Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
C. Tiga Kota Besar di Jepang
Pada akhir abad XII, Minamoto Yoritomo memegang tampuk pemerintahan yang sah, yang berkedudukan di kota Kamakura di daerah Kanto. Pada saat itu pusat kegiatan politik untuk pertama kalinya terpisah dari daerah Kansai. Pemerintahan Kamakura berlangsung kira-kira 150 tahun dan selama itulah kebudayaan Jepang berpusat di Kyoto. Kalau kita berbicara dari segi kebudayaan, Kamakura hanya mempunyai Kamakura Gozen — pendeta-pendeta yang ahli dalam ilmu filsafat Buddha aliran Zen — dan penyair generasi ketiga Shogun Minamoto Sanetomo. Kaum terpelajar yang mempunyai reputasi kelas satu di Kamakura pada saat itu dapat dihitung dengan jari, seperti Teika, Sagyo, dan Kamono Chomei. Boleh dikatakan dalam bidang kebudayaan kota Kamakura tidak menonjol seperti kota Kyoto. Memang tidak dapat disangkal bahwa daerah baru biasanya tidak mudah melahirkan kebudayaan baru. Seperti halnya kota Kamakura yang merupakan kota pemerintahan yang masih baru ini, kekuatan untuk melahirkan kebudayaan yang khas Kamakura masih tertahan. Kendala yang dihadapi kota Kamakura untuk melahirkan kebudayaan baru ala Kamakura adalah sering terjadinya kekacauan dan perang yang berlarut-larut di dalam negeri sehingga usaha untuk mengembangkan kebudayaan terkuras oleh perang.
Walaupun keadaan dalam negeri pemerintahan Ashikaga sangat kacau bila dibandingkan dengan Kamakura, pemerintahan Ashikaga masih dapat menghasilkan kebudayaan orisinal yang bermutu tinggi. Salah satu sebab utamanya secara sederhana dapat dikatakan karena pemerintahan Ashikaga berpusat di Kyoto. Kyoto yang sudah mempertahankan kebudayaan tradisi ini tidak akan mudah hilang walaupun penuh dengan pertumpahan darah, namun masih tetap dapat menemukan keindahan khas. Faktor utamanya adalah pengaruh alam (fudo) Kyoto itu sendiri yang menunjang ketergantungan manusianya.
Adapun daerah Kanto yang pusat kotanya berada di Edo (Tokyo) pada dasarnya adalah pusat kebudayaan Jepang, yaitu setelah satu abad sejak Tokugawa Bakufu berkuasa pada awal abad ke-17. Pusat perekonomian dan kebudayaan pada awal zaman Edo — seperti era sebelumnya — berada di Osaka dan Kyoto dan dikenal dengan sebutan Kamigata. Pada waktu pusat kegiatan politik akan berpindah ke daerah Kanto, pusat kegiatan Jepang tetap berada di Kyoto sementara Osaka yang keadaan lokasinya cocok untuk kegiatan ekonomi dan terletak dekat Kyoto menjadi kota yang membuka tirai kebudayaan zaman pramodern (zaman Edo). Adapun kota Edo dalam sejarah merupakan kota yang ditata dalam ukuran besar dan menjadi kota penerima kebudayaan Kamigata. Kebudayaan Kamigata dikembangkan di Kyoto dan Osaka. Kebudayaan Kamigata setelah dicernakan selama satu abad dalam kota yang baru dibangun ini (Edo), akan menghasilkan kebudayaan yang disebut khas kebudayaan Edo.
Kota Osaka yang berbentuk sama dengan Edo, adalah kota yang mempunyai pelabuhan yang baik. Sejak ibu kota berada di Nara, Osaka dikenal sebagai pintu gerbang laut. Orang-orang Jepang pada zaman Manyoshu pergi ke Korea dan Cina melalui pintu gerbang ini. Sebagai kota, Osaka berkembang luas sejak Toyotomi Hideyoshi membangun benteng besar pada akhir abad XVI. Osaka (pada bagian belakangnya terletak kota Kyoto) dikaruniai jalan laut dan jalan sungai, serta merupakan urat nadi pertemuan jalan lalu lintas kereta api Sanyodo dan Tokaido. Dengan kekuatan politik Hideyoshi yang merata di seluruh negeri Jepang maka Osaka berfungsi sebagai dapur Jepang, (dapur di sini berarti pusat kegiatan ekonomi). Hasil panen beras dari seluruh Jepang dikumpulkan di sini. Sebagai kota ekonomi, Osaka banyak menghasilkan pedagang kaya dan bukannya samurai. Dengan latar belakang ekonomi yang makmur, kelas pedagang Osaka menciptakan kebudayaan chonin yang bersifat umum (rakyat biasa) yang berlawanan dengan kebudayaan tradisi bangsawan Kyoto. Pengarang yang memelopoti kebudayaan chonin pada awal zaman pramodern adalah Ihara Saikaku.
Kota Edo, sejak dibuka oleh Bakufu, berkembang dengan cepat menjadi Jokamachi, kota baru di sekitar istana. Kota-kota di Jepang sekarang kebanyakan berasal dari Jokamachi zaman pertengahan dan zaman pramodern. Letak geografis Edo sama dengan Osaka. Pada bagian depan terletak Lautan Pasifik, pada bagian barat terdapat banyak dataran tinggi, dan pada bagian timur terdapat dataran rendah yang luas dan tidak rata. Pemerintah saat itu melaksanakan perataan pada dataran yang tinggi, meninggikan dataran rendah, serta menimbun teluk. Pekerjaan seperti ini pada saat itu merupakan merupakan pekerjaan umum yang sangat besar. Kota Tokyo yang berdiri sekarang ini adalah hasil kerja keras Bakufu. Menurut catatan tertulis, HIbiya yag sekarang ini adalah bekas teluk yang ditimbun oleh Pemerintah Edo. Kota Tokyo mengingatkan kita pada kota air Venesia. Kota Edo juga dikaruniai sungai-sungai besar seperti Sungai Sumidagawa dan sungai-sungai menengah dan kecil. Letaknya yang berhadapan dengan Lautan Pasifik maka Edo mempunyai keistimewaan, yaitu pada musim dingin saljunya sedikit, musim panas banyak turun hujan dan banyak mendapat sinar matahari, serta kaya akan perubahan musim.
Kalau dilihat dari segi sejarah dan kebudayaan Kansai, Kanto merupakan daerah yang terlambat maju dan bila dilihat dari segi geografis dan iklimnya, sebagai contoh bila kita melakukan perjalanan dari Kanto menuju Tohoku, akan memakan waktu sepuluh hari, dan ini tidak efisien. Bagi orang Kansai hal ini merupakan suatu hal yang sangat berat. Ditambah lagi, Kanto terletak di sebelah utara dan sekaligus merupakan pintu gerbang Tohoku. Bagi Jepang sendiri, alam Tohoku sangat keras bahkan sejak abad ke-20 sering mengalami kegagalan panen. Dalam catatan perjalanan terkenal Sugae Matsumi ke Tohoku pada zaman Edo disebutkan bahwa mayat-mayat dibuang di jalan-jalan akibat panenan buruk dan kelaparan.
Bagi orang Kansai, Kanto adalah daerah yang alamnya masih liar dan terbelakang kebudayaannya. Akan tetapi, Kanto adalah daerah yang mempunyai grup samurai dan pasukan kuda yang kuat. Samurai-samurai dididik di alam yang keras ini adalah samurai-samurai yang terkuat di Jepang pada saat itu. Oleh karena itu, alam Kanto sangat cocok untuk mendidik samurai yang kuat.
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa Minatomo Yoritomo berhasil menghancurkan pasukan Heike dan dapat memegang tampuk pemerintahan adalah karena mempunyai kelompok samurai yang kuat itu. Kelemahan kelompok samurai Heike adalah karena mereka dididik di alam Kansai Kyoto yang tidak sekeras alam di Tohoku. Kehancuran Heike merupakan pelajaran yang baik bagi Minatomo Yoritomo. Oleh karena itu, Kamakura dijadikan ibu kota pemerintahan untuk mempertahankan kelompok samurai Kanto yang terkenal kuat itu. Itulah sebabnya maka Shogun Ieyasu juga meniru cara Minatomo Yoritomo dengan menempatkan ibu kotanya di Edo (Kanto).
Kota Edo kalau dilihat dari segi penduduknya merupakan tempat tinggal kaum samurai. Penduduknya berjumlah satu juta tiga ratus jiwa. Edo menjadi salah satu kota besar di dunia pada saat itu. Dari jumlah satu juta tiga ratus ribu jiwa itu, 60% adalah samurai yang datang dari seluruh negeri Jepang. Pengumpulan samurai di Edo adalah untuk pemusatan kekuatan pemerintah. 20% dari samurai banyak tinggal di Edo, sedangkan kaum bangsawan — orang yang bergerak di dalam kegiatan kebudayaan — tinggal di Kyoto. Seluruh bangsawan tanpa kecuali melakukan kegiatan kebudayaan dan dibesarkan di alam Kansai. Penduduk Edo yang datang dari berbagai daerah mengembangkan kebudayaannya di Edo. Begitu pula pedagang-pedagang yang memegang perekonomian Edo adalah orang-orang yang pindah dari Kansai. Jepang sampai zaman modern masih tertutup, boleh dikatakan melompati satu gunung saja bahasanya sudah berbeda. Contohnya, orang-orang yang tinggal di utara — di daerah Tsugaru — dengan orang-orang yang tinggal di selatan — di daerah Satsuma (Kagoshima) — pada saat itu tidak dapat berkomunikasi karena bahasa yang berlainan. Sesungguhnya, kota Edo adalah tempat berkumpulnya bermacam-macam suku yang datang dari seluruh negeri Jepang. Setelah masuk zaman modern, Edo diganti namanya dengan Tokyo. Penduduknya makin bertambah banyak karena berdatangan dari berbagai daerah. Kota Edo dalam sejarah kota Jepang mempunyai arti sangat spesifik. Menurut kesusastraan dan kebudayaan, tanda bahasa merupakan hal yang paling mendasar. Oleh karena itu, bahasa Jepang sebagai bahasa standar dewasa ini pasti berasal dari alam Edo.
Kebudayaan Kansai dan kebudayaan Edo jelas berbeda. Kebudayaan tradisi Edo sudah mencapai umur 260 tahun. Keistimewaan kebudayaan Edo dibentuk oleh alam Kanto dan bersamaan dengan itu pula kita juga tidak dapat mengabaikan bahwa kebudayaan Edo diambil dari warna daerah. Orang yang sangat berjasa dalam membentuk kebudayaan Edo adalah Matsuo Basho dan Hiraga Gennai. Keduanya berasal dari daerah. Contoh seperti ini di dalam sejarah kebudayaan Jepang jarang terjadi.
Geografis Edo yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap kesusastraan dan kebudayaan adalah sungai, termasuk sungai buatan. Edo sebagai kota air dikenal dengan sebutan Venesianya Jepang. Pada dasarnya kebudayaan Jepang sering disebut Edo Jocho. Orang-orang yang menciptakan kebudayaan Edo bukan dari masyarakat yang posisi sosialnya tinggi, yang tinggal di daerah Yamanote, tetapi orang-orang yang posisi sosialnya rendah yaitu samurai kelas rendah dan pedagang yang tinggal di daerah rendah yang disebut dengan Shitamachi. Shitamachi adalah daerah air, di salah satu jembatannya mereka menemukan keindahan alam yang khas. Air merupakan motivasi yang sangat penting dalam kebudayaan Edo. Tidak saja dalam karya-karya sastra kita dapat menemukan keindahan alam, tetapi juga dalam lukisan. Contohnya adalah lukisan "Ukiyoe" karya pelukis terkenal Ando Hiroshige; di sana kita dapat memahami keindahan kota Edo. Dalam lukisan tersebut digambarkan pemandangan Edo dan perasaan puitis Hiroshige dan sungai-sungai yang airnya mengalir perlahan-lahan.
Nagai Kafu yang dibesarkan pada awal zaman modern telah berhasil menjalankan tugas pentingnya. Ia melukiskan air dalam susunan yang bersifat jocho (penuh perasaan). Akutagawa yang dibesarkan di Shitamachi pada karya esainya menceritakan kerinduan dan kecintaannya yang kuat terhadap air, sebagai keindahan pemandangan Tokyo. Ada pula karyanya yang berjudul Toyono Vinesia.
Yang dimaksud Edo Jocho di sini adalah kalau diibaratkan pemandangan adalah jembatan yang bentuknya indah. Bila menjelang senja, kita dapat melihat dari jembatan itu nun jauh di sana Gunung Fuji kecil, dan bila malam kelihatan bayangan bulan di sungai Sumidagawa yang airnya mengalir perlahan-lahan., dan kelihatan cahaya terang. Rakit berjalan hilir mudik di Sungai Sumidagawa. Begitu pula di parit kecil tampak bayang pohon yang berayun-ayun.
Kebudayaan Edo itu sendiri dibentuk dari abad ke-18 sampai ke-19. Orang-orang yang turut berjasa dalam membentuk kebudayaan Edo adalah chonin dan samurai kelas rendah yang telah menjadi pedagang. Oleh karena itu, jika kesusastraan Edo dibandingkan dengan kesusastraan Kyoto yang bersifat sastra maka kesusastraan Edo itu bersifat biasa atau bersifat lisan, sederhana. Karya yang terkenal dari kesusastraan sederhana adalah Ukiyo Buro, penulisnya Shikitei Samba. Karya ini menggambarkan pergaulan santai di antara pemuda-pemudi rakyat Edo. Pengisahan Shikitei Samba di pemandian umum seolah-olah ia membawa kamera. Novel populer seperti ini sampai zaman Edo belum pernah ada dalam catatan sejarah. Kesusastraan Edo, kesusastraan Naniwa (kesusastraan Osaka) adalah lanjutan kesusastraan Chikamatsu Monzaemon dan Ihara Saikaku. Jadi kota Osaka pun dapat dikatakan juga kota air (mizuno toshi). Timbulnya kebudayaan Naniwa bermula sejak berkuasanya Toyotomi Hideyoshi. Hideyoshi adalah pemimpin yang telah berhasil dalam mempersatukan seluruh negeri Jepang dari kekacauan perang yang begitu lama. Hideyoshi sebagai penguasa militer tertinggi pada saat itu, mempunyai peranan yang tidak kecil dalam memajukan kebudayaan. Ia telah mensponsori kesenian dan kebudayaan dalam masa peralihan dari abad pertengahan menuju zaman modern. Kebudayaan zaman ini disebut kebudayaan Momoyama yang sangat megah. Kebudayaan Momoyama diibaratkan seperti bunga yang besar dan merekah di kota Kyoto. Osaka sebagai kota yang baru tumbuh boleh dikatakan masih belum mampu dalam menciptakan kebudayaan spesifik. Adapun kebudayaan Osaka dan kesusastraannya, baru mulai digali pada permulaan zaman pramodern (Kinsei). Terbentuknya kebudayaan Osaka itu adalah berkat sokongan dari kekayaan pada zaman Momoyama. Orang yang memegang kekuatan ekonomi adalah kelas pedagang dan melahirkan kesusastraan Osaka. Sampai saat ini yang aktif memegang kesusastraan adalah para bangsawan, pendeta, dan samurai, tetapi mulai awal pramodern orang-orang yang aktif dalam kesusastraan adalah kaum pedagang. Peristiwa ini merupakan peristiwa baru yang belum pernah terjadi pada zaman sebelumnya. Sebagai latar belakang yang mendukung perkembangan kesusastraan pramodern adalah dengan dimajukannya percetakan kayu.
Kesusastraan kota ekonomi Osaka merupakan kesusastraan kaum pedagang, karenanya mereka bersifat realistis. Mereka cenderung hidup senang, seperti yang terlihat pada karya Ihara Saikaku, tema utama yang sering muncul adalah masalah keuangan. Adapun kesusastraan Edo, sambil mewarisi kesusastraan Osaka, menciptakan unsur-unsur kesusastraan Edo. Banyak faktor yang menunjang kesusastraan Edo, tetapi keuangan. Adapun kesusastraan Edo, sambil mewarisi kesusastraan Osaka, menciptakan unsur-unsur kesusastraan Edo. Banyak faktor yang menunjang kesusastraan Edo, tetapi salah satu penunjang utamanya adalah kelas samurai rendahan. Pendidikan kaum pedagang Osaka pada dasarnya bersifat ekonomi realistis, sedangkan pendidikan samurai Edo bersifat konfusionisme. Dengan didasari ajaran konfusionisme lahirlah kesusastraan yang mengutamakan moral. Aliran kesusastraan tersebut terdiri dari aliran Mampa dan Koha seperti Share, Shadatsu, dan Koshoku. Menurut pendapat seorang artis Jepang, Hirose, tentang tiga kota besar Jepang, Kyoto, Osaka dan Edo dia membandingkannya seperti berikut,
"Terhadap hal apa saja, orang Kyoto sangat teliti dan pelit; orang Osaka banyak keinginannya, mudah tersinggung, dan mudah cemas; orang Edo sombong dan cepat naik darah."
Manusia menciptakan kebudayaan dan kebudayaan yang diciptakannya itu membentuk "manusia". Teori perbandingan tiga kota besar Jepang menurut Hirose adalah Fudo Shinrigaku, ilmu psikologi iklim.
Teori yang populer dewasa ini di Jepang adalah teori yang disebut Toshi Kukan Ron (Teori Ruang Kota). Susunan Toshi Kukan ditinjau dari sudut kebudayaan terdiri dari ilmu sejarah, geografis, cuaca, arsitek, kebudayaan, sosial, dan linguistik. Dalam lapangan penelitian kesusastraan Jepang, Toshi Kukan merupakan salah satu kata kunci penting dalam penelitian dan pemahaman kigo (tanda) kesusastraan.
Fudo Ron (Teori Fudo) sebagai metode penelitian kesusastraan dan manusia sudah ada sejak awal abad ke-19 di Eropa. Fudo Ron memberikan pengaruh besar terhadap bidang filsafat dan ilmu psikologis. Namun sekarang, untuk sementara teori Fudo sudah tidak terpakai lagi karena berkembangnya teori Toshi Kukan.
Baca: Buku Pengantar Kesusastraan Jepang
Comments
Post a Comment