Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
BAB 4
CIRI DAN ORIENTASI NILAI ORANG JEPANG
1. Dari Bangku Sekolah ke Pekerjaan
Bab-bab yang terdahulu memberikan uraian mengenai struktur masyarakat Jepang. Kini marilah kita alihkan pembicaraan kita pada orang-orang yang berurusan dengan sistem itu, sebagai sarana untuk mempelajari ciri dan orientasi nilai orang Jepang pada masa kini.
Masyarakat yang tidak begitu mengembangkan perbedaan kelas memberikan peluang lebih banyak kepada orang untuk terjun dalam persaingan bebas ke arah keberhasilan, daripada masyarakat dengan kelas atau kasta yang tegas. Pada umumnya di Jepang kemampuan pribadi dan prestasi seseorang lebih banyak diperhitungkan daripada latar belakang keluarga. Apakah seseorang dilahirkan di dalam suatu keluarga terhormat atau kaya atau di dalam lingkungan keluarga petani yang miskin tidaklah dipersoalkan begitu ia dapat masuk ke dalam kelompok yang terhitung berhasil. Dia akan mendapatkan peluang untuk menjadi orang yang berhasil dan dapat diharapkan. Orang terutama digolong-golongkan menurut kelompok yang diikutinya (atau menurut orang yang menjadi panutan hidupnya); ia dinilai menurut kegiatan yang dilakukannya sekarang dan bukan atas dasar latar belakang kelahirannya. Sesudah diterima dalam kelompok tertentu, asalkan kemampuan dan prestasinya tidak merosot di bawah standar, hampir dapat dipastikan bahwa ia akan dapat naik pada jenjang-jenjang hirarki dalam kelompoknya. Tentu saja karena ia mendapatkan kedudukan yang makin tinggi, ia akan mengalami persaingan yang makin ketat dari teman-teman sejawatnya. Tetapi batas-batas keberhasilan dan kegagalan di dalam bidang yang sedemikian terbatas memang tidaklah luas, betapapun dalamnya perasaan baik dari dia sendiri maupun dari teman sejawatnya. Dengan demikian faktor yang menentukan keberhasilan adalah peluang untuk masuk dalam kelompok tertentu.
Karena kelompok diletakkan di atas dasar susunan hirarki yang kaku, maka orang harus masuk di dalam hirarki itu dari bawah sekali. Bila orang dimasukkan langsung pada posisi tertentu di luar itu maka susunan tersebut akan terganggu dan kaitan di antara para anggota yang sudah ada ikut terhambat. Di dalam sistem ini orang lebih untung bila tetap bersama dengan kelompoknya yang pertama daripada pindah-pindah dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Menetap di dalam satu kelompok berarti naik dari tingkat satu ke tingkat yang selaras dengan bertambahnya masa kerja, karena kelompok selalul merekrut orang dan menempatkannya di bawah tingkatannya sekarang, sementara anggota lama dari kelompok hanya keluar lantaran pensiun atau meninggal. Dengan demikian bila tiba waktunya, ia dapat mengadakan akumulasi modal sosialnya dengan tetap bersama dalam kelompoknya. Tentu saja modal sosial ini tidak dapat dialihkan atau dibawahnya serta bila ia keluar dari kelompok tersebut, pindah ke kelompok lainnya.
Kadang-kadang di bidang industri orang yang sangat cakap dan terhormat diajak menggabungkan diri dalam kelompok lain dengan diberi gaji yang jauh lebih tinggi. Tetapi kalau ia sudah naik pangkat di perusahaannya katakanlah sebagai kepala seksi, orang yang mendapatkan tawaran demikian biasanya menolak, sekalipun gaji yang akan diterimanya di kelompok lain itu dua atau tiga kali dari gajinya yang sekarang. Dengan cermat ia akan menghitung-hitung dan membandingkan keuntungan ekonomis terhadap kerugian yang ditanggungnya dalam hal modal sosial. Perusahaan tempat ia bekerja sekarang bergengsi tinggi dan memberinya, sesuai dengan pangkat yang disandangnya sekarang, gaji yang tidak di bawah standar di Jepang, sekalipun gaji ini masih belum sesuai dengan kemampuan dan usaha yang dicurahkannya. Perusahaan tersebut menjanjikan kenaikan pangkat yang bertahap selama ia tetap bekerja di situ (dan sekalipun tanpa pernyataan yang dituangkan dalam bentuk kontrak, ia tetap percaya pada janji semacam itu). Di pihak lain, perusahaan yang menawarkan kepadanya gaji yang lebih tinggi berdasarkan kecakapannya mungkin tidak dapat menjamin prospek kenaikan pangkat serupa itu, atau setidak-tidaknya ia tidak mempunyai harapan akan promosi seperti itu, karena ia tidak mempunyai masa kerja yang cukup lama. Ia selanjutnya memikirkan pada masa-masa di mana kemampuannya mulai menurun; bila ia tetap bekerja pada perusahaannya yang sekarang maka masa depannya akan terjamin dan ia akan dipromosikan pada pangkat yang lebih tinggi sekalipun bakat dan kemampuannya berdaya guna mulai merosot. Sekali lagi, pindah dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain berarti kehilangan rekan-rekan sejawat dan sahabat, dan ia akan masuk dalam lingkungan yang belum dikenalnya, sehingga ia belum mendapatkan kepastian apa-apa sehubungan dengan ihwal pergaulan. Ini merupakan pertimbangan vital bagi orang Jepang, seperti yang akan kita bicarakan nanti. Maka pertimbangan-pertimbangan tentang jaminan dan gengsi ini dapat mengimbangi daya tarik gaji yang lebih tinggi dan pada akhirnya membuat dia menolak tawaran yang diajukan padanya. Ia cukup memahami cerita panjang yang menyedihkan tentang orang-orang yang pindah kerja selagi berada di tengah-tengah perjalanan karirnya.
Tentu saja ada banyak cerita terkenal di Jepang tentang para pendatang baru, pada permulaan karirnya, yang membuat suasana lingkungannya jadi sangat tidak enak, sekalipun ia memperoleh jabatan tinggi dan jelas memberikan banyak bantuan kepada perusahaan yang baru itu. Seorang setengah baya yang sangat cakap bekerja belum lama ini melukiskan pengalamannya sebagai berikut:
"Seperti Anda ketahui, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu dijelaskan menurut logika. Ada banyak sekali macam ungkapan yang tidak cocok dengan saya; hal itu tidak hanya dilontarkan dalam kaitan dengan prosedure bisnis yang formal melainkan lebih-lebih dalam lingkungan dan kaitan tak resmi yang tidak dapat saya ikuti. Sesungguhnya keadaan itu seperti hubungan antara mertua yang tua di dalam keluarga tradisional Jepang dengan menantu perempuannya mengenai penggaraman sayuran yang sedang dipetik. Bagi sang mertua pekerjaan menantunya serba salah; entah garamnya terlalu banyak sehingga sang menantu dituduh memboroskan garam, entah garamnya terlalu sedikit sehingga sayurnya terasa hambar. Demikianlah apa saja yang saya kerjakan selalu mengundang kritik dan keluhan. Hampir tidak ada alasan nyata atau fakta negatif yang dikemukakan. Itu semua sebaliknya timbul dari iri hati, dari perasaan tidak senang bahwa ada orang baru yang tidak bekerja mulai dari dasar seperti yang telah mereka lakukan. Dalam keadaan seperti ini orang hanya dapat membuktikan kemampuannya bila atasannya cukup kuat untuk melindunginya dari rekan-rekan lainnya. Dan bila atasannya pensiun, atau bila ia kebetulan keluar, maka pekerja tersebut akan merasa terlempar dalam situasi yang benar-benar tidak toleran.
Kasus berikut ini juga tidak merupakan perkecualian. Seorang eksekutif, setelah bekerja selama sepuluh tahun di dalam satu perusahaan, pindah ke perusahaan lainnya. Walaupun di dalam perusahaan yang baru ia ditempatkan sebagai manajer di kantor cabang London bekerja selama dua puluh tahun, ia tetap tidak diterima sepenuhnya. (Tetapi mungkin perlu ditegaskan bahwa perpindahan kerja sesudah seseorang pensiun harus dikecualikan dari praktek demikian).
Kesulitan bukan hanya dalam hal pindah kerja dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru; orang yang berhenti kerja karena sesuatu alasan untuk beberapa tahun juga sangat sulit untuk kembali bekerja dalam lingkungannya yang lama. Begitu seseorang pergi meninggalkan pekerjaannya, kedudukannya akan segera diisi oleh orang yang memperoleh giliran promosi langsung sesudahnya, sehingga sangat sulit baginya untuk memperoleh lowongan manakala ia menyatakan keinginannya untuk kembali bekerja. Inilah pula sebabnya mengapa sulit untuk mendapatkan orang untuk jabatan tertentu pada organisasi internasional seperti UNESCO dan ECAFE. Walaupun ada orang yang cakap dan tertarik pada jabatan itu, namun orang tersebut mungkin merasa belum siap untuk menanggung risiko yang diketahuinya, yaitu bilamana kontrak jangka pendek selesai mereka tidak memperoleh jaminan untuk memperoleh pekerjaan kembali di Jepang yang sama baiknya dengan jabatan yang sekarang diduduki, atau bahkan lebih baik lagi. Sementara itu mereka akan merasa berat meninggalkan promosi tertentu, yang menjadi hak setiap pekerja yang tetap setia pada organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian sistem dalam negeri Jepang menghalangi perpindahan pekerja ke badan-badan internasional. Sistem itu juga tidak memberikan keleluasaan pada seseorang untuk ikut serta dalam suatu proyek walaupun orang tersebut mempunyai kemampuan besar dan jangka waktu proyeknya terbatas. Oleh karena itu proyek-proyek baru selalu diserahkan kepada orang-orang yang sudah mapan kedudukannya atau sudah pensiun. Mungkin sudah dapat diperhitungkan dari komposisi personalianya, efisiensi usaha seperti itu relatif rendah bila dibandingkan dengan efisiensi lembaga yang sudah mapan dan memiliki personalia tetap untuk jangka panjang.
Kesulitan yang ada dalam usaha penggantian pekerjaan di Jepang menimbulkan praktek untuk memegang banyak jabatan sekaligus. Hal ini mungkin baik sekali untuk meningkatkan gengsi seseorang, tetapi tidak baik untuk meningkatkan efisiensi. Misalnya sering terlihat sesuatu perusahaan Jepang memiliki personalia terlalu banyak untuk jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan; dan dalam hal proyek gabungan, para pemimpin organisasi akan terdorong untuk mendapatkan orang-orang terkenal yang tinggi statusnya untuk dijadikan anggota komisi, guna menjamin penghargaan dan pengakuan sosial yang lebih luas, sekalipun orang-orang ini terlalu jauh tempat tinggalnya untuk dilibatkan dalam kegiatan nyata proyek yang bersangkutan.
Belum lama ini sering orang mengatakan bahwa promosi yang dilaksanakan atas dasar jasa dan bukan atas dasar senioritas menurut pola Amerika dan Barat menjadi lebih menarik di Jepang, dan memang manajemen modern sedang mengalami perubahan ke arah praktek ini. Namun kenyataannya tidak ada peningkatan mobilitas orang-orang yang bekerja di lembaga-lembaga yang tingkatnya lebih tinggi, di mana baik pimpinan maupun karyawan nampaknya lebih menyukai sistem kerja sepanjang hidup secara tradisional. Pindah pekerjaan di Jepang diistilahkah dengan "mengotori curriculum vitae seseorang". Tidak dapat disangsikan lagi bahwa orientasi semacam ini berhubungan erat dengan kenyataan bahwa identifikasi kelompok yang dimiliki seseorang itu terbentuk pada masa-masa yang cukup dini dalam perkembangan karirnya, dan bahwa kesetiaan seseorang kepada suatu kelompok (selalu satu saja kelompok khusus, dan kepada kelompok itulah seseorang mencurahkan minatnya yang utama) juga berkembang pada masa yang dini.
Ada contoh yang sangat baik tentang orientasi sosiologi ini: Dua buah perusahaan yang terkemuka, A dan B, yang sama-sama memiliki sebagian kegiatannya dalam sektor industri, telah mendirikan satu perusahaan baru dengan cara menggabungkan bagian yang sama dari perusahaan induk, dengan menyetorkan jumlah modal yang sama, jumlah staf pimpinan dan karyawan yang sama dan seterusnya. Sistem intern perusahaan yang baru itu disusun seseksama mungkin, sehingga orang-orang yang berasal dari dua perusahaan induk itu dapat menikmati saham dan hak-hak yang sama pula dalam menjalankan perusahaan; demikianlah satu orang dari perusahaan A ditetapkan sebagai kepala bagian X dan satu orang dari perusahaan B menjadi wakilnya, sedangkan kepala bagian Y adalah orang dari perusahaan B, dan wakilnya adalah orang dari perusahaan A dan seterusnya. Namun demikian tenaga fungsional dari perusahaan baru itu sangatlah rendah, karena ia terobek-robek oleh kesetiaan masing-masing pekerja kepada perusahaan aslinya. Sekalipun ada gambaran-gambaran masa depan yang cerah bagi usaha-usaha yang dilancarkan oleh para organisator puncak dari perusahaan itu, agaknya kecil saja harapannya bahwa semangat baru yang merupakan semangat gabungan dapat tercipta. Bahkan boleh dikatakan pikiran orang-orang itu kembali lagi ke perusahaan asal dari mana mereka datang dan usaha-usaha yang mereka jalankan selalu mereka tujukan untuk perusahaan asal mereka itu, dengan harapan bahwa pada suatu hari nanti mereka akan diperbolehkan kembali ke perusahaan asal mereka sebagai imbalan atas sumbangan-sumbangan yang mereka berikan kepada perusahaan itu selama mereka bekerja dalam perusahaan baru. Para manajer puncak dari kedua perusahaan itu sepenuhnya sependapat bahwa keuntungan-keuntungan ekonomis bersama yang dapat diperoleh dengan mendirikan perusahaan baru itu; tetapi mereka tidak menyadari atau gagal memperhitungkan adanya orientasi sosiologis dan psikologis yang dalam dari para karyawannya. Bagi para karyawan, kepindahan mereka itu dianggap sebagai kepindahan ke pos yang kurang menguntungkan, karena dalam perhitungan mereka perusahaan yang baru itu jauh kurang prestisenya dibandingkan dengan perusahaan yang asli. Di samping itu, mereka merasa sukar bekerja berdampingan dengan orang-orang yang sudah demikian lamanya menghirup udara yang lain; maka bukannya semangat kerja sama yang timbul di sini, melainkan sikap saling bermusuhan. Demikianlah diduga bahwa perusahaan yang baru itu tidak akan dapat diusahakan bekerja secara ideal sebelum kira-kira dua puluh tahun, sesudah orang-orang berasal dari kedua perusahaan yang asli itu mengundurkan diri dan sebagian besar dari tenaga kerja di perusahaan itu terdiri dari pekerja muda yang baru memulai karirnya.
Keterikatan seseorang secara kokoh kepada satu kelompok yang mempekerjakannya di masa permulaan sangatlah besar artinya bagi pengakuan sosial seseorang. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kesetiaan kepada kelompok dan rasa permusuhan kepada kelompok-kelompok yang lain. Kalau kelompok lain itu lebih kecil dan lebih rendah derajatnya, orang cenderung untuk menganggap rendah para anggota kelompok itu. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam persoalan peleburan beberapa perusahaan. Kasus yang belum lama terjadi adalah peleburan antara Nissan (kelompok mobil yang terkemuka) dan Prince (sebuah perusahaan yang lebih kecil). Secara umum diakui oleh orang-orang yang bersangkutan bahwa orang-orang dari Prince dianggap rendah oleh orang-orang dari Nissan dalam perusahaan gabungan yang baru itu, dan insinyur-insinyur serta eksekutif-eksekutif yang sangat baik dari Perusahaan Prince yang lama itu telah mengalami penghinaan yang tidak dapat ditenggang. Karena adanya kecenderungan sosial seperti itu, maka pentinglah bagi seseorang untuk memasuki satu kelompok atau lembaga yang lebih baik pada tahap-tahap permulaan karirnya. Bukan hal yang dibesar-besarkan kalau di sini dikatakan bahwa status perusahaan yang mempekerjakan seseorang itu menguasai ruang lingkup kesanggupan orang itu. Kemungkinan untuk mendapat pekerjaan seperti itu sangat tergantung kepada usaha dan nasib baik semasa ia muda, dan bukan tergantung kepada latar belakang keluarganya atau kekayaannya.
Dalam perjalanan sejarah sosial Jepang, pertemuan-pertemuan yang bersifat kebetulan dan diikatnya hubungan-hubungan pribadi yang kokoh pada tahapan yang dini seringkali memiliki arti yang besar bagi keberhasilan seseorang. Orang yang dilahirkan dalam lapisan masyarakat yang rendah tetapi beruntung kenal dengan orang yang bermasa depan sering memperoleh sukses, sedangkan yang dilahirkan di tengah keluarga tingkat tinggi sering menemui kegagalan. Dengan kata lain, keterikatan dan harapan-harapan seseorang seringkali tertuju kepada kobun-nya, dan bukan kepada anak-anak dan kerabat sendiri. Memang kedudukan atau status tidaklah dimonopoli oleh satu keluarga yang khusus atau kelompok berstatus, karena posisi atau status perorangan dalam garis vertikal itu didasarkan pada hubungan pribadi yang bersifat langsung dengan orang-orang lain, dan posisi seseorang jarang diserahkan kepada orang yang tidak secara langsung ada hubungan dengannya di dalam pekerjaan. Ada banyak kasus, bagaimana seorang ayah yang memiliki posisi yang penting menunjuk seorang di antara bawahannya menjadi penggantinya yang membawahi anaknya sendiri; anak yang dilewati itu boleh mencari karir sendiri di luar usaha ayahnya atau boleh menerima semacam pensiun dari bisnis ayahnya, atau ia boleh tinggal sebagai bawahan orang yang telah menggantikan ayahnya. Memang banyak usaha bisnis yang dijalankan oleh orang yang dikenal dengan gelar tradisional banto (yang artinya secara harfiah adalah caretaker: dalam sistem yang modern seorang banto menduduki jabatan tertinggi seperti seorang preside atau direktur sebuah perusahaan); banto biasanya adalah bawahan yang paling senior dari seorang yang sudah meninggal, dan seringkali menggantikan usaha bisnis membawahi anak-anak dan kemenakan-kemenakan orang yang telah meninggal itu.
Pola penggantian seperti ini dapat ditemukan di banyak perusahaan bisnis yang tradisional; ia tidak hanya merupakan ciri dunia industri masa kini. Banyak contoh, bagaimana seorang pengganti seperti itu mengawini anak perempuan sang tuan dan secara sah memperoleh julukan "menantu" (lihat hal 1). Tentu saja jabatan tertinggi itu seringkali diserahterimakan dari seorang ayah kepada anak lelakinya yang telah terlatih dan telah bekerja bersama ayahnya, jadi tidak semata-mata ada hubungan kekeluargaan. Tetapi dalam hal-hal seperti itu si anak barangkali akan menghadapi hubungan pribadi yang kurang enak dengan orang-orang yang lebih senior dari dirinya, dan tadinya secara langsung telah mengikatkan diri kepada ayahnya; kesetiaan mereka itu kepada sang ayah tidaklah dapat dengan mudah dipindahkan kepada si anak. Si anak tentunya mempunyai kobun sendiri walaupun ia menggantikan usaha bisnis ayahnya, dan ini mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur kekuasaan di puncak kelompok itu, dengan demikian terbuka jalan bagi orang baru untuk memperoleh kekuasaan.
Bahkan di dalam sistem ke-shogun-an Tokugawa yang tampak mantap dan keras itu terdapat banyak mobilitas di antara keluarga-keluarga samurai yang terkemuka sebagai akibat dari mekanisme ini. Anak seorang menteri yang berkuasa seringkali gagal menggantikan status atau jabatan ayahnya; tetapi anak seorang yang rendah statusnya bisa memperoleh sukses besar dan menanjak sampai menduduki jabatan yang tinggi di dalam ke-shogun-an. Mobilitas jenis ini bukanlah akibat dari intrik-intrik yang ada di antara keluarga-keluarga yang berpengaruh, merupakan hasil dari sebagian akibat dari prestasi orang itu sendiri, karena kepribadian dan kemampuannya, dan sebagian bisa juga merupakan akibat dari suatu kebetulan, seperti misalnya kebetulan pernah menjadi teman masa kecil dari pengganti shogun. Prosedur yang biasa dianut oleh para shogun muda yang menggantikan jabatan ayahnya ialah dengan menunjuk teman-temannya sendiri untuk menduduki jabatan-jabatan penting di ke-shogun-an, sementara orang-orang tua yang telah ikut memegang kekuasaan dengan perkenan ayahnya sedikit demi sedikit mengundurkan diri dari panggung.
Pola mobilitas antargenerasi yang serupa dengan itu kelihatan juga pada kaum elite politik Jepang modern. Ini merupakan pola dasar yang sangat umum di berbagai lapangan profesional modern sekalipun cara-cara dan lembaga-lembaga perekrutannya, tentu saja, berbeda dan lebih tidak bersifat pribadi. Mobilitas yang menonjol ini seringkali menguatkan gambaran sosial orang Jepang yang baku mengenai anak orang kaya yang bebal, tidak mampu dan biasanya hanya menghamburkan kekayaan yang telah ditimbun oleh ayahnya; dan menguatkan pula gambaran mengenai anak orang miskin, namun rajin dan mencapai sukses. Ada peribahasa yang mengatakan, bahwa generasi pertama memperoleh kekayaan, generasi kedua menikmati status ayahnya dan menghabiskan kekayaannya, dan generasi ketiga kembali menjadi miskin. Hasil yang dicapai di bidang sosial dan ekonomi oleh orang yang dilahirkan di tengah keluarga yang sangat miskin dianggap sangat bermutu di antara kebajikan-kebajikan yang dapat dilakukan oleh orang Jepang.
Sistem pendidikan modern di Jepang sangat membantu terjadinya mobilitas jenis ini. Doa orang tua yang bunyinya: "Karena aku tak dapat masuk sekolah tinggi atau universitas dan hanya sampai anak tangga yang paling bawah, aku berharap anak-anakku akan berhasil" barangkali lebih kuat terdengar di Jepang daripada di masyarakat mana pun yang lain. Masuk universitas, terutama masuk universitas yang baik, dianggap sebagai syarat utama untuk memperoleh mobilitas ke atas. Sistem pendidikan Jepang mengambil makna penting dari implikasi sosialnya yang berat itu.
Dalam sistem kerja tradisional di Jepang yang mencerminkan sikap umum orang Jepang terhadap kualifikasi pendidikan, kemampuan seseorang secara langsung dan sederhana diterjemahkan melalui kualifikasi pendidikannya. Baik lamanya pendidikan maupun mutu pendidikan itu merupakan kriteria yang relevan. Dengan adanya patokan seperti itu, orang yang kualifikasinya hanya sampai tingkat sekolah menengah tidak akan dapat bersaing dengan seorang lulusan universitas dalam memperoleh kerja atau dalam mendaki tangga promosi, apa pun kemampuan dan pengalaman yang dipunyainya. Tiga atau empat tahun dalam masa permulaan membawa perbedaan yang berarti di Jepang. Memang, masyarakat pada umumnya menganggap latar belakang pendidikan sebagai salah satu ukuran terpenting atas kemampuan dan kedudukan sosial seseorang, dan tidak tinggi anggapan orang terhadap apa yang diperbuat seseorang di luar pendidikan sekolah. Sikap semacam ini adalah hasil dari sistem senioritas, seperti yang sudah dibicarakan secara terperinci di atas. Kualifikasi pendidikan itu jelas dan dapat dimengerti, dan ia dapat dipakai sebagai petunjuk yang nyata, sebaliknya sukarlah bagi setiap orang untuk dapat menilai pengalaman dan prestasi seseorang di luar sekolah atas dasar patokan yang dapat diterima dan diakui secara umum. (Soal ini mendapat penekanan dalam wawancara-wawancara dengan para manajer yang menghadapi kesulitan-kesulitan dalam melakukan peralihan dari sistem senioritas ke sistem jasa). Seperti sudah ditunjukkan di atas, cara menilai orang Jepang itu ditujukan ke arah pelembagaan yang rapi; kriteria yang jelas mudah dipahami diberi bobot yang lebih berat daripada jasa perorangan. Dalam rangka inilah maka lembaga-lembaga pendidikan memainkan peranan yang jauh lebih penting, karena ia dapat menyodorkan nilai-nilai sosial seseorang dan menetapkan daya kemampuannya di masa depan dalam masyarakat.
Pertimbangan-pertimbangan seperti itu tidak hanya menjurus kepada pembedaan yang jelas antara lulusan universitas dan tamatan sekolah menengah, melainkan juga menjurus kepada pengembangan susunan tingkat di antara sekolah-sekolah yang sama kategorinya, mekanismenya sudah dibicarakan di atas. Kristalisasi susunan itu dapat dengan sejelas-jelasnya dilihat di tingkat universitas, karena di situlah terbentuk hubungan yang langsung dengan kemungkinan memperoleh pekerjaan.
Cara sebuah universitas memainkan peranannya yang penting dalam menetapkan tempat seseorang di dalam masyarakat Jepang itu dapat dilukiskan dengan baik oleh prosedur dan kemajuan yang harus ditempuh oleh seorang mahasiswa biasa. Ujian masuk universitas merupakan satu persaingan yang bebas dan terbuka untuk umum, dan universitas-universitas menolak bentuk penyuapan atau prioritas apa pun, terutama universitas-universitas yang tingkatannya paling tinggi. Kekayaan, status, dan lain-lain hal dari orang tua sama sekali diabaikan (sekalipun di universitas-universitas yang nomor dua tingkatannya tidak selalu demikian keadaannya). Masuk universitas melalui keberhasilan dalam menempuh ujian masuk menempatkan seseorang secara mantap di dalam suatu sistem yang agak mirip dengan kasta. Di antara para mahasiswa Universitas Tokyo misalnya, barangkali terdapat anak-anak petani, pekerja, pengusaha kaya dan profesor, tetapi mereka itu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah semata-mata karena mereka telah berhasil masuk Universitas Tokyo; sesudah itu mereka nanti akan tergolong dalam semacam klik sosial "lulusan-lulusan Universitas Tokyo". Adanya klik-klik universitas di Jepang itu demikian berkembang, kadang-kadang klik-klik itu memiliki fungsi yang dapat dibandingkan dengan fungsi kelompok kasta di India, yaitu di dalam memonopoli hak-hak istimewa tertentu dengan memanfaatkan (dalam arti memberikan pertolongan) persahabatan dan hubungan-hubungan yang bahkan dapat menerobos melewati bagian-bagian departemen dan lembaga. Mereka tidak merupakan satu kelompok tersendiri secara terang-terangan; kesadaran klik mereka itu lebih dapat dirasakan oleh mereka yang berada di luar kelompok daripada yang berada di dalamnya. Tetapi bahwa keuntungan-keuntungan yang bersifat rahasia diperoleh di pekerjaan sesudah mereka lulus.
Tingkatan universitas dimana seseorang menamatkan pendidikannya banyak sedikitnya menentukan cakupan kegiatan orang itu, memberi kemungkinan memasuki tingkat-tingkat status tertentu, dan menentukan berapa banyak sukses yang mungkin bisa diharapkan selama hidupnya sesudah itu. Ada satu kecenderungan, yang makin lama makin kelihatan dalam tahun-tahun belakangan ini, pada pabrik industri atau usaha bisnis yang paling tinggi posisinya, merekrut calon-calong pegawainya dari universitas yang tingkatannya paling tinggi. Pada waktu ini kecenderungan itu menjadi demikian kuat, hingga seperti sudah disebutkan di atas, perusahaan-perusahaan yang posisinya paling tinggi membatasi secara ketat permohonan kerja hanya bagi lulusan-lulusan baru dari universitas-universitas yang tingkatannya paling tinggi.
Sekali masuk kerja, seseorang cenderung untuk tetap bekerja di dalam lembaga itu sampai ia berhenti. Sedikit saja lulusan universitas yang meninggalkan tempat kerja mereka yang pertama, pada umumnya mereka berusaha mendaki tangga semata-mata untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi dalam sistem yang berlaku.
Dibandingkan dengan mobilitas antargenerasi, maka mobilitas horisontal (yaitu perpindahan dari lembaga yang satu ke lembaga yang lain) sangatlah terbatas. Dengan kata lain, kesempatan untuk dapat bergerak ke atas itu ditetapkan di masa memasuki universitas. Jadi masuk universitas yang mempunyai tingkatan paling tinggi berarti membuka pintu ke jalan kelas satu; hal ini kini lebih nyata daripada di masa bapak-bapak dan kakek-kakek kita, karena, dengan naiknya taraf ekonomi, naik juga jumlah orang yang dapat masuk universitas, dan ini mengakibatkan kompetisi yang lebih hebat lagi dan mengakibatkan terbentuknya susunan hirarkis yang lebih ketat ketentuannya di antara universitas-universitas yang ada. Inilah keterangannya, mengapa persaingan untuk masuk universitas-universitas yang tertinggi itu hebat sekali. Kesempatan untuk masuk universitas yang tingkatannya paling tinggi itu semakin luas, apabila orang berasal dari sekolah menengah yang mempunyai nama dan begitu seterusnya ke bawah sampai ke sekolah dasar.
Dengan demikian, pendidikan di sekolah-sekolah Jepang lebih banyak persaingan-persaingan tajamnya daripada di kebanyakan masyarakat-masyarakat lainnya. Kenyataan ini kiranya dapat membantu memberi penjelasan tentang berulang kembalinya setiap tahun berita koran yang tragis tentang peristiwa bunuh diri dari satu, dua calon mahasiswa setelah gagal dalam ujian masuk Universitas Tokyo. Sekalipun ada kemungkinan bahwa calon mahasiswa itu kurang normal, namun peristiwa semacam ini senantiasa masih ditafsirkan sebagai lambang beratnya tekanan sosial yang dipikirkan para pemuda. Juga tidak sulit kiranya untuk memahami mengapa orang-orang Jepang lulusan universitas luar negeri (bahkan mungkin menerima gelar Ph.D) tidak berhasil mendapatkan posisi pada jabatan-jabatan yang baik dalam lembaga-lembaga Jepang yang utama. Oleh masyarakat sekitarnya sarjana-sarjana ini dirasakan asing, sehingga perlu disisihkan karena dianggap tidak cocok dalam hirarki sistem sosial Jepang. Tidak disangkal bahwa tambahan pengetahuan dan pengalaman di luar negeri membawa keuntungan dan prestasi sosial tersendiri, namun dianggap lebih penting untuk memiliki kemantapan pada jalur utama dalam sistem Jepang.
Dalam berbagai bidang, khususnya pada sektor bisnis di Jepang penanganan urusan internasional bertambah dengan pesatnya sehingga kebutuhan akan staf pegawai yang terlatih dan berpengalaman makin meningkat pula. Setiap lembaga mengatasi masalah ini dengan cara yang sama, yaitu mengirim ke luar negeri pegawai-pegawai muda yang berbakat yang telah mengakhiri pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan di Jepang hingga pada taraf universitas, untuk memperoleh pendidikan tambahan pada lembaga-lembaga pendidikan di Barat; kebijaksanaan ini lebih diutamakan daripada menerima sebagai pegawai mereka-mereka yang atas prakarsa sendiri menempuh pendidikan dan mencari pengalaman di luar negeri. Para manajer berpendapat, bahwa metode ini lebih menjamin terpupuknya staf dengan mutu yang lebih tinggi. Sangat menarik untuk dikemukakan bahwa demikianlah cara tradisional memperoleh pendidikan luar negeri menurut sistem Jepang yang sudah dirintis sejak permulaan modernisasi Jepang. Penelitian daftar orang-orang Jepang yang belajar di luar negeri selama seratus tahun yang terakhir, jelas memberi bukti bahwa mereka yang memegang peranan dalam pengembangan modernisasi Jepang setelah kembali dari masa belajar di luar negeri atas biaya Pemerintah atau di bawah naungan perusahaan-perusahaan dagang.
Kesempatan ini merupakan tambahan bukti bahwa sistem sosial dan politik di Jepang yang modern sudah ditetapkan secara mantap pada awal proses modernisasi. Dapat dikatakan bahwa pokok dasar sistem Jepang modern merupakan warisan dari masa Tokugawa, sedangkan perubahan-perubahan modernisasi dalam masa pemerintahan Meiji, yang nampaknya begitu drastis, pada hakekatnya berlangsung tanpa perubahan-perubahan struktur dalam makna yang mengenai sendi-sendi susunan dan bentuk negara. Inilah sebagian sebab mengapa Jepang dapat mencapai tingkat industrialisasi tertinggi sedemikian cepatnya; apabila ada kepentingan untuk mengubah konfigurasi negara, kekacauan yang akan timbul sebagai akibat penyusunan kembali sistem fundamental negara akan mengurangi kecepatan proses kemajuan dan akan membawa penderitaan yang jauh lebih besar. Dengan perkataan lain, roda-roda kendaraan telah lama disiapkan sebelum masa modernisasi, sehingga hanya diperlukan penyesuaian jenis penumpang yang harus diangkut serta perjalanan yang hendak ditempuh. Telah menjadi kelaziman yang dianut orang-orang Jepang untuk memandang modernisasi sejak awalnya sebagai suatu proses yang berlandaskan (atau seharusnya berlandaskan) dan terselenggara oleh perpaduan semangat Jepang dan pengetahuan Barat (wakno-yosai). Berlainan dengan pandangan idealistis ini, modernisasi hendaknya kita telaah dalam rangka struktur konfigurasi politik dan sosial negara; atas dasar landasan tersebut proses modernisasi diselenggarakan tidak dengan jalan mengubah susunan tradisional, namun dengan cara memanfaatkannya. Secara nyata, struktur itu terdiri dari sistem pemerintahan yang sangat terpusat, pengorganisasian kelompok-kelompok secara vertikal dan lain sebagainya. Pendidikan memegang peranan penting dalam melahirkan sistem berbagai lembaga di Jepang modern dengan tingkat yang sangat tinggi. Menjadi pegawai pada sebuah perusahaan asing di Jepang, entah mengapa dipandang sebagai penyimpangan dari sistem tersebut. Sekalipun gaji yang dibayarkan sangat tinggi, namun tidak banyak ahli dengan kemampuan baik yang bersedia bekerja pada perusahaan-perusahaan ini. Keengganan ini pertama-tama bersumber pada tiadanya rasa kepastian akan hari depan. Kedua, perusahaan-perusahaan asing di Jepang entah bagaiman berada di luar batas pandangan kedudukan sosial orang Jepang, sehingga ada kemungkinan para pegawainya pun dipandang sebagai bukan anggota masyarakat Jepang; ini merupakan sesuatu yang tidak mudah diderita oleh orang Jepang. Oleh karena bentuk kehidupan masyarakat Jepang sedemikian rapi susunannya, maka orang yang menempatkan dirinya dalam sistem tersebut; perasaan yang dikandungnya mungkin dapat dibandingkan dengan rasa kewarganegaraan di masyarakat-masyarakat Barat. Sistem kehidupan ini bercabang menjadi berbagai tata-cara yang rumit dan halus, sekalipun demikian pola dasarnya dapat disadari dengan sangat jelas oleh setiap orang, teristimewa bagian sekitarnya dan yang mengenai pribadinya. Sistem sosiologi ini semakin menonjol dengan meningkatnya proses industrialisasi di Jepang dan bertambahnya jumlah orang yang di Jepang dinamakan sarariman (orang yang digaji, atau menurut istilah Whyte, "orang-orang organisasi") yang menempati kedudukan-kedudukan utama dan berkuasa di dalam masyarakat. Dengan kehidupan masyarakat seperti itu, orang-orang organisasi modern di Jepang ini tidak menganggap dirinya sebagai ras atau kelas baru sebagai yang dilakukan oleh teman-teman sejawat mereka orang-orang Amerika. Para sosiolog melontarkan istilah "white collar" atau "kelas menengah", dan orang-orang organisasi di Jepang menamakan dirinya sendiri sarariman, namun mereka masih enggan dipandang sebagai satu kelompok atau lapisan masyarakat tersendiri. Perhatian mereka lebih terpusat pada perusahaan di mana mereka bekerja, dan menurut konsep mereka sendiri, mereka tersusun dalam berbagai kelompok yang diatur secara hirarkis. Kelompok yang dimaksud mengisolasikan diri dari kehidupan luar secara sangat rapat dan ke dalam memiliki struktur hirarkis yang sangat ketat serta memberikan jaminan kepastian hidup bagi para anggotanya, namun pada lain pihak cenderung mengabaikan dinamika yang dibutuhkan untuk dapat menampung perbedaan-perbedaan kualitas seseorang. Oleh karenanya sistem ini paling cocok diterapkan dalam kelompok yang para anggotanya secara garis besar setaraf dan jenis pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka tidak memerlukan jasa seseorang secara khusus. Sesungguhnya, dinas sipil Jepang memenuhi berbagai persyaratan ini. Para pegawai negeri disaring melalui ujian nasional dan mereka mendapat nama sebagai kelompok teratas, dalam arti kata lapisan tertinggi yang dapat dicapai seseorang melalui pendidikan Jepang; mereka kebanyakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Tokyo, yang sekalipun tidak resmi, oleh umum diakui sebagai fakultas yang tertinggi tingkatannya di universitas Jepang yang paling ternama. Sistem kenaikan pangkat (promosi) diselenggarakan menurut cara tangga bergerak (escalator) dan bagi mereka tersedia jabatan dalam jumlah yang cukup untuk menjamin kesempatan promosi teratur dengan kesempatan yang sama besarnya.
Dalam sistem ini pegawai negeri Jepang dengan ciri-ciri dan orientasi nilai manusia Jepang menampakkan sifat-sifat khas yang mencerminkan kesadaran kelompok dari orang Jepang. Tidak seperti halnya dengan Korps Pegawai Negeri India, yang membentuk kelompok semacam kasta ke dalam bersifat terbuka untuk segenap lapisan dan anggotanya, pegawai negeri Jepang bahkan mengembangkan rasa tertutup dengan garis-garis pemisah antar kementerian. Memang hubungan antarkementerian, bahkan antarbagian dalam satu kementerian seringkali sangat mengecewakan. Posisi sebagai senior merupakan masalah yang sangat peka dan ditentukan oleh tahun di mana ujian nasional diadakan. Berbagai kementerian pun memiliki tingkatan yang dikenal baik dan diakui umum. Dengan demikian terdapat minat yang besar terhadap status senioritas seseorang, departemen atau kementerian yang memadamkan kepekaan terhadap hak-hak istimewa yang biasa dikenalnya oleh dinas mereka sebagai keseluruhan. Mereka merupakan kumpulan para ahli yang mampu, penuh kepercayaan pada diri sendiri dan yakin sukses; kepercayaan akan diri sendiri ini makin kuat di kalangan pegawai kementerian-kementerian yang tingkatannya dianggap lebih tinggi. Bagi orang Jepang karir seperti berikut ini yang paling menyenangkan. Orang dapat mencapai jabatan tertinggi yang terbuka baginya, dan tidak lama setelah itu, mengundurkan diri dengan pensiun. Selagi mendekat pada jabatan tertinggi, seperti wakil-menteri; jumlah jabatan yang terbuka baginya makin sangat terabatas. Sudah menjadi kebiasaan bahwa segenap anggota angkatan kelompok tahun (ditentukan oleh tahun mereka mengambil ujian negara) yang berada dalam satu kementerian itu mengundurkan diri, apabila salah seorang dari mereka diangkat sebagai wakil-menteri (menteri muda). Saat itu usia mereka baru melampaui lima puluh tahun dan seperti halnya dengan gadis-gadis cantik yang sudah akil-balik terbuka untuk pelbagai lamaran yang menarik. Tawaran-tawaran ini terutama datang dari perusahaan-perusahaan swasta yang sudah mereka kenal ketika mereka masih menjadi pejabat negara, karena bagi perusahaan swasta banyak keuntungannya untuk memelihara hubungan erat dengan lembaga-lembaga pemerintahan; oleh karenanya bekas pejabat negara yang baru saja mengundurkan diri dari suatu jabatan tinggi, merupakan suatu tindakan bisnis yang sangat menggiurkan.
Berlainan dengan mereka, karir seorang profesional tidak dapat dikatakan ringan. Kemampuan antara seseorang terkadang tidak jauh berbeda, sedangkan jumlah jabatan teras dengan status yang terpandang, sangat terbatas jumlahnya. Untuk menggantikan seorang sarjana, misalnya, yang bersangkutan harus memegang jabatan pada salah satu universitas yang bertingkat tinggi. Namun jabatan seperti itu terbatas jumlahnya, teristimewa karena yang bersangkutan, sekali ia menerima penetapannya (pada umumnya ketika berusia dua puluh tahun) akan tetap pada jabatan dalam lingkungan departemen itu hingga berhenti, tanpa memandang mutu atau kuantitas hasil risetnya. Lamaran pekerjaan untuk lowongan yang disebabkan oleh pengunduran diri seorang pejabat, hanya dipertimbangkan dari kalangan alumni universitas yang bersangkutan, dan karena seleksi pelamar dilakukan pada tingkat departemen, sudah dapat diperhitungkan bahwa akhirnya suara kelompok kecil elite teratas yang menentukan. Terkecuali bila seorang profesor atau kepala departemen sedemikian mulia dan luas pandangannya ada kemungkinan ia akan mengangkat orang yang lebih "kuat" daripadanya (dalam arti kata prestasi akademis atau kepribadian).
Dengan demikian departemen atau lembaga-lembaga pada universitas-universitas yang tingkatannya tertinggi belum tentu memiliki sarjana-sarjana yang bisa dimanfaatkan, bahkan seringkali sarjana-sarjana yang paling ahli gagal untuk mendapat jabatan yang terbaik. Gejala ini tidak hanya terbatas pada universitas-universitas; gejala ini kita temukan pada hampir setiap kelompok pekerjaan Jepang. Ada kelompok-kelompok tidak resmi yang secara hirarkis berkaitan satu dengan yang lain, yang sangat menentang setiap kesempatan yang terbuka untuk persaingan bebas atas dasar keahlian seseorang.
Keadaan terburuk kita jumpai pada bidang seni modern dan musik, karena sifat kedua bidang ini menghendaki persaingan bebas yang dianggapnya paling ideal. Kesulitan-kesulitan timbul sebagai akibat bertahannya sistem iemoto (lihat halaman 78) karena para seniman zaman sekarang terikat pada satu sistem yang sudah terkandung sebagai bibit, dalam organisasi sekolah modern. Pengakuan masyarakat akan keahlian seseorang berkaitan dengan hubungannya dengan gurunya, dan tidak diperoleh dari persaingan bebas berdasarkan pengembangan bakat seseorang.
Sistem seperti itu cenderung mengaburkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam kemampuan individual, karena sekali terjalin hubungan pribadi antara guru dan murid, hubungan itu pada umumnya akan bertahan, karena sang guru tidak akan mudah melepaskan muridnya, karena prestasi (maupun penghasilannya) akan meningkat dengan jumlah mahasiswa yang belajar padanya. Para mahasiswa yang bergabung pada guru yang sama, saling bersaing untuk memperoleh kasih sayang sang guru. Karena itu jalan satu-satunya baginya untuk mencapai kemasyhuran — dan dalam persaingan ini mereka seringkali menggunakan cara-cara lain selain keahlian dalam bidang masing-masing. Oleh karenanya hubungannya dengan guru dan teman-teman sejawatnya kurang baik, atau mungkin karena kelompok gurunya agak lemah dibandingkan dengan kelompok-kelompok saingan lainnya. Lagi pula, sistem iemoto dapat menciptakan rintangan-rintangan besar bagi pendidik yang selayaknya, karena seorang murid tidak boleh mendekati guru-guru lain yang tidak sedaerah atau sekelompok. Sekalipun pendekatan sedemikian itu secara teoritis toh mungkin, namun hal itu mengandung risiko akan kehilangan kasih sayang sang guru dengan alasan kesetiaannya pada yang belakangan meragukan.
Tidak jarang terjadi, bahwa sebuah kelompok mengabaikan anggotanya yang terbaik atau yang paling dapat diharapkan; hubungan dan komunikasi pada umumnya sedemikian jeleknya, sehingga mudah terjadi bahwa anggota sesama bidang kerja terisolasi satu dari yang lain dengan akibat menurunnya mutu umum. Faktor-faktor tersebut di atas merendahkan mutu kegiatan profesional di Jepang, karena keprihatinan untuk penggalangan kerangka kelembagaan mengurangi perhatian yang seharusnya dipusatkan pada pengakuan jasa profesi. Orang berprofesi di Jepang mutunya lebih rendah daripada ukuran sosial negara-negara Barat, bahkan pengertian akan istilah "profesi" itu sendiri jauh daripada jelas. Sebaliknya orang yang memiliki profesi tertentu dianggap sebagai anggota suatu lembaga dan kurang mendapat perhatian, kecuali apabila lembaganya terkenal dan memiliki martabat yang tinggi. Bila misalnya, seorang akademikus disegani dan memiliki nama, hal demikian itu adalah karena ia mengajar pada sebuah universitas yang terkenal baik, dan bukan karena jasa-jasanya di bidang riset ilmiah.
Akibat daripada faktor-faktor tersebut seringkali sangat berarti. Dalam dunia kewartawan misalnya, hampir tidak ada wartawan free lance; setiap wartawan dikenal sebagai wartawan Surat Kabar A atau Z, di mana ia berdinas sejak meninggalkan universitas dan akan tetap bekerja sepuluh tahun yang pertama atau lebih sebagai reporter, kemudian naik pangkat pada jabatan pengawas dan akhirnya termasuk staf pegawai yang menetap di situ. Tetapi penulisan reportase tangan pertama di Jepang dianggap tidak layak bagi orang yang sudah mempunyai kedudukan tertentu, oleh karenanya pekerjaan seperti itu dibagikannya kepada reporter-reporter muda atau kepada sarjana-sarjana yang terkenal, pengarang-pengarang profesional maupun kritikus-kritikus masyarakat. Para wartawan senior dan yang ahli jarang menandatangani atau menyumbangkan karangan-karangannya, karena martabat atau popularitas seorang akademikus atau pengritik meningkatkan daya bersaing dari surat kabar yang mempekerjakan mereka. Wartawan di Jepang tidak memiliki status sosial seperti yang dimiliki rekannya di negeri Barat; ia adalah pengurus karya-karya orang lain dan bukan penulis sendiri, dan dalam kedudukan itu menjadi anggota satu profesi tertentu.
Karir sebagai pegawai kantor baik di bidang perindustrian dan bisnis, merupakan jalan tengah antara dua pilihan, yaitu pegawai negeri dan profesi. Keuntungan yang umum terdapat pada status pegawai negeri tidak kita jumpai, yaitu dengan tiadanya sistem penentuan conduite atau penentuan garis hirarkis; namun pada lain pihak tidak ada pula kekacauan seperti yang terdapat di kalangan profesi. Lebih-lebih karena tujuannya terpusat pada mencari keuntungan, efisiensi manajemen lebih tinggi daripada di sektor pemerintahan, sedangkan penghargaan yang lebih besar di situ diberikan pada jasa perorangan. Sekalipun demikian, seperti yang telah dikemukakan di atas, masih terdapat kesulitan-kesulitan pokok dalam mengetrapkan sistem penilaian penghargaan jasa-jasa; penerimaan pegawai biasanya hanya terbuka bagi mereka yang sudah menyelesaikan pendidikannya, sedangkan ada keengganan untuk menerima bila ia sudah bekerja di tempat lain, terkecuali bila orang itu melamar pada sebuah organisasi baru yang sedang berkembang dengan cepatnya. Karena jabatan sebagai staf sangat terpandang, perusahaan-perusahaan Jepang dibebani dengan kelebihan pegawai staf administratif, bahkan salah satu keprihatinan para manajer yang berpandangan maju ialah bagaimana mengurangi jumlah tenaga administrasi ini.
Masyarakat ini lebih mengutamakan sistem yang sudah melembaga daripada mutu perorangan. Hasil cara bekerjanya sistem ini meratakan kualitas sehingga dengan demikian dapat membantu mengangkat tingkat mereka-mereka yang dalam sistem kerja lainnya, tidak akan termasuk hitungan. Namun pada pihak lain sistem ini tidak dapat memberi kepuasan kepada seseorang yang memiliki kemampuan yang unggul. Kegagalan ini sesuai dengan kesediaan orang Jepang untuk mengkaitkan dirinya dengan kelompoknya dan menghilangkan soal otonomi perorangan. Para kritikus telah mengetengahkan bahwa sejak dimulainya proses modernisasi, Jepang tidak dapat membanggakan diri sudah dapat menyelesaikan proses modernisasi selama kebebasan individu belum mendapat pengakuan yang lebih besar. Namun sangat menarik perhatian, bahwa sistem tradisional yang diwujudkan dalam organisasi kelompok, pada satu pihak tampil sebagai kekuatan utama yang mendorong industrialisasi tingkat tinggi, sedangkan pada pihak lain merupakan juga rem yang secara negatif menghambat kebebasan individu.
Baca: Buku Masyarakat Jepang
Comments
Post a Comment