Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Karya pendek ini mengetengahkan suatu konfigurasi unsur-unsur penting yang dapat ditemukan dalam kehidupan sosial orang Jepang masa kini, dan berusaha memberikan sorotan baru pada masyarakat Jepang. Saya garap masyarakat saya sendiri ini sebagai seorang ahli antropologi sosial dengan menggunakan beberapa di antara cara-cara yang biasa saya pergunakan dalam menyelidiki masyarakat lain yang mana pun. Namun bentuk karya ini bukanlah bentuk suatu tesis ilmiah (hal itu bisa dilihat segera dari angka-angka statistik atau data tepat yang langsung diperoleh dari pengamatan-pengamatan lapangan).
Dalam buku ini saya mencoba menyusun suatu gambaran struktural mengenai masyarakat Jepang dengan jalan memadukan ciri-ciri besar yang menonjol yang terdapat dalam kehidupan orang Jepang . Bukti untuk hal itu saya peroleh hampir-hampir secara serampangan saja dari sejumlah tipe persekutuan yang berbeda-beda yang ada di Jepang sekarang ini — dari perusahaan-perusahaan industri, organisasi-organisasi pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan, kelompok-kelompok intelektual, persekutuan keagamaan, partai-partai politik, persekutuan-persekutuan desa, rumah tangga-rumah tangga perorangan dan seterusnya. Sepanjang penyelidikan saya tentang kelompok-kelompok dalam bidang-bidang yang demikian beraneka warna saya memusatkan analisa saya pada tingkah laku perorangan dan hubungan antarmanusia yang merupakan pangkalan baik bagi organisasi kelompok maupun bagi kecenderungan-kecenderungan struktural yang menguasai perkembangan kelompok.
Bagi beberapa orang barangkali pernyataan-pernyataan saya di dalam buku ini dalam beberapa segi tampak dibesar-besarkan atau terlampau bersifat pukul rata. Para pengritik seperti itu barangkali akan mengajukan keberatan-keberatan berdasarkan pengamatan-pengamatan yang kebetulan telah mereka lakukan sendiri. Para pengritik lain barangkali akan mengajukan keberatan karena contoh-contoh saya tidak didukung oleh data-data yang tepat atau data-data yang terperinci. Memang buku ini tidak menjangkau seluruh rangkaian gejala sosial dalam kehidupan orang Jepang, dan tidak pula ia berprestasi untuk menghidangkan data tepat yang relevan bagi suatu lingkungan khusus. Ini bukanlah lukisan masyarakat atau kebudayaan Jepang, ataupun lukisan mengenai rakyat Jepang; dan ini bukan pula suatu penjelasan mengenai gejala-gejala yang terbatas seperti urbanisasi atau modernisasi Jepang. Bahkan, yang menjadi keinginan saya ialah agar buku ini dapat memberikan kunci (suatu sumber intelegensi dan daya tinjau) dalam memahami masyarakat Jepang dan ciri-cirinya yang khas, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat kompleks lainnya. Dalam memberikan ilustrasi mengenai segi-segi terpenting dalam kehidupan orang Jepang saya telah menggunakan bukti sugestif yang luas jangkauannya sebagai bahan; ini adalah demi pemahaman inti struktural masyarakat Jepang, agak seperti seorang seniman menggunakan warna-warna catnya. Dalam menggunakan warna-warna ini saya memiliki keuntungan yang jelas, karena warna-warna itu adalah warna-warna yang menjadi lingkungan saya ketika saya dilahirkan dan melingkungi saya ketika saya menjadi besar; saya mengenali corak-corak dan efek-efek yang halus. Dalam memainkan warna-warna ini saya tidak menggunakan cara dan teori sosiologi mana pun yang sudah dikenal. Sebaliknya, saya telah menggunakan apa saja yang tersedia yang tampaknya memang efektif untuk mengetengahkan inti bahan yang menjadi persoalan. Ini adalah pendekatan yang kemungkinannya lebih dekat pada cara seorang ahli antropologi sosial daripada pendekatan seorang ahli sosiologi yang konvensional.
Dasar teoritis karya sekarang ini aslinya ditetapkan dalam studi saya yang terdahulu, yaitu Kinship and Economic Organization in Rural Japan (Anthlone Press, London, 1967). Ia berkembang dari kerja lapangan yang saya lakukan sendiri (termasuk monograf-monograf terperinci yang ditulis orang-orang lain) di desa-desa Jepang. Segera sesudah penyelidikan itu selesai, saya pun tergoda sekali untuk lebih lanjut menguji dalam masyarakat modern gagasan-gagasan yang telah muncul pada diri saya selama saya mengadakan penyelidikan atas masyarakat pedesaan yang agak tradisional dari suatu masyarakat yang kompleks seperti Jepang, Cina atau India rupa-rupanya terus hidup dan bertahan, sekalipun telah terjadi perubahan-perubahan modern yang besar. Jadi penjelajahan lebih lanjut dan lebih luas daripada gagasan-gagasan saya seperti diusahakan dalam buku ini diperlukan untuk memperkokoh dasar teoritis dari bahan studi saya yang terdahulu.
Beberapa dari sejumlah aspek yang menonjol dari masyarakat Jepang, yang saya garap dalam buku ini, tidaklah sama sekali baru bagi para peninjau Jepang maupun Barat, dan barangkali sudah dikenal baik dari pembahasan-pembahasan dalam tulisan-tulisan yang terdahulu mengenai Jepang. Namun interpretasi-interpretasi saya adalah berbeda, dan cara saya memadukan aspek-aspek ini adalah baru. Kebanyakan studi sosiologis mengenai Jepang masa kini terutama berkenaan dengan aspek-aspeknya yang sedang mengalami perubahan, sedangkan unsur-unsur "tradisional" dan "modern" dianggap sebagai mewakili nilai-nilai yang berlainan atau bertentangan. Puncak perkembangan pendekatan jenis ini dicapai di masa pendudukan Amerika dan dalam tahun-tahun yang langsung menyusulnya, ketika para ilmuwan sosial, baik Jepang maupun Amerika, mengambil pendirian sedemikian. Kecenderungan ke arah pendekatan seperti ini masih banyak terdapat sekarang; telah menjadi tesis mereka bahwa gejala-gejala yang kelihatannya khas Jepang karena tidak ditemukan dalam masyarakat Barat dapat disebut sebagai unsur-unsur "feodal" atau "pramodern", dan unsur-unsur itu harus dianggap berlawanan atau menghalang-halangi modernisasi. Di bawah pandangan-pandangan seperti itu, seolah-olah mengintailah semacam pandangan korelatif dan sologistis mengenai evolusi sosial, yaitu: bahwa apabila sudah dipermodern sepenuhnya, masyarakat Jepang akan atau harus menjadi masyarakat seperti yang ada di Barat. Para pendukung pandangan-pandangan seperti itu berminat untuk menghapuskan unsur-unsur feodal maupun menemukan dan menandai adanya unsur-unsur modern yang dapat diperbandingkan dengan yang ada di Barat. Dengan demikian jaringan masyarakat Jepang itu telah dibuat tampak seolah-olah terpecah dalam pecahan-pecahan yang dua jenisnya. Padahal sesungguhnya masyarakat itu tetap merupakan satu kesatuan yang terpadu dengan baik. Menurut pandangan saya hal yang "tradisional" itu adalah satu aspek saja (bukan satu unsur) dari tubuh masyarakat itu, yang juga memiliki ciri-ciri "modern". Saya lebih tertarik kepada komponen-komponen yang benar-benar mendasar serta kemampuan komponen-komponen itu di dalam masyarakat — dengan perkataan lain yang lebih tertarik kepada daya hidup masyarakat.
Daya hidup struktur sosial itu dapat dilihat jelas dalam cara hubungan sosial antar manusia, yang dapat menentukan keanekaragaman yang mungkin terjadi dalam organisasi kelompok dalam keadaan yang berubah-ubah. Daya hidup ini mengungkapkan uraian orientasi nilai dasar yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan yang merupakan tenaga pendorong perkembangan masyarakat. Ketabahan sosial itu sangat tergantung kepada taraf integrasi dan jangka waktu sejarah suatu masyarakat. Di Jepang, India, Cina dan di tempat-tempat lain perkembangan ekonomi dan sosial yang luas dan terpadu baik-baik terjadi pada masa pramodern yang dapat diperbandingkan dengan kurun post feodal dalam sejarah Eropa, dan perkembangan itu membantu menciptakan suatu pelembagaan unik atas gagasan-gagasan sosial. Nilai-nilai yang mengalami kristalisasi menjadi bentuk yang pasti selama masa sejarah pramodern berlangsung mempunyai akar yang dalam, dan ia dapat membantu atau menghalang-halangi proses modernisasi menurut kehendak keadaannya. Menyelidiki nilai-nilai ini dalam makna efek-efeknya terhadap struktur sosial menurut pendapat saya merupakan judul yang mempesona bagi ilmu-ilmu sosial. Dalam makna ini, saya pikir Jepang merupakan medan yang kaya untuk menperkembangkan teori tentang struktur sosial.
Saya melakukan pendekatan terhadap persoalan ini dengan sarana analisa struktural, dan bukan dengan memberikan penjelasan yang bersifat kultural ataupun historis. Tema buku ini adalah penggarapan apa yang saya namakan prinsip vertikal dalam masyarakat Jepang. Dalam pandangan saya, ciri yang paling karakteristik dari organisasi sosial Jepang timbul dari ikatan tunggal dalam hubungan sosial seseorang sebagai perorangan atau sesuatu kelompok selalu memiliki satu hubungan tunggal yang distingtif dengan orang atau kelompok yang lain. Jalannya hubungan macam ini adalah sesuai dengan struktur masyarakat Jepang yang unik secara keseluruhan, yang berbeda dengan struktur masyarakat-masyarakat berkasta atau berkelas. Demikianlah nilai-nilai dalam masyarakat Jepang itu diwujudkan. Menghadapi beberapa bagian dari pembicaraan saya barangkali sejumlah pembaca Jepang akan merasa harus memberikan penolakan; bahkan pada waktu saya mengemukakan kelemahan-kelemahan tertentu dalam masyarakat Jepang mereka barangkali akan merasa sangat tidak senang. Namun saya melakukan ini bukanlah karena saya memiliki pandangan yang hiperkritis atas orang Jepang atau kehidupan orang Jepang, melainkan karena saya bermaksud bersikap seobyektif mungkin dalam menganalisa masyarakat yang saya sendiri termasuk anggotanya. Saya sendiri menganggap kelemahan-kelemahan ini sebagai hal yang memang sudah seharusnya, sebagai unsur-unsur yang merupakan bagian dari tubuh keseluruhannya, tubuh yang juga memiliki kekuatan-kekuatannya yang besar.
Akhirnya saya ingin menyatakan rasa terima kasih saya yang dalam kepada Profesor Ernest Gellner, yang dengan komentar-komentarnya yang bersifat mendorong dan terperinci itu sebagai redaktur telah sangat membantu saya dalam menyelesaikan sanggit (versi) terakhir dari naskah ini. Saya pun sangat berhutang budi kepada Profesor Geoffrey Bownas yang telah sudi memikul tugas sulit dalam mengoreksi bahasa Inggris saya. Saya sangat terkesan oleh cara yang dianggapnya mungkin untuk membuat naskah saya ini jauh lebih mudah untuk dibaca, tanpa melakukan perubahan atas satu titik kecil pun dalam jalan pembahasan saya.
C.N
Baca: Buku Masyarakat Jepang
Comments
Post a Comment