Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
13. Setsuwa Bungaku (Kesusastraan Setsuwa)
Setsutwa Bungaku adalah cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut atau cerita tertulis yang sungguh-sungguh terjadi dan dapat dipercaya kebenarannya. Setsuwa tidak menitikberatkan pada cerita yang tidak masuk akal dan cerita dewa-dewa. Setsuwa berbeda dengan cerita legenda, tidak mementingkan pembatasan daerah dan zaman tertentu. Bentuk cerita setsuwa tidak lebih dari cerita yang bersifat sketsa, stereotip, dan tidak berurutan.
Cerita yang digambarkan dalam setsuwa adalah cerita tentang kehidupan manusia. Dilihat dari isinya, setsuwa terdiri dari dua bagian, yaitu "Bukkyo Setsuwa" yang mengandung ajaran Budha dan "Seizoku Setsuwa" yang berisi kehidupan dan kebiasaan sehari-hari. Karya yang mewakili setsuwa adalah Nihon Ryoiki, Konjaku Monogatarishu, Ujishui Monogatari, dan Kokin Chomonshu.
Berikut ini adalah cerita setsuwa yang diambil dari Ujishui Monogatari jilid 3, Bab 6.
Akibat tiupan angin yang datang, kebakaran yang terjadi di sebelah rumah Ryoshu merembet ke rumahnya. Melihat keadaan api yang bertambah besar itu, Ryoshu, seorang pelukis, berlari dan keluar dari rumahnya tanpa memikirkan anak, istri, dan barang lukisannya. Di luar dia terus memandangi api yang membakar rumahnya itu. Orang-orang yang menjenguk para korban kebakaran sangat terkejut melihat tingkah laku Ryoshu yang terus memandangi api yang sedang membakar rumahnya sambil mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum. Bahkan Ryoshu berkata bahwa dia akan mendapat untung besar karena sampai saat ini dia tidak pernah menghasilkan lukisan yang baik. Dengan adanya kebakaran itu dia dapat menghasilkan lukisan yang baik.
Orang-orang menyangka bahwa Ryoshu sudah mengalami gangguan jiwa. Sementara Ryoshu sendiri merasa heran terhadap sikap orang-orang yang melihatnya. Padahal menurutnya, dia sudah menemukan cara melukis api yang sedang menyala dengan baik. Dia — yang selalu gagal dalam melukiskan bentuk api pada patung Fudosan — merasa akan mendapatkan uang atau dapat mendirikan rumah bila melukis dengan baik, dengan melihat bentuk api sebenarnya.
Ternyata setelah kejadian itu, Ryoshu menjadi terkenal karena dia mampu melukiskan nyala api yang berada di belakang patung Budha seperti nyala api yang sesungguhnya.
Bagaimana perasaan pengaran Ujishui Monogatari pada waktu menceritakan kegembiraan pelukis Budha, Ryoshu, melihat rumahnya dimakan api? Ryoshu memperlihatkan egonya seperti membiarkan anak istrinya terbakar dimakan api, bahkan dia sendiri peduli terhadap dirinya dan membalas cemooh orang dengan hati lapang asal dia bisa melukis dengan baik. Para seniman modern juga meniru lukisan manusia seperti itu dalam karyanya, begitu pula Akutagawa Ryonosuke yang mengagumi cara penulisan sederhana seperti itu.
Baca: Buku Pengantar Kesusastraan Jepang
Comments
Post a Comment