Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...
4. Penerapan Ringkasan
Untuk menerapkan prosedur sebagai telah diuraikan di atas, maka perhatikanlah contoh di bawah ini.
Tugas: buatlah sebuah ringkasan menjadi kira-kira seperlima dari karangan asli. Karena yang dipakai sebagai contoh ini merupakan sebuah kutipan yang singkat, maka dalam perhitungannya tidak perlu dimasukkan unsur halaman, cukup dengan memperhitungkan baris dan jumlah kata per baris.
Sesudah membaca dengan cermat, maka penulis membuat catatan atau menggaris-bawahi gagasan-gagasan yang penting dalam kutipan itu, seperti di bawah ini:
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
I. PENDAHULUAN
Masalah-masalah yang dihadapi di bidang pendidikan pada saat dimulainya pelaksanaan Repelita I adalah sangat berat dan mendesak. Di bidang kurikulum terasa sekali kebutuhan akan pembaharuan agar sistim pendidikan dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan kemajuan. Di samping itu terdapat ketidak-seimbangan baik di antara berbagai tingkat pendidikan (vertikal) maupun di antara berbagai jenis pendidikan (horizontal). Selanjutnya jumlah anak yang berusia sekolah yang tidak tertampung di sekolah jauh lebih besar dari jumlah anak yang bersekolah. Demikian pula jumlah anak yang putus sekolah (drop out) adalah jauh lebih besar daripada mereka yang berhasil menyelesaikan suatu tahap pendidikan.
Sementara itu, tenaga-tenaga yang bekerja di bidang pendidikan baik teknis maupun administratif sangat kurang jumlahnya. Di samping itu mutu keahlian tenaga-tenaga tersebut perlu ditingkatkan. Prasarana pendidikan seperti gedung dan ruang sekolah sangat tidak mencukupi. Buku-buku sangat sedikit jumlahnya. Kecuali itu sedikit sekali sekolah-sekolah yang mempunyai perpustakaan, alat-alat peraga atau pun laboratorium dan tempat praktek.
Akhirnya organisasi dan pengelolaan pendidikan dan kebudayan baik di pusat maupun di daerah belum mencerminkan kerjasama yang serasi. Demikian pula belum ada sistim informasi pendidikan untuk keperluan perencanaan yang terarah." (Pidato Kenegaraan, Dep. Penerangan, 1974).
Perlu diberi catatan bahwa gagasan utama yang dicetak miring di atas kalau perlu dapat dipersingkat lagi atau diganti dengan kata lain sesuai dengan prinsip 3,4 (d).
Dengan demikian dapat dibuat perhitungan sebagai berikut:
Jumlah kata karangan asli: 22 x 9 kata = 198 kata (jumlah riil 188 kata).
Jumlah kata ringkasan : 198 : 5 = ± 40 kata.
Panjang ringkasan : 40 : 9 = 4,5 baris ketikan dengan huruf pika.
Ringkasan
"Banyak masalah berat yang dihadapi pada awal Repelita I: masalah kurikulum, ketidak-seimbangan tingkat dan jenis pendidikan, penampungan murid, dan masalah putus sekolah; kekurangan tenaga pendidikan, dan kurangnya mutu keahlian dan fasilitas; kurangnya kerjasama dan tiadanya sistim informasi."
Jumlah kata riil dari kutipan asli adalah sebanyak 198 kata, sehingga seperlimanya menjadi ± 40 kata. Hasil final ringkasan di atas adalah sebanyak 39 kata, tepat sama dengan perkiraan, lebih banyak 0,5 dari perhitungan yang riil. Sedangkan jumlah baris pun sesuai dengan perkiraan yaitu sekitar 4,5 baris. Sehingga dengan demikian ringkasan ini dapat diterima sebagai ringkasan yang baik dan memenuhi syarat.
Latihan
- Ringkaskanlah kutipan berikut menjadi seperlimanya!
"Sang dokter muda berwajah manusia dari kota. Di depan matanya berbaring seorang anak yang telah hilang gerak, dikelilingi kedua orang tuanya. Kuman-kuman yang mengikis habis paru-paru si anak membawa ajalnya semakin dekat. Sang dokter berkotbah tentang kesehatan. Sang dokter berkotbah tentang kesadaran kesehatan dan kesehatan lingkungan, dan berkata lagi: Anakmu harus dibawa ke rumah sakit. Kalian kejam dan tidak berperikemanusiaan bila membiarkan anakmu mati tanpa mencari pertolongan dokter. Dari wajah-wajah pucat mengalir kata-kata: Kemiskinan telah menyebabkan kami tidak berperikemanusiaan!
Manusia hidup dari saat ke saat dia harus menyambung hidupnya. Untuk menyambung hidup sama artinya dengan bekerja, berusaha, mencari makan. Namun dia terlalu benar untuk selalu disadari setiap saat. Tetapi ketika hidup tidak bersambung di sana kegiatan ekonomi tidak lain daripada usaha memperoleh sesuap nasi penyambung hidup. Banyak yang tersinggung oleh ungkapan ini.
Tetapi argumen hampir tidak dapat berdebat melawan kenyataan. Satu setengah juta bayi meninggal setiap tahun di Jawa. Angka kematian bayi 30 sampai 40 kali kematian orang dewasa. Enam puluh persen kematian disebabkan penyakit-penyakit menular dan semuanya pada akhirnya bersumber pada kekurangan gizi. Kematian senantiasa menjadi kesimpulan dari pertarungan argumen-argumen seperti: yang ada hanyalah "gejala kurang makan," "tanda-tanda kurang gizi," dan bukan kelaparan. Namun dengan tingkat kematian anak setinggi itu tidaklah sulit untuk memperkirakan bahwa akan sering datang saat di mana pilihannya bukan lagi menghindari kematian, akan tetapi mereka terpaksa memilih siapa di antara anak-anaknya yang lain! Dan bagi semua orang pilihan itu berperikemanusiaan. Namun tuduhan keras tersebut hanyalah dijawab dengan sebuah suara yang lemah: Kemiskinan telah menyebabkan kami tidak berperikemanusiaan.
Apakah kemiskinan? Rupa-rupa jawaban diberikan kepada gejala yang berdiri telanjang di depan mata. Kemiskinan dipilah-pilah dan diklasifikasikan. Yang miskin adalah mereka yang pengeluarannya 320 kg nilai tukar beras/orang-tahun. Miskin sekali adalah yang pengeluarannya di bawah 240 kh nilai tukar beras/orang-tahun.
Paling miskin: di bawah 180 kg nilai tukar beras/orang-tahun. Karena kriterianya berbeda-beda maka para cerdik cendekia berlomba-lomba menghabiskan biaya puluhan juta rupiah untuk menghitung dan menentukan di garis mana orang-orang miskin berada. Setelah selesai suatu penelitian yang sangat rumit, barulah bisa ditentukan apa yang disebut poverty line. Yang berada di bawahnya adalah mereka yang disebut miskin mutlak. Ironis! Betapa mahal biaya meneliti dan menghitung-hitung kemiskinan!
Tetapi, hanya manusia yang miskin dan hewan tidak pernah miskin. Dan justru karena itu pula, di balik kegelapan masih terpantul secuil harapan. Kemiskinan bukan saja fakta, tetapi dalam kemiskinan ada kemungkinan. Artinya dia membuka kemungkinan untuk diketahui akar-akarnya, lantas dibantun.
Tetapi sialnya, dalih kadang-kadang lebih berkuasa dari kenyataan. Fakta kalah terhadap argumen. Tidak jarang terdengar seruan: Salahmu sendiri, mengapa miskin? Menjadi miskin adalah sebuah kesalahan! Mereka malas karena itu mereka miskin, sedangkan sebenarnya mereka tidak berdaya. Cukup tersedia fakta yang membuktikan bahwa kemiskinan bukan karena kemalasan akan tetapi karena kesempatan tidak terbagi rata, sumber-sumber tidak terbagi rata. Namun kemiskinan masih tetap mengandung kemungkinan dan karena itu penanganan kemiskinan seharusnya mendapat alat yang tepat pula. Tidaklah mungkin mengambil alu buat mencungkil duri. Sebaliknya tidaklah mungkin mencari jarum buat membelah batu. Dan politik ekonomi yang tepat senantiasa mencari dan memperbaiki alat-alat yang dipakai untuk memerangi kemiskinan. Bila politik ekonomi tidak tepat, bila alat yang dipergunakan tidak sesuai, maka kita akan membuka peluang untuk orang berkata terus: "Kemiskinan telah menyebabkan kami tidak berperikemanusiaan!"
(Prisma, Februari 1978)
Baca: Buku Komposisi Gorys Keraf
Comments
Post a Comment