Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
3. Kaum Tani dan Gerakan Hotoku
Kerja keras dan sikap ugahari nampaknya merupakan sifat yang umum terdapat di kalangan kaum tani di seluruh dunia, tetapi kadarnya menjadi sangat berlebihan di kalangan petani Jepang. Walaupun di satu segi sifat semacam ini di kalangan petani yang miskin merupakan kebutuhan, namun jelas ini bukanlah satu-satunya penjelasan untuk Jepang. Sikap hemat sangat kuat didasari oleh rasa tanggung jawab kepada masyarakat dan keluarga sebagaimana yang terdapat dalam kasus kalangan pedagang yang telah dibahas di muka. Kaum tani juga dipengaruhi oleh sejumlah gerakan etis yang cenderung memperkuat asketisme duniawi mereka. Sekte Shin berpengaruh kuat di banyak wilayah dan perlu dikemukakan bahwa banyak pedagang Omi yang pada mulanya adalah petani. Shingaku memang lebih banyak berpengaruh di daerah perkotaan tetapi bukan berarti tidak mempunyai pengaruh di daerah pedesaan, selain kenyataan yang perlu diingat bahwa Ishida Baigan, pendirinya, terlahir sebagai petani. Sekte-sekte Shinto rakyat yang mempunyai ajaran etika serupa dengan Shingaku berpengaruh sangat kuat di kalangan kaum petani. Dan Hotoku, yang akan secara ringkas kita bicarakan, merupakan suatu gerakan etis yang penting yang berasal dari dan banyak ditujukan untuk kelas petani. Lingkup dari rasionalisasi ekonomi tidaklah terlalu besar di desa dan di sini dampak etika petani pada kehidupan ekonomi mungkin masih perlu dipertanyakan. Kendati demikian, dapat dipastikan bahwa pertanian yang lebih terdiversifikasi dan efisien berkembang pada Era Edo, sebagian karena bantuan dan dorongan dari pemerintah, dan bahwa industri rumah tangga juga mulai berkembang dengan standar kualitas dan keseragaman yang cukup tinggi. Kendati demikian, arti terpenting etika ini nampaknya terletak pada kenyataan bahwa terjadi gelombang yang terus menerus di mana para petani meninggalkan desa dan memasuki kelas pedagang atau pengrajin di kota-kota sepanjang Era Edo, dan pada kenyataan bahwa sebagian besar angkatan kerja yang muncul setelah Restorasi 1868 berasal dari kaum tani. Ketika beralih ke bidang ekonomi lain para petani ini biasanya mempertahankan etika ekonomi yang ditanamkan kepadanya sejak kecil sehingga motivasi ekonomi yang berkembang darinya banyak bermanfaat dalam mendorong terjadinya rasionalisasi secara umum.
Gerakan Hotoku menarik dalam hal ini karena dia merupakan cerminan dari etika petani, selain karena dia mewakili kecenderungan penajaman dan intensifikasi yang terjadi pada etika tersebut. Gerakan ini didirikan oleh Ninomiya Sontoku (1787-1856), seorang petani yang beranggapan bahwa dia bertanggung jawab mengangkat moralitas petani selain meningkatkan produksi ekonomi mereka. Dia menimba ide-idenya dari sumber-sumber Konfusius, Shinto dan Budha, kemudian menggabungkannya dalam bentuk ajaran yang praktis dan sederhana. Sejak masa mudanya Sontoku merupakan contoh dari sifat rajin dan ugahari dan banyak cerita dituturkan tentang hasil kerjanya. Sebagai pemuda dia mulai melihat bahwa kerja itu sendiri mempunyai arti yang lebih luas. Dia menulis,
Saya mulai melihat bahwa bahkan seorang yang tanpa guna seperti saya ini tetap bisa menyumbang secara material bagi kesejahteraan umum dan kemakmuran negara. Sejak itu saya melihat bagaimana pekerjaan sehari-hari, yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai tugas yang tidak menyenangkan, bisa mempunyai arti yang tinggi, dan saya bertekad untuk memberikan seluruh tenaga saya untuk kepentingan orang lain.(43)
Teori dasar dari Sontoku, prinsip yang tidak henti-henti diuraikannya, tercakup dalam istilah yang menjadi nama gerakan ini: hotoku. Hotoku pada dasarnya mempunyai arti yang sama dengan hoon, yang telah kita bahas sebelumnya; membalas karunia. Satu aspek dari hotoku ini terkait erat dengan sistem kekeluargaan dan kewajiban untuk patuh kepada orang tua:
Asal usul badan terletak pada asuhan orang tua. Berlanjutnya keturunan tergantung kepada usaha keras suami dan istri. Kekayaan orang tua kita tergantung kepada kerajinan leluhurnya, dan kekayaan kita tergantung kepada kumpulan tindakan baik yang dilakukan orang tua kita. Kekayaan keturunan kita tergantung kepada kita dan bagaimana kita melaksanakan tugas dan kewajiban kita.(44)
Berbicara tentang membalas karunia yang telah kita terima, semua itu adalah bunga uang yang kita pinjam, ucapan terima kasih atas kemurahan yang kita terima, harga barang yang kita beli, upah untuk pekerjaan yang kita lakukan. Kita harus memandang keuntungan-keuntungan yang telah kita terima dengan cara seperti ini, dan memberikan balasan kepada langit, bumi dan manusia untuk semua itu. Jika kita melakukan ini kita akan dapat mencapai apa pun yang kita inginkan. Inilah kebahagiaan Tuhan, dan berikanlah kepada sesamamu tindakan yang menyenangkan serta kata-kata yang dapat dipercaya.(45)
Apa yang dimaksudkannya dengan membalas karunia dengan cara setinggi mungkin dijelaskan dalam alinea di bawah ini yang merupakan lanjutan dari alinea yang telah dikutip di atas (asli, halaman 73):
Setiap orang yang, sesuai dengan bakat pemberian langit, hidup sesuai kemampuannya, dengan cara rajin dan hemat, dengan cara menabung sebagian uangnya untuk biaya memperbaiki dan membangun hal-hal yang rusak terbuang, membayar utang, menolong orang-orang miskin, membantu desa-desa dan propinsi-propinsi, dengan menyelamatkan setiap rumah, desa, sampai seluruh Jepang menjadi makmur, kemakmuran yang harus juga menyebar ke negara-negara lain, berarti telah membalas karunia yang telah diterimanya dari langit, bumi dan manusia.(46)
Alinea ini menarik karena beberapa alasan. Darinya orang mendapat kesan bahwa keselamatan dalam pengertian religius dan perbaikan ekonomi secara konseptual baur. Terdapat harapan yang cenderung utopis akan datangnya jaman keemasan saat mana tidak hanya Jepang tetapi seluruh dunia akan terselamatkan melalui prinsip pembalasan karunia itu. Tekanannya jelas terletak pada kolektivitas, bukan pada individu atau keluarga. Penting dicatat bahwa Sontoku menyebarkan ajarannya pada tahun-tahun terakhir keberadaan bakufu dalam situasi yang sama seperti ketika ide-ide Kokugaku dan Mitogaku disebarkan sebagaimana telah dibahas pada bab sebelum ini.
Aspek yang lain dari ajaran Sontoku sangat menarik untuk diamati. Berbeda dari para pemikir Jepang lainnya dia nampaknya menganut orientasi "manusia di atas alam" bukannya "manusia dalam alam." Berkaitan dengan ini adalah penolakan terhadap teori-teori siklus Budhisme dan Konfusianisme, dan dukungan terhadap pandangan teori perkembangan progresif searah:
Konfusianisme mengajarkan hukum sirkulasi, Budhisme mengajarkan hukum transmigrasi. Dan untuk menghindar dari tindasan transmigrasi ini mereka mengajarkan Nirvana, kerajaan kedamaian. Konfusius mengajarkan agar kita mematuhi kehendak langit dan dengan demikian hidup dalam kedamaian. Ajaran saya berbeda karena ditujukan untuk memperkaya yang miskin dan memberikan kemakmuran kepada yang membutuhkannya. Dengan menghindari sirkulasi dan transmigrasi, kita akan hidup dalam kemakmuran. Pohon-pohon buah secara alamiah berbuah banyak di satu musim kemudian beristirahat di tahun berikutnya. Konsep saya adalah memangkas dan memelihara mereka sehingga berbuah banyak setiap tahun. Wajar jika seorang kaya menjadi miskin, tetapi saya akan mengatasi alam dan menjadikan kemakmuran sesuatu yang berkesinambungan.(47)
Bagian-bagian lain dari ajarannya juga menekankan ide tentang manusia yang mengatasi alam seperti di bawah ini:
Keberhasilan kehidupan manusia tergantung pada kemampuan kita untuk membuat perencanaan ... Wajarlah jika kita menabur benih, tetapi jika kita hendak menjadikan benih itu menguntungkan, kita menyiangi rumput-rumput di sekitarnya, supaya dia bisa tumbuh lebih baik. Tidaklah alamiah untuk mencabut rumput liar itu. Dengan mengikuti kehendak alam kita harus bekerja, tetapi jika kehendak alam bertabrakan dengan kewajiban, alam harus dikendalikan.(48)
Hidup manusia itu berat dan melawan alam. Jalan manusia adalah memperbaiki tempat-tempat yang terlantar dan menyuburkan tanah yang gersang. Sedikit yang memahami perbedaan antara jalan manusia dan jalan alam.(49)
Bagian lain mungkin terasa bertentangan dengan bagian-bagian yang telah dikutip di atas, tetapi sebenarnya apa yang dikatakan sama. Pandangan itu berusaha menjaga harmoni antara manusia dan alam tetapi mengembangkan ide-ide khusus tentang alam untuk tujuan itu:
Jika kita menggantungkan diri pada Alam, kita tidak perlu mengkhawatirkan pemulihan kembali negara kita, karena alam selalu menyembuhkan dan memperbaiki. Namun kita memandang Alam, induk kita semua, bukan seperti seorang anak laki-laki malas yang memandang ayahnya, tetapi sebagai seorang anak laki-laki yang rajin memandang ayahnya yang baik hati, tetapi keras dalam menghukum, dan dengan cepat dapat melihat kelebihan anaknya. Alam tidak akan memberikan manfaat tanpa kerja kita.(50)
Menarik bahwa dalam pandangan ini alam dilihat sebagai "ayah", bukan "ibu".
Sebagaimana telah bisa ditebak, Sontoku tidak pernah bosan menganjurkan sikap rajin dan hemat. Sekali lagi kita melihat asketisme duniawi yang merupakan satu bagian penting dari etika Jepang:
Jika kamu mengolah sebidang tanah yang luas, kamu mengerjakannya satu sekop demi satu sekop. Jika kamu berjalan dua puluh lima mil, kamu menjalaninya setapak demi setapak. Jika kamu membuat satu gundukan tinggi kamu menimbunnya sekeranjang demi sekeranjang. Demikan pula, dengan rajin dalam hal yang kecil-kecil kamu akan mencapai banyak.(51)
Bekerjalah yang banyak, dapatkan uang banyak, belanjakan sedikit. Kumpulkan minyak yang banyak, dan bakarlah sesedikit mungkin. Inilah rahasia untuk membuat satu negara makmur; bukan sikap kikir. Karena kehidupan manusia berlawanan dengan alam, kita harus menabung dan mencukupi kebutuhan di masa depan dengan kerja keras, penghasilan tahun ini untuk kebutuhan tahun depan. Menabung adalah kebajikan pengingkaran diri.(52)
Sontoku mempunyai arti penting bukan hanya sebagai guru etika dan agama tetapi juga sebagai seorang yang berhasil dalam hal-hal praktis. Beberapa kali dia diserahi tugas menangani satu tanah pertanian feodal yang berada dalam kondisi rusak menyedihkan dan dalam beberapa tahun dia berhasil mengubahnya menjadi distrik yang secara ekonomi makmur dan baik. Kebijakannya beragam tetapi pada dasarnya terdiri terutama atas penekanan kepada penghematan yang ketat dan perluasan jumlah tanah pertanian, pengembangan irigasi, dan sebagainya dengan cara menabung uang. Salah satu prinsipnya yang terpenting adalah bundo, artinya apa yang dikumpulkan dalam satu tahun harus lebih banyak dari yang dibelanjakan pada tahun berikutnya, dan sisanya disimpan untuk kondisi darurat atau meningkatkan modal. Dia mendorong dibentuknya masyarakat kredit di desa-desa yang memberikan pinjaman tanpa bunga untuk meningkatkan modal. (Peminjam diharapkan memberikan "hadiah" suka rela kepada organisasi, tetapi jumlahnya lebih rendah dari yang diminta oleh rentenir). Organisasi-organisasi pemberi kredit yang sering kali disebut Masyarakat Hotoku ini bersifat setengah religius dan setengah ekonomi. Satu singkatan dari peraturan umum perkumpulan semacam ini mungkin menarik untuk dilihat. Peraturan berikut ini diambil dari Era Meiji:
Siapapun yang bermaksud menjadi anggota masyarakat ini harus memenuhi persyaratan berikut:
(1) Dia harus membuktikan dari tindakan dan kerjanya bahwa dia berterima kasih kepada para dewa, Kaisar, orang tuanya, dan para leluhurnya atas karunia mereka.
(2) Dia harus rajin dan hemat, hidup sesuai kemampuannya, dan bertingkah laku yang akan mendorong kesejahteraan diri dan negaranya.
(3) Dia harus menabur benih yang bagus, menanam pohon yang bagus, dan dengan demikian akan menikmati kebahagiaan abadi.(53)
Anjuran langsung untuk meningkatkan dan menumpuk modal yang dikembangkan oleh Hotoku merupakan contoh yang mencolok yang menunjukkan pengaruh religi terhadap rasionalisasi ekonomi. Tetapi peran penting Hotoku sendiri terbatas karena ajarannya berpengaruh hanya di beberapa wilayah yang agak terbatas. Arti pentingnya justru lebih banyak pada formulasi etika petani yang diperkenalkannya yang sangat luas tersebar, dan dalam jasanya menunjukkan potensi yang dikandung etika tersebut bagi rasionalisasi ekonomi.
Dalam bab ini saya telah mencoba memaparkan pengaruh religi atas ekonomi baik secara langsung maupun melalui prinsip-prinsip dalam negara dan keluarga yang dipengaruhi oleh religi. Saya telah mencoba mendefinisikan etika ekonomi yang ditandai oleh asketisme duniawi yang kuat dan suatu analog dengan konsep panggilan sehingga karenanya kerja dianggap sebagai "kewajiban suci" yang berakar pada ide-ide religi, politik dan keluarga. Ciri-ciri dasar dari etika ini cenderung dianut oleh semua kelompok utama penduduk, samurai, chonin, dan petani, walaupun perbedaan-perbedaannya tetap terasa ada. Dalam pembahasan yang lumayan luas ini Bushido, Shinshu, dan Hotoku telah kita ambil sebagai contoh mengenai "jalan" yang menunjukkan bagaimana aspek-aspek religius terkait dengan etika ekonomi, serta sebagai bentuk perwujudan etika tersebut pada berbagai kelas sosial di mana tempat gerakan-gerakan tersebut menanamkan pengaruhnya. Pada bab berikut saya akan membuat analisis yang rinci tentang suatu gerakan etik-religius, yaitu Shingaku, untuk mendefinisikan lebih tajam lagi etika ekonomi tersebut beserta landasan-landasan penyokongnya.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(43) Doppers, "A Japanese Credit Association", hlm. 83
(44) Amstrong, Just Before the Dawn, hlm.177
(45) Ibid., hlm. 178
(46) Ibid., hlm. 175-176
(47) Ibid., hlm. 208-209
(48) Ibid., hlm. 213
(49) Ibid., hlm. 214
(50) Droppers, op. cit., hlm. 82
(51) Amstrong, Just Before the Dawn, hlm. 232
(52) Ibid., hlm. 232
(53) Ibid., hlm. 185
Comments
Post a Comment