Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Struktur Keseluruhan Masyarakat

Struktur Keseluruhan Masyarakat


                                                      BAB 3 

 

                       STRUKTUR KESELURUHAN MASYARAKAT



Gambaran keseluruhan dari masyarakat yang diambil dari hubungan antarpribadi (dan antarkelompok) seperti itu bukanlah tingkatan horisontal berdasarkan kelas atau kasta, melainkan tingkatan vertikal berdasarkan lembaga atau kelompok-kelompok lembaga. Susunan kelompok-kelompok sosial yang didasarkan atas organisasi vertikal ini menekankan segi persatuan dan menyebabkan timbulnya banyak sekali keretakan vertikal dalam masyarakat. Bahkan sekalipun kelas-kelas sosial seperti yang ada di Eropa dapat ditemukan di Jepang, dan bahkan sekalipun didapatkan sesuatu yang kira-kira menyerupai kelas-kelas yang dilukiskan di dalam buku-buku pegangan mengenai masyarakat Barat di Jepang, namun pada pokoknya dan pada kenyataannya dalam masyarakat lapisan-lapisan ini tampaknya tidak berfungsi dan tidak mencerminkan struktur sosial. Dalam masyarakat Jepang sesungguhnya yang menjadi persoalan bukan perjuangan buruh menentang para manajer atau kapitalis, melainkan bahwa Perusahaan A menggalang permusuhan terhadap Perusahaan B. Permusuhan demikian tidak ada dalam hubungan vertikal, melainkan pergeseran dari beberapa kedudukan paralel. Organisasi serikat buruh di Jepang, cita-cita dan ciri-ciri khusus mereka yang harus tampak dalam sepak terjang, tidak dapat dipahami tanpa analisa semacam ini. Antagonisme dan sengketa antara buruh dan manajemen di Jepang tidak dapat disangsikan lagi merupakan masalah "rumah tangga", dan walaupun dasar perselisihannya tidak berbeda dengan yang ada di seluruh dunia, namun sebab mengapa pertentangan itu di Jepang tidak dapat berkembang menjadi suatu masalah yang pengaruhnya amat kuat dan mendalam terhadap masyarakat Jepang sebagai keseluruhan hanya dapat ditemukan dalam struktur kelompok dan sifat masyarakat Jepang sebagai suatu totalitas.

Karena terjadi persaingan di antara kelompok-kelompok paralel yang sejenis, maka musuh selalu ditemukan di antara mereka yang tergolong dalam kategori yang sama. (Di dalam masyarakat-masyarakat lain kelompok-kelompok semacam itu dapat dipertautkan dengan ikatan-ikatan kerja sama yang merupakan kebalikan total, yaitu sejenis kekuatan dalam saling hubungan). Untuk melukiskan hal ini, persaingan timbul di antara macam-macam perusahaan baja, atau di antara perusahaan-perusahaan impor-ekspor. Di antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain terjadi pula hal yang sama; universitas yang satu bertentangan dengan universitas yang lain, sekolah menengah yang satu bermusuhan dengan sekolah menengah yang lain. Di daerah pedesaan persaingan timbul antara desa-desa yang berdekatan dan juga di antara rumah tangga-rumah tangga yang ada di satu desa. Di dalam masyarakat keagamaan, antara sekte-sekte Budis lama dan antara kelompok-kelompok religius yang baru berdiri, juga terjadi pertentangan. Dalam pemerintahan boleh jadi Kementerian Dalam Negeri bertentangan dengan Kementerian Luar Negeri.

Bila persaingan-persaingan ini diungkapkan secara sangat pragmatis maka yang menjadi hadiah perlombaan itu adalah pengharkatan. Suatu rekasi orang Jepang pada umumnya berbentuk demikian, "Harkat mereka lebih tinggi daripada kita, oleh karena itu..." Di antara organisasi-organisasi pemerintah kepangkatan diketahui dalam cara yang tidak resmi, walaupun wahananya cukup terbuka bagi mereka yang bersangkutan erat. Kementerian Keuangan, misalnya, ditempatkan di puncak, sementara Kementerian Pendidikan, agak rendah. Pada umumnya, mereka yang timbul lebih awal (yang mempunyai sejarah lebih lama) memiliki harkat yang tinggi, tetapi fakta bahwa pengharkatan dapat diubah melalui pemerolehan kekuatan politik dan ekonomi tambahan serta pengaruhnya, merupakan suatu faktor utama yang dapat membawa sesuatu pihak memenangkan perlombaan itu.

Protokol pengharkatan ini memperoleh contoh yang bentuknya tradisional, yaitu pemangkatan dalam masyarakat desa atas beberapa rumah tangga. Ada banyak sekali penelitian mengenai hirarki dalam politik desa, hasil riset para sosiolog pedesaan di Jepang; tentu saja, para penduduk desa sadar benar akan hal itu, sebagaimana penduduk suatu desa Hindu sadar benar akan kasta. Hirarki pemangkatan biasanya ditentukan berdasarkan lamanya suatu keluarga telah menetap di desa tertentu. Dengan demikian keluarga yang lebih tua cenderung ditempatkan lebih tinggi. Namun tingkat kesejahteraan keluarga juga merupakan satu faktor lain (walaupun tidak yang terpokok) dalam penentuan harkat keluarga. Sejalan dengan kepangkatan yang amat stabil itu, ada pula satu ada yang dilakukan masyarakat desa, yang setiap tahun menentukan urutan tingkatan keluarga-keluarga di desa itu. Daftar itu disebut kotohyo, di mana semua keluarga di desa itu didaftar menurut tingkatannya, dari yang paling atas hingga paling bawah, dengan tingkatan-tingkatan intern menjadi beberapa kelas, menurut besarnya penghasilan dan kesejahteraan, dan efisiensi dalam pemanfaatan uang. Penilaian ini dilakukan oleh para anggota dewan desa melalui pengamatan atas kehidupan para penduduk desa sehari-hari. (Kotohyo ini tidak dimaksudkan terbuka bagi orang luar, dan sejauh pengetahuan saya, belum ada penelitian spesifik terhadapnya, kecuali bahwa penggunaannya yang luas dan tradisinya berasal dari masa-masa Tokugawa). Dengan demikian susunan pemangkatan biasanya lain dari pendaftaran resmi yang mencatat pendapatan untuk menarik pajak, yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Catatan ini tidak dirancang semata-mata untuk memberikan gengsi pada mereka yang dalam daftar paling tinggi letaknya; catatan atau juga membina kesejahteraan masyarakat, karena keluarga-keluarga yang ditempatkan diurutan paling tinggi juga menyumbangkan banyak uang untuk membiayai kegiatan-kegiatan masyarakat. Bila ekonomi desa stabil maka baik pemangkatan sosial maupun ekonomi niscaya akan berpadu jadi satu.

Pemangkatan semacam itu sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan susunan sosial dan merangsang persaingan di antara keluarga-keluarga dari tataran yang relatif sama. Para petani yang lanjut usia hingga sekarang masih ingat akan cerita-cerita dan anekdot mengenai persaingan semacam itu. Misalnya, orang akan berusaha sungguh-sungguh bangun lebih awal daripada tetangganya, karena ada anggapan bahwa jumlah jam kerja yang nyata akan sepadan dengan volume hasilnya. Maka untuk mencegah agar tetangga tidak bangun pada waktu yang sama, mereka akan membuka pintu pelan-pelan sekali dan mengangkat setiap alat pertanian yang dapat menimbulkan bunyi, misalnya bajak, sehingga tidak berisik waktu melewati rumah tetangga. Tingginya tingkat persaingan kadang-kadang menimbulkan ekses yang tidak sehat. Seorang wanita tua yang tinggal di desa yang relatif miskin berkata pada saya bahwa kegembiraan hidupnya yang paling besar ialah bila lumbung tetangganya terbakar.

Persaingan untuk memperoleh harkat tinggi di antara keluarga-keluarga, sekali menjadi masalah besar di desa-desa yang terikat oleh tradisi, akan mengambil bentuk modern pula sebagai masalah besar masyarakat kota dewasa ini. Pengharkatan sekolah menengah misalnya, sangat paralel dengan pengharkatan keluarga tradisional. Memang benar bahwa sekolah yang lebih lama didirikan dan mapan mendapatkan tempat terhormat, tetapi ada juga beberapa perubahan yang disebabkan oleh rekor tahunan mengenai jumlah lulusan sekolah menengah tersebut yang dapat diterima setelah ujian masuk di universitas-universitas yang terhormat pula. Seorang eksekutif pada perusahaan baja yang tergolong besar secara terbuka menyatakan bahwa tujuan perusahaannya adalah selangkah lebih maju dari pada Jawata Steel, yang tempatnya paling depan di antara perusahaan-perusahaan baja di Jepang. Persaingan demikian di antara beberapa perusahaan tentu saja menguntungkan pengembangan ekonomi dengan memusatkan energi masing-masing perusahaan. Persaingan juga merupakan unsur penting baik di dalam usaha mempersatukan para anggota kelompok seperti yang selalu dicita-citakan oleh para manajer Jepang maupun sebagai faktor kuat yang mengembangkan sikap mandiri dan menutup diri (seperti yang telah diperlihatkan dalam Bab Dua).

Tetapi sekaligus persaingan langsung semacam itu menyebabkan pemborosan energi tanpa dapat dielakkan dan tidak berdasar. Dalam perdagangan luar negeri pemandangan anjing makan anjing bahwa banyak perusahaan menawarkan barang yang sama kepada pembeli yang sama amat dikenal orang. Di Jepang hanya berkata, "Saya pikir sayuran laku juga", dan para petani semuanya akan berteriak 'Saya pikir begitu juga, saya berpendapat begitu pula", dan semua menanam sayuran di ladangnya. Pada tahun berikutnya sayuran membanjiri pasar dan membusuk di ladang. Satu atau dua penerbit berhasil dengan menerbitkan buku-buku bersampul kertas biasa dan setiap perusahaan mulai berusaha menerbitkan buku-buku dengan sampul demikian, dengan pengarang lama yang menceritakan hal-hal yang sama pula. Salah seorang penerbit terhormat pada suatu hari datang pada saya dan bertanya apa pendapat saya mengenai lini baru buku bersampul kertas biasa yang diterbitkannya. Saya bertanya mengapa mereka juga menerbitkan lini tambahan itu seperti penerbit-penerbit lainnya. Jawabannya: "Anda akan terpaksa berbuat demikian, soalnya lini tambahan itu laris. Tidak ada penerbit lain sebesar kita yang tidak menerbitkan lini buku bersampul kertas biasa sekarang ini." Dan selanjutnya saya diberitahu bahwa perusahaan-perusahaan penerbitan sedang mempercepat kecenderungan terbaru agar buku-buku menjadi komoditi produksi massa yang dapat dibeli oleh setiap orang, dapat dibuang setelah dibaca dan kemudian diganti dengan buku baru lagi secara cepat. Tampak pula bahwa para pengarang semata-mata menjadi pegawai yang digaji seperti redaksi dalam perusahaan-perusahaan penerbitan. Bila tidak begitu, perusahaan-perusahaan penerbitan itu akan menanggung risiko gagal mendapatkan kelas "modern" dalam kualifikasi masyarakat.

Pemborosan demikian merupakan salah satu segi kemajuan modern di Jepang. Namun banyak perusahaan mempertahankan praktek tradisional untuk mencapai prestasi melalui persaingan, tanpa memperhitungkan kemungkinan untuk mengadakan diversifikasi. Tampaknya mereka tidak akan puas bila tidak melakukan hal-hal yang sama. Dan mereka melakukan hal itu karena mereka tidak mau kalah dalam perlombaan mencapai harkat tinggi, mereka tidak mau ketinggalan kereta api. Tetapi sekalipun tidak dapat disangsikan bahwa Jepang lebih baik daripada sekian negara yang terbelakang, dengan tradisi pembagian tenaga kerja yang mutlak seperti yang begitu tajam ada di India, kiranya diperlukan suatu cara untuk mengurangi pemborosan sumber daya bangsa yang tidak dapat diterima lagi semacam itu.

Persaingan yang tampaknya menghasilkan kemandirian dan isolasi tiap lembaga itu sekaligus juga menyebabkan didirikannya tatanan hirarkis di antara lembaga-lembaga yang sejenis; dengan demikian, sekalipun saling bermusuhan, mereka bersama-sama membentuk suatu lingkungan sosial di mana mereka terikat amat mendalam. Jadi sesungguhnya, mereka tidak sama sekali terpecah-pecah; sebaliknya, sejumlah lembaga sejenis terhimpun, sekalipun berdasarkan unsur-unsur yang negatif. Mereka terjerat dalam kelompok-kelompok seperti perusahaan industri berat, perusahaan jasa, instansi pemerintah, penerbit, universitas dan lain-lain. Dalam setiap lingkungan pertalian satu badan atau lembaga dengan yang lain-lain yang bersangkutan dalam suatu kegiatan yang sama sedemikian mendalam sehingga amat mengagumkan, betapa eratnya sistem komunikasi di antara mereka, sekalipun masing-masing akan berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan usahanya dari yang lain. Dikatakan bahwa suatu serikat pengusaha sejenis perlu mempekerjakan sejumlah "mata-mata industri" untuk memperoleh informasi rahasia berkenaan dengan perusahaan lain yang berhasil. Jika diminta setiap orang yang terlibat dalam situasi semacam itu boleh jadi segera mengambil sikap membuat garis besar hirarki dalam bidangnya, karena susunan pemangkatan dalam beberapa lembaga pada umumnya diketahui orang. Juga di luar kelompok yang bersangkutan terdapat suatu gambaran yang jelas sekali mengenai susunan pemangkatan.

Tentu saja, hirarki pemangkatan ini juga terdapat di setiap bidang. Sekali tata susunan itu ditetapkan, ia akan berlangsung terus untuk jangka waktu yang cukup lama walaupun mengalami masa pasang-surut dalam situasi yang nyata. Pada pokoknya hal ini disebabkan oleh adanya suatu kriteria pokok dari pemangkatan itu, yakni relatif usia historis lembaga yang bersangkutan. Lembaga yang rentang sejarahnya lebih panjang yang mempertahankan kedudukan yang benar-benar terpandang memperoleh sejumlah keuntungan dalam kegiatan-kegiatannya, melebihi lembaga yang kedudukannya ada di bawahnya. Sekali status suatu lembaga diketahui berada di puncak, status ini dipertahankan bahkan sekalipun kegiatan lembaga yang bersangkutan tidak sebagus lembaga yang kedudukannya lebih rendah; dengan bantuan sejumlah fakta yang kuat diperlukan waktu untuk mengadakan perubahan pemangkatan demikian. Misalnya, satu perusahaan yang kedudukannya di Jepang top mungkin tidak perlu perusahaan yang prestasinya paling baik dalam tahun-tahun terakhir. Yang pokok, perusahaan tetap beruntung sementara nama dan produk perusahaan itu sudah dikenal orang secara luas sejak lama.

Lembaga-lembaga yang kedudukannya tergolong "puncak" disebut ichi-ryu (tataran pertama) suatu istilah favorit bagi orang Jepang karena menunjukkan penghargaan yang besar di lingkungan sosial. Ichi-ryu gaisha berarti perusahaan yang menempati kedudukan "puncak"; ichi-ryu-ko adalah sekolah yang menempati kedudukan "puncak". Lembaga-lembaga semacam itu menyandang gengsi yang paling tinggi dan berada di ujung tertinggi hirarki di bidang yang bersangkutan. Ichi-ryu biasanya menyangkut lebih dari satu lembaga saja, sekalipun di dalam tataran itu juga ada pemangkatan lagi dan ada satu lembaga yang terhitung paling tinggi. Organisasi-organisasi di bidang-bidang tertentu yang tergolong ichi-ryu biasanya berhubungan erat satu sama lain, dan terpisah oleh celah yang besar dengan kategori pemangkatan lainnya, misalnya ni-ryu (tataran kedua). Tetapi antara ni-ryu dan san-ryu (tataran ketiga) tampaknya tidak terdapat pemisahan yang jelas, kedua tataran itu sebaliknya mencakup lembaga mana pun juga yang tidak tergolong ichi-ryu. Ichi-ryu berarti yang paling utama atau ideal. Pemangkatan masing-masing lembaga di dalam ni-ryu dan san-ryu tidak selalu jelas. Salah satu kunci untuk mengadakan perbandingan pangkat masing-masing adalah besarnya sumbangan tiap-tiap lembaga kepada dana umum. Bila A, perusahaan yang memiliki kedudukan tertinggi dalam bidang tertentu memberikan x juta rupiah maka perusahaan-perusahaan lain akan memberikan sumbangan sesuai dengan kedudukan mereka, B misalnya menyumbangkan sepertiga dari x juta rupiah, perusahaan C menyumbangkan sepersepuluh dari x juta rupiah dan seterusnya. Dengan cara yang persis sama sehubungan dengan dana umum untuk pesta bersih desa, setiap keluarga di desa itu akan memberikan sumbangan sesuai dengan perhitungan atas dasar kotohyo, kedudukan sosial dan ekonomis setiap keluarga dalam masyarakat suatu desa, yang sudah diketahui umum.

Perusahaan-perusahaan yang tergolong dalam tataran ni-ryu dan san-ryu selalu bersaing satu sama lain dan berusaha keras untuk memperoleh peningkatan ke tataran yang lebih tinggi, status ichi-ryu. Kesadaran akan kedudukan (pangkat, harkat) yang selalu ada ini menyebabkan perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu tataran terdorong terus untuk saling bersaing. Benar-benar tampak bahwa peningkatan sosial demikian lebih dicita-rasakan dan dihargai daripada hasrat untuk menunjukkan bahwa perusahaan mencapai laba lebih baik: peningkatan sosial itulah yang mendorong perluasan dan tingkat investasi yang lebih tinggi, atau mendorong dibangunnya kantor-kantor dan pabrik-pabrik modern yang lebih menarik lagi. Dalam hal ini nilai-nilai orang Jepang diarahkan lebih pada tujuan-tujuan sosial ketimbang tujuan-tujuan ekonomis. Kesimpulan ini juga timbul dari suatu pertimbangan psikologi sosial seseorang.

Susunan kedudukan di antara lembaga-lembaga sama dengan susunan kedudukan yang diperjuangkan seseorang. Di dalamnya status dan gengsi seseorang melekat sepadan dengan harkat orang yang bersangkutan dalam lembaga, dan bila status dan gengsi berkaitan dengan lembaga, setaraf dengan kedudukan lembaga itu dalam masyarakat. Biar tukang ketik dan sopir sekalipun akan bangga bila menjadi warga perusahaan yang memiliki kedudukan terhormat, sebab dengan demikian ia dapat merasa unggul bila dibandingkan dengan tukang ketik atau sopir dari perusahaan yang kedudukannya lebih rendah, sekalipun jumlah gajinya sama.

Orang Jepang tidak terlalu pusing akan latar belakang sosial, karena mereka lebih mementingkan hubungan dengan lembaga. Karena hirarki setiap bidang dipahami dan dikenal luas, dan karena hirarki dalam masing-masing lembaga juga meluas ke luar lembaganya, maka keyakinan bersama ini memberikan gambaran yang jelas sekali akan tempat seseorang dalam satu lembaga. Di antara para direktur perusahaan, kedudukan mereka akan disesuaikan dengan tingginya penghargaan atas perusahaannya; seorang kepala bagian dalam perusahaan yang besar dan terhormat kedudukannya, akan memperoleh tempat yang sama dengan seorang direktur perusahaan kecil; seorang profesor di universitas kecil akan disamakan dengan seorang dosen biasa atau asisten profesor dari universitas yang terhormat, dan lain-lain. Dalam hal ini, susunan kedudukan yang merupakan dasar struktur masyarakat Jepang menjalankan fungsi yang sama dengan tingkatan kasta atau klasifikasi golongan, yang memberi tempat tertentu pada seseorang. Menurut hemat saya, inilah sebabnya mengapa orang Jepang tidak begitu mengindahkan perbedaan kelas. Mereka lebih tertarik pada pangkat (harkat, kedudukan) mereka yang relatif sehingga perhatian mereka lebih terpusat pada diri sendiri dan mereka yang berada dekat sekali di sekitarnya. Pada umumnya orang Jepang benar-benar tidak mampu melihat masyarakat sebagai lapisan-lapisan di mana orang dapat menempatkan diri, tetapi mereka menggunakan kriteria pentarafan untuk menunjukkan perbedaan yang relatif sangat kecil di antara mereka dan orang lain.

Bangunan hirarki yang didasarkan atas susunan kedudukan (harkat, pangkat) berbagai lembaga itu selanjutnya diperumit lagi oleh kecenderungan untuk mengorganisasi beberapa lembaga menurut rumusan ʌ sama seperti yang dilakukan untuk membentuk tiap-tiap kelompok. Misalnya, adalah biasa bagi suatu perusahaan besar atau pabrik industri untuk mengikatkan diri pada sejumlah perusahaan yang lebih rendah (anak perusahaan maupun afiliasi), yang tidak sedikit.

Sifat dan kadar saling hubungan antara "perusahaan induk" dan "anak perusahaan" amat berlain-lainan. Suatu "anak perusahaan" mungkin terjadi dari bagian perusahaan asal yang kemudian dipisahkan, atau dengan menanamkan sebagian dari modal perusahaan asal; atau, perusahaan mandiri yang lebih kecil mengadakan hubungan induk dan anak perusahaan dengan perusahaan lain yang lebih besar. Tetapi, beberapa anak perusahaan tingkat mandirinya cukup besar terhadap perusahaan induk serta mempunyai otonomi yang jauh lebih besar daripada yang dimiliki anak perusahaan di Amerika. Tentu saja ada pula beberapa contoh anak perusahaan yang berkembang dan berubah sedemikian sukses sehingga mencapai status yang sebanding dengan perusahaan induknya. Di pihak lain, satu anak perusahaan dapat saja terikat demikian eratnya pada perusahaan induk, yang membentuk suatu organisasi hirarkis yang khusus bersama dengan perusahaan-perusahaan lain yang diafiliasikan dengan mereka pada berbagai tingkatan. Biasanya organisasi hirarkis ini dipusatkan pada perusahaan yang besar, yang jumlah pegawainya, katakanlah, lebih dari 1000 orang. Dalam pada itu ditingkat yang paling rendah mungkin terdapat suatu perusahaan yang sangat kecil yang diusahakan oleh para anggota keluarga dalam satu rumah tangga saja.

Sebagai keseluruhan sistem itu lebih tampak sebagai sistem yang berpangsa-pangsa, dalam istilah antropologi sosial. Tetapi yang penting bagi macam-macam perusahaan yang merupakan satu kelompok bukanlah pemahaman akan sistem itu sebagai keseluruhan. Yang penting adalah kaitan antara dua hal berikut ini: sesuatu (X) yang memberikan informasi dan perintah kepada ego (lembaga) dan sesuatu lainnya (Y atau Z) yang menerima informasi dan perintah dari ego (lihat Gambar 4 di bawah ini).

Gambar 4 Masyarakat Jepang

Jumlah sesuatu yang lain seperti Y atau Z sesungguhnya dapat lebih dari dua, tetapi saling hubungan dengan masing-masing terbina secara tersendiri. Demikian pula, mungkin ada lebih dari satu X, tetapi pasti ada satu X yang istimewa yang paling erat mengikatkan diri dan merupakan preseden atas yang lain-lain.

Oleh karena itu sistem yang berpangsa-pangsa ini tidak merupakan inti pembentukan kelompok. Sistem ini lebih merupakan hasil akumulasi atau pengembangan susul-menyusul dari suatu pertalian di antara dua lembaga. Kaitan di antara dua lembaga khusus sangat penting: bagi lembaga yang kedudukannya lebih rendah kaitan itu merupakan jalan untuk memperoleh pesanan bisnis, sementara mereka yang kedudukannya lebih tinggi dengan demikian dapat berhubungan dengan subkontraktor. Dengan demikian kaitan-kaitan itu memuat kepentingan-kepentingan ekonomi timbal balik yang sifatnya tetap. Saling hubungan itu menciptakan kredit. Makin lama saling hubungan itu berlangsung, makin tinggi pula kreditnya.

Karena suatu organisasi merupakan pelipatgandaan dari saling hubungan semacam itu, mungkin sering terjadi bahwa tingkatan yang lebih rendah kedudukannya tidak mengenali sumber informasi atau bisnis. Puncak kurang menaruh perhatian untuk menghubungi tingkatan yang paling rendah sehingga jangkauan tanggung jawab tidak lebih jauh dari mereka yang memiliki hubungan langsung dengan ego. Jadi jelas bahwa dalam hirarki seperti ini makin tinggi kedudukan satu perusahaan, makin luas bisnisnya, tetapi makin berkurang risiko yang dipikulnya. Bila terjadi kebangkrutan yang menderita adalah mereka yang letaknya ada di dasar bagan. Mereka yang posisinya tinggi tetap tidak terpengaruh dan semata-mata memutuskan hubungan dengan perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan mereka yang dipengaruhi oleh kebangkrutan di tingkat-tingkat yang lebih rendah. Dalam hal dua perusahaan yang berhubungan secara langsung, salah satu perusahaan yang tatarannya lebih tinggi akan terbebas dari kebangkrutan.

Gugusan semacam ini (yang ada di semua sektor bisnis di Jepang) tampak paling jelas di bidang-bidang seperti produksi otomobil dan industri pembangunan. Toyota Motor Corporation, satu di antara perusahaan-perusahaan otomobil yang terbesar di Jepang, merupakan salah satu contoh yang cocok dan jelas. Toyota Motor Corporation merupakan pusat dari dua belas perusahaan yang dikenal sebagai Toyota Group. Perusahaan-perusahaan ini berhubungan erat sekali dengan Toyota Motor Corporation melalui kegiatan-kegiatan atau bisnis seperti penjualan, ekspor, produksi suku cadang dan suplai bahan. Mereka membina saling hubungan langsung dengan Toyota Motor Corporation (istilah Jepangnya, chokkei kigyo, yang berarti perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan langsung). Toyota Group sering mengadakan pertukaran eksekutif puncak dari perusahaan-perusahaan yang termasuk di dalamnya; para anggota keluarga Toyota (saudara, anak-anak, cucu, keponakan dan menantu) semuanya memperoleh kedudukan puncak, meskipun jabatan presiden dan direktur tak dapat tidak eksklusif diperuntukkan para anggota keluarga (lihat halaman 152-153). Bila terjadi keadaan darurat, modal juga dapat dipindah-pindahkan dengan cepat dan mulus di antara perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan secara langsung ini.

Selain kelompok perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan langsung ini ada kurang lebih dua ratusan pabrik yang bernaung di bawah Toyota Motor Corporation, atas dasar saling hubungan linier (istilah Jepangnya keiretsu). Kebanyakan di antara pabrik-pabrik ini adalah spesialis pembuat suku cadang, sekalipun sifat hubungan masing-masing dengan Toyota Motor Corporation bervariasi seperti halnya batas-batas operasi yang dilakukan bagi perusahaan induk. Beberapa perusahaan berkaitan dengan Toyota Motor Corporation melalui investasi modal sementara beberapa lainnya mungkin lebih merupakan perusahaan yang mandiri. Perusahaan K misalnya, mempekerjakan 50 orang dalam suatu pabrik yang luasnya 330 meter persegi dan memproduksi bermacam-macam tipe per. Seluruh hasil produksi perusahaan K secara eksklusif diterima oleh perusahaan C dan dari perusahaan C hasil produksi itu disampaikan kepada perusahaan induk, Toyota Motor Company, serta perakit otomobil lainnya. Di bawah perusahaan K selanjutnya ada serangkaian perusahaan kecil yang bekerja untuk K. Sebagian besar dari perusahaan-perusahaan kecil itu adalah industri perumahan yang mempekerjakan tidak lebih dari satu kepala keluarga dan para anggota keluarganya.

Sangat menarik untuk diperhatikan bahwa hubungan-hubungan ini (yang oleh orang Jepang disebut hubungan induk dan anak atau oyako) di antara beberapa perusahaan industri yang modern memiliki struktur yang sama dengan struktur hubungan di antara keluarga-keluarga petani tradisional berdasarkan tuan tanah dan pembantunya di pedesaan Jepang (untuk hal yang disebut dozoku atau oyako-kankei ini lihatlah Nakane, Kinship and Economic Organization in Rural Japan, London, 1967, hal 82 - 132).

Dengan demikian tampak bahwa prinsip organisasi dengan saling hubungan induk-anak membentuk skema dasar organisasi Jepang. Prinsip ini terdapat dalam hampir semua lembaga di Jepang: universitas yang kedudukannya tinggi, misalnya, mengikatkan diri pada sejumlah universitas lokal yang lebih kecil dengan memberikan beberapa lulusannya sebagai staf pengajar. Komunitas religius juga memberikan contoh khusus mengenai sistem berpangsa ini; kuil-kuil (dalam Budisme) dan tempat sembahyang (dalam Shintoisme) diorganisasikan sesuai dengan sistem pengharkatannya sendiri. Organisasi hirarki yang ada di lembaga-lembaga industri, karena, kecuali beberapa sekte asli, kebanyakan lembaga religius timbul dari gerakan pihak yang memisahkan diri dari angkatan lama. Bermacam-macam sekte Budis mewujudkan pola organisasi ini di sepanjang sejarah Jepang. Setiap sekte mempunyai kuil atau biara utama (yang menjadi tempat kelahirannya) yang dianggap sebagai puncak organisasi dan mengendalikan kuil atau biara cabang yang lebih rendah kedudukannya. Setiap cabang yang lebih rendah kedudukannya memiliki tempat tersendiri dalam organisasi dan mengendalikan kuil atau biara cabang yang lebih rendah kedudukannya. Setiap cabang yang lebih rendah kedudukannya memiliki tempat tersendiri dalam organisasi, ditentukan berdasarkan waktu dan cara pendiriannya di dalam hirarki. Sekte ini dengan demikian mengembangkan otonomi yang sangat terpusat. Adalah sangat menarik untuk mengadakan perbandingan antara pola organisasi ini dengan organisasi monastik di Tibet, Muangthai, Burma dan sebagainya, di mana tidak pernah dikembangkan organisasi hirarki seperti yang dikembangkan di Jepang. Di Jepang gugusan pengelompokan demikian kuatnya sehingga para bikku Budis dari berbagai sekte yang berlainan nyaris tidak dapat berhimpun, dan hampir mustahil mengadakan kebaktian bersama-sama. Para awam demikian pula. Mereka digolong-golongkan menurut sekte masing-masing secara tegas. Dan para anggota keluarga tertentu selalu dikaitkan dengan sekte atau kuil tertentu pula, tetapi tidak pernah dengan dua sekte atau kuil. Dengan demikian tidak ada gunanya  untuk mengundang bikku dari sekte yang berbeda atau memberikan sumbangan bagi kuil yang lain, kecuali untuk keluarga aristokrat yang tua dan kaya, yang biasa memberi sumbangan pada beberapa kuil.

Pola yang sama tampak jelas dalam organisasi kelompok religius baru seperti misalnya Tenrikyo dan Soka-gakkai yang khususnya berhasil dalam masa sesudah Perang Dunia Kedua. Tenrikyo mulai jauh lebih awal daripada Soka-gakkai dan telah berkembang dengan berhasil sebelum perang. Dalam sistemnya, yang merupakan standar adalah gereja utama (yang pertama), yang mendominasi sejumlah gereja cabang (digolong-golongkan menurut klasifikasi mayor dan minor), yang tersebar di seluruh Jepang dan di antara masyarakat Jepang yang besar di perantauan seperti Hawaii atau Brasilia. Banyak gereja individual diikatkan pada gereja-gereja ini (termasuk yang utama), yang beberapa di antaranya hanya sedikit saja lebih besar daripada ukuran rumah tangga. Para anggota perseorangan dengan cara entah bagaimana dihimpun dalam salah satu dari sekian banyak gereja ini sehingga dalam kebersamaan membentuk suatu komunitas besar Tenrikyo. Afiliasi gereja seseorang terjadi karena perantaraan gereja orang lain yang mengajak melakukan penggabungan, ke dalam Tenrikyo. Dengan demikian sistem organisasi ini memintas batas-batas komunitas lokal. Misalnya, suatu cabang gereja yang besar mungkin dikenal menurut daerah prefektorat tempat gereja itu didirikan (misalnya padanannya di Indonesia adalah Gereja Kristen Jawa Barat, Gereja Kristen Jawi Wetan), tetapi para anggotanya tidak harus penduduk dari daerah prefektorat tersebut. Dalam tahap yang lebih kemudian pada perkembangannya, ketika jumlah anggota demikian meningkat sehingga ada sejumlah besar anggota tinggal di daerah yang sama, maka dilakukanlah pembentukan kelompok baru menurut daerah setempat, yang memintas garis-garis vertikal. Tetapi pengelompokan horisontal ini sifatnya hanyalah melengkapi, sedangkan urat nadi pokok dari organisasi tetap saja garis-garis vertikal.

Di samping kaitan dengan lembaga-lembaga sejenis baik yang lebih besar maupun yang lebih kecil, setiap lembaga terus-menerus mengadakan hubungan dengan jajaran lembaga yang lain, misalnya lembaga-lembaga yang memberikan jasa yang diperlukan; dan secara bersama-sama mereka membentuk suatu kelompok fungsional yang lain. Bank, suatu perusahaan asuransi, suatu pabrik industri, perusahaan ekspor-impor, perusahaan pelayaran dan banyak operasi yang berkaitan dapat membentuk suatu kelompok (tentu saja ada unsur-unsur komponen Zaibatsu. Zaibatsu melakukan monopoli bukan hanya terbatas pada kepentingan tertentu, tetapi mencakup berbagai ragam kepentingan yang luas dalam industri, misalnya pertambangan, logam, teknik mesin, peralatan dan mesin-mesin listrik, tekstil, kertas, semen, gelas, kimia, pembangunan kapal, pelayaran, perdagangan dalam dan luar negeri, perbankan dan asuransi. Lihat G.C. Allen, A Short Economic History of Modern Japan, New York, 1963, hal. 134.
Meskipun Zaibatsu cerai berai pada masa pendudukan Amerika, tetapi prinsip-prinsipnya tetap hidup tanpa kelihatan.

Di dalam kelompok, berbagai tugas dan kewajiban demikian banyaknya sehingga kecil saja peluang bagi orang luar untuk masuk menggabungkan diri. Misalnya dikisahkan seorang pendisain yang terkenal berkebangsaan Perancis yang diundang untuk mempertunjukkan koleksinya oleh satu di antara sekian toko serba ada yang terbesar di Tokyo dan minta bahan tertentu untuk beberapa di antara disainnya. Sayangnya, bahan yang diminta ini tidak dibuat oleh perusahaan tekstil yang mensuplai toko serba ada tersebut, maka perancang tersebut meminta agar toko serba ada itu membeli bahan tersebut dari perusahaan tekstil yang lain. Akhirnya pendisain tersebut harus menarik keinginannya karena menghadapi penolakan keras dari pihak toko serba ada tersebut yang ngotot mengatakan bahwa perusahaan tekstil yang membuat bahan tertentu yang diminta itu belum mengadakan hubungan dagang dengannya.

Di Jepang ada etika yang kelihatan tegas di mana-mana, yaitu bahwa sekali suatu hubungan dijalin, hubungan itu akan dipelihara terus sekalipun secara ekonomi merugikan. Soalnya kerugian yang waktu itu dipikul mungkin akan kembali lagi di masa yang akan datang, karena hubungan yang kokoh itu mengembangkan hubungan kepercayaan yang tinggi yang dimaksudkan untuk kepentingan masing-masing pihak. Tingkat mandirinya suatu lembaga yang terpisah sangat minim di Jepang, sementara bagi lembaga yang termasuk dalam kelompok tertentu tinggi. Setiap kelompok secara informal dikenal "anggota kelompok A" atau "pengikut garis A". Kata kei, yang menunjukkan hubungan keturunan atau genealogis, melambangkan sistem sosial Jepang tersebut.

Satu penelitian mengenai hubungan antarlembaga itu di setiap kelompok mengungkapkan cara kerja mekanisme struktural yang ada dalam suatu lembaga: ketakmobilan, baik di dalam maupun di antara kelompok-kelompok. Karena itu, suatu kelompok pada tingkat mana pun diorganisasi secara vertikal tetap memelihara solidaritas dan kesendiriannya. Karena itu pulalah maka setiap unsur yang terbina di dalam badan kelompok tersebut benar-benar tidak dapat diubah. Jadi afiliasi satu-satu menjadi satu himpunan itu demikian kuat terpatri dan ikut memelihara susunan di dalam struktur masyarakat secara keseluruhan. Masalahnya tidaklah sesederhana "kesetiaan", karena struktur kelompok tersebut amat menyolok. Satu masyarakat yang memiliki tipe organisasi sosial semacam ini tidak secara spontan menghimpun sumber daya dari sediaan yang dapat diambil oleh setiap kelompok kapan saja diperlukan. Dalam sistem organisasi ini, karenanya, satu kelompok cenderung mengembangkan sikap untuk berdiri sendiri sehingga dengan sendirinya mampu berfungsi; bila tidak, kelompok tersebut tidak akan dapat bertahan.

Hasrat untuk berdiri sendiri dan juga kehendak yang masih lebih besar lagi untuk sukses bersaing melahirkan suatu sifat unik dari lembaga yaitu keseragaman pola di antara lembaga-lembaga yang kegiatan dan kepentingannya sejenis. Kegiatan dan jajaran kepentingan setiap unit Zaibatsu dan dari perusahaan-perusahaan berbentuk kelompok yang lebih besar sekarang ini menunjukkan persamaan yang menyolok. Persamaan pola semacam ini berasal dari dorongan keras untuk bersaing pada setiap lembaga atau kelompok untuk meniru pola lembaga yang sejenis yang tempatnya ada di puncak hirarki: pesaing dan lawan semuanya mencari sumber keberhasilan lembaga yang berada di puncak dalam pola operasinya. Demikianlah  maka "pola standar" selalu cenderung tampak dalam setiap bidang kegiatan.

Keunggulan ciri pola standar tersebut ialah bahwa akan mencakup jajaran kepentingan yang luas dan mencakup banyak pokok masalah atau jasa yang berlain-lainan, sehingga lengkap menjadi satu paket jasa yang pada dirinya sendiri dapat memenuhi segala kepentingan pelanggan. Bagi satu di antara harian terbesar di Jepang masing-masing mencakup sirkulasi 5 juta eksemplar. Masing-masing harian menerbitkan koran pagi dan koran sore. Cakupan isi dan tata letaknya sangat serupa. Di samping isi yang biasanya ada dalam koran harian, misalnya berita dalam dan luar negeri, berita olah raga, kolom untuk wanita dan iklan, masing-masing juga menyajikan tulisan dari para sarjana berbentuk esai, tulisan para kritikus, para seniman dan penulis dari macam-macam bidang, termasuk tinjauan sastra; masing-masing menyajikan cerita bergambar dan satu atau dua kisah fiksi bersambung yang biasanya akan habis dalam beberapa bulan. Tulisan-tulisan ini dimaksudkan untuk menarik perhatian dari para intelektual hingga buruh. Gaya mereka dan susunan letak kolom-kolom serta isi demikian miripnya di antara ketiga harian terbesar tersebut sehingga menimbulkan kesan bahwa bagi suatu harian di Jepang tidak tersedia alternatif lainnya. Ciri-ciri yang membedakan mereka demikian kecilnya sehingga hampir tidak ada perlunya untuk berlangganan lebih dari satu harian, kecuali untuk mengumpulkan setiap detail berita atau untuk menikmati kelainan bagaimanapun kecilnya dalam cara memberikan laporan. Ketiga harian itu sesungguhnya bersaing keras untuk memperebutkan tempat paling atas di dalam hirarki.

Pola "satu paket" juga tampak jelas dalam lembaga-lembaga pendidikan. Universitas-universitas baru  yang didirikan dalam periode sesudah perang (dan sekarang ada lebih dari delapan ratus kolese atau universitas di Jepang) mengikuti pola dari berbagai universitas yang lebih tua dan mapan, yang menduduki tempat puncak. Mereka mencakup segala bidang ilmu, ilmu-ilmu alam, teknologi, ilmu-ilmu manusia dan ilmu sosial, dan tidak dapat mengembangkan kekuatan khusus di bidang tertentu. Akibatnya universitas-universitas yang berada dalam kedudukan puncak, yang memiliki dana dan gengsi yang lebih besar memonopoli setiap bidang: mobilitas baik dari para dosen maupun mahasiswa di antara lembaga-lembaga itu amat terbatas. Situasi semacam ini menyebabkan pemangkatan yang secara terbuka dan diakui umum di antara universitas-universitas.

Dan universitas yang dianggap berada di puncak mampu memonopoli setiap bidang akademis dan dengan sarjana masing-masing yang juga dinilai berdasarkan ranking universitasnya. Hal ini tentu saja mempunyai akibat langsung dalam hal peluang kerja untuk seorang sarjana, yaitu bahwa perusahaan yang berada dalam kedudukan puncak di antara sesamanya hanya merekrut para sarjana dari universitas-universitas yang juga berada dalam posisi puncak. Bahkan ada perusahaan yang tidak memberikan peluang pada sarjana lulusan universitas kelas rendah untuk menyampaikan lamaran kerja. Dengan demikian status universitas dan perusahaan saling berkaitan begitu dekatnya dan sepertinya kelihatan jalur langsung dari universitas ke perusahaan tertentu.

Perkembangan pola standar berdasarkan prinsip "satu paket" ini juga tampak jelas di bidang-bidang yang lebih sederhana. Salah satu contoh yang sangat menyolok adalah makan siang yang disiapkan oleh stasiun setempat dan dijual di restoran-restoran stasiun kereta api di Jepang. Satu besek makan siang yang disebut makunouchi berisi setiap jenis masakan yang dianggap penting atau mewakili selera Jepang: sekerat kecil ikan atau daging lembu entah dipanggang atau digoreng yang dicampur saus asam; telur dadar; sayuran atau tanaman laut yang dimasak baik-baik, potongan-potongan ketimun atau lobak, serta seiris apel atau jeruk. Semuanya itu merupakan setengah atau sepertiga isi dari besek, yang selanjutnya dipenuhi dengan nasi putih. Di setiap stasiun di seluruh Jepang besek makan siang semacam ini dapat dibeli, dan orang dapat menerka dengan tepat apa isi besek itu sebelum membukanya. Perbedaan dari setiap besek adalah dalam kualitas bahan dan masakannya; sedang bentuk dan isinya sama saja.

Seperti halnya besek makan siang, kelompok di Jepang masing-masing cenderung mencakup suatu varietas atau kumpulan unsur-unsur yang hampir identik sehingga tidak memerlukan jasa dari kelompok lain. Kurangnya saling ketergantungan di antara kelompok-kelompok atau pembagian pekerjaan dalam artian sosiologis juga tampak jelas pada komposisi suatu desa tradisional (yang sekali lagi, kontras sekali dibandingkan desa dengan kasta-kasta Hindu). Dalam desa pramodern Jepang setiap rumah tangga hampir tak mempunyai mata pencaharian khusus di luar bidang pertanian, kecuali pandai besi, pedagang besar dan imam. Setiap rumah tangga petani hidup dengan hasil pertaniannya sendiri, dengan pakaian yang ditenun sendiri; bahkan pemakaman pun dilakukan secara gotong royong di antara para tetangga, sedangkan satu-satunya spesialis yang berfungsi di sini adalah imam. Suatu desa tertentu jarang sekali memerlukan bantuan jasa dari desa lain atau jasa orang lain yang mata pencahariannya lain dari bertani.

Ini sama sekali berlawanan dengan ideologi kasta, di mana pembagian kerja dan saling ketergantungan di antara kelompok-kelompok merupakan dasar kaidah organisasi sosial. Dalam suatu masyarakat berkasta-kasta kelompok-kelompok dibentuk dari unsur-unsur yang homogin, sementara di Jepang kelompok terdiri dari unsur-unsur yang heterogin. Selanjutnya dalam masyarakat berkasta, setiap kelompok mempunyai kualitas yang unik, yang fungsinya tidak bisa digantikan oleh kelompok lain. Melalui pertautan dari fungsi-fungsi kelompok yang unik ini masyarakat dapat secara spontan mengorganisasikan diri sebagai suatu kesatuan tersendiri. Di dalam masyarakat semacam itu setiap kelompok harus mempunyai hubungan positif dengan kelompok lain yang mempunyai peranan lain serta kegiatan yang berbeda. Bila kelompok-kelompoknya homogin, maka kelompok-kelompok itu akan saling membutuhkan. Mekanisme ini bermanfaat untuk mengorganisasikan sejumlah kelompok heterogin menjadi badan sosial yang lebih besar lagi. Sebaliknya, suatu kelompok Jepang yang komposisi internnya bersifat heterogin juga memiliki ciri homogin seperti pada kelompok-kelompok lainnya. Dengan demikian di situ tidak ada kebutuhan untuk menjalin hubungan positif dengan kelompok-kelompok lainnya; sebaliknya, hubungan-hubungan itu cenderung bersifat bermusuhan atau bersaingan. Namun di Jepang suatu pangsa kependudukan mungkin terjadi dari "seperangkat lengkap" kelompok, yang batas-batasnya otomatis tampak akibat fungsinya. Dengan demikian masyarakat keseluruhan merupakan agregasi dari berbagai kelompok mandiri yang saling bersaing, yang pada dirinya sendiri tidak dapat mengadakan hubungan dengan kelompok lainnya: mereka tidak memiliki kerangka sosial yang menjadi dasar pembangunan masyarakat yang lengkap dan terpadu.

Ciri-ciri masyarakat Jepang ini banyak membantu perkembangan organisasi politik negara. Gugusan-gugusan yang bersaing, dengan mengingat sulitnya mencapai kesepakatan atau konsensus di antara berbagai gugusan kekurangan kekuatan untuk menghadapi administrasi negara. Persaingan dan permusuhan di antara kekuatan-kekuatan swasta melicinkan penerimaan atas kekuasaan negara, di mana suatu kelompok diorganisasikan secara vertikal, dan sekali kekuasaan administratif negara itu diterima maka kekuasaan itu dapat merembet masuk ke dalam garis vertikal dalam organisasi kelompok tanpa dapat dibendung lagi. Dengan demikian jaringan administratif akan lebih terjalin menyeluruh dalam masyarakat Jepang bila dibandingkan dengan masyarakat lain di dunia.

Sebenarnya, pada masa Tokugawa, efektivitas jaringan peraturan yang serba menyeluruh itu terpancar dari lingkungan feodal dan kalangan Shogun, mencapai setiap desa dan rumah tangga kendati tempatnya jauh di perbukitan. Namun  hal itu bukanlah pantulan kekuasaan Shogun; hal itu harus diteliti karena sebagian besar berasal dari sifat struktur sosial berbagai kelompok. Cina dan India, misalnya, pada masa yang sama menunjukkan kontras yang menyolok. Di sana terdapat suatu organisasi sosial horisontal yang kuat, dan pemerintahan pusat mereka karena adanya hubungan mendalam yang dibina atas dasar relasi horisontal (seperti jaringan berbagai organisasi keluarga patrilinial, gabungan para tuan tanah, gilde dan kasta-kasta) hanya dapat mempengaruhi lapisan atas masyarakat, tetapi benar-benar tak mampu memperluas dasar kekuasaannya ke seluruh lapisan masyarakat.

Perkembangan jaringan pemerintah Jepang yang sangat efisien dan rumit, serta pengaruhnya yang membayangi setiap bagian dari masyarakat banyak membantu keberhasilan meningkatkan efektivitas pemerintah pusat sekaligus membantu penguasa yang unggul menanamkan pada sanubari orang Jepang kesediaan untuk patuh, bersama dengan rasa takut dan dendam. Mereka tidak berani menunjukkan oposisi secara terbuka kepada pemerintah, tetapi sebaliknya menyatakan mau bekerja sama dengan pemerintah, sambil diam-diam menasihati satu sama lain agar "numpang di bawah selimut orang lain" atau "berlindunglah dulu dalam bayangan pohon besar". Di Jepang kepatuhan dinyatakan dengan penyerahan total. Setiap kritik atau oposisi terhadap pemerintah cenderung dianggap sebagai heroisme (dan beberapa di antara para intelektualis yang terkemuka selalu cenderung berpihak pada "pahlawan" yang jarang sekali berhasil mencapai tujuannya). Dan cukup menarik bahwa kritik dan oposisi semacam itu kini diberi cap demokrasi. Padahal seringkali oposisi dilakukan semata-mata sebagai oposisi belaka; oposisi itu lebih tepat dikatakan sebagai kontradiksi emosional daripada sebagai penolakan rasional yang mungkin dapat diharapkan berkembang lebih lanjut.

Bagaimanapun akibat psikologis dan emosionalnya, daya resap pemerintah pusat yang akarnya sudah tertanam baik-baik pada masa Tokugawa merupakan dasar pokok bagi modernisasi yang berlangsung cepat sejak masa restorasi Meiji. Sistem birokrasi pemerintah pusat ini mempunyai pola organisasi yang selaras dengan struktur sosial Jepang asli, yaitu kaidah organisasi vertikal. Lahirnya sistem birokrasi modern di Jepang sungguh-sungguh berkembang dengan penerapan pola-pola Barat, tetapi di Jepang sudah ada akarnya yang efektif jauh sebelum pengaruh Barat datang, dan hanya dengan mengikuti akar asli yang hidup inilah maka birokrasi modern bertumbuh. Di sepanjang sejarah jelas bahwa setiap kali ada konfigurasi yang berhasil dan kuat di Jepang, maka dasar bangunannya adalah garis-garis vertikal yang sama yang membentuk ciri pola pemerintahan pusat Jepang.



Baca: Buku Masyarakat Jepang

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Observasi dan Penelitian Lapangan

3. Observasi dan Penelitian Lapangan Pengumpulan data untuk suatu tulisan ilmiah dapat dilakukan melalui observasi dan penelitian lapangan. Observasi adalah pengamatan langsung kepada suatu obyek yang akan diteliti, sedangkan penelitian lapangan adalah usaha pengumpulan data dan informasi secara intensif disertai analisa dan pengujian kembali atas semua yang telah dikumpulkan. Observasi dapat dilakukan dalam suatu waktu yang singkat, sebaliknya penelitian lapangan memerlukan waktu yang lebih panjang. Observasi dapat dilakukan mendahului pengumpulan data melalui angket atau penelitian lapangan. Dalam hal ini observasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai obyek penelitian sehingga dapat disusun daftar kuestioner yang tepat atau dapat menyusun suatu desain penelitian yang cermat. Sebaliknya observasi dapat juga dilakukan sesudah mengumpulkan data melalui angket atau wawancara. Dalam hal ini tujuan observasi adalah untuk mengecek sendiri sampai di mana kebenara