Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...
3. Pengelompokan dan Kenyataan
Organisasi sosial yang menyebabkan seseorang begitu dalam menyibukkan diri dengan hubungan-hubungan pribadinya sekaligus juga membatasi jangkauan pribadinya. Ia mengetahui segala sesuatu tentang kelompok dan lembaganya sendiri, dan dalam kadar yang tidak begitu sempurna mengenai mereka-mereka yang ikut bersaing. Akan tetapi kegiatan dan perhatiannya jarang melampaui hal ini.
Kehalusan kelakuan yang tingkatnya begitu tinggi yang pernah disebutkan sebelum ini, terutama diterapkan pada fungsi-fungsi di antara kelompoknya "sendiri". Orang Jepang tidak berhasil mengembangkan suatu sikap sosial yang patut diterapkan kepada orang asing, atau orang-orang dari "luar". Di dalam perbendaharaan sopan santun orang Jepang, ada dua pola dasar yang bisa digunakan : satu pola yang dapat diterapkan kepada "atasan" dan yang satu lagi dapat digunakan kepada "bawahan", atau, jika kita katakan dengan cara lain, ada ungkapan-ungkapan keakraban dan ungkapan-ungkapan permusuhan, akan tetapi tidak ada yang dapat diterapkan pada tingkat yang sama atau yang menunjukkan ketidakacuhan. Hal ini menimbulkan suatu perasaan kurang nyaman pada saat melakukan hubungan dengan orang asing, apakah yang dihubungi itu orang dari luar negeri atau orang Jepang.
Kesan orang asing adalah bahwa orang Jepang itu tidak ramah. Gambaran yang lebih tepat ialah, bahwa orang Jepang pada keseluruhannya tidak mudah bergaul. Hal ini disebabkan sebagian, oleh karena, sekali mereka berada di luar orbitnya, mereka itu tidak tahu bagaimana mencari bentuk-bentuk pernyataan yang patut. Mereka itu tidak mengembangkan teknik untuk menghadapi orang-orang "di luar" mereka, oleh karena kehidupan mereka begitu terpusat pada kelompok mereka sendiri. Di dalam kelompok-kelompok ini, orang Jepang tidak dapat dilukiskan sebagai "tidak ramah". Hal ini disebabkan oleh rasa kesatuan yang dibentuk oleh kegiatan dan emosi kelompok tersebut, maka tiap anggota terbentuk dalam cetakan yang kurang lebih sama, dan ia mau tidak mau terpaksa mengalami akibat-akibat tempaan interaksi kelompok. Orang Jepang sebagai perorangan hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk belajar bergaul. Rasa aman yang dirasakannya bersumber pada berdiri sejajar dan penyesuaian dirinya dengan tujuan dan rencana kelompok; hanya lingkungannya sendiri itulah yang diketahuinya, sedangkan sedikit sekali manfaat fungsional dalam hal jamu-menjamu. Mungkin dengan cara itu ia akan dapat mengarungi hidupnya tanpa mengalami kenikmatan dan tekanan-tekanan dari "persaingan di luar tembok". Bahkan sekalipun kepribadiannya tidak akan tenggelam sama sekali, paling sedikit kesempatan untuk mengembangkannya sangat terbatas sekali.
Keadaan demikian itu mempengaruhi sifat hubungan antarmanusia, hubungan ini "dapat dirasakan" dan bersifat "kelompok". Jadi "kelompok" menjadi ciri semua lapang kegiatan. Seorang ahli politik, misalnya, akan ikut serta dalam satu partai tertentu dan akan tetap di situ untuk seumur hidupnya; sekali ia mengikatkan diri, maka keberhasilan atau kegagalan pribadinya akan berkaitan dengan keberhasilan dan kegagalan partainya. Tidak ada jalan baginya untuk pindah ke partai lain. Bahkan saluran-saluran hubungan antarpartai sangat buruk sedemikian rupa sehingga dikatakan bahwa sarana satu-satunya untuk pertukaran informasi ialah melalui penghubung politik yang terlatih baik, yang kemudian dapat menduduki posisi penghubung yang penting.
Kelompok politik telah mengembangkan ruang khusus tersendiri, di mana hampir tidak ada orang yang dapat, atau yang berminat diterima (terkecuali bilamana ia bersedia untuk diterima pada tempat yang terbawah dari hirarki) sedangkan ahli-ahli politik dianggap sebagai kelompok jenis yang berdiri agak terpisah dari yang lain.
Saat ini di Jepang sangat jarang terjadi ada seorang profesor, misalnya, yang bisa menjadi menteri dalam pemerintahan. Setiap kelompok kelembagaan terpagar rapat, dan tidak ada orang yang dapat melewati pagar ini secara bebas. Kecenderungan itu telah tumbuh semenjak masa permulaan modernisasi Jepang. Pelembagaan masyarakat Jepang modern begitu menyeluruh sehingga mereka yang pekerjaannya berlain-lainan merasa tidak tenteram, bahkan dalam percakapan pun, oleh karena mereka itu asyik sekali dengan kelompok mereka sendiri dan tidak memiliki pengetahuan mengenai hal-hal lain. Percakapan antara seorang ilmuwan dengan seorang diplomat, misalnya, akan dianggap oleh keduanya sebagai membosankan, tidak merangsang dan dangkal. Spesialisasi sejak dini dari seseorang (segera setelah ia selesai dengan sekolahnya) dan pengasingannya di dalam kelompok mereka masing-masing - bersama dengan sistem mempekerjakan orang seumur hidup, yang menempatkan seseorang ke dalam ruang yang tertutup, tidak memberikannya kesempatan untuk menghirup udara luar - unsur-unsur ini dan yang serupa melenyapkan atau memperkecil tempat berpijak bersama yang akan merupakan dasar bagi dialog yang berbobot meskipun terdapat perbedaan latar belakang pekerjaan dan lembaga.
Ada sedikit sekali hubungan antara kaum terpelajar dalam berbagai macam jabatan dan lembaga. Bahkan tidak ada sebuah surat kabar atau majalah yang dibaca oleh kaum intelek Jepang secara keseluruhan, dan meskipun ada usaha-usaha untuk menciptakan sebuah harian yang dapat secara khusus melayani kaum intelek dalam masyarakat Jepang yang demikian luas ragamnya, usaha-usaha ini selalu menemui kegagalan. Ada beberapa majalah yang ditujukan pada kaum intelek, tetapi tidak ada satupun yang berhasil, seperti yang biasanya dicapai oleh harian sejenisnya di Barat. Pada kenyataannya, artikel dan pembahasan dalam majalah-majalah semacam itu jarang diambil sebagai topik pembicaraan sehari-hari atau pembicaraan sambil lalu oleh kaum intelek, oleh karena artikel-artikel semacam itu pada umumnya dibuat dalam bentuk sebuah pernyataan langsung, semacam jalur hubungan satu arah yang dimaksudkan, secara sadar atau tidak sadar, untuk meningkatkan standar intelek umum. Oleh karenanya, majalah demikian itu tidak memberikan sebuah sarana yang ideal untuk konsumsi intelektual yang dapat dinikmati bersama oleh penyumbang dan pembaca karangan itu dalam tingkat yang sederajat. Dengan demikian majalah-majalah semacam itu hanya berguna dalam peran pendidikannya; tetapi mereka itu gagal dalam memberikan kenikmatan intelektual, oleh karena itu mereka gagal dalam mencapai dan memuaskan kalangan luas kaum intelek.
Sesungguhnya, sulit untuk membuat garis di antara kaum intelek dan massa pada umumnya, oleh karena lapisan kaum intelek tidaklah dapat dibedakan secara jelas. Tidak adanya tempat berpijak bersama di antara kaum intelek Jepang mungkin juga membantu jalannya mekanisme yang menyebabkan kaum intelek menyebar ke dalam sejumlah kelompok yang saling menyendiri tertutup.
Pembentukan kelompok-kelompok terjadi tidak saja pada tingkat pejabat, akan tetapi juga pada berbagai tingkat rendahan, dan lagi kelompok yang lebih kecil dapat terbentuk di dalam kelompok rendahan tersebut. Di antara para sarjana, ahli-ahli khusus di bidang tertentu dapat terbentuk kelompok-kelompok yang terbagi menurut kesetiaan pada almamaternya, dan seterusnya dapat terbagi-bagi lagi ke dalam anak kelompok yang berkumpul atas dasar hubungan yang lebih akrab. Kelompok terkecil inilah yang mempunyai fungsi penting; intinya bisa terdiri dari beberapa sarjana yang menganut pandangan dan gaya pendekatan yang sama yang bersumber pada teori tunggal yang berpengaruh. Sebuah kelompok secara normal memiliki tokoh pusat, dan kepadanya anggota-anggota lain mengkaitkan diri atas dasar hubungan profesor-mahasiswa atau atas dasar hubungan teman sekelas. Pengelompokan dengan sifat semacam ini, seperti juga halnya dengan para politisi, bermanfaat sebagai pelindung bagi yang lemah yang mungkin terlupakan atau mungkin tidak mampu menghasilkan, bilamana terpaksa kembali menggantungkan nasibnya semata-mata pada sumber-sumber mereka sendiri. Akan tetapi struktur kelompok ini ada kekurangan-kekurangannya misalnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, anggota-anggota kelompok sangat sering berkumpul, namun jarang mereka merundingkan persoalan-persoalan orang-orang luar kelompok mereka. Dengan berlalunya waktu tiap kelompok membuat dan mengumumkan gaya pembicaraan mereka sendiri yang tidak dapat dimengerti oleh orang-orang luar, meskipun ia bekerja pada lapangan khusus yang itu juga. Hambatan-hambatan pada perundingan produktif demikian itu mempersulit bagi kelompok sarjana di Jepang untuk mencapai adanya saling pengertian.
Jika ahli-ahli Jepang di antara mereka sendiri mendapatkan kesulitan di dalam hubungan mereka, maka di dalam urusan internasional kesulitan mereka menjadi berlipat ganda. Salah seorang sarjana politik, yang mengepalai sekelompok besar pengikut, tidak lama berselang mengakui pada waktu kembali dari Eropa dan Amerika bahwa persoalan-persoalan orang luar negerti begitu berbeda dari persoalan-persoalan kita, sehingga ia tidak mudah dapat berkomunikasi dengan mereka. (Adalah menjadi pendapat saya, bahwa ia hanya dapat berbicara bagi dirinya dan bagi kelompoknya sendiri, dan tidak bagi sarjana-sarjana Jepang pada umumnya. Akan tetapi, hal merupakan satu kesulitan bagi sebagian besar ilmuwan-ilmuwan Jepang, dan khususnya bagi mereka yang mengkhususkan diri pada ilmu-ilmu sosial).
Kurikulum dan standar pengajaran pada perguruan tinggi di Jepang tidaklah sangat berbeda dengan kurikulum dan standar di negara-negara Barat. Kesulitan yang dihadapi oleh para ilmuwan timbul dari pengasingan yang mereka terapkan pada diri mereka sendiri, oleh karena Jepang sebagai bangsa mengalami pengelompokan yang sama, disebabkan kurangnya saling pertukaran langsung dengan negara-negara maju lainnya, dan oleh karena pembatasan-pembatasan pada pertukaran yang disebabkan oleh bangsa Jepang sendiri. Persoalan-persoalan ini memang aneh, bersumber pada standar pendidikan yang tinggi di Jepang. Jika Jepang jauh lebih terbelakang dari sekarang in, sebagian besar kaum intelek Jepang akan mencari pendidikan di luar negeri, dan dengan demikian akan membantu mengatasi pengelompokan di antara kaum intelek Jepang lainnya. Sesungguhnya, orang-orang yang mendahului kami, dari zaman Meiji, yang telah belajar di negara lain jauh lebih internasional semangatnya daripada golongan intelek pada masa kini. Pengelompokan yang agaknya tidak dapat dihindari oleh orang-orang Jepang telah ditonjolkan dan diperhebat oleh golongan intelek sendiri, oleh karena pengasingan diri yang dibuat-buat yang bersumber pada jargon kelompok yang bersifat pribadi.
Jadi, pengelompokan yang terutama berakar pada struktur sosial memenuhi kebutuhan emosi perorangan yang mencari keamanan di dalam kelompok, dan mendapatkan kompensasi bagi kekurangan otonomi perorangannya.
Untuk mengemukakan sebuah contoh, perjalanan liburan yang menyenangkan menjadi mode di antara orang-orang Jepang belakangan ini, sering dilakukan dalam kelompok yang terdiri dari tiga puluh sampai lima puluh orang anggota perkumpulan perdagangan, perusahaan, desa atau lainnya. Kelompok-kelompok yang lebih kecil dapat terbentuk di antara teman-teman atau anggota keluarga. Sangat jarang terjadi ada orang yang mengadakan perjalanan sendiri, terkecuali bertalian dengan urusan bisnis; seorang yang mengadakan perjalanan sendiri dianggap sangat aneh. Penginapan di Jepang sangat enggan untuk memberi tempat pada seorang yang melakukan perjalanan sendiri. Keengganan ini sebagian bersumber pada pandangan tentang keuntungan: penginapan di Jepang menarik sewa dengan perhitungan jumlah orangnya, bukan bagi tiap kamar. Seorang teman yang senang mengadakan perjalanan sendirian sering mengeluh, bahwa ia tidak diberi tempat bilamana ia datang tanpa lebih dahulu memesan kamar. Hal ini lebih buruk lagi keadaannya bagi seorang perempuan; ia akan dikira patah hati, barangkali belum selang lama bercerai atau sedikitnya orang yang benci bergaul atau orang yang tidak bahagia. Saya sendiri tidak ada keberanian untuk pergi ke sebuah penginapan tanpa sebelumnya memesan tempat lewat seorang penduduk setempat yang dapat menerangkan status saya dan urusan saya pada pemilik penginapan tersebut; hal ini akan menyebabkan perbedaan yang besar di dalam pemberian servis dan pelayanan nyaman. Sebaliknya saya sangat menikmati perjalanan sendirian di negeri-negeri asing.
Selain itu kebanyakan orang Jepang tidak senang mengadakan perjalanan sendiri oleh karena hal itu menimbulkan rasa sepi dan tidak aman secara psikologis. Hal ini tidak realistis, oleh karena orang mengadakan perjalanan sendiri yang berada dalam kesulitan tidak mudah mengharapkan pertolongan dari "orang luar" yang tidak mengenalnya. Saling bantu di antara khayalak umum, seperti sering terjadi di Inggris, jarang sekali nampak di Jepang. Oleh karena itu, pada perjalanan liburan, orang-orang Jepang mengelilingi dirinya dengan teman sekerja atau lainnya dan mereka membawa serta identitas komunal mereka di mana saja mereka pergi. Mereka jarang sekali membaur dengan penghuni tempat di mana mereka mengadakan perjalanan, atau dengan orang-orang lain yang mereka jumpai dalam perjalanan.
Ciri-ciri ini juga banyak terdapat di antara orang Jepang di luar negeri. Apakah mereka berada di negara Barat atau di Asia Tenggara, masyarakat Jepang cenderung untuk tetap terpisah dari baik orang-orang setempat maupun orang-orang asing. Secara paradoxal orang Jepang, — orang yang demikian jarang terdapat — yang dapat mengembangkan hubungan baik dengan orang-orang setempat, kemungkinannya akan memutuskan hubungan pribadinya dengan orang-orang Jepang lain dalam persekutuan hidupnya. Dalam bertindak seperti dalam pengelompokan, hanya menempuh arah yang lain, dan hal ini memang pasti dapat diharapkan, oleh karena hal itu sepenuhnya sejalan dengan kecenderungan satu arah yang terdapat dalam watak orang Jepang.
Kelompok yang berfungsi keluar dengan meniadakan hubungan pribadi dengan "orang luar" menimbulkan ciri-ciri ke dalam tersendiri dan dapat dirasakannya sesuatu yang nyata dalam hubungan pribadi tersebut. Syarat untuk mengatasi ketidakstabilan yang berpokok pada sifat-sifat beraneka ragamnya unsur-unsur terjadinya kelompok, seperti dikatakan sebelum ini, adalah kesadaran kelompok. Oleh karena ini biasanya dicetuskan dengan pendekatan secara emosi, maka diperlukan hubungan yang dapat dirasakan adanya, di antara orang-orang tersebut. Hubungan semacam itu harus dipelihara dengan kegiatan tatap muka terus-menerus untuk mempertahankan hubungan yang sudah terjalin baik.
Dalam masyarakat Jepang, seringnya mengadakan pertemuan dengan teman dan kenalan merupakan norma yang dianut umum. Ungkapan paling biasa yang dilontarkan bilamana orang-orang Jepang bertemu dengan kenalan setelah berpisah beberapa lama ialah, "Maafkan, saya tidak ada kesempatan untuk menerima kehormatan bertemu dengan Anda lebih awal". Seringnya bertemu dianggap sebagai ukuran akrab dan teguhnya hubungan.
Kekuatan relatif dari ikatan di antara orang-orang cenderung untuk menjadi sebanding dengan lama dan kuatnya hubungan yang terjadi sebenarnya. Sebab mengapa seorang "pendatang baru" pada kelompok Jepang yang mana pun ditempatkan di bagian terbawah dari hirarki, karena ia mempunyai hubungan yang terpendek. Dalam segi kehidupan berkelompok ini terdapat tanah persemaian sistem kesenioran yang menguasai Jepang lebih tegas daripada sistem nepotisme pada masyarakat-masyarakat lainnya. Dan bilamana tempat seseorang di dalam kelompok ini ditentukan semata-mata oleh lamanya hubungan sebenarnya dengan kelompok itu, maka hubungan itu sendiri menjadi modal sosial orang tersebut. Oleh karena modal itu tidak dapat dipindahkan ke kelompok lain, orang itu tidak dapat berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok lain tanpa menderita kerugian sosial yang sangat besar. Bahkan meskipun perusahaan seseorang menanggalkan sistem kesenioran itu, dan ia dapat pindah ke pekerjaan baru dengan gaji yang sama atau yang lebih besar, sehingga perpindahan tidak akan mengakibatkan kerugian ekonomi, namun kerugian sosial itu akan tetap dideritanya (lihat hal 146 - 147).
Berkaitan dengan mutlaknya faktor jangka waktu, faktor kehilangan kenyataan untuk sementara dapat ikut mempengaruhi jalannya hubungan secara langsung. Seorang anggota kelompok, yang tidak hadir untuk sementara, dapat benar-benar kehilangan tempat berpijak di dalam kelompok tersebut, oleh karena ketidakhadirannya dapat menghilangkan hubungan-hubungan yang telah dibuatnya. Bilamana seorang yang bekerja di Tokyo pergi untuk memegang jabatan di tempat lain, keberangkatannya itu tidak saja berarti perpisahan dengan kota itu sendiri, akan tetapi juga berarti meningkatnya jarak sosial dari kalangannya sendiri. "Orang yang pergi ke lain tempat semakin hari semakin jauh jarak tempatnya" menyimpulkan keadaan itu seluruhnya: itulah sumber rasa kemalangan yang diderita oleh orang Jepang ketika terjadi perpisahan.
Tidak ada rasa terasing, kesepian dan kejengkelan yang dapat dibandingkan dengan apa yang diderita oleh orang Jepang yang oleh karena pekerjaannya memaksa diri bekerja di negara asing. "Mereka mungkin benar-benar telah melupakan saya", dan "Teman sekerja saya di tempat yang saya tinggalkan mungkin sekali memainkan kartunya begitu baik, sehingga dalam sekejap ia akan menjadi manajer". Kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu menimbulkan suasana kemalangan yang dibuat dan mengelilingi dirinya sendiri oleh orang Jepang yang diasingkan. Untuk mengurangi sedikit derita perpisahannya, ia menulis surat dengan rajin. Akan tetapi bagi mereka yang ditinggalkannya di Jepang orang itu "semakin hari semakin jauh", maka jawaban yang ditulisnya semakin berkurang dan semakin jauh jarak antaranya, dan akhirnya hubungan berhenti sama sekali. Ia menjadi kesal sementara menunggu perintah kembali pulang, dan ketika akhirnya harapan yang dinantikan sekian lama itu diberikan, dan ia kembali ke pekerjaan lamanya, keadaannya entah bagaimana tidak sama benar dengan yang dahulu. Jelaslah bahwa pergi ke tempat lain merupakan sebuah minus sosial. Ia harus membuang-buang waktu yang kurang nyaman agar dapat membiasakan diri lagi dan dapat menyesuaikan diri pada kelompok lamanya yang suasananya mungkin sudah jauh berubah setelah ditinggalkannya. Nyatanya, sering terjadi bahwa promosi seseorang yang selama masa tertentu bertempat tinggal di luar negeri ditangguhkan untuk jangka waktu yang lebih lama daripada promosi teman sekerjanya yang tetap melayani kantor pusatnya. Hal ini tentu saja tidak harus berlaku di dalam perusahaan yang menghendaki ditempatkannya orang-orang mampu di luar negeri; di dalam hal ini berbagai kantor cabang di luar negeri ditempatkan juga pada tangga promosi biasa. Namun demikian, seorang yang ditempatkan di luar negeri sulit untuk tidak merasa terasing dari jalur perkembangan utama dalam urusan perusahaannya. Kebanyakan orang Jepang di luar negeri merasa rindu pada tempat asalnya, dan sangat memperhatikan urusan kepegawaian di kantor pusatnya. Maka tidaklah mengherankan, bahwa orang Jepang tidak suka meninggalkan persekutuan hidupnya untuk jangka waktu yang sangat lama; ia sangat cenderung untuk mengkhawatirnka, bahwa jangka waktu tidak hadirnya yang terlalu lama akan menjurus secara otomatis pada ketidakmampuannya untuk mengikuti zaman dan mempertahankan standar-standarnya. Hal ini berarti dikucilkannya dari kegiatan kelompok lamanya.
Bertentangan dengan cita-cita Jepang mengenai pernyertaan dalam kelompok, sebuah kelompok yang dibentuk atas dasar ciri dapat menyelenggarakan ikatan dengan anggota, di mana pun anggota itu bertempat tinggal atau bekerja, oleh karena hubungannya dapat mengatasi perpisahan dalam istilah ruang dan waktu keduanya. Maka seorang India atau seorang Cina yang bertempat tinggal di luar negeri dapat meneruskan pekerjaannya dengan tenang dan dapat hidup nyaman oleh karena adanya hubungan tersebut. Selanjutnya seorang India yang dilahirkan di Afrika atau di tempat lain di luar negeri dapat kembali dan hidup di desa kakeknya dan kehadirannya akan diterima sebagai suatu hal yang wajar. Ia akan diterima dengan mudah oleh para warga desa, meskipun mereka tidak mengenal mukanya, ayah atau kakeknya. Mereka itu menerimanya oleh karena ia terikat dengan desa itu dengan ikatan keluarga patrilinial.
Akan tetapi seorang Jepang dalam keadaan yang sama harus menghadapi keadaan yang sangat tidak enak dan ia harus mengerahkan keberaniannya untuk pergi kembali hidup di desa kakeknya. Warga desa di situ akan berkata 'Ini muka baru yang kita tidak kenal', dan mereka akan berkata padanya "Tidak seorang pun yang ingat akan kakeknya; orang-orang sezamannya semua sudah meninggal. Keadaan sudah banyak sekali berubah di sini". Ia akan diperlakukan sebagai orang luar, dan bahkan jika pada akhirnya nanti ia diterima, ia akan ditempatkan pada bagian terbawah dalam hirarki, tanpa diberi hak penuh dalam keanggotaan desa. Ia diharapkan memberikan sumbangan besar kepada dana komunal, persis seperti yang diharapkan dari pendatang baru yang tidak ada ikatan lama sama sekali. Di dalam kehidupan sehari-hari ia akan ditinggalkan sendirian dan ia akan tetap dibiarkan di luar kehidupan sosial persekutuan desa; oleh karena kebiasaan dan kepentingannya sangat berbeda dengan kebiasaan dan kepentingan pada warga desa, maka sangat sulit untuk mencapai suatu bentuk saling pengertian. Di sini pertalian kerabat yang tidak nampak itu tidak cukup kuat untuk menentukan sahnya hubungan antaranya dengan para warga desa. Akan tetapi di dalam persekutuan Hindu diakui sahnya pertalian kerabat dapat mengatasi putusnya waktu dan ruang untuk mempertahankan hubungan pribadi.
Seorang Jepang yang meninggalkan desa aslinya untuk jangka waktu yang lama enggan untuk pulang kembali, meskipun ia biasanya mempunyai kerinduan pada desanya. Ia akan berkata "Orang tua saya telah meninggal, saudara lelaki dan saudara perempuan saya sudah tua, sekarang giliran keponakan-keponakan saya. Orang tidak dapat mengharapkan sesuatu dari mereka." Atau, "Sekarang sudah ada angkatan baru semenjak saya pergi. Saya tidak mengenal mereka secara baik." Akan tetapi pertalian kerabat dapat mempunyai kefektifan dalam hal yang sebaliknya, ialah bagaimana seorang misan, seorang keponakan laki-laki atau perempuan dari desa asli minta bantuan dari bekas warga desa pada saat yang belakangan ini pindah ke kota di mana ia bertempat tinggal.
Pertalian kerabat, persahabatan atau keanggotaan kelompok, semua itu cenderung untuk mengendur karena perpisahan phisik. Bahkan pengurangan dalam seringnya bertemu dengan seorang teman menyebabkan hak-hak dan suara seseorang di dalam hubungan seseorang berkurang juga. Sudah lama menjadi kenyataan, bahwa seorang Jepang yang mengenal baik orang-orang Cina dan Inggris terkesan sekali dan iri hati karena tetap dan teguhnya hubungan pribadi mereka meskipun mereka berpisah dalam jangka waktu yang lama. Dapat dirasakannya hubungan di dalam hubungan pribadi merupakan unsur yang vital di dalam menciptakan kesatuan, khususnya di dalam kelompok yang tidak memiliki aturan-aturan yang universal, lagi pula sedikit perlengkapannya untuk dapat bertahan terhadap lubang-lubang kerusakan yang dibuat oleh ruang dan waktu. Bahkan bagi seseorang yang secara badaniah hadir di dalam kelompok tersebut, benturan emosi dapat mengakibatkan hilangnya persahabatan. Hal ini merupakan penunjang yang tidak kokoh bagi kelompok tersebut. Namun sekaligus hal itu mempermudah dicapainya sebuah keadaan di mana perekrutan selamanya terbuka di bagian terbawah hiraki di mana siapa saja dapat menjadi calon. Meskipun hal itu membantu adanya ketidakstabilan, namun juga memberikan kesempatan untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi keadaan yang berubah-ubah.
Sebagai ikhtisar: Sementara orang Jepang memberikan arti yang sangat penting pada kenyataan dan menghargai kesiapsiagaan untuk bereaksi terhadap situasi yang berubah, ia tidak mempercayai ataupun menetapkan hukum universal, yang sifatnya melepaskan diri dari kenyataan yang langsung dihadapi sekalipun dapat disesuaikan dengan keadaan yang mana pun. Jepang tidak memiliki konsep "organisasi" atau konsep "hubungan" yang terlepas atau terpisah dari manusia yang nyata. "Organisasi" dikonsepsikan sebagai sejenis rangkaian sambung-menyambung dari hubungan-hubungan kongkret antara manusia dan manusia. Kehadiran nyata manusia itu sendiri merupakan sebagian dari "Organisasi". Hal ini dapat dilihat dengan jelas, misalnya, di dalam pengembangan daerah-daerah pengembangan di luar kota besar. Rumah pribadi dibangun di sana-sini, kemudian menyusul pembangunan di antaranya, dan bilamana selama itu terjadi pengelompokan-pengelompokan rumah pada penghuni dirasakan perlunya membangun jalan, akhirnya jalan-jalan sempit dibuat, berliku-liku sedemikian rupa sehingga tiap rumah di dalam kelompok itu bisa dicapai. Keadaan tidak teratur itu tidak saja terdapat pada pembangunan jalan, namun juga pada pemberian nomor, yang dibuat menurut urutan dibangunnya rumah dan bukan menurut urutan blok-bloknya atau lokasi dari satu rumah tersebut. Akibatnya pemberian nomor rumah sama sekali tidak masuk akal, dan seorang asing tidak akan mungkin bisa menemukan sebuah rumah hanya dengan petunjuk nomornya saja.
Maka sungguh mengherankan, bahwa sedikit sekali usaha yang dilakukan, baik oleh para perencana maupun oleh para penghuni untuk membangun jalan atau menetapkan rencana untuk blok atau daerah sebelum pekerjaan pembangunan rumah dimulai. Daerah-daerah Tokyo yang begitu luas, merupakan contoh yang paling menyolok tentang konsep organisasi Jepang: daerah-daerah itu tersebar, secara harfiah, seperti amuba! Yang mengherankan lagi, proses semacam ini hampir tidak menjadi baik selama seratus tahun terakhir, jika dibandingkan dengan perkembangan dalam industri yang demikian mengejutkan. Tentu saja orang akan menemukan sesekali daerah tempat tinggal yang direncanakan secara baik yang dibangun oleh salah sebuah perusahaan perumahan yang besar, akan tetapi hal ini merupakan satu perkecualian keadaan. Yang lebih menonjol adalah tetap adanya kekuatan sosial asli dalam menghadapi kemajuan-kemajuan teknik yang besar. Teknik dapat dengan mudah dimasukkan dari luar negeri dan diperbaiki, akan tetapi sangat sulit untuk mengubah sistem yang menjadi unsur tak terpisahkan dari organisasi sosial.
Hal yang nyata, unsur inti di dalam "organisasi" bagi orang Jepang, mungkin juga mempunyai pertalian dengan konsep keagamaan orang Jepang. Kebudayaan Jepang tidak mempunyai konsep satu Tuhan ada secara abstrak, dan sama sekali terlepas dari dunia manusia. Dalam analisa terakhir, kesadaran Jepang akan objek dari pengabdian keagamaan tumbuh dari hubungan kontak langsung di antara perorangan; hal itu dikonsepsikan sebagai perluasan dari ikatan perantara ini. Apa yang dinamakan pemujaan leluhur di Jepang sama sekali berbeda dari pemujaan leluhur orang Cina: pemujaan itu memberikan suatu lukisan yang berdasarkan konsepsi kongkret dari nenek moyang di suatu rangkaian angkatan yang berlangsung dari orang tua yang meninggal hingga ke pendiri rumah yang ditempati oleh keluarga. Keturunan nenek moyang diakui tidaklah terlalu panjang, hampir tidak lebih tua dari zaman nenek moyang yang hidup dalam ingatan sebagai tokoh pribadi yang kongkret. Bahkan Kaisar, dengan leluhurnya, dikonsepsikan sebagai tokoh mutlak dari satu urutan perpanjangan keturunan dari pertalian-pertalian nyata yang umum bagi orang Jepang lewat nenek moyang mereka masing-masing: beliau bukanlah seorang tokoh suci yang terlepas dari rakyatnya.
Baca: Buku Masyarakat Jepang
Comments
Post a Comment