Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
b. Aliran Realisme
Anjuran Untuk Menerapkan Aliran Realisme
Argumen sastra yang menghendaki zaman baru menganjurkan
pemakaian aliran realisme di Jepang. Para pencetus pendapat ini menolak cara
berpikir yang menitikberatkan pada ceritera-ceritera yang bertemakan Kanzen
Chooaku (yang benar akan berakhir dengan kemenangan dan yang salah/buruk
akhirnya akan kalah) di dalam novel, tetapi menjadikan pengetahuan yang
didapatnya dari penyelidikan kesusastraan asing sebagai pedoman. Di antara
teori penulisan sastra yang mereka anut, teori realime menempati kedudukan yang
paling dominan. Dengan memasukkan teori realisme ini sebagai pedoman untuk
penulisan novel akhirnya lahirlah corak kesusastraan realisme di Jepang.
Kesusastraan Shinzui
Argumen sastra seperti yang disebutkan di atas yang pertama
kali adalah Tsubouchi Shooyoo berjudul Shoosetsu Shinzui. Dalam buku ini
diungkapkan bahwa novel harus menggambarkan kehidupan duniawi, perasaan dan
gerak hati manusia, yang teknik penulisannya tidak boleh hanya menggambarkan
kulit luarnya saja, tetapi harus membongkar dan memperlihatkan dengan jelas apa
yang sebenarnya terdapat di dalamnya.
Shooyoo telah membuka sejarah baru dalam kesusastraan Jepang
dengan jasanya menyingkirkan paham dan pandangan yang menganggap kesusastraan
hanyalah untuk hiburan dan ceriteranya haruslah mengutamakan kepahlawanan,
seperti yang ditonjolkan dalam novel yang bertemakan Kanzen Chooaku. Teori yang
dipeloporinya ini berdasarkan pemikiran-pemikiran dari kesusastraan Inggris.
Buku yang ditulisnya berjudul Toosei Shosei Katagi dapat dianggap sebagai cara
pemakaian teori yang dipeloporinya. Tetapi biarpun dalam buku tersebut
digambarkan kehidupan mahasiswa masa itu secara dinamis yang merupakan
ciri-ciri kehidupan modern, tetapi ia masih memakai elemen-elemen kesusastraan
lama dalam teknik penulisannya.
Shoosetsu Sooron
Shoosetsu Sooron (Kesimpulan Tentang Teori Novel) yang
ditulis oleh Futabatei Shimei melengkapi dan memperbaiki teori yang telah ada
dalam Shoosetsu Sinzui karya Shooyoo. Tujuan Futabatei menulis Shoosetsu Sooron
adalah untuk mengkritik buku Toosei Shosei Katagi yang ditulis oleh Shooyoo.
Teori yang diungkapkan oleh Futabatei dalam buku itu mengambil dasar pemikiran
dari kesusastraan Rusia. Teorinya ini dipergunakannya dalam novelnya berjudul
Ukigumo. Genbun Itchi dalam Ukigumo (Penyatuan bahasa lisan dan
bahasa tulisan dalam Ukigumo).
Tokoh utama yang digambarkan dalam Ukigumo adalah seorang
tokoh cendekiawan baru yang telah menyadari ego modern dan menentang
unsur-unsur feodal. Dia digambarkan seorang periang dan terbuka, penderitaan
yang dihadapinya juga dilukiskan dengan jelas dan hidup. Gaya bahasa yang
dipergunakan Futabatei Shimei dalam karya-karyanya berkembang dengan bebas dan
merupakan kombinasi bahasa tulisan dan bahasa lisan. Selain itu dia juga
berjasa memajukan kesusastraan modern karena ia membentuk tokoh-tokoh baru dan
menampilkan susunan kalimat yang menyegarkan.
Yamado Bimyoo juga mencoba menggunakan kombinasi bahasa
lisan dan bahasa tulisan dalam bukunya berjudul Natsu Kodachi. Futabatei Shimei
dengan sekuat tenaga berusaha menggunakan bahasa lisan dalam bukunya berjudul
Aibiki dan Meguriai yang diterjemahkannya dari karya-karya seorang pengarang
Rusia bernama Ivan Sergeevich Turgenev.
Dalam buku ini dapat dilihat kemahiran
Futabatei melukiskan keindahan alam yang menyegarkan.
Aki kugatsu chuujun to iu koro,
ichi nichi jibun ga sarukaba no hayashi no naka ni za shite ita koto ga atta.
Kesa kara kosame ga furisosogi, sono harema ni wa ori ori nama atatakana hikage
mo sashite, makoto ni kumagurena sora ai. Awaawashii shiragumo ga sora ichimen
ni tanabikuka to omou to, futo mata achikochi matatakuma kumogire ga shite,
muri ni oshiwaketa yoona kumoma kara sumite sagashige ni mieru hito no me no
gotoku ni, hogaraka ni hareta aozora ga nozokareta. Jibun wa za shite, shiko
shite soshite mimi wo katamukete iru. Konoha ga toojoo de kasuka ni soyoida ga,
sono oto wo kiita bakari demo kisetsu wa shirareta. Sore wa haru saki suru,
omoshirosoona, warauyoona sazameki demo naku, natsu no yuruyakana soyogi demo
naku, nagata rashii hanashigoe demo naku, mata sue no aki no odoodo shita,
usosabusoona oshaberi demo nakatta ga, ta yooyaki kikitoreruka kikitorenu hodo
no shimeyakana shigo no koe de atta. (Aibiki)
Pada musim gugur di pertengahan
bulan September, ada kalanya sehari-harian aku duduk di dalam suatu hutan
sarukaba (hutan betula). Hujan gerimis turun sejak pagi. Dikala hujan berhenti,
kadang-kadang matahari bersinar memberi kehangatan dan awan seakan bersenda.
Kadang awan putih seakan melayang menutup permukaan langit, namun sekejap
kemudian terpotong-potong di sana sini. Langit biru yang cerah mengintip di
antara awan, seakan dengan paksa memisahkan awan putih. Aku duduk sambil
memandang ke sekeliling dan mendengarkan suara-suara di sekitar tempat itu
dengan seksama. Antara terdengar dengan tidak daun-daun gemersik berbisik di
atas kepalaku, menyadarkanku bahwa kini telah tiba musim gugur. Bisikan-bisikan
daun gugur ini bukan seperti gelak tawa riang pada awal musim semi, bukan
gemersik daun di musim panas, bukan pula suara-suara gelisah dan kedinginan di
akhir musim gugur, bukan suara senda gurau yang hampa berkepanjangan, tetapi
suara bisikan hatiku sendiri yang datang samar-samar antara terdengar dan
tidak. (dari Aibiki)
Comments
Post a Comment