Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Naturalisme (Shizen Shugi)

Naturalisme (Shizen Shugi)


18.  Naturalisme (Shizen Shugi)


a. Ciri Khas Naturalisme Jepang


Aliran baru yang berorientasi pada kehidupan nyata tampak jelas pada pertengahan zaman Meiji tahun 30 (1898). Sejak saat itu berbagai perubahan terus terjadi sesuai dengan perkembangan zamannya sehingga lahirlah sebuah gerakan yang kongkret. Gerakan ini disebut gerakan naturalisme, dalam karya sastra berkembang terus hingga akhir zaman Meiji. Aliran ini mengisi lembaran baru sejarah kesusastraan Jepang modern.

Naturalisme Jepang berkembang akibat pengaruh naturalisme Eropa, terutama dari Perancis yang dianut oleh Emile Zola. Pengaruh Zola ini lebih cepat berkembang dan dikenal sejak munculnya sebuah buku berjudul Ishibigaku yang berisikan tentang naturalis estetika, dan di Jepang, Mori Ogai, Kosugi Tengai, dan Nagai Kafu, memasukkan unsur tersebut dalam karyanya sehingga terbentuklah naturalisme Jepang.

Kesusastraan naturalisme di Perancis merupakan sebuah senjata yang dipergunakan untuk menikam serta memperbaiki kebobrokan sosial — dengan mengungkapkan sikap dan cara berdasarkan ilmu pasti alam. Hal ini merupakan masalah penting sebagai ciri utama dari aliran tersebut. Naturalisme di Jepang pun pada mulanya lahir atas dasar serupa, yaitu mengacu pada kejadian dalam masyarakat, sementara pada saat itu di Jepang baru saja berkembang romantisme. Kemudian karena aliran yang belum mantap itu kontradiksi antara individu dengan masyarakat, dengan sendirinya aliran tersebut tidak dapat lahir. Lagi pula, tepat pada saat itu pandangan terhadap pemikiran ilmu pasti alam belum matang sehingga untuk melahirkan pemikiran dengan cara ilmu pasti tidak dapat tercapai. Dengan demikian, pemikiran kontradiksi terhadap masalah sosial menjadi berubah ke arah masalah individu atau pribadi kemudian dari gaya pengungkapan ilmu pasti berubah menjadi gaya pengungkapan objektivisme murni.

Perkembangan naturalisme menjadi mantap ketika memasuki zaman Meiji tahun 40 (1908), yang dipaparkan dalam bentuk karya sastra. Hampir seluruhnya berupa materi tentang pengalaman nyata dari kehidupan pribadi para pengarang itu sendiri. Hal itu merupakan gaya objektivisme murni ke arah gaya pengungkapan rekaan nyata atau seolah-olah benar-benar terjadi. Mengapa terjadi seperti itu? Alasannya sangat pelik, yang berarti aliran sebelumnya yaitu romantisme masih menjelma dalam aliran-aliran baru naturalisme tersebut, dan merupakan gaya pengungkapan tuntutan rasa ingin bebas dari individu benar-benar belum tercapai. Oleh karena itu, aliran ini membalik kembali ke arah aliran lama romantisme tersebut. Dengan demikian, naturalisme belum dijiwai oleh hasrat individu yang muncul secara kuat sehingga para sastrawan Jepang dengan tanpa tedeng aling-aling atau blak-blakan mengungkapkan pengalaman hidup pribadinya yang tersembunyi menjadi pengakuan nyata. Kemudian dari situlah lahir gaya penelanjangan secara alami sosok tubuh manusia yang sesungguhnya. Tambahan pula, gaya pengungkapan corak pandangan hidup pun dapat dilukiskan secara nyata. Pengungkapan perasaan subjektif dan romantisme belum dapat dicapai secara sempurna, sifat-sifat yang dimiliki oleh para penyair masih dianutnya, yang akhirnya pengungkapan subjektivisme lebih menonjol dan lahir sebagai gambaran pengungkapan nyata dalam bentuk pemikiran baru.

Dapat diambil kesimpulan bahwa naturalisme di Jepang merupakan pengungkapan kehidupan pengarang yang sesungguhnya, yang ditelanjangi tanpa ada rasa malu atau risih, dan ini merupakan gaya khas pengungkapan objektivisme yang dipaparkan secara realistis. Apabila dibandingkan dengan gaya pengungkapan naturalisme di Eropa yang mengacu pada penanganan masalah kebobrokan sosial secara ilmu pasti, naturalisme di Jepang yang lahir pada zaman Meiji ada perbedaan. Perbedaannya, yaitu pengungkapan individu dari pengalaman nyata kehidupan para pengarang itu sendiri yang kelak menunjang lahirnya bentuk novel baru yang disebut shishosetsu atau novel aku.

Demikianlah perkembangan naturalisme sejak lahir hingga terbentuknya aliran tersebut. Kemudian, materi yang diungkapkan adalah keadaan atau sifat-sifat dari manusia, sekalipun hal itu dipaparkan dalam bentuk apa adanya. Dengan demikian, para pengarang yang beraliran naturalisme dapat memecahkan masalah pribadi, yaitu masalah kejelekan dan kejahatan manusia yang diungkapkan secara nyata. Apa pun yang dituliskan merupakan pernyataan tentang manusia yang ada pada bagian yang gelap dan kotor. Akibatnya, naturalisme terpojok dalam ruang sempit, gelap, dan keputusasaan, sejak awal berlawanan dengan tujuan pembentukan individu dan mengingkari dirinya sendiri. Akhirnya, lahir rasa ingkar terhadap perasaan humanisme, yaitu bahwa manusia tidak lebih daripada sesuatu yang lemah dan tidak berdaya. Bersama itu pula perasaan semacam itu menimbulkan rasa manusia berserah pada nasib yang menentukan tangan manusia secara sadisme. Aliran naturalisme yang mencoba membebaskan manusia berserah pada alam, sebaliknya dapat menyebabkan manusia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kekuatan alam. Manusia tunduk terhadap kekuatan nasib yang tidak menaruh belas kasihan. Kemudian, pada saat manusia merasa putus asa terhadap kekuatan nasib yang maha besar, di situlah tampak sosok tubuh manusia yang tidak berdaya dan kecil. Naturalisme pada masa memasuki zaman Meiji, kecenderungan pada kehampaan manusia di dalam karya tulis semakin tampak jelas. Beberapa sastrawan yang beraliran naturalisme di antaranya Shimazaki Toson, Tayama Katai, Tokuda Shusei, dan Masamune Hakucho.


Baca: Buku Pengantar Kesusastraan Jepang

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau