Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Proses Produksi Bahasa

Proses Produksi Bahasa

Proses Produksi Bahasa

Secara garis besar, proses produksi bunyi bahasa adalah sebagai berikut (lihat pula Gambar 2).

Proses Produksi Bunyi

I. Udara keluar dari paru-paru melalui glotis (celah cempit/lebar) yang dibentuk oleh pita suara. Ukuran celah yang dibentuk oleh pita suara ini berperan dalam menentukan jenis bunyi yang dihasilkan.
    Jika glotis menyempit, aliran udara yang melewati celah yang dibentuk oleh pita suara ini mampu menggetarkan pita suara. Pita suara yang bergetar ini menimbulkan suara. Oleh karena itu, bunyi-bunyi yang dihasilkan dengan cara mempersempit glotis disebut bunyi bersuara. Bunyi-bunyi bersuara ini antara lain adalah [i], [a], [b], [g], dan [m].
    Jika glotis terbuka lebar, aliran udara leluasa melewati pita suara. Dalam keadaan yang demikian, pita suara tidak bergetar dan tidak menimbulkan suara. Oleh karena itu, bunyi-bunyi yang dihasilkan dengan cara membuka glotis sepenuhnya disebut bunyi tak bersuara. Bunyi-bunyi tak bersuara ini antara lain adalah [s], [f], [p], dan [k].

II. Getaran udara yang dihasilkan oleh celah dan getaran pita suara itu menuju ke rongga mulut atau hidung sesuai dengan posisi langit-langit lunak atau velum yang berfungsi sebagai pengatur jalur aliran udara.

III. Jika langit-langit lunak membuka jalan aliran udara menuju ke hidung, artikulator yang berada di rongga mulut berfungsi menutup aliran udara. Sebagai akibatnya, udara sepenuhnya melewati rongga hidung. Perbedaan artikulator yang menghambat aliran udara melewati rongga mulut menghasilkan jenis bunyi yang berbeda.

IV. Aliran udara yang menuju ke mulut — di saat aliran udara ke rongga hidung tertutup — dapat bebas keluar dari mulut tanpa hambatan atau dihambat oleh artikulator yang ada di dalam rongga mulut.
      Proses artikulasi (the articulatory process) merupakan proses produksi bahasa yang paling penting dalam pemelajaran berbicara. Secara sadar dan kasat mata proses artikulasi dapat dilihat dengan mudah, tanpa memerlukan alat bantu. Seseorang yang akan mengucapkan kata-kata, secara sadar, mengatur alat ucap yang dimilikinya untuk merealisasikan bunyi kata-kata yang diinginkan. Dalam keadaan normal manusia tidak perlu memikirkan bagaimana cara menggetarkan pita suara, cara menghembuskan udara, serta cara mengatur jalur aliran udara.

V. Pada saat aliran udara berhasil melewati rongga mulut atau hidung — yang diatur oleh artikulator — bunyi bahasa terdengar. Bunyi yang dihasilkan dengan cara mengalirkan udara melewati rongga mulut disebut bunyi oral. Bunyi yang dihasilkan dengan cara mengalirkan udara melewati rongga hidung disebut bunyi nasal.
     Alat bicara yang terlibat dalam proses aliran udara (the airstream process) adalah paru-paru, glotis, dan langit-langit lunak.

Aliran udara yang digunakan untuk menghasilkan getaran bunyi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu aliran udara ke luar (egressive) dan aliran udara ke dalam (ingressive). Bunyi bahasa-bahasa di Indonesia tidak ada yang dihasilkan dengan aliran udara ingresif. Pada umumnya, bunyi bahasa-bahasa di dunia ini memang menggunakan aliran udara egresif. Dalam kasus nonlinguistis, bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara ingresif ini antara lain terdapat pada kasus menguap atau mendengkur. Bahasa yang menggunakan aliran udara ingresif antara lain adalah beberapa bahasa di Papua dan bahasa klik di Afrika.

Beriku ini disajikan beberapa gambar posisi glotis dan pita suara, yang turut menentukan bunyi yang dihasilkan.

Daerah Artikulasi

Untuk menghasilkan bunyi bahasa yang benar — menurut kaidah bunyi bahasa yang bersangkutan — pertama-tama, seseorang mutlak harus mengetahui artikulator mana saja yang terlibat dalam proses artikulasi. Mengingat bunyi-bunyi bahasa dari sebuah bahasa ada yang tidak digunakan dalam bahasa lain, seorang yang menggunakan bahasa asing perlu melatih keterampilan artikulasi alat ucap dalam merealisasikan bunyi-bunyi yang tidak biasa diucapkan.

Tentu saja proses-proses yang lain (proses pembunyian, proses aliran udara, dan proses oronasal) tidak dapat diabaikan. Orang Jepang yang belajar bahasa Indonesia perlu berlatih bagaimana cara mengucapkan bunyi [n] dalam kata makan, orang Indonesia perlu berlatih bagaimana cara mengucapkan bunyi [y] dalam bahasa Belanda dalam kata dank U 'terima kasih', bagaimana cara mengucapkan bunyi [θ] bahasa Inggris dalam kata to think 'berpikir', bagaimana orang Batak mengucapkan bunyi [d] bahasa Jawa dalam kata wedi 'takut', dan sebagainya. Singkatnya, pengetahuan fonetik artikulatoris mampu memberikan manfaat praktis dalam kegiatan olah suara.

Secara garis besar, cara berartikulasi dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis artikulasi. Perbedaan cara-cara artikulasi ini ditentukan oleh jenis hambatan dan tempat artikulasi dilakukan. Jenis-jenis hambatan artikulasi tersebut adalah sebagai berikut,
  1. Letupan (plosice/stop)Artikulasi ini dilakukan dengan cara menghambat total aliran udara oleh artikulator aktif dan melepaskan secara meletup. Bunyi-bunyi letupan yang dihasilkan dengan artikulasi ini antara lain adalah [p], [b], [t], [d], [k], [g], dan [?].
  2. Geseran (fricative)Artikulasi ini dilakukan dengan cara menghambat aliran udara sebagian (tidak total). Udara tetap dapat mengalir melalui celah sempit yang dibentuk oleh artikulator aktif dan artikulator pasif. Bunyi-bunyi geseran yang dihasilkan antara lain adalah [θ], [ð], [s], [z], [ʃ], dan [ʒ]
  3. Paduan (affricate)Artikulasi ini merupakan paduan antara artikulasi letupan dan geseran. Aliran udara rongga yang dihambat secara total diletupkan melalui celah sempit yang dibentuk oleh artikulator aktif dan artikulator pasif. Bunyi-bunyi paduan yang dihasilkan antara lain [c] dan [j].
  4. Sengau (nasal)
    Artikulasi ini dilakukan dengan cara menghambat secara total aliran udara melalui rongga mulut oleh artikulator dan membuka jalur aliran udara menuju rongga hidung. Bunyi-bunyi nasal yang dihasilkan antara lain adalah [m], [n], [Å‹], dan [].
  5. Getaran (trill)Artikulasi ini dilakukan dengan cara menyentuhkan artikulator aktif ke artikulator pasif secara beruntun sehingga membentuk seperti getaran. Dalam bahasa Indonesia bunyi-bunyi getaran yang dihasilkan adalah bunyi [r].
  6. Sampingan (lateral)Artikulasi ini dilakukan dengan cara menghambat aliran udara di bagian tengah dan memberikan jalan aliran udara melalui samping-samping lidah. Dalam bahasa Indonesia, bunyi sampingan yang dihasilkan adalah bunyi [l].
  7. Hampiran (approximant)Artikulasi ini dilakukan dengan cara mempersempit aliran udara di rongga mulut tanpa menghasilkan geseran. Artikulator aktif bergerak ke arah artikulator pasif dan kemudian bergerak menjauh kembali di saat udara mengalir keluar. Bunyi-bunyi hampiran yang dihasilkan antara lain [w] dan [j].
Daerah artikulasi—untuk bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia—dapat dikelompokkan menjadi enam berdasarskan artikulator pasif yang terlibat dalam proses artikulasi. Bersama-sama dengan artikulator aktif, daerah artikulasi ini berperan dalam menamakan bunyi-bunyi yang dihasilkan.

Daerah artikulasi tersebut adalah sebagai berikut,
  1. labial, yaitu artikulasi yang dilakukan di bibir atas;
  2. dental, yaitu artikulasi yang dilakukan di gigi atas;
  3. alveolar, yaitu artikulasi yang dilakukan di gusi atas;
  4. palatal, yaitu artikulasi yang dilakukan di langit-langit keras;
  5. velar, yaitu artikulasi yang dilakukan di langit-langit lunak; dan 
  6. glotal, yang tidak dihasilkan oleh artikulator, tetapi oleh penutupan glotis secara total.


Buku: Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Bahasa

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Observasi dan Penelitian Lapangan

3. Observasi dan Penelitian Lapangan Pengumpulan data untuk suatu tulisan ilmiah dapat dilakukan melalui observasi dan penelitian lapangan. Observasi adalah pengamatan langsung kepada suatu obyek yang akan diteliti, sedangkan penelitian lapangan adalah usaha pengumpulan data dan informasi secara intensif disertai analisa dan pengujian kembali atas semua yang telah dikumpulkan. Observasi dapat dilakukan dalam suatu waktu yang singkat, sebaliknya penelitian lapangan memerlukan waktu yang lebih panjang. Observasi dapat dilakukan mendahului pengumpulan data melalui angket atau penelitian lapangan. Dalam hal ini observasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai obyek penelitian sehingga dapat disusun daftar kuestioner yang tepat atau dapat menyusun suatu desain penelitian yang cermat. Sebaliknya observasi dapat juga dilakukan sesudah mengumpulkan data melalui angket atau wawancara. Dalam hal ini tujuan observasi adalah untuk mengecek sendiri sampai di mana kebenara