Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Menuju Kesempurnaan, Menjadi Everlasting Company
"Like all organisms, the living company exists primarily for its own survival and improvement: to fulfill its potential and to become as great as it can be." Arie de Geus
Perusahaan yang sustainable dalam kurun waktu lama—50 tahun, 100 tahun, bahkan 500 tahun—merupakan fenomena yang banyak mengundang perhatian pakar manajemen selama sepuluh tahun terakhir ini. Para pakar merasa tertantang untuk mencari tahu rahasia di balik kesuksesan "everlasting company" tersebut. Banyak buah pikiran dan hasil penelitian mereka yang kemudian dituangkan dalam buku-buku dan menjadi best seller internasional.
Selama menulis buku ini kami meneliti berbagai literatur mengenai perusahaan yang berumur panjang tersebut, dan dari telusuran itu kami menemukan dua karya masterpiece yang membahas topik ini. Dua buku tersebut adalah Built to Last(1) yang ditulis dua pakar dari Stanford University, Jim Collins dan Jerry Porras, dan The Living Company(2) karya Arie de Geus, seorang pakar organizational learning.(3) Menarik sekali mencari tahu faktor-faktor penentu kesuksesan dari perusahaan sustainable yang dikemukakan dua buku ini.
Dalam Built to Last, Collins-Porras menemukan ada suatu karakteristik generik yang melekat pada perusahaan-perusahaan berumur panjangn tersebut—mereka menyebutnya visionary companies. Yang pertama dan paling mendasar adalah adanya core ideology dari perusahaan-perusahaan itu, yang terdiri dari core values dan purpose. Core values merupakan nilai-nilai mendasar dan otentik dari suatu perusahaan, sedangkan purpose adalah "reason for being" atau alasan mengapa sebuah organisasi dibangun. Core ideology, menurut mereka, tidak boleh diubah walaupun lingkungan bisnis terus berubah.
Collins-Porras berargumen bahwa jika core ideology tidak boleh diubah, semua elemen lain di luar itu boleh berubah mengikuti perubahan lingkungan bisnis. Perubahan itu ditujukan untuk menstimulasi kemajuan (stimulate progress) perusahaan. Visionary companies, menurut mereka, juga harus membangun organisasi yang selaras (aligned) dengan core ideology tersebut.
Dalam perspektif yang berbeda, Arie de Geus juga mencoba mencari tahu mengapa perusahaan bisa berumur puluhan dan ratusan tahun—ia menyebut perusahaan tersebut "The Living Company," sama dengan judul bukunya. Melalui risetnya, de Geus menemukan adanya kontradiksi di mana sebagian besar perusahaan Fortune 500 hanya berusia rata-rata 40-50 tahun, sementara usia maksimumnya bisa mencapai 500 tahun. Apa rahasia sukses dari perusahaan berusia 500 tahun ini? Itulah pertanyaan yang ingin dijawab de Geus.
De Geus berargumen, bahwa suatu perusahaan harus dipandang sebagai "living being" dan bukan sebagai "mesin penghasil uang." Mengapa demikian? Karena perusahaan adalah entitas yang seharusnya terus "belajar" dalam merespons lingkungan di mana ia berada. Hanya dengan memperlakukan sebuah perusahaan sebagai "a learning organization," ia akan terus beradaptasi dengan lingkungan bisnisnya. Dan adaptability inilah yang menjadi penentu kesuksesan perusahaan dari zaman ke zaman.
Selama melakukan riset untuk penulisan buku ini, kami mengumpulkan dan menelusuri begitu banyak data baik melalui wawancara dengan manajer dan eksekutif Sampoerna, maupun data-data tertulis yang dimiliki perusahaan. Seperti halnya pakar-pakar di atas, tujuan kami hanya satu, yaitu mencari jawaban mengapa Sampoerna bisa bertahan dan terus menjaga momentum kesuksesan dalam kurun waktu yang sangat panjang, lebih dari 90 tahun.
Dari telusuran itu kami menemukan tiga core winning characteristics yang menjadi faktor penentu kesuksesan Sampoerna, yang kalau dicermati secara mendalam sesungguhnya mengkonfirmasi temuan dua buku di atas. Faktor pertama adalah kemampuan organisasi dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis. Kedua, yang menurut kami merupakan yang terpenting, adalah adanya budaya perusahaan yang kokoh dalam bentuk nilai-nilai luhur dan perilaku yang dipercayai oleh semua orang di dalam organisasi. Dalam kaitan pembentukan budaya korporat ini, kami melihat sebuah fenomena yang unik di Sampoerna karena peran leadership dari para CEO-nya dari generasi ke generasi sangat dominan. Sedangkan core winning characteristics yang ketiga adalah inovasi, baik inovasi dalam model bisnis, proses, teknologi maupun produk.
ADAPTABILITY, CULTURE, INNOVATION
Kemampuan Sampoerna beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnisnya sudah dibuktikan perusahaan ini dari generasi ke generasi. Selama empat era kepemimpinan—Liem Seeng Tee, Liem Swie Ling (atau lebih dikenal dengan nama Aga Sampoerna), Putera Sampoerna, dan sekarang Michael Joseph Sampoerna—perusahaan ini menghadapi beraneka-ragam gelombang perubahan lingkungan bisnis, namun secara cakap ia mampu mengatasinya dengan baik. Menarik sekali komentar Putera Sampoerna mengenai bagaimana seharusnya perusahaan merespons perubahan lingkungan bisnisnya, "Understand the environment, what you can do with it and if you can't do something with it, change it!" ujarnya.Di era kepemimpinan Liem Seeng Tee, Sampoerna pernah mencapai titik kinerja terendah saat tentara Jepang menduduki negerei ini pada awal tahun 1940-an. Semasa perang, pabrik Sampoerna di Surabaya diduduki tentara Jepang dan digunakan untuk memproduksi rokok bagi tentara Jepang di Jawa dan Indonesia bagian timur. Seusai perang, pabrik Sampoerna ditinggalkan begitu saja oleh penjajah Jepang dalam keadaan porak-poranda.
Akibat perang, praktis semua kekayaan keluarga Sampoerna habis kecuali satu, yaitu sang legenda, Dji Sam Soe. Pabrik boleh hancur porak-poranda, kekayaan keluarga boleh habis dirampas tentara Jepang, namun Dji Sam Soe tetap merupakan aset keluarga yang tak ternilai harganya. Ekuitas merek (brand equity) Dji Sam Soe yang sangat tinggi baik di kalangan konsumen maupun pedagang rokok, merupakan faktor utama yang memungkinkan Aga Sampoerna melakukan turnaround dan membangun kembali Sampoerna dari puing-puing keruntuhan.
Begitu juga ketika kendali perusahaan dipegang Putera Sampoerna di era tahun 1980-an dan 1990-an. Perubahan lanskap bisnis yang berjalan sangat cepat pada kurun waktu ini diantisipasi dengan baik oleh Putera melalui upaya-upaya transformasi yang tak mengenal lelah—transformas termassif dan tercepat dalam sejarah perusahaan. Langkah transformasi inilah yang memungkinkan Sampoerna memasuki "hypergrowth era" selama kurun waktu 1990-an, di mana size perusahaan naik hampir 38 kali lipat hanya dalam waktu 10 tahun.(4)
Seperti akan Anda baca dalam beberapa bab buku ini, selama kurun waktu kepemimpinannya, Putera Sampoerna melakukan inisiatif transformasi besar yang secara umum kami bagi menjadi tiga milestones. Milestone pertama adalah upaya Putera mewujudkan visi Sampoerna menjadi world-class cigarette manufacturee yang dijalankannya selama kurun waktu awal tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Langkah-langkah strategis yang dilakukan untuk mewujudkan visi ini antara lain: membenahi sistem pembelian tembakau ke petani; membangun sistem distribusi langsung; membangun kapabilitas dan kompetensi inti di bidang pembuatan rokok; membangun fasilitas manufaktur berkelas dunia di Rungkut dan Sidoarjo.
Milestone kedua adalah upayanya memetamorfosa Sampoerna dari "manufacturing-driven company" menjadi "market-drive company" yang dirintisnya sejak akhir tahun 1980-an. Di sini Putera merintis beberapa langkah terobosan, seperti membangun corporate brand "HM Sampoerna"; mengembangkan portofolio merek dengan branding strategy yang sistematis; mensinergikan fungsi riset dan pengembangan (R&D), operasi, marketing, dan distribusi dalam sebuah sistem yang solid. Dengan berbagai langkah ini, merek-merek seperti Dji Sam Soe, A Mild, Sampoerna Hijau memiliki emotional branding dengan target konsumennya.
Dan milestone ketiga adalah upaya Putera menjadikan Sampoerna sebagai perusahaan multinasional dengan melakukan ekspansi bisnis ke pasar luar negeri yang prospektif. Langkah yang dirintis sejak pertengahan tahun 1990-an inilah yang memungkinkan merek-merek Sampoerna hadir di berbagai negara seperti Malaysia, Myanmar, Vietnam, Brasil dan Taiwan.
Langkah Sampoerna dalam melakukan turnaround dan transformasi yang dirintis Putera dalam tiga milestones di atas merupakan bukti kemampuan Sampoerna dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnisnya—perubahan teknologi, regulasi, ekonomi, persaingan, dan konsumen. Kami melihat, dari zaman ke zaman Sampoerna membuktikan mampu menjadi "sense and response" organization yang efektif.
Faktor kedua adalah budaya perusahaan (culture). Berkaitan dengan budaya perusahaan sebagai sumber kesuksesan jangka panjang Sampoerna, kami menemukan sebuah fenomena yang menarik. Walaupun secara formal penyusunan buku Kredo Sampoerna baru dirumuskan pada awal tahun 1992 dan perintisan The Sampoerna Way baru dilakukan tahun 2002, namun sesungguhnya budaya korporat Sampoerna sudah diyakini dan dijalankan sejak lama, bahkan sejak dasar-dasar budaya tersebut diletakkan dan dibangun Liem Seeng Tee, sang pendiri.
Nilai-nilai dasar "Menuju Kesempurnaan" (Anggarda Paramita) dan falsafah "Kami Memang Beda" merupakan satu nilai yang secara sadar ataupun tidak sadar, tertulis maupun tidak tertulis, merupakan basic philosophy yang dijalankan dalam setiap kebijakan dan langkah perusahaan. "Di Sampoerna, upaya mencari KESEMPURNAAN sudah menjadi gaya hidup kami; suatu usaha keras, yang secara integral terjalin di dalam semua aspek Kelompok Perusahaan Sampoerna," demikian bunyi salah satu kutipan yang ada dalam Kredo Sampoerna.(5)
Nilai-nilai dasar yang dipegang teguh dan diyakini oleh semua orang di dalam organisasi Sampoerna itu terbukti menjadi tulang punggung keunggulan bersaing perusahaan. Bahkan kami berani menyimpulkan bahwa nilai-nilai dasar inilah yang menjadi penentu utama mengapa Sampoerna mampu secara konsisten mencapai kesuksesan selama berpuluh tahun.
Keseriusan Sampoerna membangun budaya perusahaan yang kokoh tercermin dalam beberapa butir falsafah bisnis yang tercantum di dalam Kredo Sampoerna. Di dalam kredo tersebut misalnya, dirumuskan sebuah falsafah dasar bisnis yang mengatakan bahwa, "Tidak seperti kebanyakan Kelompok Perusahaan lain, salah satu pendorong utama Kelompok Perusahaan Sampoerna adalah Falsafahnya, bukan Kebijakannya."(6) Dari sini jelas terlihat bahwa Sampoerna adalah values-drive organization yang menempatkan nilai-nilai luhur organisasi pada posisi yang sangat penting.
Culture does matter! Kami melihat bahwa budaya perusahaan yang kokoh inilah faktor utama yang membedakan Sampoerna dari perusahaan lain. Budaya akhirnya yang berperan dan berpengaruh secara jangka panjang untuk membedakan kinerja sebuah perusahaan dengan pesaingnya. Budaya menjadi tatanan hidup masing-masing perusahaan yang tidak mungkin dan tidak layak untuk ditiru oleh siapapun. Menurut kami, tesis banyak pakar manajemen bahwa budaya perusahaan merupakan key point of differentiation dari sebuah organisasi, betul-betul terjadi di Sampoerna.
Dan rupayan, budaya sebagai faktor pembeda ini bukanlah sesuatu yang kebetulan di Sampoerna, karena di dalam Kredo Sampoerna sangat jelas disebutkan bahwa setiap organisasi memiliki "gaya" pengelolaannya masing-masing. "Dari sudut pandang organisasi, setiap perusahaan mempunyai aspirasi dan tujuan yang berbeda. Tidak ada suatu cara yang 'standar' untuk menyusun sebuah organisasi."(7) Gaya manajemen inilah yang membedakan Sampoerna dengan perusahaan lain. Dan gaya manajemen ini tak lain merupakan refleksi dari cara bersikap, cara berpikir, dan bertindak setiap orang di dalam organisasi Sampoerna—gaya manajemen tersebut merupakan refleksi dari budaya perusahaan Sampoerna.
Faktor terakhir adalah inovasi. Dalam buku Collins-Porras dan Arie de Geus, inovasi memang tidak disebut secara eksplisit sebagai komponen penentu sustainability dari sebuah perusahaan. Namun kalau berbicara untuk kasus Sampoerna, kami melihat, rasanya mustahil mengesampingkan komponen ini, mengingat setiap sepak-terjang perusahaan ini dari generasi ke generasi selalu diwarnai dengan upaya terus-menerus untuk berinovasi.
Inovasi di Sampoerna ditanamkan "dari dalam" melalui prinsip yang dikenal luas di kalangan karyawan sebagai prinsip "Kami Memang Beda." Sampoerna berani menyatakan "Kami Memang Beda" ini karena jiwa setiap karyawan memang dibangun di atas landasan kreativitas dan inovasi. "Kami Memang Beda is like a religion, basic philosophy that can not be compromised," demikian kata Putera Sampoerna.
"Kami Memang Beda" ini diterapkan dengan menantang setiap karyawan untuk selalu berpikir "out of the box", selalu mempunyai pola pikir yang berbeda dengan didukung reason yang kuat. Pola pikir yang beda dan mempunyai reason yang kuat inilah yang membuat Sampoerna sepertinya tidak pernah kehabisan ide kreatif dan inovatif yang sukses dieksekusi di lapangan.
Dari waktu ke waktu, inovasi sudah menjadi senjata Sampoerna dalam menghadapi persaingan industri rokok yang demikian ketat. "If we can not compete with someone who already established, we have to be unique and different," kata Putera Sampoerna. Dengan inovasi yang terus-menerus Sampoerna berhasil menjadi "thought leader" industri rokok.(6)
Satu contoh kasus inovasi Sampoerna yang kini telah menjadi "cerita legenda" dalam dunia pemasaran di tanah air adalah peluncuran A Mild, produk rokok low tar nicotine (LTLN) pertama di Indonesia. Adanya persaingan yang kian ketat di pasar kretek bernikotin tinggi dan adanya tren global ke arah konsumsi rokok rendah tar dan nikotin, mendorong Sampoerna untuk menciptakan kategori baru rokok LTLN pada tahun 1989—sebuah langkah terobosan yang pada masa itu sama sekali tak terpikirkan oleh pesaing.
Tak cukup sampai di situ, langkah inovatif Sampoerna juga terbaca dari evolusi kampanye branding A Mild dari "How Low Can You Go?" menjadi "Bukan Basa Basi." Pada saat kampanye "How Low Can You Go?", A Mild lebih banyak menonjolkan functional attribute dengan menawarkan rokok dengan kadar tar dan nikotin yang paling rendah waktu itu. Seperti kita tahu kampanye ini menuai sukses luar biasa ketika diluncurkan pada awal tahun 1990-an.
Namun, begitu kampanye "Bukan Basa Basi" meluncur, orientasinya kemudian berubah 180 derajat. A Mild kemudian "break with the immediate past" dengan tak lagi menonjolkan functional attribute, tapi menonjolkan emotional attribute berupa brand imagery, gaya hidup, dan ekspresi diri. Dengan langkah inovatif ini, sekali lagi Sampoerna menentukan peta permainan (industry rule of the game) dan arah industri rokok di tanah air. Ia menjadi "lighthouse" bagi industrinya.
Inovasi yang dilakukan Sampoerna tentu saja tak hanya terbatas inovasi dalam produk. Yang penting dan dampaknya justru sangat luas adalah inovasi dalam teknologi, proses, sistem, strategi, dan bahkan model bisnis (business model). Deretan inovasi ini panjang sekali, mulai dari inovasi Liem Seeng Tee dalam membangun sistem keagenan dalam pendistribusian Dji Sam Soe di tahun 1920-an; inovasi Aga Sampoerna membangun sistem manajemen yang mendorong pendelegasian karyawan di tahun 1960-an; inovasi Putera Sampoerna mengembangkan sistem distribusi langsung, membangun corporate brand "HM Sampoerna," dan pembenahan proses di fasilitas produksi Sukorejo. Dan yang tak boleh dilupakan tentu saja adalah inovasi "raksasa" berupa perubahan model bisnis Sampoerna dari "manufacturing-driven company" menjadi "market-drive company" pada awal tahun 1990-an yang pengaruhnya sangat luas ke seluruh aspek operasi perusahaan.
Dalam setiap inovasi yang dilakukan, Sampoerna selalu saja mampu membaca pergeseran industri dan pasar, kemudian mengambil manfaat dari pergeseran itu. Karenanya tak heran kalau Putera Sampoerna mengatakan, "Innovation means recognizing the environment and opportunity, and make changes necessary to grab the opportunity," demikian makna inovasi menurut pemimpin dari generasi ketiga keluarga Sampoerna ini.
SUSUNAN BUKU
Buku ini merupakan upaya kami para penulis untuk mengajak para pembaca melakukan "strategy safari" menelusuri perjalanan Sampoerna dalam menuju kesempurnaan selama lebih dari 90 tahun. Kalau dalam mengantar buku ini kami menguraikan tiga faktor penentu kesuksesan Sampoerna dalam kurun waktu lama, hal ini dikarenakan pembahasan sembilan bab dalam buku ini pada akhirnya bermuara pada tiga faktor tersebut. Jadi, di samping kami membahas perjalanan Sampoerna secara historikal, sesungguhnya buku ini mencoba mencari dan memahami faktor-faktor yang menjadi sumber kesuksesan Samperna selama empat generasi.Susunan bab dalam buku ini kami bagi ke dalam tiga bagian yang kami kemas mengikuti komposisi keberuntungan "Dji Sam Soe" (2-3-4) yang menjadi tradisi perusahaan ini selama lebih dari 90 tahun. Jadi bagian pertama buku ini terdiri dari dua bab; bagian kedua terdiri dari tiga bab; dan bagian ketiga adalah empat bab. Dalam bagian demi bagian, bab demi bab, kami akan bercerita mengenai bagaimana kapal besar Sampoerna berlayar mengarungi bisnisnya selama 4 generasi dan menghasilkan merek-merek yang sustainable. Makanya buku ini kami beri judul 4-G Marketing A 90-Year Journey of Creating Everlasting Brands.
Bab I buku ini secara khusus membahas sejarah pendirian Sampoerna dan perkembangan awalnya di bawah kepemimpinan sang founding father Liem Seeng Tee. Bab 2 mencoba memotret perjalanan Sampoerna di bawah kendali pemimpin dari generasi kedua keluarga Sampoerna, Aga Sampoerna. Di sini kami mencoba melihat bagaimana Aga membangun kembali Sampoerna dari kondisi terburuk di tahun 1950-an untuk kemudian mengembangkannya menjadi perusahaan dengan daya saing kokoh.
Bab 3,4 dan 5 membahas perkembangan bisnis keluarga Sampoerna di bawah nakhoda baru dari generasi ketiga, Putera Sampoerna. Seperti akan Anda baca nanti, pada kurun waktu ini Sampoerna mampu mencapai pertumbuhan usaha yang sangat fantastis. Tak hanya itu, Sampoerna di bawah Putera dibawa menjadi perusahaan modern dan disegani di kalangan industri rokok nasional.
Bab 3 mengupas langkah-langkah transformasi yang dirintis Putera selama kurun waktu 1980-an dan 1990-an. Fokus dari pembahasan ini lebih diarahkan pada upaya membangun "hard aspects" dari organisasi Sampoerna seperti pembenahan sistem, proses, organisasi, dan strategi. Bab 4 secara khusus membahas upaya Putera membangun corporate credibility, karena seperti diungkapkan oleh Putera sendiri, corporate credibility ini merupakan faktor krusial dari kesuksesan perusahaan. Kalau dalam Bab 3 pembahasan diarahkan untuk membangun "hard aspects' dari organisasi, maka di Bab 5, kami mencoba membahas upaya-upaya Putera membangun "soft aspects"-nya, yaitu aspek manusia, falsafah bisnis, dan budaya perusahaan.
Tiga bab berikutnya di bagian ketiga buku ini merupakan bagian yang menjelaskan the art of execution, yaitu bagaimana Sampoerna membangun merek-merek yang sustainable sepanjang perjalanannya dari sejak berdiri hingga sekarang. Dimulai dari Bab 6 mengenai Dji Sam Soe, produk kretek premium Sampoerna, yang lahir bersamaan dengan lahirnya Sampoerna pada tahun 1913 dan sampai sekarang masih menjadi tulang punggung Samporna.
Lalu, dilanjutkan dengan pembahasan pada Bab 7 mengenai Sampoerna Hijau, produk dari generasi kedua yang kini mengulang sukses melalui upaya peremajaan merek (brand rejuvenation). Dan pada Bab 8, kami akan membahas A Mild, produk sigaret kretek mesin dari generasi ketiga, pionir kategori baru low tar low nicotine, yang mencapai sukses luar biasa sejak awal tahun 1990-an. Bagian ini lalu kami tutup dengan Bab 9 mengenai upaya-upaya transformasi lanjutan yang dijalankan oleh generasi keempat di bawah Michael Joseph Sampoerna.
CATATAN AKHIR
1. James C. Collins dan Jerry I. Porras, Built to Last, Succesful Habits of Visionary Companies, New York. HarperBusiness, 1994.
2. Arie de Geus, The Living Company: Growth, Learning, and Longevity in Business, London: Nicholas Brealey Publishing, 1997.
3. Di samping dua buku tersebut sesungguhnya ada satu buku lagi yang menarik untuk dibahas, yaitu What (Reallya) Works, karya William Joyce, Nitin Nohria, dan Bruce Roberson. Tiga pakar ini berpendapat bahwa untuk sustainable, perusahaan harus memenuhi empat primary winning characteristics yaitu: strategy, execution, culture, dan organization. Di samping itu perusahaan tersebut harus memenuhi dua dari empat secondary winning characteristics, yaitu: talent of employees, leadership and governance, innovation, dan mergers and partnership. Mereka menyebut komponen-komponen ini sebagai "4+2 Formula". Penjelasan lebih lengkap mengenai hal ini lihat, William Joyce, Nitin Nohria, dan Bruce Roberson, What (Really) Works: The 4+2 Formula for Sustained Business Success, New York: HarperBusiness, 2003.
4. Kami menyebut kurun waktu 1990-2000 sebagai "hypergrowth era" karena selama masa-masa ini Sampoerna mengalami peningkatan pendapatan (net sales) mencapai hampir 38 kali lipat. Kalau pada tahun 1990 angka penjualan (net sales) Sampoerna mencapai Rp 265,8 miliar dan sepuluh tahun kemudian angka ini melonjak tajam menjadi Rp 10.029 miliar. Sebuah pencapaian yang kami kira sangat fenomenal untuk sebuah perusahaan yang sudah berusia "kakek-kakek", lebih dari 80 tahun pada waktu itu.
5. "Anggarda Paramita Menuju Kesempurnaan", Kredo Sampoerna Anggarda Paramita, PT HM Sampoerna Tbk., p.2.
6. Kredo Sampoerna Anggarda Paramita, p.14.
7. Ibid. p.8
8. Terminologi "thought leader" dikemukakan oleh Adam Morgan, Eating the Big Fish: How Challenger Brands Can Compete Against Brand Leaders, New York: Wiley, 1999. Terminologi ini untuk menandai perusahaan yang selalu penuh dengan ide-ide inovatif, kreatif dan penuh terobosan yang akhirnya menjadi talk leader. Talk leader berarti perusahaan tersebut menjadi pembicaraan di mana-mana.
9. Terminologi "lighthouse" dikemukakan oleh Adam Morgan, Eating the Big Fish: How Challenger Brands Can Compete Against Brand Leaders, New York: Wiley, 1999. Terminologi ini untuk menandai perusahaan yang mampu menjadi trend-setter di industrinya, selalu melakukan langkah-langkah breakthrough yang diikuti pesaing, dan selalu mendobrak rule of the game lama untuk diganti dengan yang baru.
Buku: 4-G Marketing: A 90-Year Journey Of Creating Everlasting Brands
Comments
Post a Comment