Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Religi dan Masyarakat Industri di Jepang

Religi dan Masyarakat Industri di Jepang


                                                        Bab I

                         RELIGI DAN MASYARAKAT INDUSTRI DI JEPANG


Ada banyak kajian berharga tentang berbagai seni religi Jepang masa Tokugawa (1600-1868); berkat kajian-kajian itulah buku ini bisa ditulis. Namun demikian, dalam bahasa Inggris belum ada satu kajian pun tentang makna keseluruhan religi Jepang pada masa itu bagi kehidupan rakyat Jepang. Salah satu tujuan kajian ini adalah mengisi kekurangan itu; kendati hanya sepintas, masa itu adalah sangat penting dalam sejarah Jepang, karena secara langsung mendahului dan dalam banyak hal meletakkan dasar bagi Jepang modern.

Untuk memahami suatu bangsa dan religi mereka, kita perlu mengetahui lebih banyak daripada hanya rumusan keyakinan dan ajaran-ajaran formal yang mereka anut serta struktur formal organisasi-organisasi religius yang mereka masuki. Kesemuanya ini memang faktor yang penting, tetapi seluruhnya itu hanya dapat memberi pengetahuan tentang kulit luar suatu religi. Kita memang mesti berhadapan dengan kulit dahulu sebelum sampai ke intinya, tetapi inti itulah yang sesungguhnya penting bagi pemahaman kita, kendati itu selalu sukar ditangkap. Yang bisa kita sebut inti religi adalah makna terdalam suatu religi bagi pribadi orang-orang yang bersangkutan. Manakala kita bisa menangkap kedudukan religi dalam pikiran, perasaan dan aspirasi individu-individu, kita akan mulai bisa melihat bagaimana keterlibatan religius mereka itu membentuk dan mempengaruhi seluruh kehidupan mereka, dan bagaimana bagian-bagian lain dari kehidupan mereka pada gilirannya mempengaruhi religi mereka. Kita akan membiarkan orang-orang Jepang dari masa itu berbicara sendiri, melalui kutipan-kutipan yang ada, bila mungkin.

Perhatian terhadap makna yang hidup akan menentukan cara kita menghadapi susunan formal ajaran yang akhirnya membentuk tradisi religi Jepang. Kita tidak akan memusatkan perhatian, misalnya, pada pemaparan ajaran-ajaran Buddhisme, Konfusianisme, atau Shinto demi pemaparan itu sendiri. Kita akan membicarakannya hanya sebagai unsur aktif dari kehidupan religi pada masa itu, dan memang kita akan tahu bahwa bagian dari ajaran-ajaran terpenting mereka masih mempunyai pengaruh kuat pada masa Tokugawa. Kita akan tahu bahwa Mencius, orang Cina yang besar, penganut Konfusius pada abad ketiga sebelum Masehi, misalnya, pada masa itu bukanlah sekedar nama dari masa kuno yang tak jelas, melainkan sungguh merupakan kekuatan kontemporer di Jepang pada abad ke 18; sebagai kekuatan nyata, ajaran-ajarannya harus kita bicarakan dalam kajian ini, meskipun dia sendiri hidup berabad-abad sebelumnya dan di tempat lain pula. Demikian pula, kita akan mendapatkan bahwa metode pencerahan budi yang dikembangkan oleh Buddhisme Zen pada masa T'ang dan Sung di Cina, pada waktu itu masih dipraktekkan secara luas, bahkan juga oleh para pedagang dan pengrajin; demikianlah, ajaran itu relevan untuk kajian ini. Bila kita ingin berhasil menangkap makna tradisi religi Jepang dalam kehidupan orang-orang biasa pada masa pra-modern, kita tidak hanya harus memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah dan masyarakat Jepang, tetapi kita juga harus memperoleh pemahaman yang lebih bermakna tentang ajaran-ajaran keagamaan mereka, karena kebanyakan ajaran-ajaran ini, dalam rumusan yang abstrak nampaknya begitu aneh bagi pembaca Barat.

Kajian tentang religi lain dan makna religi itu bagi penganut-penganutnya bisa menjadi sangat menarik dan bisa memperluas pemahaman kita tentang religi dan tempatnya dalam kehidupan manusia. Tetapi, kasus Jepang ini memang istimewa. Jepang adalah satu-satunya bangsa non-Barat yang mampu dengan cepat mengambil alih apa yang diperlukan dari kebudayaan Barat untuk mentransformasikan dirinya menjadi negara industri. Pengkaji-pengkaji Jepang kini semakin berpikir bahwa keberhasilan itu tidak mungkin didasarkan pada semacam kemampuan mitis untuk meniru yang menurut anggapan orang dimiliki oleh bangsa Jepang, melainkan pada faktor-faktor tertentu pada masa pra-modern yang mempersiapkan landasan bagi perkembangan-perkembangan kemudian. Di antara faktor-faktor yang sering dibahas muncul faktor kesungguhan ekonomis tertentu yang tak dimiliki oleh masyarakat-masyarakat non-Barat lainnya. Ahli sosiologi yang dipengaruhi oleh karya besar Max Weber¹ tentang kaitan religi dengan perkembangan masyarakat Barat modern, khususnya perkembangan ekonomi modern, tentu saja bertanya-tanya tidakkah mungkin dalam kasus Jepang ini faktor-faktor religius juga ada. Jika masalahnya dirumuskan secara umum, bunyinya akan demikian: adakah sesuatu yang berfungsi mirip dengan Etika Protestan dalam agama Jepang? Masalah ini selanjutnya akan merupakan pusat perhatian istimewa dalam seluruh kajian ini. Kita akan berusaha memahami sejelas mungkin makna sesungguhnya religi Jepang bagi orang biasa, dan kita akan memperhatikan secara khusus unsur-unsur apa saja yang mungkin terkait dengan tumbuhnya masyarakat industri modern.

Agar istilah-istilah dalam penelitian ini jelas pengertiannya, perlu diberikan batasan terlebih dahulu apa yang dimaksudkan penulis dengan "masyarakat industri modern" dan "religi". Yang saya maksudkan dengan istilah "masyarakat industri modern" ialah suatu masyarakat yang ditandai oleh peranan sangat penting ekonomi dalam sistem sosialnya dan peranan penting nilai-nilai ekonomi dalam sistem nilainya. Dalam kaitan ini, penting sekali kejelasan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan nilai-nilai ekonomis. Pertama-tama saya tidak mengartikannya sebagai nafsu mengejar keuntungan, naluri untuk memiliki atau dorongan untuk menggunakan uang demi kenikmatan. Banyak pembahasan tentang masyarakat "kapitalis" menjadi rancu karena didasari oleh pengandaian yang sangat ngawur bahwa "semangat kapitalis" itu ditandai oleh ciri-ciri tersebut di atas². Motif-motif seperti itu niscaya memang terdapat dalam masyarakat modern (sebagaimana juga terdapat dalam masyarakat bukan industri). Tetapi motif-motif itu sama sekali tidak mencirikan masyarakat modern.

Yang saya maksudkan dengan nilai-nilai ekonomis adalah nilai-nilai yang terutama memberi ciri kepada proses rasionalisasi sarana. Dalam peristilahan sosiologi nilai-nilai ini diacu sebagai universalime dan prestasi (performance); dua hal ini merupakan bagian dari "variabel-variabel pola" dalam teori tindakan. Dalam proses rasionalisasi sarana, atau apa yang juga disebut sebagai tindakan instrumental, tujuan tindakan untuk sementara diandaikan dan tidak dipersoalkan. Satu-satunya yang dipersoalkan adalah bagaimana tujuan yang telah ditentukan itu dapat dicapai dengan derajat efisiensi yang setinggi-tingginya dan penggunaan energi yang sekecil-kecilnya. Hal ini terutama menyangkut adaptasi terhadap tuntutan-tuntutan situasi, karena jika tidak ada hambatan apa pun dalam usaha mencapai suatu tujuan, niscaya tak akan ada pula persoalan sarana. Dalam proses tindakan instrumental atau tindakan adaptif ini tidak ada kepedulian akan obyek-obyek tertentu pada dirinya. Setiap obyek dalam suatu situasi menjadi relevan hanya sejauh obyek tersebut mempunyai ciri yang berpengaruh dalam masalah adaptasi. Oleh karena itu, kita mengatakan bahwa orientasi kepada obyek dalam situasi adaptasi bersifat universalistik dan bukan partikularistik. Demikian juga, kualitas obyek dalam situasi adaptasi tidak mempunyai relevansi; apa prestasinyalah yang diperhitungkan. Dalam situasi ini, yang penting bukan apanya obyek tersebut, tetapi apa yang diperbuatnya. Bila kita mengambil masyarakat keseluruhan sebagai kerangka acuan kita, kita bisa mengatakan bahwa ekonomi adalah sistem yang paling bersangkutan dengan persoalan adaptasi. Atas dasar itu, nilai-nilai yang menentukan proses atau dimensi adaptasi itu bisa kita sebut sebagai nilai-nilai "ekonomis". Bila kita bergeser dari tatanan analitis kepada tatanan empiris, kita akan mendapatkan bahwa nilai-nilai ekonomis terungkap dalam kepedulian tinggi terhadap produktivitas, kebulatan tekad untuk berproduksi secara efisien, cenderung menjadi perhatian yang dominan. Dalam masyarakat Barat yang mengutamakan nilai-nilai ini4, hal itu terungkap dalam kata-kata seperti "barang-barang yang semakin banyak dan semakin baik bagi semakin banyak orang" atau "ekonomi kelimpahan". Dalam kenyataan, nilai-nilai yang sama juga terungkap dalam dunia non-ekonomis. Terdapat kepedulian umum akan pencapaian, akan "perbuatan" yang terungkap baik dalam hal rekreasi, maupun dalam hal usaha. Sikap universalistik terdapat baik dalam bidang ilmu dan hukum, maupun dalam bidang industri. Hanya karena nilai-nilai universalistik prestasi (performace) menentukan dimensi adaptasi dari sistem sosial, dan dimensi adaptasi ini jatuh bertumpu dengan ekonomi, maka kita dibenarkan untuk menyebutnya sebagai "nilai-nilai ekonomis".

Meskipun kasus tipikal masyarakat industri modern, Amerika Serikat, dicirikan oleh pengutamaan nilai-nilai ekonomis dalam pengertian seperti yang baru saja dikemukakan di atas, hal itu bukanlah suatu keniscayaan. Namun, demikian, manakala suatu masyarakat industri dicirikan oleh pengutamaan rangkaian nilai-nilai lain, nilai-nilai ekonomis dalam arti seperti itu tentulah sangat dipentingkan pada peringkat kedua. Tanpa nilai-nilai seperti itu mustahillah terdapat ekonomi yang sangat terdiferensiasi dan rasional. Nilai-nilai itu merupakan syarat bagi terdapatnya rasionalitas formal taraf tinggi, dalam pengertian Weber, suatu proses rasionalisasi sarana yang berkesinambungan, bebas dari pembatasan tradisional dan dikendalikan semata-mata oleh norma-normal formal rasional. Tentu saja, tak mungkin ada satu masyarakat pun, jika rasionalitas ekonomi dalam arti yang dipergunakan di sini bersifat mutlak tanpa pembatasan. Rasionalitas ekonomis yang utuh tetap saja terikat pada pembatasan-pembatasan politis, moral, religius dan lain-lain, juga pada masyarakat yang bisa disebut mengutamakan nilai-nilai ekonomis. Namun demikian, tidak seperti pada masyarakat tradisional di mana nilai-nilai tersebut dibatasi dengan sangat ketat, rasionalitas ekonomis pada masyarakat industri pasti harus mendapat ruang bebas gerak yang cukup luas. Ciri khas ekonomi rasional adalah bahwa setelah terbebas dari pembatasan-pembatasan yang membuat ekonomi tradisional mandeg, dia tak mungkin lagi membiarkan situasi dalam keadaan status quo, tetapi harus melanjutkan proses rasionalisasi terus menerus menuju situasi yang selalu baru. Hal itulah yang merupakan sumber baik dinamisme, maupun instabilitas masyarakat-masyarakat industri. Mungkin saja rasionalisasi ekonomi secara berkesinambungan tersebut lalu menciptakan ketegangan demikian besar dalam keseluruhan sistem sosial, sehingga nilai-nilai yang melandasi ekonomi rasional tersebut terancam.

Dalam menelaah proses perkembangan dari masyarakat bukan-industri menuju masyarakat industi, salah satu fakta yang paling menonjol adalah terjadi pergeseran dalam pola nilai dasar. Demikianlah, Eropa pada Abad Pertengahan dicirikan oleh nilai-nilai politis dan religius-kultural(5), sedangkan Amerika Serikat modern dicirikan oleh nilai-nilai ekonomis. Tetapi, bisa juga terjadi bahwa suatu masyarakat industri berkembang tanpa pergeseran dalam nilai-nilai dasar, melainkan lewat suatu proses yang membuat nilai-nilai ekonomis menjadi sangat penting dalam bidang-bidang tertentu dan keseluruhan ekonomi mencapai taraf diferensiasi tertentu, sehingga bisa berkembang secara bebas dan rasional dengan pembatasan-pembatasan yang sangat kecil saja. Kebanyakan masyarakat industri Eropa rupanya mencontohkan corak perkembangan yang terakhir itu. Begitu pula, menurut keyakinan saya, Jepang!

Jepang dicirikan oleh pengutamaan nilai-nilai politis; politik mendahului ekonomi. Di sini, sebagaimana halnya dengan istilah "nilai-nilai ekonomis", kata sifat "politis" harus diartikan dalam pengertiannya yang sangat luas. Secara formal, nilai-nilai politis dicirikan oleh variabel-variabel pola: prestasi (performance) dan partikularisme. Pusat perhatiannya adalah pada tujuan-tujuan kolektif (tidak pada produktivitas) dan kesetiaan merupakan keutamaan terpenting. Mengendalikan dan dikendalikan lebih penting daripada "berbuat" dan kekuasaan lebih penting daripada kekayaan. Tak ada gunanya untuk menguraikan secara panjang lebar sistem nilai itu sekarang, karena banyak halaman berikut akan dikhususkan untuk hal itu. Jelas bahwa nilai-nilai praktis dalam pengertian luas sebagaimana digunakan di sini juga sangat penting di Barat; kadang-kadang menempati kedudukan utama, kadang-kadang peringkat kedua. Talcott Parsons akhir-akhir ini mengemukakan bahwa terjadi juga proses rasionalitas politis yang sangat mirip dengan proses rasionalitas ekonomis(6). Demikianlah, suatu masyarakat dengan kepedulian yang tinggi terhadap nilai-nilai politis boleh jadi melahirkan situasi di mana kekuasaan menjadi bersifat umum dan meluas tanpa kekangan-kekangan tradisional, dan hanya dikendalikan oleh norma-norma rasional. Tentu saja rasionalitas politik tidak mungkin sama sekali bebas tanpa kekangan seperti rasionalitas ekonomis, jika masyarakat secara keseluruhan ingin tetap berfungsi; tetapi, di sini lagi, kebebasan relatif yang diperolehnya bisa membawa akibat-akibat yang luar biasa besarnya. Tidak pada tempatnyalah saya menunjukkan betapa pentingnya proses semacam itu bagi munculnya masyarakat industri di Barat. Bahwa hal itu sangat penting, saya kira tak dapat diragukan lagi(7). Negara Renaisance yang membuat terobosan terhadap tradisionalisme dalam bidang politik dan bidang-bidang lain dan akhirnya menggulirkan perkembangan negara hukum rasional pada jaman modern, fenomena nasionalisme dan perkembangan-perkembangan yang berkaitan dengannya, semuanya itu tentu mempunyai arti penting bagi munculnya masyarakat industri. Menurut pendapat saya Jepang memang memberikan contoh yang sangat baik dari proses rasionalisasi politik dan hanya dengan memahami proses itulah perkembangan khusus ekonomi Jepang dapat dimengerti. Nilai-nilai ekonomis telah menjadi sangat penting di Jepang, tetapi nilai-nilai tersebut tetap di bawah nilai-nilai politis dan terkait dengan nilai-nilai politis; seluk-beluk kaitannya kiranya perlu diuraikan secara terinci pada bab-bab kemudian.

Setelah memberi bahasan secara umum mengenai apa yang saya maksud dengan masyarakat industri dan mendiskusikan beberapa proses yang menyebabkan perkembangannya, kini perlu dibahas apa yang saya maksud dengan religi, dan relevansi religi bagi perkembangan masyarakat industri.

Mengikuti Paul Tilich, religi saya artikan sebagai sikap-sikap dan tindakan-tindakan manusia yang bersangkutan dengan keprihatian yang paling dasar (ultimate concern). Keprihatinan paling dasar ini berkaitan dengan apa yang pada akhirnya bernilai dan bermakna, yang dapat kita sebut sebagai nilai paling dasar; hal itu juga bersangkutan dengan ancaman paling dasar terhadap nilai dan makna, yang dapat disebut frustasi paling dasar. Salah satu fungsi sosial religi adalah memberikan rangkaian makna yang terdiri atas nilai paling dasar yang bisa dijadikan landasan bagi moralitas masyarakat. Nilai-nilai tersebut setelah melembaga dapat disebut nilai-nilai sentral dari suatu masyarakat.

Aspek kedua dari keprihatinan paling dasar itu ialah frustasi paling dasar. Sejauh frustasi dilihat sebagai seseuatu yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu seperti gejala alam yang bisa dikendalikan atau fungsi sosial yang wajar terhadap pelanggaran moral, seorang manusia normal bisa menghadapinya apabila hal itu timbul; frustasi itu tidak mempunyai ciri "paling dasar". Namun ada frustasi-frustasi yang melekat pada situasi manusia, dan tak terkendalikan atau tidak bermakna secara moral; contoh yang khas dalam hal ini adalah kematian. Frustasi semacam ini bisa dinamakan frustasi paling dasar. Fungsi sosial penting yang kedua dari religi adalah memberikan penjelasan yang memadai terhadap frustasi-frustasi dasar ini sehingga seorang individu atau kelompok yang mengalaminya dapat menerimanya tanpa membuat nilai-nilai inti kehilangan makna, dan dapat tetap hidup di masyarakat berhadapan dengan frustasi-frustasi itu. Itu terjadi melalui suatu bentuk penegasan bahwa nilai-nilai paling dasar itu lebih besar dan dapat mengungguli frustasi-frustasi dasar. Hal itu dilambangkan dengan berbagai cara—misalnya kemenangan Tuhan atas kematian, Eros (cinta) atas Thanatos (kematian), Kebenaran atas khayalan.  

"Obyek" keprihatinan paling dasar, yang merupakan sumber nilai paling dasar dan frustasi paling dasar itu mesti dilambangkan supaya bisa tertangkap oleh pikiran. Kita bisa menyebut lambang-lambang itu sebagai sesuatu yang mengacu kepada "yang suci" atau "yang ilahi". Tindakan religius adalah setiap tindakan yang terarah kepada yang suci dan yang ilahi. Dalam religi-religi primitif atau "magis" konsepsi tentang yang ilahi cenderung sangat terpencar. Hal itu dilambangkan sebagai semacam kekuatan atau kekuasaan yang melekat pada banyak obyek atau sebagai gabungan dewa-dewa, roh-roh dan setan-setan. Konsep terpencar tentang yang ilahi ini memasuki kehidupan sehari-hari. Akibat kecenderungan ini adalah bahwa sebagian terbesar tindakan dalam kehidupan sosial pada dasarnya bersifat suci atau setengah suci. Bila seseorang gagal mewujudkan tindakan itu atau tidak tepat dalam melakukannya, perbuatannya itu tidak hanya salah secara moral, melainkan juga mencemari kesucian yang mengakibatkan sangsi dari Tuhan. Demikianlah, religi itu tak pelak lagi ikut membuat kehidupan masyarakat tradisional menjadi beku dan kaku.

Konsepsi-konsepsi baru mengenai yang suci dan tindakan-tindakan religius yang menandai munculnya religi-religi besar dunia lepas dari tradisionalisme primitif, semuanya dicirikan oleh rasionalisasi yang relatif sangat tinggi. Weber berkeyakinan bahwa arah rasionalisasi ini mempunyai dampak yang luar biasa dan dari segi tertentu, menentukan perkembangan tradisi-tradisi tersebut selanjutnya. Bila kita harus menyebut ciri-ciri religi-religi yang lebih rasional ini secara kasar, kita bisa mengatakan bahwa konsep tentang yang ilahi yang mereka anut biasanya lebih abstrak, dan dalam arti tertentu, lebih sederhana, kurang terpencar dibanding konsep tentang yang ilahi dalam religi-religi primitif. Yang ilahi dipandang sebagai sifat-sifat yang secara relatif sedikit jumlahnya yang berlaku dalam segala situasi; yang ilahi ini dipandang sebagai yang sama sekali "lain" dan campur tangannya ke dalam dunia sangat terbatas. Selaras dengan hal itu, tindakan religius pun menjadi lebih disederhanakan, kurang situasional dan berkaitan dengan hubungan yang lebih langsung dengan yang ilahi, entah melalui kepatuhan terhadap perintah-perintah ilahi itu atau melalui pencarian metode untuk memahami secara langsung keilahian itu. Frustasi lebih dipandang sebagai ciri umum kehidupan manusia, daripada sebagai satu aspek dari situasi tertentu. Manusia dirasakan sebagai "terasing" dalam arti yang mendasar dan membutuhkan suatu penyelamatan yang mendasar pula. Arti religi-religi ini dimaksudkan untuk memberikan sarana bagi pencapaian keselamatan itu.

Tendensi rasionalisasi ini sangat penting bagi pengkaji masyarakat, karena itu telah mengakibatkan perubahan-perubahan dalam sikap dan tindakan orang. Religi tradisional menyediakan setumpuk sangsi untuk kewajiban-kewajiban adat yang masing-masing berdiri sendiri; dengan demikian, religi tersebut ikut memperlambat atau mencegah adanya perubahan sosial. Tetapi, religi keselamatan menghilangkan ciri "suci" dari masing-masing adat kebiasaan itu (dalam ungkapan Weber, "membebaskan dunia magis") dan menggantinya dengan patokan-patokan tertentu yang bersifat umum dan tak terikat pada situasi. Dengan demikian, religi-religi keselamatan ini mengakibatkan rasionalisasi tingkah laku yang mempunyai dampak jauh di luar bidang religi sendiri. Tentu saja kedua corak religi yang telah digambarkan di atas jarang sekali terdapat dalam bentuknya yang murni. Kebanyakan religi primitif mempunyai unsur-unsur rasionalisasi dan kebanyakan religi-keselamatan juga mempunyai banyak unsur "magis". Di Jepang hampir setiap religi dan sekte mempunyai kedua aspek itu. Sementara tetap ingat bahwa religi-religi dan sekte di Jepang itu terjalin dengan unsur-unsur magis dan tradisional, kita terutama akan memperhatikan kecenderungan-kecenderungan rasionalisasinya.

Dari pembahasan tentang religi di atas, sebagian artinya bagi perkembangan masyarakat industri modern mungkin sudah jelas. Proses rasionalisasi ekonomis dan rasionalisasi politik menuntut tingkat kebebasan yang cukup jauh dari belenggu tradisionalisme, sebelum kedua proses tersebut bisa mempunyai dampak dalam menggulirkan perkembangan masyarakat industri. Dalam kenyataan, satu-satunya cara mendapatkan kebebasan tersebut adalah melalui redefinisi atas "yang suci", supaya nilai-nilai dan motivasi yang mendukung proses rasionalisasi itu dibenarkan dan kekangan-kekangan tradisional bisa diatasi(8). Bagi Weber, Protestanisme memang merupakan suatu redefinisi atas "yang suci" semacam itu. Konsepsi baru tentang hubungan antar manusia dengan Tuhan menjadikan penguasaan dunia secara rasional sebagai kewajiban religius dan cenderung mendorong pelembagaan nilai-nilai universalisme dan pencapaian (achievement). Weber mencirikan perkembangan ini dengan ungkapan "asketisme duniawi" (thisworldly ascetism). Dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa Protestanisme berperanan langsung bagi terjadinya rasionalisasi ekonomi. Salah satu tujuan kajian ini adalah menunjukkan bagaimana kecenderungan-kecenderungan rasionalisasi dalam religi Jepang telah berperanan dalam rasionalisasi ekonomi dan politik di Jepang.

Dalam kaitan dengan perkembangan Jepang sebelum tahun 1868 ke arah masyarakat industri, kita hanya akan memusatkan perhatian pada satu aspek saja, yakni aspek religi; tetapi kami ingin menegaskan bahwa aspek-aspek lainnya juga penting. Karena kita mendefinisikan masyarakat industri terutama dalam kaitan makna dengan nilai-nilai itu dan dengan proses rasionalisasi ekonomi. Karena corak masyarakat Jepang yang sangat menekankan politik, tidak mungkinlah kita dapat menunjukkan kaitan antara religi dengan ekonomi tanpa membahas juga secara terinci kaitan antara politik dan strukturnya dengan kedua hal itu. Singkatnya, kita ingin tahu bagaimana definisi tentang yang suci dan kewajiban manusia terhadapnya mempengaruhi nilai-nilai serta motivasi-motivasi yang mendukung rasionalisasi ekonomi, dan kemungkinan rasionalisasi politik merupakan proses yang menjembatani kedua hal itu.

Setelah suatu bab yang memberikan sketsa pendek tentang masyarakat masa Tokugawa yang karenanya kehidupan religius dapat ditempatkan dalam kedudukannya yang tepat, kita akan melanjutkan dengan gambaran tentang manifestasi pokok religi masa Tokugawa, dengan mengkaitkannya dengan lapisan sosial di mana religi itu terutama terdapat maupun pada kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terdapat ke arah rasionalisasi politik atau rasionalisasi ekonomi. Setelah gambaran umum itu, akan menyusul suatu pembahasan yang lebih terinci tentang gerakan Shingaku, suatu gerakan religius dan etis dari kelas pedagang yang terjadi pada abad 18 dan 19. Akhirnya dalam bab penutup ini kita akan kembali kepada beberapa pertimbangan yang telah muncul pada diskusi pendahuluan ini.


Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang




--------------------------------------------
¹Lihat terutama Gesammelte aufsatze zur religionssoziologie (tiga jilid, Tubingen, 1920-1921); beberapa bagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris: The Protestan Ethnic and the spirit of capitalism, Ancient Judaism, The Religion of China, dan ketiga esei dalam bagian tentang agama dalam From Max Weber: Essays in Sociology. Lihat juga Wirtschaft und Gessellschaft (dua jilid, Tubingen, 1925); beberapa bagian juga sudah diterjemahkan: The Theory os Social and Economic organization, Max Weber on Law in Economy, and Society, dan beberapa bab dalam bagian tentang kekuasaan dalam From Max Weber: Essays in Sociology. Uraian lengkap ditemukan dalam daftar kepustakaan.

²Kutipan berikut bisa memberikan gambaran atas perbedaan dalam segi pandang: "Kita dapat mengatakan bahwa buah dari semangat kapitalis ialah sikap yang dianut orang mengenai masalah kekayaan, caranya memperoleh dan menggunakannya; dia berpendapat bahwa kekayaan adalah semata-mata sarana untuk pemenuhan secara sangat individualistis serta utilitaristis atas segala macam kebutuhan manusia. Orang yang dikendalikan semangat seperti ini, dalam usaha memperoleh kekayaan akan memilih sarana yang paling efektif di antara cara-cara yang sah secara hukum dan akan menggunakannya tanpa kekhawatiran apa pun untuk membatasi hasilnya dalam batas-batas tertentu. Dalam menggunakan kekayaan dia akan mencari kesenangan individualistis; dalam memperoleh serta menikmati barang-barang, dia hanya mengenal satu batas saja, yakni kepuasan kenikmatan." (Amintore Fanfani: Catholicism, Protestantism, and Capitalism, hlm. 29) "Sampai tingkat tertentu, yang menandai dunia modern adalah konsepsi tentang kesibukan hidup" seseorang sebagai panggilan, sebagai kewajiban moral. Perlu dicatat bahwa keserakahan atau penghargaan atas keuntungan sama sekali tidak masuk di situ. (Talcott Parsons: Pengantar pada karangan Max Weber: The Theory of Social and Economic Organization, hlm. 81.) Untuk bahasan umum mengenai masalah ini, lihat Talcott Parsons: :The Motivation of Economic Activities" dalam Essays ini Sociological Theory (edisi yang direvisi).

³Di sini kiranya diberikan pengantar peristilahantekniks sosiologis yang mungkin kurang diketahui oleh beberapa pembaca. Setiap kali saya menggunakannya, saya akan berusaha untuk menjelaskan arti istilah-istilah itu dalam konteks yang ada. Namun, penjelasan itu tidaklah mungkin memberikan artinya secara memadai, karena itu hanya bisa ditangkap melalui pemahaman atas keseluruhan skema konseptual di mana istilah-istilah itu menjadi bagiannya. Istilah-istilah yang saya gunakan, paling baik diterangkan dalam Parsons dan Smelser, Economy and Society (1953), khususnya bab 3 dan bab 5. Bagan 1 di bawah adalah suatu paradigma yang menunjukkan hubungan timbal-balik antara kebanyakan istilah teknis yang digunakan dalam kajian ini.

Bagan 1


4Pernyataan ini didasarkan pada analisis Parsons mengenai sistem social Amerika, khususnya dalam kuliah tentang pokok bahasan ini.

(5) Penggunaan istilah "politik" dan "budaya-agama" untuk nilai-nilai mengandung keluasan pengertian seperti pada penggunaan istilah "ekonomis". Di sini kami hanya berusaha untuk mengemukakan nilai-nilai yang lebih umum di seputar "feodalisme" dan "katolisisme" pada Abad Pertengahan. Banyak permasalahan yang berkaitan dengan analisis seperti itu ada di luar lingkup kajian ini.

(6) Dalam seminarnya mengenai sistem sosial.

(7) Weber berulang kali mengemukakan hal ini khususnya dalam karyanya tentang birokrasi. Hal ini juga ditekankan oleh sejumlah penulis yang tidak suka terhadap Weber. Misalnya, Amintore Fanfani, Catholicism, Protestanism, and Capitalism, bab IV, dan H.M Robertson, Aspects of the Rise of Economic Individualism, bab III.

(8) Ini bukan persebaban "satu arah", seperti misalnya faktor-faktor non-religius dalam gabungannya dengan faktor-faktor religius akan "menyebabkan" redefinisi atas yang suci. Yang kita tegaskan hanyalah bahwa betapapun kompleksnya sebab-sebab itu, suatu redefinisi atas yang suci memang perlu. 

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau