Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Perkembangan Pangkat

Perkembangan Pangkat


1.  Perkembangan Pangkat


Hubungan vertikal yang kita ramalkan dalam teori mengenai cita-cita pembentukan kelompok sosial di Jepang menjadi kaidah pelaksanaan dalam menciptakan kepaduan di antara para anggota kelompok. Karena terlalu banyaknya jenjang tangga dalam orientasi vertikal ini, bahkan sekelompok orang yang memiliki kualifikasi yang sama juga cenderung menciptakan perbedaan di antara sesamanya. Ketika hal ini menjadi-jadi, terbentuklah satu sistem kepangkatan (ranking) yang rumit dan berbelit-belit.

Ada banyak contoh mengenai proses kepangkatan ini. Di antara para operator mesin bubut yang sama kualifikasinya ada perbedaan pangkat yang didasarkan atas umur relatif, masa kerja di perusahaan, dan panjangnya jam kerja; di antara para profesor dalam kolese yang sama, pangkat dapat ditetapkan menurut tanggal formal pengangkatan; di antara para perwira komisi dalam angkatan perang Jepang dulu perbedaan pangkat besar sekali, sehingga bahkan di antara para letnan dua, kepangkatan khusus dilakukan berdasarkan surat keputusan. Di antara para diplomat ada jenjang yang jauh antara sekretaris pertama dan sekretaris kedua; dalam setiap tingkat ada pangkat wreda (senior) dan muda (junior) menurut tahun mereka lulus masa percobaan bekerja di luar negeri.

Kesadaran akan pangkat ini tidak semata-mata terbatas pada kelompok resmi, tetapi juga terdapat di antara para penulis dan aktor, yaitu, kelompok-kelompok yang dianggap terlibat dan pekerjaan tertentu berdasarkan kemampuan orang per orang dan karena itu tidak terikat oleh sesuatu sistem lembaga. Seorang novelis yang terkenal, tatkala menerima hadiah kesusastraan tahunan berkata: "Tentu saja hadiah ini merupakan penghormatan besar bagi saya. Tetapi saya agak menyesal menerima hadiah ini karena beberapa senpai (pendahulu atau novelis yang lebih tua) belum menerimanya". Senpai baginya berarti mereka yang memulai karir, mencapai kemasyhuran dan popularitas sementara waktu sebelum ia mencapai hal yang sama. Salah satu contoh yang serupa kita dapati dalam pernyataan seorang aktris yang sukses dalam suatu film. Berkaitan dengan keberhasilannya, ia menuntut kenaikan pembayaran berjaminan dari perusahaannya. "Saya ingin agar pembayaran yang berjaminan untuk saya sekarang ini ditingkatkan (semula 500.000 yen) lipat dua. Saya pikir tuntutan saya ini layak, karena walaupun masih kohai (junior: lebih kemudian memulai karier) aktris Y menerima lebih daripada 1.000.000 yen. Dia lebih muda daripada saya. Saya sudah menjadi aktris dalam perusahaan ini lebih dari delapan tahun". Bagi orang Jepang tataran pangkat yang mapan (berdasarkan lamanya masa kerja dalam kelompok yang sama dan berdasarkan umur; bukan berdasarkan kemampuan orang per orang) benar-benar sangat penting untuk menetapkan tataran sosial dan mengukur nilai sosial seseorang.

Dunia orang Jepang jelas terbagi dalam tiga kategori, senpai (mereka yang wreda, senior), kohai (muda, junior), dan doryo. Doryo berarti "rekan" dan hanya menunjukkan mereka yang pangkatnya sama, bukan pada semua yang melakukan pekerjaan yang sama di kantor yang sama atau bekerja di bengkel yang sama; bahkan di antara doryo, perbedaan usia, tahun mulai bekerja atau wisuda di sekolah atau kolese, menciptakan kesan senpai dan kohai. Ketiga kategori ini di dalam masyarakat lain tercakup dalam istilah tunggal "rekan".

Kategorisasi ini ditunjukkan dalam tiga cara menyebutkan pribadi kedua dan ketiga; misalnya, Tuan Tanaka mungkin disebut Tanaka-San, Tanaka-kun atau Tanaka (tanpa tambahan apa-apa). San digunakan untuk senpai, kun untuk kohai dan yang tanpa tambahan untuk doryo.

Bentuk yang terakhir ini dapat dibandingkan dengan cara orang Inggris memberikan panggilan dengan nama baptis. (Di Jepang panggilan dengan nama kecil hanya ditujukan pada anak-anak. Di antara orang dewasa, nama kecil hanya dipergunakan di antara mereka yang mempunyai hubungan erat pada masa kecil. Orang hanya dipanggil nama kecilnya oleh orang tua, saudara kandung, kerabat dekat dan teman-teman semasa kecil). Tetapi bentuk yang terakhir ini amat terbatas penggunaannya di lingkungan mereka yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Bahkan di antara doryo, san dipergunakan terhadap mereka yang tidak begitu akrab, sementara kun dipergunakan di antara mereka yang hubungannya lebih akrab daripada orang lain yang disebut san, misalnya bekas teman sekolah. Hubungan yang mengizinkan penyebutan nama kecil saja merupakan hubungan yang bersifat sangat kekeluargaan, tidak sama dengan penggunaan tu dalam bahasa Perancis. Oleh karena itu orang dapat saja menggunakan sebutan kohai yang sangat akrab dengan cara ini, tetapi para kohai akan menggunakan bentuk sebutan san terhadapnya. Sehubungan dengan para profesional, dalam pola ini, senpai disebut sebagai sensei sebagai ganti san. Sensei istilah kehormatan yang lebih tinggi, yang dipergunakan untuk menyebutkan guru oleh para murid, dan juga untuk para profesional oleh masyarakat umum.

Perlu diperhatikan bahwa penggunaan macam-macam bentuk panggilan ini sekali ditetapkan berdasarkan saling hubungan pada tahap-tahap awal kehidupan atau karir seseorang, akan tetap tidak berubah pada masa-masa hidup selanjutnya. Marilah kita bayangkan, misalnya sehubungan dengan X yang pernah menjadi murid Y, yang lima belas tahun kemudian menjadi profesor di departemen yang sama dengan Y dan memperoleh status yang sama, X tetap saja memanggil Y sensei dan tidak akan mengubah panggilan itu menjadi doryo (rekan sejawat) juga sekalipun sebagai pribadi ketiga dalam pembicaraan. Y mungkin memanggil X kun, seraya memperlakukan dia sebagai kohai, bahkan di depan para murid X maupun di depan orang luar lainnya: Y harus mempunyai keikhlasan dan perasaan sosial untuk memanggil X sensei dalam hubungan seperti itu (dalam bahasa Indonesia Doktor atau Profesor).

Boleh jadi demikian pula halnya bila X sangat terkenal sedangkan Y tidak. Y mungkin hanya mau menyebut X kun di depan umum untuk menunjukkan bahwa "dirinya lebih senior daripada X atau bahwa X hanyalah kohai-nya". Pada umumnya orang suka menampilkan diri dalam status yang lebih tinggi; praktek ini berasal dari fakta bahwa kepangkatan dianggap berpusat pada keakuan. Sekali ditetapkan, kepangkatan vertikal itu akan berfungsi sebagai tatanan sosial sedemikian, sehingga apa pun yang terjadi dalam status orang per orang, popularitas maupun kemasyhurannya, sulit sekali untuk mengubah atau melupakan tatanan yang sudah mapan.

Dengan demikian kepangkatan relatif itu terpusat pada rasa keakuan dan setiap orang ditempatkan pada satu kedudukan tertentu dalam sistem vertikal yang amat kuat dipertahankan. Sistem semacam itu amat bertentangan dengan pembentukan berbagai lapisan yang lain dalam suatu kelompok, yang sekalipun terdiri dari para anggota yang kualifikasinya amat berbeda-beda, cenderung diorganisasikan menurut tata susunan hirarkis. Dalam masyarakat seperti ini kepangkatan menjadi jauh lebih penting daripada setiap perbedaan dalam sifat pekerjaan, atau status kelompok. Bahkan di antara mereka yang menerima pendidikan dan latihan yang sama, kualifikasi dan status yang sama, perbedaan berdasarkan pangkat selalu saja tampak, dan karena orang-orang yang bersangkutan sangat menyadari adanya perbedaan semacam itu, perbedaan ini cenderung membayangi atau melingkupi perbedaan mata pencaharian, status atau kelas.

Mendahulukan yang lebih tua daripada yang lebih muda (cho-yo-no-jo) mencerminkan etika moral yang sangat terkenal yang diimpor dari daratan Cina kurang lebih pada tahap-tahap awal sejarah Jepang. Tetapi, penerapan konsep ini di Jepang dalam kehidupan nyata tampaknya agak berbeda dari penerapan konsep yang sama di Cina. Satu contoh menarik berikut ini menunjukkan perbedaannya. Bila enam orang shogi (pemain catur) Cina datang di Jepang untuk melawan pemain catur Jepang, satu hal yang sangat menarik perhatian para pengamat kehidupan Jepang adalah tata susunan keenam pemain. Menurut laporan dari Asahishimbun mengenai kedatangan mereka (Asahishimbun adalah salah satu harian Jepang yang terkemuka). Mr. Wan, usia 17 tahun, orang yang paling muda di antara keenam pemain catur itu, ditempatkan nomor empat pada upacara penyambutan di lapangan terbang Haneda, demikian pula dalam pesta penyambutan di Tokyo. Reporter harian itu selanjutnya mengamati:

Bila kita menggunakan cara urutan itu secara Jepang, Mr. Wan, pemain yang paling muda di antara mereka dan hanya menempati urutan kedua (nidan), seharusnya diberi tempat yang paling akhir. Ia harus menggantikan tempat yang diduduki Mr. Tsen, yang menurut usia paling tua. Tetapi mereka memberikan urutan itu berdasarkan tata susunan hasil pertandingan perebutan gelar yang terakhir mereka adakan.

Orang Cina tidak senantiasa menyadari tata susunan (senior, atau pangkat) seperti halnya orang Jepang; mereka membatasi ruang lingkup kewredaan atau pangkat dalam kegiatan atau situasi tertentu dan meninggalkannya untuk situasi yang lain. Dari hasil pengamatan saya, sekalipun orang Cina selalu menghargai sopan santun dan menunjukkan penghormatan terhadap mereka yang menempati kedudukan senior, baik senior maupun junior tetap memperoleh hal yang sama dalam keadaan tertentu. Orang Cina mampu mengadakan penyesuaian tatanan, atau bekerja menurut kepangkatan yang ditentukan menurut kriteria yang lain, berdasarkan jasa, misalnya bila kepangkatan berdasarkan jasa itu cocok dengan situasinya.

Di Jepang sekali pangkat ditentukan berdasarkan kewredaan, hal itu berlaku untuk segala keadaan, dan dalam jangkauan yang lebar juga mengendalikan kehidupan sosial dan kegiatan orang per orang. Jasa dan kesenioran merupakan kriteria pokok untuk memantapkan tata susunan sosial; setiap masyarakat menerapkan kriteria itu, walaupun bobot yang diberikan pada masing-masing berbeda menurut lingkungan sosialnya. Di Barat, jasa memiliki tingkat kepentingan yang besar, sementara di Jepang keseimbangan menempuh jalan lain. Dengan kata lain, di Jepang, bertentangan dengan masyarakat lain, usaha untuk mengakui jasa amat lemah, dan pelembagaan tata susunan sosial ditentukan terutama dengan cara kesenioran; ini adalah kriteria yang paling jelas, dengan mengandaikan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan yang sama untuk masuk dalam kedudukan atau jabatan yang sama.

Sistem kepangkatan berdasarkan kesenioran merupakan mekanisme yang lebih sederhana dan lebih stabil, karena, sekali dibentuk, sistem itu dapat bekerja secara otomatis tanpa perlu dukungan dari bentuk peraturan apa pun dan tidak perlu diperiksa. Tetapi sistem itu sekaligus juga amat kaku. Hanya ada satu tata susunan kepangkatan untuk sekelompok orang tertentu tanpa melihat variasi situasinya. Tidak seorang pun dari para anggota kelompok tertentu itu (bahkan orang yang kedudukannya paling tinggi sekali pun) mampu membuat perubahan kecil. Satu-satunya cara untuk mengadakan perubahan hanyalah dengan peristiwa drastis yang mempengaruhi dasar-dasar tata susunan itu, atau dengan memecah belah kelompok yang bersangkutan.

Karena kekakuan dan stabilitas itulah (yang dihasilkan oleh kepangkatan) maka kepangkatan justru merupakan prinsip yang mengatur hubungan sosial di Jepang. Orientasi dasar tata susunan sosial merasuk ke dalam setiap segi masyarakat, jauh ke dasar kelompok yang melembaga itu. Tata kepangkatan itu dengan demikian mengatur kehidupan orang Jepang.

Di dalam kehidupan sehari-hari orang yang tidak sadar akan pangkat, relatif tidak akan dapat bicara, bahkan duduk dan makan. Bila berbicara ia diharapkan selalu siap dengan ungkapan-ungkapan penghormatan yang berbeda-beda dan menyenangkan, sesuai dengan susunan pangkat antara dia sendiri dengan orang kepada siapa dia berbicara. Ungkapan dan sopan santun yang cocok di hadapan atasan tidak boleh ditunjukkan di hadapan bawahan. Bahkan di antara rekan-rekan sejawat orang hanya bisa melepaskan diri dari kata dan tindak menghormat bila kedua-belah pihak sangat akrab saja. Hubungan semacam ini mungkin dapat dicerminkan dari penggunaan bahasa Melayu lama, yang penuh dengan basa-basi. Tetapi lebih dari itu antara perilaku dan bahasa terdapat jalinan yang amat kuat di Jepang.

Tata susunan pemangkatan di dalam satu lembaga tertentu tidak hanya mempengaruhi para anggota lembaga itu, tetapi melalui mereka juga mempengaruhi kemantapan hubungan di antara pribadi-pribadi dari beberapa lembaga yang berlainan ketika mereka bertemu untuk yang pertama kalinya. Pada kesempatan demikian hal yang pertama-tama dilakukan orang Jepang adalah saling tukar kartu nama. Kegiatan ini mempunyai implikasi sosial yang amat besar. Kartu nama bukan hanya memberikan keterangan mengenai nama (dan jenis huruf yang dipergunakan) serta alamat; fungsi kartu nama yang lebih penting ialah untuk menjelaskan gelar, kedudukan dan lembaga orang yang memiliki kartu nama itu. Membaca baik-baik apa yang tercetak pada kartu nama itu dianggap etiket yang tepat bagi lelaki, untuk kemudian menyesuaikan perilakunya, cara memanggil dan sebagainya sesuai dengan keterangan yang diterimanya. Dengan saling menukar kartu nama, kedua belah pihak dapat menduga bagaimana hubungan di antara mereka dalam kaitan dengan pangkat relatif, yang menempatkan satu sama lain dalam tatanan yang sudah umum dalam masyarakat mereka. (Lihat Bab 3, khususnya penjelasan terperinci dalam hal 126 — 127). Hanya sesudah hal itu dilakukan, mereka baru dapat bicara dengan penuh kepercayaan, karena sebelum hal itu dilaksanakan mereka harus yakin akan tingkat penghormatan dan sopan santun yang harus dituangkan dalam kata-kata.

Di Barat ada juga beberapa kode tertentu yang membedakan perilaku yang tepat menurut sifat hubungan di antara pembicara (orang pertama) dan pendengarnya (orang kedua). Tetapi di Jepang jajaran perbedaan ini jauh lebih luas dan jauh lebih pelik, sehingga diperlukan kodifikasi yang tepat untuk mengenali setiap konteks dan situasi. Pada suatu hari seorang wartawan yang baru saja tiba di Tokyo dari Perancis minta agar saya menjelaskan mengapa seseorang mengganti lagak lagu bicaranya tergantung pada orang yang diajaknya bicara, sedemikian sehingga pendengarnya nyaris tidak dapat mengenalnya sebagai satu orang yang sama. Orang Perancis itu dalam pengamatannya mendapatkan bahkan suara pun diubah (yang memang benar demikian, karena orang Perancis itu tidak memahami orang Jepang sehingga tidak pula memperhatikan penggunaan basa-basi dalam ungkapan-ungkapan penghormatan yang berbeda-beda; ia hanya merasakan bahwa ada pembedaan lewat variasi suara).

Tentu saja ada perbedaan kadar perhatian orang atas kaidah-kaidah penghormatan menurut pribadi tiap-tiap orang, demikian pula ada perbedaan-perbedaan karena kaitan dengan variasi situasi yang meliputinya, sehingga contoh-contoh yang diberikan di sini dirasakan terlalu ekstrem. Ada orang yang memamerkan status mereka yang tinggi dengan bersikap sombong terhadap mereka yang memiliki status di bawahnya, dan bersikap terlalu merendah terhadap orang yang statusnya lebih tinggi; ada orang yang lebih suka membuang kesombongan dan tetap bersikap ugahari sekalipun terhadap orang lain yang memiliki status lebih rendah, sikap yang dihargai oleh mereka yang statusnya lebih rendah dan mungkin juga lebih menguntungkan. Tetapi di samping itu ada juga orang yang kurang memperhatikan masalah susunan pengharkatan atau kepangkatan demikian, walaupun orang-orang semacam ini jumlahnya sedikit sekali.

Tetapi bagaimanapun bervariasinya perilaku seseorang, kesadaran akan kepangkatan ini berakar amat mendalam pada perilaku sosial orang Jepang. Dalam melukiskan kepribadian seseorang, orang Jepang biasanya akan mengambil sebagai kriteria obyektifnya sejumlah pola sosial yang saat itu berlaku. Posisi kelembagaan dan gelar merupakan salah satu kriteria pokok, sementara sifat seseorang biasanya disepelekan.

Tanpa kesadaran akan kepangkatan itu, kehidupan tidak dapat dilangsungkan secara lancar di Jepang. Sebab pangkat merupakan norma sosial yang menjadi dasar kehidupan orang Jepang. Dalam rumah tradisional orang Jepang, penyusunan kamar menunjukkan tingkat-tingkat pangkat dan jelas sekali menunjukkan perbedaan pangkat yang harus diperhatikan oleh mereka yang mempergunakan kamar itu. Tempat duduk yang paling tinggi selalu terletak di tengah, di depan tokonoma (truangan kecil lain), yang pintunya ditutup dengan kere berlukisan dan bunga-bungaan diatur di sekelilingnya; sedangkan tempat duduk yang paling rendah ditempatkan di dekat pintu masuk. Penyusunan ruang ini tidak memungkinkan dua orang atau lebih berada dalam tingkat yang sama. Adapun sifatnya pertemuan itu, mereka yang hadir di situ pada akhirnya harus menempatkan diri sendiri dalam tata susunan yang memuaskan, sesudah satu sama lain saling menunjukkan etiket pendahuluan untuk tidak menonjolkan diri. Status, usia, popularitas, jenis kelamin dan lain-lain merupakan unsur-unsur yang ikut menentukan penempatan seseorang, tetapi tanpa perkecualian, status merupakan faktor yang dominan. (Usia dan jenis kelamin dalam hal ini kalah kuat bila dibandingkan dengan status. Misalnya, kepala rumah tangga, tanpa peduli berapa pun usianya, akan berada di tempat duduk yang paling tinggi; ayahnya yang sudah uzur justru duduk di tempat yang lebih rendah. Usia hanya merupakan faktor pembeda di kalangan orang yang memiliki status yang sama. Berkaitan dengan jenis kelamin, pada umumnya diketahui bahwa perempuan Jepang hampir selalu memperoleh harkat yang rendah; hal ini bukan disebabkan oleh karena jenis kelaminnya yang rendah nilainya, melainkan karena perempuan jarang sekali mencapai status yang lebih tinggi dalam kehidupan sosial. Perbedaan jenis kelamin tidak akan diungkapkan orang Jepang terang-terangan seperti yang dilakukan orang di Amerika, di mana klasifikasi pertama-tama didasarkan atas jenis kelamin, walaupun tidak untuk menentukan harkat atau pangkat. Saya yakin bahwa dalam masyarakat Amerika kesadaran akan jenis kelamin lebih menentukan daripada kesadaran akan status, kebalikan dengan masyarakat Jepang). Seorang tamu selalu ditempatkan lebih tinggi daripada tuan rumah, kecuali bila status tamu itu lebih rendah daripada tuan rumah. Tamu yang berasal dari jauh diterima dengan khas, penuh rasa hormat.

Situasi yang paling buruk di Jepang ialah bila susunan yang tepat diabaikan atau diterjang begitu saja, misalnya bila orang yang lebih rendah statusnya duduk di tempat yang lebih tinggi daripada orang yang statusnya lebih tinggi. Pada masa modern ini seringkali disepakati bahwa generasi muda cenderung melanggar kaidah tatanan ini. Tetapi menarik sekali diperhatikan bahwa anak-anak muda akan segera mulai mengikuti tatanan tradisional begitu mereka mulai diangkat menjadi pekerja, karena mereka sedikit demi sedikit mulai menyadari kerugian sosial akibat pelanggaran semacam itu. Lagi pula anak-anak muda Jepang tidak pernah sepenuhnya bebas dari sistem kesenioran. Di sekolah, di antara sesama teman, jelas sekali terdapat perbedaan kedudukan yang jelas di antara mereka yang senior dan junior. Hal ini khususnya tampak jelas sekali di antara mereka yang ikut serta dalam kelompok olah raga. Misalnya di kalangan para siswa yang senang mendaki gunung, para siswa yang kelasnya lebih rendah harus membawa beban yang lebih berat pada waktu mendaki bukit; mereka jugalah yang harus memasang tenda dan memasak makanan di bawah pengawasan kakak-kakak kelas yang asyik duduk sambil merokok. Bila selesai memasak, kakak-kakak kelas inilah yang justru pertama kali boleh mencicipi makanan, dilayani oleh adik-adik kelas tersebut. Kesadaran akan harkat atau pangkat yang demikian itu kata orang Jepang jelas sekali mencerminkan kebiasaan yang ada dalam angkatan perang Jepang di masa lalu.

Dalam masyarakat Barat pengaturan meja makan hanya terbatas, biasanya pada kesempatan-kesempatan seperti jamuan makan malam resemi, di mana tamu utama diberi tempat di sisi kanan tuan rumah dan lain-lain. Tetapi di Jepang, sekalipun meja makan dalam keluarga yang sederhana juga harus diatur secara formal menurut kepangkatan atau pengharkatan. Pada permulaan makan, misalnya, setiap orang harus disiapkan nasinya oleh ibu rumah tangga. Piring-piring yang diisi nasi diurutkan, mula-mula piring orang yang pangkat atau harkatnya tinggi, kemudian baru yang lebih rendah; di antara para anggota keluarga, misalnya, kepala rumah tangga akan dilayani pertama kali, dilanjutkan dengan anak lelakinya atau menantu laki-lakinya, anak lelaki yang lain dan kemudian anak-anak perempuannya, menurut usianya. Yang mendapatkan giliran terakhir adalah ibu rumah tangga, diikuti oleh istri anak lelaki calon pengganti kepala rumah tangga. Urutan pelayanan dengan demikian jelas mencerminkan struktur kelompok tersebut.

Karena susunan kepangkatan tampak demikian reguler dalam segala segi kehidupan yang sedemikian esensial sehari-harinya, orang Jepang terpaksa secara ekstrem menyadarinya. Kenyataannya, kesadaran ini begitu kuatnya sehingga pangkat resmi mudah sekali diperluas dalam kehidupan pribadi. Seorang atasan di tempat bekerja juga selalu menjadi atasan di mana pun dia ditemui, di restoran, di rumah maupun di jalanan. Bila ibu-ibu rumah tangga saling bertemu, mereka juga bertingkah laku satu sama lain selaras dengan pangkat atau harkat suami masing-masing dengan menggunakan kata-kata penghormatan, gerak-gerik yang tepat dengan hubungan yang ada di antara para suami mereka. Seorang pemimpin di Jepang cenderung mempertunjukkan kepemimpinannya di mana saja, sekalipun pada waktu kepemimpinan itu tidak diperlukan. Perilaku orang Amerika sangat berbeda dalam hal khusus ini: menurut pengalaman saya bergaul dengan orang Amerika ialah bahwa sulit membedakan mana yang menjadi pemimpin kelompok (atau siapa yang memiliki status lebih tinggi dan siapa yang statusnya lebih rendah), kecuali dalam situasi yang membutuhkan kepemimpinan).

Susunan tempat duduk yang pasti, yang khusus dan cocok bagi kamar yang bergaya khas Jepang dan mengesankan, juga berlaku dalam ruangan yang diatur dengan gaya Barat. Dalam setiap pertemuan yang diadakan di ruangan ini sepintas kilat saja jelas mana di antara para hadirin yang menjadi atasan dan mana yang menjadi bawahan. Sering tidaknya seseorang menyumbangkan pendapat, bersama dengan penyususan siapa di antara hadirin yang boleh berbicara lebih dahulu dalam rapat itu juga menunjukkan kepangkatan lebih jauh. Orang yang duduk di dekat pintu masuk mungkin amat jarang bicara selama rapat itu. Dalam situasi yang sulit, mereka yang statusnya lebih rendah tidak akan berani tertawa lebih awal atau lebih keras daripada mereka yang statusnya lebih tinggi, dan hampir pasti, mereka tidak akan pernah mengemukakan gagasan atau pendapat yang bertentangan dengan gagasan dari orang-orang yang statusnya lebih tinggi. Sejauh ini, susunan kepangkatan tidak hanya mengatur perilaku sosial, tetapi juga membatasi pengungkapan pendapat secara terbuka.

Dengan demikian kita dapat melihat betapa mendalamnya daya kesadaran akan pangkat dan harkat di antara orang-orang Jepang. Dalam hal ini, saya ingat akan orang Tibet, yang pola perilaku sehari-harinya sangat serupa dengan orang Jepang. Dalam perilaku itu mereka menggunakan gerak-gerik dan variasi basa-basi penghormatan yang berbeda-beda menurut pangkat atau harkat di antara para pembicara. Tetapi saya lihat ketika orang Tibet yang berstatus sarjana duduk berdebat di antara sesamanya, mereka mengesampingkan semua perbedaan pangkat dan menganggap diri sepadan dengan yang lain. Orang bahkan mengatakan Dalai Lama pun tidak luput dari perilaku demikian. Para sarjana Jepang, sebaliknya, tidak pernah melupakan perbedaan antara senpai dan kohai, sekalipun dalam kesempatan debat akademis seperti di atas. Bagi seorang sarjana Jepang sulit sekali untuk menyatakan pendapat yang secara terbuka bertentangan dengan pendapat senpai-nya. Suatu oposisi atau ketidaksetujuan terhadap pandangan senpai, sekalipun dalam hal yang remeh harus dinyatakan dengan berbelit-belit dan rumit. Pertama, orang yang tidak setuju harus mengungkapkan penghargaan yang panjang mengenai bagian dari pekerjaan senpai yang sedang dipersoalkan, dengan menggunakan istilah-istilah penghormatan yang luar biasa, dan kemudian sedikit demi sedikit mengungkapkan pendapatnya atau sanggahannya dalam gaya yang seluwes mungkin sehingga memberikan kesan bahwa sanggahannya itu tidak begitu menyolok supaya hati senpai tidak terlukai. Kepangkatan senpai dan kohai dengan demikian membatasi pengungkapan bebas pendapat orang per orang (kepangkatan senpai dan kohai ditentukan menurut tahun wisuda seseorang dari universitas, yaitu salah satu universitas di antara kelompok kecil universitas terkemuka).

Kesadaran akan pangkat atau harkat yang membuat orang Jepang melupakan prosedur logis juga ditunjukkan dalam pola-pola dan kebiasaan pembicaraan sehari-hari, dalam mana orang yang lebih senior dan lebih tua memonopoli pembicaraan sementara orang yang lebih muda berperan sebagai pendengar. Biasanya tidak ada perkembangan gaya menjadi dialektis dalam pembicaraan orang Jepang, yang dari awal hingga akhir dibatasi oleh hubungan pribadi di antara para pembicaranya. Pada umumnya satu pembicaraan merupakan khotbah sepihak, gaya komunikasi "saya setuju sepenuhnya", yang tidak memungkinkan timbulnya pandangan yang bertentangan; atau berbagai pihak dalam pembicaraan mengikuti garis paralel, yang bergulung melingkar-lingkar dan berakhir tepat pada tempat mereka mulai. Kebanyakan pembicaraan diadakan dengan kisah panjang, kisah pengalaman pribadi atau ungkapan sikap terhadap seseorang atau sesuatu peristiwa dalam istilah-istilah yang definitif dan subyektif yang tidak menghendaki atau tak mau mencapai kompromi. Premise yang mendasari tesis dan antitesis adalah kesamaan dan konfrontasi atas dasar tumpuan yang sama yang akan berkembang atau memungkinkan arah menuju sintesis. Karena kekurangpengetahuan mengenai saling hubungan di antara orang-orang yang sama derajatnya, orang Jepang tidak melakukan ketiga langkah dasar penalaran dan harus mengatasi banyak rintangan supaya dapat maju atau mengembangkan setiap masalah yang dibicarakan. Dengan demikian kebanyakan pembicaraan secara intelektual membosankan dan secara emosional lebih menyenangkan pembicara yang lebih senior daripada pendengar yang statusnya lebih rendah. Jarang sekali pembicara adalah orang yang mampu menciptakan suasana sehingga para pendengarnya dapat ikut serta bermain dan mengambil manfaat.

Secara khusus, pihak yang muda setiap kali akan mengambil langkah menghindarkan konfrontasi terbuka dengan atasannya. Usaha seperti itu menyebabkan bentuk-bentuk sangkalan jarang dipergunakan dalam pembicaraan: orang akan lebih suka diam daripada mengucapkan kata-kata seperti "tidak" atau "Saya tidak setuju".

Akar dari usaha menghindarkan terungkapnya penyangkalan terbuka dan sungguh-sungguh itu terdapat pada ketakutan bahwa ungkapan demikian akan merusak keselerasan dan tatanan kelompok, sehingga menyakitkan perasaan orang yang lebih tinggi statusnya dan dalam lingkungan yang ekstrem hal itu dapat menimbulkan risiko terbuang dari kelompok sebagai anggota yang tidak dikehendaki. Bahkan meskipun ada orang lain yang juga tidak setuju, tampaknya orang Jepang tidak hendak bersatu pada dan mengungkapkan ketidaksetujuan mereka secara terbuka, karena rasa takut bahwa hal ini dapat memorakporandakan posisi mereka sebagai anggota kelompok yang disukai. Sering terjadi, begitu orang diberi cap kontra terhadap pendapat kelompok, orang tersebut setiap kali ternyata menentang setiap hal dan masalah yang disepakati oleh pendapat mayoritas. Tak ada seorang pun akan mempertahankan atau membela orang semacam itu dalam kelompok mana pun.

Jadi, pengungkapan pendapat dalam satu kelompok di Jepang sangat terpengaruh oleh sifat kelompok dan tempat seseorang di dalam kelompok itu. Pada rapat kelompok, seorang anggota harus mengajukan pendapat sejauh menguntungkan dirinya sendiri dan membuatnya aman, bukan mengajukan penilaian secara obyektif sesuai dengan pokok masalahnya. Itulah sebabnya orang-orang yang lebih muda jarang sekali berani berbicara di hadapan mereka yang lebih tua. Kebebasan berbicara dalam kelompok ditentukan, sebagaimana adanya, oleh proses-proses hubungan manusia di dalam kelompok itu; dengan kata lain, kebebasan itu terjadi menurut status dalam organisasi kelompok.

Kesadaran akan susunan kepangkatan atau pengharkatan di antara para anggota kelompok juga mengganggu prosedur formal modern suatu rapat panitia. Hak dan wewenang pemimpin rapat mudah sekali dipengaruhi oleh anggota panitia yang tempatnya dalam sistem kewredaan lebih tinggi daripada tempat sang ketua; pada waktu yang sama sang ketua rapat tidak akan berani mengambil keputusan tanpa meminta pendapat dari anggota panitia yang paling wreda. Status ketua belum begitu mapan di Jepang. Salah satu contoh yang paling tepat adalah tata cara Diet  atau parlemen Jepang. Macam-macam jalan buntu atau kebingungan dalam rapat orang Jepang tampaknya terutama berasal dari kekurangan ketua rapat dalam memimpin (dan teknik-teknik dari kewibawaan semacam itu), dan dari kegagalan anggota mengakui wewenang ketua rapat. Ketertiban selalu terbina sesudah terjadinya jalan buntu atau kekacauan semacamnya, berdasarkan penggunaan prosedur lain yang mencerminkan lebih taat lagi tatanan pangkat atau harkat di antara para peserta rapat.

Kesadaran akan kepangkatan atau pengharkatan telah menjadi sebab pokok dari frustasinya para direktur personalia yang lebih mementingkan kemampuan pekerja dalam pabrik-pabrik modern. Ada banyak bukti dalam hal ini yang menjadi bahan pembicaraan di antara mereka yang bersangkutan. Saya mendapatkan beberapa kasus yang konkret selagi mempersiapkan buku ini. Pangkat seorang pekerja ditentukan pertama-tama oleh kualifikasi pendidikannya dan kemudian oleh tanggal masuknya dalam perusahaan. Yang disebutkan terakhir ini bukanlah standar yang ditetapkan oleh manajemen melainkan sesuatu yang kuat sekali ditanamkan dalam kesadara pada pekerja sendiri. Dalam beberapa perusahaan besar, setiap tahun angkatan pekerja baru membentuk kelompok sendiri. "Kelompok tahun......" semacam ini berfungsi untuk menunjukkan tingkatan angkatan tersebut yang berbeda dari angkatan tua atau angkatan kerja yang baru masuk, dan lebih jauh membantu proses pemantapan dalam sistem kesenioran. Bila seseorang dari angkatan kerja tahun tertentu dipromosikan maka rekan-rekannya tentu akan merasa tak enak hati dan menuntut promosi yang sama atas dasar persamaan di antara mereka. Bila yang mendapatkan promosi adalah orang-orang dari tahun angkatan kerja yang lebih muda maka tuntutan itu akan lebih keras lagi. Kesadaran yang kuat akan pangkat atau harkat yang menakjubkan ini bagi manajemen yang paling efisien pun akan sulit diatasi. Kesadaran orang Jepang akan kemampuan untuk melaksanakan hal yang sama ("Saya juga dapat melakukan hal itu") lebih kuat lagi daripada kesadaran yang sama yang terdapat di seluruh dunia; penilaian obyektif atau kemampuan diri sendiri sangat sedikit. Menurut hemat saya, faktor-faktor ini berkaitan dengan pelembagaan sistem kepangkatan secara langsung. Bagaimanapun kerasnya usaha perusahaan untuk menjalankan dan mensponsori metode obyektif, metode demikian tidak akan berhasil. Hasilnya, manajemen justru akan terpaksa mempromosikan beberapa orang dari angkatan kerja tahun yang sama, karena berusaha agar tidak membuat keretakan di antara mereka. Dengan demikian banyak asisten dan pejabat memperoleh pangkat di setiap sektor pekerjaan di Jepang.

Dapat dikatakan bahwa makin besar dan makin tua perusahaannya, (dengan stabilitas yang lebih besar dan dengan kelompok pekerja yang lebih padat) makin kuatlah pelembagaan pangkat di dalamnya. Sebaliknya dalam industri kecil dan menengah dan dalam perusahaan-perusahaan yang lebih baru, orang mudah sekali menggeser pembayaran yang didasarkan atas kesenioran kepada pembayaran berdasarkan jasa, atau kepada sistem promosi yang didasarkan atas kemampuan orang per orang.

Sistem kesenioran yang kaku sering dianggap sebagai sistem "tradisional", yang harus diganti dengan pola yang "modern". Tetapi menarik untuk diperhatikan bahwa sistem yang kaku ini justru merupakan perkembangan yang paling akhir, karena tidak ditemukan selama masa-masa awal industrialisasi di Jepang, dan timbul pada tahapan-tahapan industrialisasi yang lebih akhir dan rumit. Bila kita meneliti sejarah masing-masing perusahaan akan diperoleh bukti yang hampir tanpa kecuali merupakan proses yang sama geraknya, terus-menerus ke arah perkembangan tatanan kepangkatan atau pengharkatan yang makin kaku.

Beberapa di antara perusahaan sesudah perang yang berhasil dan tergolong baru, misalnya Sony atau Honda membanggakan diri dengan adanya manajemen modern yang demokratis di perusahaan mereka; tetapi sesudah mereka mencapai tahap perkembangan tertentu, ketika perusahaan berkembang menjadi makin besar dan mencapai keberhasilan secara stabil, sedikit demi sedikit dalam perusahaan-perusahaan ini berkembanglah sistem kesenioran yang kaku, dengan pola yang sama seperti yang terdapat pada perusahaan-perusahaan yang lebih tua, lebih besar dan mapan. Ada orang Jepang yang menafsirkan fenomenon ini sebagai bukti bahwa perusahaan itu sudah "matang", karena menurut pendapat umum di Jepang makin besar ukuran suatu perusahaan dan makin berakar kedudukannya dalam masyarakat, makin besar pula kecenderungan personalianya untuk mengembangkan tatanan kepangkatan atau pengharkatan intern, serta untuk mengembangkan pola birokratis tertentu. Fenomenon ini mungkin universal, tetapi bentuknya di Jepang unik sekali.

Kekuatan kepangkatan ini tidak hanya mengatasi perbedaan macam-macam jenis mata pencaharian atau jabatan; tambahan pula, kesadaran akan "angkatan kerja tahun sekian" membuat orang tidak menghiraukan klasifikasi jabatan yang wajar. Sebab sejak awal mulanya orang diangkat menjadi pekerja bukannya untuk sesuatu pekerjaan yang khas, melainkan untuk pekerjaan apa saja yang akan diberikan oleh perusahaan padanya. Biasanya orang diberi pekerjaan yang variasinya berbeda-beda satu dengan lainnya. Dengan demikian dari segi manajemen dan pekerja tidak ada sistem "jabatan" yang dirumuskan secara tegas. Orang dapat saja membuat teori bahwa kekuatan hubungan horisontal (jabatan) dan vertikal (kepangkatan) berbanding terbalik.

Bila di Jepang tidak ada kesadaran kelompok horisonal yang menyolok misalnya dalam kelompok-kelompok para eksekutif, para juru tulis, para pekerja tangan dan seterusnya, sebaliknya di situ terdapat sikap yang mementingkan departemen (bagian) yang dibina di sepanjang ikatan fungsional vertikal. Mungkin ikatan itu terdiri dari kepala seksi dan para bawahannya; dalam satu departemen universitas, misalnya, profesor, asisten profesor, asisten dosen dan mahasiswa dikaitkan bersama dalam satu hubungan vertikal. Profesor akan lebih akrab berhubungan dengan asisten dosen dan dosen (yang biasanya bekas mahasiswanya) serta mahasiswanya daripada dengan sesama profesor.

Ada beberapa konsekuensi dari organisasi vertikal semacam itu. Misalnya, seringkali terjadi bahwa pemilihan ketua tidak didasarkan atas kemampuan seseorang, melainkan berdasarkan sifat menyenangkan atau tidaknya seseorang. Tuntutan agar yang dipilih itu orang yang lebih mampu sering dilewatkan begitu saja karena para anggota lainnya takut kalau orang yang lebih mampu itu hanya bekerja demi kepentingan kelompoknya saja. Dalam kenyataannya, di beberapa lingkungan biasa di Jepang, orang yang lebih berkemampuan memang hanya bekerja demi kelompoknya saja.

Orientasi semacam ini dalam hubungan manusia di Jepang sangat kontras dengan orientasi di dalam masyarakat-masyarakat lain. Misalnya di Amerika dan di Inggris, staf pengajar di universitas atau eksekutif dalam salah satu perusahaan membentuk suatu kelompok yang lebih fungsional berdasarkan identifikasi "rekan sejawat". Selisih pangkat atau harkat yang tidak kentara diabaikan begitu saja; tetapi sebaliknya, ada beberapa kelompok yang digariskan dengan tegas, misalnya kelompok asisten dan mahasiswa terhadap para profesor, kelompok kerani dan pekerja terhadap kelompok eksekutif. Di antara orang-orang India, kesadaran akan kelompok ini makin menyolok. Misalnya anggota Jasa Pelayanan Administratif India (JPAI) mengembangkan suatu perasaan akan kasta yang memisahkan mereka dari para pekerja lembaga administrasi lainnya. Seorang wakil komisaris merasa sangat akrab dengan rekan-rekan sejawatnya di JPAI di kantor-kantor lain atau di kota-kota lain di India, daripada dengan bawahan-bawahannya yang langsung di bawahnya di kantornya sendiri, karena mereka bukan anggota JPAI. Saya heran sekali mendapatkan sekelompok anggota JPAI yang bertemu secara kebetulan di perjalanan menuju suatu konferensi mampu membentuk suatu himpunan tanpa pandang usia dan tahun wisuda mereka dalam JPAI. Hal semacam ini tidak akan terjadi di Jepang. Di antara orang Jepang, perbedaan tahun masuk sekalipun hanya satu tahun saja dan penyimpangan kecil dalam tahap promosi dapat menciptakan perasaan tak enak yang dapat menghalangi terbentuknya suatu himpunan. Seorang anggota JPAI menjelaskan bahwa kesadaran akan perbedaan status dapat saja berkembang di antara mereka yang masa kerjanya selisih sekitar tujuh tahun. Perbedaan tingkat akan menentukan promosi dan sifat pekerjaan. Tetapi perbedaan ini pun tidak sebesar perbedaan yang ada di antara anggota JPAI dan orang luar yang bukan anggota JPAI. Orang-orang senior di sini hanyalah seperti para tetua dalam satu kasta, yang selalu dilibatkan demi kesejahteraan para anggota kasta.

Walaupun "angkatan tahun sekian", atau kelompok teman sekolah juga dikenal di Jepang, kelompok-kelompok seperti ini merupakan hasil dari sistem kepangkatan. Dengan kata lain, kesadaran akan kelompok semacam itu timbul karena sistem kepangkatan dan bukan karena kelompok horisontal yang dibina terutama untuk menikmati kebersamaan dengan teman sejawat. Sebaliknya, kesadaran akan kelompok itu menegaskan garis-garis pangkat dalam gambar keseluruhan kelompok atau lembaga. Salah satu di antara sekian ujian mengenai efektivitas hubungan antarmanusia dalam satu "angkatan tahun sekian", berlawanan dengan kelompok vertikal, dapat dilihat dalam efektivitas surat-surat pengantar (katabelletje). Orang Jepang mudah sekali menulis surat pengantar sekalipun tidak berarti mau memikul tanggung jawab, atas dasar bahwa ia "mengenal orang yang diperkenalkannya". Maka sulit diketahui secara pasti apakah surat rekomendasi semacam itu efektif atau tidak. Dalam situasi yang wajar sedikit sekali yang bisa diharapkan dari surat pengantar yang diberikan oleh rekan sekelas yang pangkatnya sama, kecuali bila memang ada persahabatan yang khusus atau bersangkutan dengan kepentingan bersama yang penting. Di pihak lain, surat pengantar dari atasan kepada bawahan sangat efektif. Surat itu akan menjamin perlakuan yang tepat dan bahkan luar biasa baiknya, tidak peduli apa pun pandangan orang bawahan terhadap pembawa surat pengantar itu maupun statusnya. Garis vertikal lebih efektif daripada garis horisontal.

Menghadapi hubungan manusia dalam bentuk-bentuk ini dan organisasi kelompok vertikal yang secara alamiah berasal dari bentuk hubungan manusia itu, maka kesadaran akan kelompok yang didasarkan atas atribut yang sama, seperti yang terdapat di antara para profesor atau pekerja, tidak dapat tidak menjadi lemah. Kesadaran akan kualitas yang sama, yang dilemahkan oleh struktur intern ini, makin dilumpuhkan oleh kurangnya kontak dengan orang lain yang sekualitas di luar kelompok, dan oleh kecenderungan ke arah pembinaan kelompok sosial di dalam kerangka. Dan di sini, sekali lagi, sebagai ganti kesadaran akan persamaan jabatan terdapatlah kesadaran yang tak juga pudar akan "naungan rumah tangga yang sama".



Baca: Buku Masyarakat Jepang

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau