)
Midori memandang dari jendela ke
tengah jalan. Tampak seorang laki-laki yang kehujanan berjalan seakan-akan
menghela sebelah kakinya karena tali sandalnya putus. Kasihan benar
kelihatannya. “Ibu, siapa gerangan dia yang kehujanan itu? Bolehkah saya minta
secarik kain untuk mengikat tali sandalnya itu?” sambil berkata demikian Midori
mengambil secarik kain dari kotak tempat menyimpan jarum jahit. Ia segera ke
luar dan memakai sandal yang ada di serambi depan. Setelah membuka payung yang
ada di serambi, dengan menjalani batu-batu yang ada di kebun, ia menuju ke
tengah jalan. Setelah menjumpai lelaki itu wajahnya merah kemalu-maluan,
hatinya pun berdebar seolah-olah melakukan suatu pekerjaan yang luar biasa,
lalu ia menoleh ke kiri dan ke kanan, takut jika ada seseorang yang melihat.
Shinnyo lelaki tampan itu pun kelihatan malu. Keringat dingin tampak bercucuran,
segera ia melepaskan sandalnya dan bermaksud lari bersembunyi.
(dari
Take Kurabe)
Comments
Post a Comment