Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Para Pemain Industri Rokok Nasional Era 1990-an
Dari yang awalnya hanya industri rumah tangga, kini berkembang menjadi industri skala luas. Kombinasi antara permintaan yang terus meningkat dan teknologi produksi yang mutakhir, ditambah teknik pemasaran yang canggih, berhasil mengantar rokok masuk ke dalam babak baru industri. Perusahaan-perusahaan baru pun terus lahir akibat tergiur oleh kesuksesan mereka yang lebih dulu hadir.
Namun, dalam bisnis rokok, hukum pasar akan memihak kepada mereka y ang mampu menghadirkan kualitas dalam rasa. Artinya, perusahaan yang bisa memberikan tembakau kualitas terbaik dan saus yang gurih saja yang bisa bertahan. Dan memang itulah yang terjadi; dari sekitar 600 perusahaan rokok yang tumbuh di Indonesia di awal proses industrialisasi, banyak dari mereka yang tidak bertahan hingga saat ini. Pun kategori-kategori rokok yang tadinya dikuasai oleh banyak perusahaan, kini menyusut dengan hanya dikuasai beberapa pemain utama saja (tingwe dan klembak menyan adalah dua kategori yang berada dalam ambang kepunahan dengan hanya tinggal beberapa perusahaan saja yang memproduksinya).(9)
Selain pada produk, persaingan antar perusahaan juga merembet pada isu primordial. Karena identitas politik saat itu masih dalam tahap pembentukan, hubungan sosial antar warga masih diwarnai sektarianisme yang rawan perpecahan. Dalam industri rokok, hal tersebut termanifestasi pada dua isu besar, yakni pertentangan antara perusahaan milik Cina versus Bumiputera, dan perusahaan asing versus lokal.(10)
Era 1900-an memang menjadi periode emas pertumbuhan perusahaan rokok di Indonesia. Sebagian dari mereka masih bertahan hingga sekarang dan sebagian yang lain menjadi raja di kelasnya. Sampoerna termasuk yang lahir di masa-masa awal periode ini. Untuk dapat menangkap gambaran situasi persaingan yang berkembang, kita perlu melihat siap saja perusahaan yang lahir dan menjadi pemain utama saat itu. Berikut daftarnya.
NV Bal Tiga Nitisemito (1908)
Beberapa tahun sepeninggal Haji Jamahri, seorang warga Kudus berpikir untuk memasarkan rokok kretek secara massal. Oleh ayahnya, H. Sulaiman, ia diberi nama Rusdi, yang entah kenapa diubahnya kemudian menjadi Nitisemito. Ide briliannya diilhami dari pengamatan pasar ketika Nitisemito sedang memasarkan rokok buatannya. Ia melihat waktu itu belum ada rokok kretek yang memiliki nama merek.Awalnya, Nitisemito muncul dengan ide Kodok Mangan Ulo. Karena tidak direspon positif oleh konsumen, ia kemudian mencoba nama Bulatan Tiga, sebelum mengubahnya lagi menjadi Tiga Bola, dan akhirnya memutuskan untuk memakai nama Bal Tiga. Produksi pertama dimulai pada tahun 1906 dengan kategori rokok terbatas pada jenis klobot kretek. Perusahaannya didaftarkan pada tahun 1908 dengan nama NV Bal Tiga Nitisemito.
Tapi, nama Nitisemito terkenal bukan hanya disebabkan ia adalah pionir komersialisasi rokok kretek di Indonesia, namun lebih karena strategi pemasarannya yang sangat kreatif, yang dipercaya mengilhami banyak perusahaan sejenis hingga sekarang. Beberapa dari strategi kreatif tersebut adalah: penawaran free gift dan special offer kepada konsumen setia; pemberian hadiah bagi konsumen yang mengembalikan bungkus rokok Bal Tiga; promosi berjalan menggunakan bus dan pesawat terbang; mensponsori teater keliling; dan membuat aksesoris silver cases serta korek berlogo Bal Tiga.
Nitisemito bahkan menjadi orang Indonesia pertama yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal namun mampu mempekerjakan orang asing, yakni H.J. Voren dan Poolman, keduanya akuntan berkebangsaan Belanda. Lahir di Desa Jegalan Kudus pada tahun 1874, Nitisemito meninggal di usia 79 tahun. Oleh sejarawan dan pengamat rokok, ia dianugerahi gelar "Bapak Kretek Indonesia."(11)
Goenoeng & Klapa (1913)
Jika Anda mengira bahwa Sampoerna adalah perusahaan kretek tertua di Indonesia yang masih bertahan hingga sekarang, mungkin Anda harus merevisi hal tersebut. Pasalnya, pada tahun 1913 berdiri sebuah pabrik rokok di Kudus, namanya Goenoeng & Klapa (Gunung dan Kelapa). Didirikan oleh Mohamed Atmowijoyo, perusahaan ini mempertahankan apa saja yang lama sudah ditinggalkan perusahaan-perusahaan rokok. Misalnya ia hanya memproduksi klobot, kebalikan dari perusahaan lain yang memiliki produk beragam. Ia juga masih menggunakan tali pengikat rokok jauh tertinggal dari teknologi pembungkusan yang berkembang. Dan rokok tersebut tetap dikerjakan dengan tangan sepenuhnya tanpa memiliki mesin satu pun. Satu hal lagi yang kontroversial adalah resep saus perusahaan ini tidak dirahasiakan melainkan dipajang di papan tulis pada dinding pabrik.Sekarang, karyawan Gunung dan Kelapa hanya berjumlah 35 orang dengan produk yang hanya dikenal secara terbatas di wilayah Kudus. Harga rokoknya pun berbeda jauh dibanding merek lain; ketika Dji Sam Soe dijual dengan harga Rp. 3.500, Gunung dan Kelapa bisa didapat dengan hanya Rp. 400. Satu-satunya hal yang sama antara perusahaan ini dengan Sampoerna adalah bahwa ia kini dipimpin oleh generasi keempat dari pendirinya.(12)
Bentoel (1931)
Suatu malam di Gunung Kawi, di hadapan makam Mbah Djugo, Ong Hok Liong mendapatkan mimpi bertemu penjual bentoel. Setelah mengonsultasikannya dengan juru kunci makam, akhirnya Ong memutuskan untuk menggunakan Bentoel sebagai nama mereknya. Segera setelah diluncurkan di Malang, merek ini mendapat sambutan luar biasa. Entah apakah ada hubungannya dengan mimpi tadi.Semenjak tiba di Malang pada tahun 1910, Ong memang langsung terjun ke bisnis tembakau dan rokok. Nama perusahaannya waktu itu adalah Strootjesfabriek Ong Hok Liong. Awalnya ia bergerak di kategori klobot di bawah merek Burung. Perlahan ia melahirkan kategori lain dengan meluncurkan merek Tresna, Rawit, dan Spesial.
Bentoel adalah perusahaan yang kali pertama menjalankan peraturan pemerintah untuk memberikan kursi bagi pelinting yang sebelumnya hanya duduk di lantai. Pada tahun 1974, perusahaan ini melakukan terobosan lagi dengan menjadi perusahaan kretek pertama yang mengoperasikan full-automated rolling machines di Indonesia. Ia membelinya dari perusahaan Inggris, Molin Machines, pada tahun 1968. Lahirlah kemudian merek Bentoel International, yang kini lebih dikenal dengan nama Bentoel Biru—merek lokal pertama yang dipromosikan secara nasional.
Nojorono (1932)
Perusahaan inilah yang memproduksi merek terkenal Minak Djinggo, nama tokoh dalam pewayangan Jawa. Sedangkan nama merek lainnya mungkin belum pernah kita dengar sebelumnya: Astrokoro, 555, dan Kaki Tiga. Hal ini mungkin disebabkan karena ketiganya diproduksi oleh Trio, nama orisinal perusahaan ini sebelum akhirnya berubah menjadi Nojorono.Berbeda dengan perusahaan lain yang umumnya dikuasai oleh satu keluarga secara turun-temurun. Nojorono dikendalikan secara kolektif oleh lima keluarga sekaligus. Awalnya adalah Tjoa Kang Hay, yang pernah bekerja untuk Nitisemito, mengajak saudaranya, Tan Tjiep Siang dan Tan Kong Ping untuk mendirikan Trio. Setelah itu Kang Hay mencari partner baru di Kudus, yakni Ko Djie Siong dan Tan Djing Dhay, untuk mendirikan Nojorono.
Didirikan pada tahun 1932, inovasi terbesar Nojorono selama ini adalah rokok tahan air di mana ia juga memiliki hak paten atas temuannya ini. Produk ini dimungkinkan berkat penggunaan parafin dalam proses produksi rokok. Karena keunggulan water proof-nya ini, rokok produksi Nojorono sangatlah populer di kalangan pelaut dan nelayan.
Djambu Bol (1937)
Berdiri sebelum Indonesia merdeka, Pabrik Rokok Jambu Bol sempat terhenti ketika Jepang menginvasi Indonesia pada tahun 1942. Perusahaan ini menemukan pijakannya kembali pada tahun 1949 dengan memproduksi rokok kretek paper-wrapped, sebagai pengganti klobot yang diproduksinya sejak awal.Berbeda dengan perusahaan lain yang dimiliki oleh warga keturunan Cina, Djambu Bol adalah perusahaan pribumi terbesar di Indonesia yang pernah tercatat dalam sejarah. Pendirinya adalah seorang warga Kudus bernama Haji Roesydi Ma'roef. Berbeda pula dengan perusahaan lain, Djambu Bol berkonsentrasi hanya pada pasar luar Jawa, terutama Sumatera Utara yang mencapai 95 persen dari pangsa pasarnya. Sampai sekarang Djambu Bol tidak pernah menggunakan mesin melainkan lebih memilih mempertahankan tradisi rokok hand-made.
Djarum (1951)
Nama aslinya adalah Djarum Gramophon. Oleh Oei Wie Gwan nama ini diubah menjadi Djarum pada tahun 1951. Berbeda dengan perusahaan kretek umumnya, Djarum bukanlah perusahaan keluarga, pemilik sekarang tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun dengan pendiri pertamanya. Wie Gwan adalah tipikal pengusaha rokok sejati yang selalu melibatkan diri dalam proses produksi, misalnya dengan mencampur sendiri tembakau dengan saus.Dua merek pertama perusahaan ini diberi nama Djarum dan Kotak Ajaib. Awalnya hanya dipasarkan di wilayah Kudus, namun setelah kedatangn Wie Gwan diekspansi ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Setelah sempat menjadi yang terbesar di 1967, Djarum mulai menjajal pasar luar negeri pada tahun 1972. Langkah ini mengantarnya menjadi salah satu perusahaan kretek yang populer di luar negeri.
Tiga merek terkenal dari Djarum berikutnya adalah Djarum Filter (1976), Djarum Super (1981), dan Djarum Cigarillos—kretek berbentuk cerutu pertama di dunia. Untuk yang terakhir ini, Djarum belajar dari Oud Kampen Cigarillo Factory di Belanda. Pada tahun 1963, Wie Gwan meninggalkan perusahaannya kepada kedua anaknya, Budi dan Bambang.
Gudang Garam (1958)
Dilihat dari tanggal berdirinya, 26 Juni 1958, Gudang Garam memang termasuk yang paling muda. Namun dari segi volume produksi, perusahaan ini masih dianggap sebagai yang teratas. Bahkan untuk kategori klobot kretek—ini yang banyak orang tidak tahu—Gudang Garam merupakan pemimpin pasarnya sampai sekarang.Gudang Garam didirikan oleh Tjoa Ing Hwie (Surya Wonowidjojo), seorang perantau kelahiran Cina, 15 Agustus 1923. Setibanya di Indonesia, Ing Hwie bekerja di Cap 93, sebuah perusahaan rokok berdomisili di Jawa Timur. Setelah keluar dari Cap 93 pada tahun 1956, Ing Hwie kemudian mendirikan perusahaan sendiri di bawah nama Inghwie.
Mirip dengan Bentoel, nama Gudang Garam juga memiliki dimensi mistis; pada suatu malam, Ing Hwie bermimpi melihat sebuah gudang yang berdiri di seberang pabrik Cap 93. Sarman, karyawan setianya, menasehatinya untuk memasang gambar gudang tersebut pada kemasan rokok produksinya. "Kita harus membiarkan dua pintu terbuka, dua lagi setengah terbuka, dan satu tertutup. Jika semua pintu tertutup, kita akan merasa bahwa segalanya telah tercapai," kata Sarman.(13) Gudang Garam kita dipimpin oleh anak tertua Ing Hwie, Rachman Halim.
Perusahaan Asing.
Selain perusahaan lokal, di Indonesia berdiri pula perusahaan rokok asing, yakni PT BAT (British American Tobacco). Philip Morris, dan PT Rothmans of Pall Mall Indonesia. Selain perusahaan rokok, juga berdiri sejumlah perusahaan perasa makanan (food flavoring) asing yang menyuplai kandungan untuk saus rokok. Kehadiran mereka merupakan respon dari kebutuhan perusahaan lokal yang menginginkan diferensiasi rasa pada saus dengan cara menambahkan komponen impor. Polak and Schwarz adalah yang pertama membuka cabangnya di Indonesia, tepatnya di Jakarta, pada tahun 1957. Kebutuhan yang meningkat akan kandungan saus yang unik membuat perusahaan lain tergoda juga untuk menyusul membuka cabang di Indonesia. Setelah Polak and Schwars, datang kemudian Mane, Giavudan Roure, Firmenich, dan Quest.Buku: 4-G Marketing: A 90-Year Journey Of Creating Everlasting Brands
Comments
Post a Comment