Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Penutup

Penutup

                                                      BAB VII

                                                     PENUTUP




Sebelum memberikan uraian penutup tentang hubungan religi dengan kebangkitan Jepang modern, saya akan mulai dulu dengan dua atau tiga pertanyaan yang berkaitan dengan pembahasan kita. Kendati demikian, kita tidak akan melakukannya secara amat mendalam, karena hal itu berada di luar lingkup buku ini.

Dengan membatasi analisis hanya pada Era Tokugawa dua aspek utama dari permasalahan hubungan antara religi dan kebangkitan masyarakat industri di Jepang tak bisa tidak terabaikan. Pertama adalah studi historis tentang pembentukan dari apa yang kita sebut sebagai sistem nilai sentral, yang prinsip-prinsip dasarnya kami anggap sudah ada sejak awal Era Tokugawa. Yang kedua adalah analisis tentang era modern, terutama Meiji, dalam kaitannya dengan cara bagaimana nilai-nilai dan motivasi yang telah kita bahas di muka secara sungguh-sungguh menunjang kebangkitan masyarakat industri. Studi tentang kedua hal ini seharusnya dilakukan sama mendalamnya seperti studi dalam buku ini supaya kesimpulan yang diambil bisa sepenuhnya berdasar. Karena hal itu tidak mungkin dilakukan saat ini, di sini kita hanya bisa memberikan saran bagaimana caranya supaya lubang tersebut bisa ditutup.

Sistem nilai sentral, demikian istilah yang kita gunakan, mengacu kepada orientasi paling umum atas tindakan manusia, terutama dalam mendefinisikan tuntutan-tuntutan peran yang ada dalam masyarakat. Relatif sedikit sekali yang dapat diketahui tentang proses yang mengarah kepada terbentuknya sistem-sistem nilai sentral semacam itu, walaupun karya Weber tentang masalah ini mengacu kepada peran penting religi dalam perkembangan sistem nilai ini. Karena kita tidak bermaksud membahas pembentukan sistem nilai sentral tersebut. Kendati demikian, kita telah membahas dua tipe lain dari hubungan religi dan sistem nilai sentral. Setiap sistem nilai sentral cenderung mencerminkan atau mensyaratkan adanya kepercayaan dan kegiatan religius yang seiring. Artinya, harus ada landasan metafisik, sikap dan pandangan tentang dunia, yang menjadikan sistem nilai itu bermakna dalam konteks yang lebih besar, dan dengan demikian mendorong orang untuk menganutnya; dan juga harus ada bentuk-bentuk kegiatan religius yang memungkinkan orang menghadapi ancaman maut, rasa dosa dan ketidakberartian, rasa keterasingan yang mendasar, sedemikian sehingga keterpaduan kepribadian mereka bisa dimantapkan. Dalam Bab III kita telah mengemukakan bentuk-bentuk dasar kepercayaan dan kegiatan religius yang cenderung berkaitan dengan sistem nilai orang Jepang. Walaupun beberapa aspek historis juga disentuh, pada umumnya kita telah mengabaikan dimensi historis dan membahas orientasi-orientasi religius umum yang terdapat pada awal Era Edo. Terakhir, tipe terakhir hubungan antara religi dan sistem nilai sentral yang menjadi perhatian utama kita adalah hubungan antara sistem nilai sentral dengan apa yang kita sebut gerakan-gerakan pietis (gerakan yang mengusahakan revitalisasi kesalehan religius). Gerakan-gerakan semacam ini muncul pada umumnya sebagai bentuk intens dari tradisi religius dasar dan sebagai usaha untuk menanamkan kepatuhan yang lebih kuat kepada sistem nilai sentral, terutama di kalangan kelas-kelas yang agak menyimpang dalam cara mereka menganut sistem nilai tersebut atau pada masa-masa ketika moralitas melonggar. Bab IV, V, dan VI membahas gerakan-gerakan semacam ini pada Era Tokugawa. Di sini kita mencoba menggambarkan bahwa gerakan-gerakan semacam ini, yang bermula dari kepentingan yang sepenuhnya religius akhirnya memberikan sumbangan yang penting kepada rasionalisasi politik dan ekonomi. Tetapi dalam beberapa hal terlihat bahwa semua penitikberatan yang dihasilkan oleh gerakan religius sebetulnya lebih merupakan perkembangan dari kecenderungan yang inheren dalam sistem nilai sentral. Dari sudut pandang ini, sistem nilai sentral itulah yang menjadi variabel terpenting dan yang paling perlu untuk dijelaskan. Walaupun hal ini bukan merupakan pokok bahasan dalam studi ini, dalam proses sejumlah pengamatan telah muncul dan mungkin baik jika dimasukkan dalam bahasan di sini.

Dari sejak awal sejarah Jepang terdapat banyak bukti yang menunjukkan arti penting dan tingginya kesetiaan kepada tuan atau pangeran panutan. Banyak kejadian dalam Kojiki dan Nihongi menunjukkan hal ini. Sebagai misal, Nihongi menceritakan bahwa seorang pengikut Jimmu Tenno dalam pelayarannya menyeberang laut antar pulau telah mengorbankan dirinya dengan cara terjun ke dalam air untuk meredakan badai dan menyelamatkan tuannya.(1) Kondisi masyarakat pada waktu itu diwarnai oleh situasi di mana perang mudah berkobar di tempat-tempat tertentu, dan hubungan antara pangeran dan pengikut, terutama dalam konteks militer, mempunyai arti yang sangat penting. Dari abad yang lebih kemudian (abad 7), kita dapat mengutip sebagian puisi panjang yang ditulis setelah kematian Pangeran Takechi, yang setelah menggambarkan kegagahberaniannya sebagai ksatria menyatakan,

Karena Pangeran kita telah pergi
Untuk memerintah Langit di atas
Dalam kerinduan panjang kami hidup,
Hampir tanpa peduli pada hari-hari dan bulan-bulan yang lewat!
Seperti air dalam danau yang tersembunyi
Di pinggir Danau Haniyasu
Mereka tak tahu ke mana hendak menuju
Galau dan bingung mereka, para nelayan sang Pangeran!(2)

Penekanan pada kesetiaan terhadap tuan dalam suatu masyarakat dengan ciri umum seperti itu tidak terbatas di Jepang saja; demikian juga kesetiaan pribadi yang begitu mendalam sebagaimana nampak pada kutipan di atas. Bandingkan dengan syair Anglo-Saxon berikut, The Wanderer, yang banyak mempunyai kemiripan:

     Seluruh keriaan telah sirna. Betapa perasaan itu memberatinya setelah sang pangeran tercinta tiada lagi memberikan pimpinannya. Ketika kesedihan dan tidur sering kali bersamaan merangkum si orang malang dan kesepian itu, dia merasa seakan merangkul dan menciumi pangeran junjungan, dan ditangkupkannya tangan serta kepalanya di atas lutut, sebagaimana dilakukannya pada hari-hari ketika dia menerima karunia dari tahta. Kemudian terbangunlah orang yang tak berteman itu; dia melihat di depan matanya ombak yang hitam, burung-burung laut yang terbang menukik ke air, membentangkan sayapnya, kabut dan salju jatuh, berbaur dengan es. Maka luka di hatinya semakin memberat, luka yang perih karena kehilangan orang yang dikasihinya; kesedihannya muncul kembali.(3)

Masyarakat Anglo-Saxon ini memberikan penghargaan yang sama tinggi terhadap kesetiaan sebagaimana masyarakat Jepang kuno. Merupakan kehinaan untuk tetap hidup jika tuannya mati dalam peperangan. Seorang ksatria harus memberikan nyawanya untuk kepentingan pangerannya, jika diperlukan, sebagai balasan atas segala apa yang telah diterimanya dari tuannya. Whitelock mengatakan bahwa "jika kepentingan tuan bertabrakan dengan kepentingan keluarga...tanggung jawab kepada tuan harus didahulukan".(4) Dia menyatakan bahwa sikap semacam itu sama sekali bukan hal baru bagi rakyat Jerman dan dia mengutip Tacitus:

     Lebih jauh, adalah cela seumur hidup dan kehinaan untuk tinggal hidup (setelah kematian) tuan dan melarikan diri dari medan perang. Untuk mempertahankan dia, untuk membela dia bahkan bertindak gagah berani demi keagungannya adalah inti dari sumpah setia mereka. Para pimpinan berperang untuk kemenangan, para pengikut berperang untuk pimpinan mereka.(5)

Prinsip semacam ini tidak juga hapus dengan hadirnya agama Kristen dan dia mengutip hukum-hukum Cnut yang kemungkinan besar berasal dari ujung pena Uskup Besar Wulfstan:

     Untuk segala apa yang pernah kita lakukan, dengan sikap setia kepada tuan kita, kita telah melakukan kebajikan untuk diri kita sendiri, karena Tuhan akan menganugerahkan karunia pada orang yang setia kepada atasannya.(6)

Baik di Jepang maupun di Barat, konsep-konsep semi-kesukuan (semi-tribal) tentang hubungan antara pangeran dan pengikut ini bertahan pada Abad Pertengahan dan menjadi salah satu sumber bagi nilai-nilai "feodal" dalam masing-masing kebudayaan. Dalam banyak hal era ini menyaksikan suatu transisi dari kesetiaan yang sepenuhnya personal menjadi kesetiaan kepada status. Dari sudut pandang ini dua kasus di atas tidak lagi paralel. Nilai yang intens dari kesetiaan prajurit tetap memainkan peran tertentu di beberapa kelompok negara yang berbeda, tetapi pada akhir masa feodal dan awal era modern beberapa nilai lain menjadi lebih penting. Di Jepang sebaliknya nilai-nilai tersebut tetap mempunyai arti penting dan diterapkan untuk kelas-kelas dan situasi yang tidak ada kaitannya dengan medan perang suku.

Di Barat universalisme dalam banyak hal mengubah atau mengganti etika kesetiaan prajurit. Sebagai misal, kesetiaan partikularistik kuno diganti oleh ideologi nasionalisme impersonal yang menekankan kesetiaan yang lebih universalistik. Di Jepang, sebaliknya, partikularisme tetap tak tergoyahkan. Nasionalisme Jepang tetap bersifat partikularistik karena fokusnya yang hanya kepada keluarga kaisar, yang telah memerintah terus menerus selama berabad-abad sebagai keluarga utama, sementara semua keluarga Jepang lainnya adalah keluarga cabang darinya. Di Barat di samping adanya beragam jenis hubungan yang rumit, universalisme yang inherern dalam agama Kristen akhirnya berfungsi sebagai penghancur hubungan-hubungan yang bersifat kesetiaan personal di luar keluarga itu. Di Jepang Shinto nasional tidak lebih dari perwujudan kesetiaan partikularistik sedangkan Konfusianisme berfungsi memperkuat kecenderungan tersebut, bukannya menghancurkannya. Budhisme berpengaruh besar dalam etika kesetiaan prajurit yang berkaitan dengan pandangan diri tanpa ego dan asketisme yang lebih memperkuat bukannya menghancurkan kecenderungan di atas.  Ideal prajurit Jepang sama sekali bukanlah baron Abad Pertengahan Eropa yang pemabuk, perampok atau hedonistik. Pemisahan ideal prajurit dari hedonisme atau nasfu menjarah yang menjadi ciri dasar etika prajurit di banyak masa dan tempat menjadi aspek penting yang memungkinkan diadaptasikannya etika tersebut ke dalam kelas-kelas lain selain kelas prajurit. Rahib Budha dengan pengabdiannya yang tanpa pamrih dalam melaksanakan tugas-tugas religius telah dijadikan ideal bagi para prajurit, sebagaimana tercermin dalam surat yang ditulis oleh Minamoto Yoritomo kepada Sasaki Sadashiga pada bulan Desember 1191:

     Prajurit samurai harus bertanggung jawab menjaga keselamatan Penguasa negara dalam bentuk yang sama seperti pengabdian para pendeta Budha dalam mematuhi ketetapan-ketetapan agamanya. Berdasar kenyataan bahwa negara sekarang berada di bawah pemerintahan pihak sipil dan militer dari shogun Kamakura, semua pengikut shogun, tanpa kecuali dari kadipaten mana pun, harus mengabdi kepada tuannya dengan semangat pengabdian yang sama dan setiap waktu harus siap menyerahkan nyawanya sebagai balasan atas kemurahan yang telah diterima. Mereka tidak boleh menganggap hidupnya sebagai milik pribadinya.(7)

Konfusianisme juga mempunyai pengaruh yang besar pada etika prajurit Jepang. Perlu diingat bahwa karakter yang sering kali digunakan untuk menuliskan kata samurai adalah kata Cina shih. Shih, sebagaimana digunakan dalam karya-karya klasik Konfusian diterjemahkan oleh Waley sebagai "ksatria".(8) Masyarakat Cina pra-Chi'n sering kali disebut "feodal", dan terlepas dari apakah istilah itu tepat atau tidak, terdapat persamaan antara masyarakat tersebut dengan masyarakat Jepang yang pada era-era kekaisaran Cina pada masa-masa yang lebih akhir sifat itu sudah tidak ada lagi. Sebagai misal, shih dari masa kuno dengan mudah dapat diasosiasikan dengan samurai Jepang daripada pejabat dari kalangan bangsawan terpelajar dari masa-masa yang lebih kemudian. Yang penting di sini adalah bahwa walaupun beberapa elemen tertentu dari kedudukan prajurit tetap merupakan bagian dari ideal shin, Konfusius dan Mencius telah melangkah lebih jauh ke arah universalisasi ideal ini. Belajar, kebajikan, dan tanggung jawab dalam memerintah rakyat, semua itu merupakan komponen penting darinya. Ideal ini juga mempunyai elemen asketisme atau paling tidak keugaharian dan kebencian kepada praktek atau pengambilan laba. Kesetiaan mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam nilai shih, dan ini yang memudahkan nilai tersebut dikaitkan dengan etika samurai, tetapi pengaruh terpenting pikiran Konfusius ini terhadap etika Jepang adalah kecenderungannya menjadikan etika Jepang bersifat lebih luas melampaui batas masalah militer, bahkan sampai mencakup urusan-urusan intelektual, ekonomi dan pemerintahan.

Perkembangan parsial dari strata prajurit militer menjadi kelas pejabat birokrat, sebagaimana terjadi pada era Tokugawa, lebih bisa dengan jelas diterangkan jika aspek-aspek transisional dari etika Konfusian ini diperhitungkan. Pengubahan ideal prajurit tersebut menjadi ideal "manusia sejati" lebih jauh berdampak dimungkinkannya generalisasi etika tersebut untuk kelas-kelas lain di luar kelas prajurit. Perbedaan yang besar dari Cina adalah kalau di sana aspek militer cenderung mengalami kemandekan dan kesetiaan partikularistik kepada satu tuan atau pangeran tidak utama, walaupun penting, di Jepang militer tetap penting, walaupun mungkin hanya bersifat simbolik, dan konsep kesetiaan kepada satu tuan atau pangeran tetap mengatasi konsep-konsep etis lainnya. Pengaruh penting lain dari paham Konfusian pada Jepang adalah penekanannya pada kepatuhan terhadap orang tua yang membantu merasionalisasikan konsep Jepang tentang keluarga dan kaitannya dengan nilai-nilai "politis" tanpa dapat menjadikan nilai-nilai kekeluargaan sama sentralnya seperti di Cina.

Sebagai kesimpulan spekulasi tentang perkembangan sistem nilai Jepang, dapatlah dikatakan bahwa akar sistem nilai Jepang bermula dari jaman kesukuan kuno dulu tetapi mendapatkan bentuknya yang nyata pada tahun-tahun yang penuh gejolak pada Abad Pertengahan. Pada dasarnya etika kelas prajurit, di bawah pengaruh Konfusianisme dan Budhisme menjadi cukup tergeneralisasikan, sehingga bisa menjadi etika seluruh rakyat. Tetapi terpeliharanya garis keturunan kekaisaran dan religi nasional merupakan simbol dari partikularisme yang hampir-hampir "primitif". Penilaian yang ketat terhadap tugas-tugas kemiliteran dan pelaksanaan perintah tuan digeneralisasikan melampaui kelas prajurit menjadi tolok ukur penilaian di segala bidang. Semua ini merupakan hipotesis yang saya ajukan setelah mempelajari masalah ini secara sepintas. Jika hipotesis ini benar, berarti bahwa religi, dan etika yang didasarkan pada religi, memegang peran yang besar dalam perkembangan ini.

Sekarang marilah kita teruskan pembahasan untuk secara singkat dan hati-hati melihat hubungan antara etika yang sudah dibahas dalam studi ini dengan perkembangan pada era Meiji dan era modern. Mungkin kita bisa mulai dengan melihat Restorasi 1868. Sebagaimana telah dibahas dalam Bab II, restorasi itu pada dasarnya dilaksanakan oleh samurai kelas bawah. Pada bab IV kita telah membahas ideologi sonno dan kokutai yang mendasari legitimasi bagi penumbangan kekuasaan bakufu dan restorasi monarki kekaisaran, dan menunjukkan bahwa ideologi ini tidak bertentangan dengan etika samurai, Bushido, tetapi sepenuhnya seirama dengannya. Penyebab historis khusus yang mengarah para terjadinya Restorasi adalah masalah bagaimana menghadapi masuknya orang-orang Barat. Pekik peperangan dari Restorasi adalah sonno-joi, hormatilah kaisar dan usirlah kaum barbar, yang mengimplikasikan bahwa bakufu telah terlalu longgar dalam membiarkan orang-orang asing masuk ke Jepang, dan semua orang Jepang yang loyal akan bergabung untuk menyingkirkan orang-orang asing. Dalam hal ini, apa yang ingin saya kemukakan adalah bahwa Restorasi telah dilaksanakan oleh samurai karena alasan-alasan yang secara eksplisit sekurang-kurangnya bersifat politis. Memang, alasan ekonomis juga memegang peran: dalam bab II sejumlah kelemahan ekonomis dari sistem Tokugawa telah dikemukakan. Tetapi bakufu tidak jatuh karena krisis keuangan, juga bukan karena tidak dapat berfungsi secara ekonomis. Ideologi Restorasi tidak didorong oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan tidak mempunyai tuntutan-tuntutan ekonomis.(9) Lebih jauh, walaupun kelas pedagang telah dipengaruhi propaganda pro-kekaisaran dan mungkin mengharapkan hancurnya kekuasaan bakufu, mereka tidak mengambil peran aktif dalam penggulingannya. Memang, mereka memberikan dukungan dana untuk kegiatan-kegiatan para loyalis, tetapi hal yang sama mereka lakukan juga kepada bakufu, dan masih bisa dipertanyakan apakah ini menggambarkan banyak hal sehubungan dengan pikiran politis mereka. Mereka terbiasa mengakomodasikan permintaan dana dari para pemimpin politik, siapapun pemimpin itu.

Hampir tidak bisa diragukan bahwa adanya kesenjangan antara prestasi dan imbalan mempunyai dampak yang besar bagi gerakan untuk Restorasi, tetapi kesenjangan ini menumbuhkan tekanan terutama di kalangan samurai kelas bawah, bukan di kalangan "borjuasi". Restorasi 1868, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tidak dapat dipandang sebagai "revolusi borjuis", sebagai upaya kelas menengah yang secara ekonomi terbatasi untuk menumbangkan "feodalisme" dan mendapatkan kebebasan ekonomi. Sulit melihat adanya maksud atau tujuan semacam ini di kalangan chonin. E. Herbert Norman, yang telah dengan teliti menyelidiki Era Tokugawa dalam usahanya menemukan orang yang menganut ideologi politik demokratik-liberal, hampir terpaksa angkat tangan sampai akhirnya menemukan Ando Shoeki, yang pada kenyataannya melancarkan serangan yang cukup tajam terhadap sistem feodal dan ideologi yang mendasarinya. Tetapi orang ini bukanlah pedagang, dia seorang pemikir yang terisolasi tanpa mempunyai pengaruh, yang karya-karyanya bahkan tidak pernah diterbitkan. Memang banyak keluhan-keluhan yang dikemukakan para pedagang menyangkut kebijakan-kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh bakufu dan kecaman tidak langsung terhadap pemerintah juga umum terjadi. Tetapi semua itu tidak pernah terkristalisasi menjadi suatu bentuk ideologi, apalagi organisasi. Para pedagang pada umumnya loyal kepada pemerintah, lama ataupun baru. Mereka pekerja keras, ugahari, dan dalam banyak hal jujur, tetapi sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan tentang Shingaku dan lainnya, mereka terbiasa menerima pengarahan dari penguasa, yang oleh mereka memang diberi peran penentu kebijakan. Kenyataan bahwa para pedagang bukanlah ujung tombak perubahan dan tidak terbiasa untuk mengambil inisiatif dalam situasi yang baru dan menantang merupakan aspek penting pertama yang harus diingat dalam upaya memahami proses modernisasi Jepang. Jika pedagangnya tidak mempunyai sifat-sifat di atas, jelas demikian pula pengrajin dan petani. Hanya satu kelas yang berada dalam posisi mampu mendobrak situasi: kelas samurai. Dari sifat situasi yang ada, pusat kekuatan adalah pada negara, bukan ekonomi. Dengan demikian baik Restorasi maupun modernisasi Jepang yang selanjutnya terjadi harus dilihat pertama-tama dalam kerangka politik, dan baru kemudian dalam kerangka ekonomi. Saya merasa perlu menekankan hal ini karena kecenderungan untuk menganggap perkembangan ekonomi sebagai "dasar" dan perkembangan politik sebagai "bangunan atas" ("superstruktur") ternyata tidak terbatas hanya di kalangan kaum Marxis tetapi merembes pada pikiran-pikiran baru yang membahas masalah ini.

Kendatipun pengertiannya mencakup juga pengertian modernisasi pemerintahan, pendidikan, kedokteran, dan sebagainya, modernisasi amat tergantung pada faktor-faktor ekonomi, sehingga hampir selalu identik dengan industrialisasi. Kendati demikian, tidak terlalu logis jika dari kenyataan ini ditarik kesimpulan bahwa motivasi bagi modernisasi di Jepang pertama-tama adalah bersifat ekonomis. Sebenarnya sudah jelas terlihat bahwa sebagian besar motivasi dilangsungkannya modernisasi di Jepang bersifat politis, bukan ekonomis, motivasi yang berkaitan dengan keinginan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih, yang untuk itu peningkatan kekayaan hanyalah satu alat atau cara. Pandangan di atas diperkuat oleh kenyataan bahwa pemerintah Meiji yang barulah yang mulai memperkenalkan industri-industri baru dan dengan hati-hati mendorong perkembangan awal zaibatsu dengan memberi subsidi dan dukungan-dukungan lain. Industri berat tidak ekonomis dalam pengertian teknis sejak dari awalnya, dan tetap demikian bahkan sampai sekarang. Dia selalu tergantung pada dukungan pemerintah dan perhatian yang besar yang mengontrol industri berat Jepang haruslah dilihat sebagai semacam kapitalisme politik yang terkait dengan pemerintah dalam berbagai cara. Menarik untuk dicatat bahwa prinsip-prinsip dasar perilaku politik terhadap ekonomi semacam ini telah dengan baik ditangani pada Era Tokugawa sebagaimana telah ditunjukkan dalam Bab V.

Sejauh ini kita telah mencoba menunjukkan bahwa hanya kelas samurai yang mungkin bisa memulai gerakan yang bisa mengarah kepada perubahan sosial dalam Era Tokugawa Jepang, bahwa motivasi mereka untuk melakukan itu lebih bersifat politis—keinginan untuk mengembalikan kekuasaan kaisar dan memperkuat bangsa—dan bahwa dengan menggunakan lembaga-lembaga negara modern yang baru mereka ciptakan mereka mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tujuan, sekali lagi, memperkuat bangsa. Lalu, bagaimana perkembangan ekonomi yang terjadi, kelompok-kelompok mana yang memimpin dan kelompok-kelompok mana yang menanggapi niatan pemerintah dalam hal ini?

Sama sekali tidaklah mengejutkan jika ternyata mereka yang memimpin industri baru ini kebanyakan berasal dari kalangan samurai. Pengaturan lama yang secara resmi memisahkan kelas-kelas yang berbeda telah dihapuskan dan tidak ada lagi larangan bagi samurai untuk memasuki industri, bahkan hal ini sekarang lebih didorong, dan pemerintah memberikan banyak kemudahan bagi samurai yang ingin mendapatkan keterampilan teknis. Samurai mempunyai dasar-dasar dan kemampuan untuk mengambil inisiatif dan memimpin yang relatif tidak sempat berkembang di kalangan pedagang pada masa Tokugawa. Selain itu, dalam masyarakat yang pertimbangan akan status masih kuat, dianggap wajar bahwa mereka yang tadinya mempunyai status tinggi harus menduduki posisi-posisi penting; dan banyak posisi baru yang terpenting berada di bidang ekonomi. Tetapi semua itu, menurut saya tidak akan berhasil menyebabkan kalangan samurai mengubah diri menjadi industrialis dan orang-orang bisnis jika etika samurai pada waktu itu bersifat militerisme romantik seperti yang ada di kalangan bangsawan Eropa.(10) Bahwa etika samurai jelas bukan seperti itu, saya harap sudah sangat jelas terlihat dari analisis tentang Bushido, dalam bab IV. Bernard Makihara, dalam suatu tesis yang mendapat penghargaan tinggi, menunjukkan bahwa "semangat samurai" masih tetap kuat menjiwai para industrialis Meiji, dan bahwa etika Bushido merupakan faktor kuat yang mewarnai perkembangan "kapitalis". Sebagai misal, dia mengutip aturan rumah samurai Iwasaki, pendiri Mitsubishi, yang merupakan adaptasi yang sangat menarik dari etika samurai bagi kondisi industrialis modern.

     Ayat 1. Jangan disibukkan oleh urusan-urusan kecil tetapi arahkanlah wawasan pada manajemen perusahaan besar.
     Ayat 2. Sekali kamu memulai satu usaha pastikan bahwa kamu berhasil.
     Ayat 3. Jangan melibatkan diri dalam usaha-usaha spekulatif.
     Ayat 4. Jalankan semua usaha dengan berpedoman pada kepentingan nasional.
     Ayat 5. Jangan pernah melupakan semangat murni pelayanan umum dan makoto.
     Ayat 6. Jadilah pekerja keras yang ugahari, dan yang selalu mempertimbangkan kepentingan orang lain.
     Ayat 7. Pakailah pegawai yang tepat.
     Ayat 8. Perlakukanlah para pegawaimu dengan baik.
     Ayat 9. Bersikaplah berani dalam memulai usaha tetapi teliti dan hati-hatilah dalam pelaksanaannya.(11)

Jika kelas samurai menyediakan sejumlah besar wiraswasta yang jempolan dan ulet, bagaimana dengan angkatan kerja yang berdisiplin yang menjadi prasyarat bagi industrialisasi? Saya harap sudah cukup jelas terlihat dalam studi ini bahwa angkatan kerja yang taat, bersedia bekerja keras dan ugahari dapat ditemukan dalam jumlah besar baik di kalangan petani mapun kelas-kelas perkotaan. Sebenarnya pembagian antara wiraswasta dan angkatan kerja, di luar perusahaan-perusahaan besar, agak sedikit menyesatkan jika diterapkan di Jepang. Mayoritas besar bisnis yang ada berskala kecil, dengan pekerja lima orang atau bahkan kurang, dan pada dasarnya merupakan usaha keluarga. Bisnis-bisnis skala kecil inilah yang nantinya, dengan bantuan peralatan listrik, yang memproduksi sebagian besar barang-barang produksi ringan Jepang, yang merupakan ekspor utama dan basis dari ekonomi keseluruhan. Dalam bisnis-bisnis kecil ini si "wiraswasta" adalah kepala keluarga, pada umumnya hampir selalu petani atau penduduk kota dan bukan samurai, dan "angkatan kerja"nya adalah anggota keluarga, mungkin ditambah dengan beberapa pekerja yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemilik. Disiplin yang ketat, jam kerja yang panjang dan ongkos produksi yang sangat rendah dari bisnis-bisnis semacam ini jelas merupakan sumber utama peningkatan ekonomi Jepang, dan semua ini tidak mungkin bisa dimengerti tanpa memahami etika chonin dan petani dan bagaimana dengan cara yang khas keluarga menjadi bagian darinya. Menarik untuk dikemukakan bahwa kompetisi tidak lagi terlihat tajam di lingkungan industri kecil dibanding pada industri besar. Usaha skala kecil biasanya berada di bawah arahan perusahaan-perusahaan besar, atau terorganisasi dalam asosiasi-asosiasi yang berada di bawah pengawasan pemerintah. Peningkatan standar atau perubahan jenis produksi pada umumnya lebih disebabkan karena menuruti pesanan dari atas, sering kali langsung dari pemerintah, daripada akibat dari kepekaan terhadap situasi pasar yang kompetitif. Jelas perusahaan besar atau pemerintah peka terhadap situasi pasar semacam itu, terutama yang berkaitan dengan perdagangan untuk ekspor, tetapi ini mempunyai arti yang sangat berbeda andaikan setiap bisnis kecil tersebut yang peka. Ekonomi tetap dirembesi oleh nilai-nilai politik.

Untuk meringkaskan tinjauan sekilas terhadap keadaan pasca Tokugawa, dapat dikatakan bahwa sistem nilai sentral yang terdapat pada Era Tokugawa tetap merupakan sistem nilai yang berpengaruh dalam era modern, bahkan dalam bentuk yang mungkin lebih intens dan terasionalisasikan. Adaptasi dari sistem nilai sentral yang telah diolah menjadi etika status dari bermacam kelas terbukti sangat menunjang dilakukannya pembagian tanggung jawab ekonomi kepada setiap kelas. Meskipun pertumbuhan ekonomi modern terjadi, negara tetap menjadi titik dominan dalam kehidupan berbangsa dan ekonomi dirasuki oleh nilai-nilai politik.

Dalam banyak bagian dalam studi ini, baik secara tersirat maupun langsung, telah dibuat perbandingan dengan Cina. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak sekali kesamaan budaya dan tradisi religius antara kedua masyarakat ini, sementara proses modernisasi mengambil arah masing-masing yang sangat berbeda di Jepang dan Cina. Pada umumnya, setiap kali hal ini muncul kami selalu berusaha menggunakan sistem nilai dasar dari dua masyarakat ini sebagai titik acuan untuk menjelaskan perbedaan yang terjadi. Kita menyatakan bahwa Cina ditandai oleh pengutamaan nilai-nilai integratif sedangkan Jepang ditandai oleh pengutamaan nilai-nilai politik atau pencapaian tujuan (goal-attainment). Walaupun perbandingan yang cukup luas antara dua sistem tersebut tidak termasuk ke dalam lingkup studi ini, satu uraian yang cukup memadai tentang apa yang dimaksud dengan nilai-nilai integratif di Cina mungkin akan membantu pembaca dalam memahami logika dibalik perbandingan-perbandingan yang telah dilakukan.

Masyarakat yang ditandai oleh pengutamaan nilai-nilai integratif lebih mementingkan pemeliharaan sistem daripada, misalnya, pencapaian tujuan atau adaptasi; lebih mementingkan solidaritas daripada kekuasaan atau kekayaan. Variabel pola yang berkaitan dengan subsistem integratif adalah partikularisme dan kualitas. Dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia hal ini berarti bahwa orang lebih mementingkan hubungan-hubungan partikularistik, terutama hubungan darah, tetapi mungkin juga mencakup hubungan karena daerah asal yang sama, dan sebagainya, dibanding hubungan yang berdasarkan pada nilai-nilai yang universalistik. Hal ini juga berarti bahwa orang lebih mementingkan kualitas daripada prestasi (performance), atau dalam istilah Cina, lebih mementingkan "kebajikan" daripada kegiatan. Hubungan darah mungkin lebih dari lainnya melambangkan nilai-nilai partikularisme dan kualitas, dan banyak dari masyarakat Cina yang dapat dipandang sebagai kepanjangan simbolik dan generalisasi dari hubungan-hubungan darah. Bahkan struktur pemerintahan kekaisaran pun sangatlah "familistik", kendati sekaligus juga merupakan pusat terkuat dari nilai-nilai politik. Secara nyata masyarakat Cina melihat permasalahan pemeliharaan sistem dalam kerangka seperangkat hubungan tetap antar manusia yang hanya perlu dipertahankan supaya terdapat kecocokan timbal balik untuk menciptakan sistem sosial yang harmonis dan seimbang. Ekuilibrium yang mantap memang merupakan ideal masyarakat Cina.(12)

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa, kendati penting, pemeliharaan sistem merupakan nilai sekunder di Jepang, demikian pun pencapaian tujuan yang berakibat penekanan pada prestasi (performance), kendati penting, merupakan nilai sekunder di Cina. Tempat utama nilai-nilai "positif" ini jelas terdapat pada pemerintahan kekaisaran. Perbandingan tentang tempat nilai-nilai politis dan integratif, tentang negara dan sistem integratif di Cina dan Jepang, mungkin akan bisa menjelaskan persamaan dan perbedaan dua negara ini. Kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua yang relatif penting dapatlah dianggap sebagai suatu indeks dalam perbandingan itu. Sebagaimana telah kita lihat, di Jepang kesetiaan jelas menggantikan kepatuhan kepada orang tua. Di Cina:

     ... jika seseorang memilih untuk masuk menjadi pejabat, dia harus "mengubah kepatuhan kepada orang tua menjadi kesetiaan kepada penguasa"; tetapi ... jika dua kebajikan ini mengharuskannya memilih maka kewajibannya sebagai anaklah yang harus mendapatkan prioritas pertama. Ini merupakan bukti lebih jauh bahwa sistem keluarga merupakan landasan dari masyarakat Cina tradisional dan kepatuhan kepada orang tua merupakan landasan dari prinsip-prinsip moralnya.(13)

Tidak hanya bahwa nilai kepatuhan kepada orang tua didahulukan terhadap kesetiaan, tetapi kesetiaan itu sendiri mempunyai fokus yang sangat terbatas. Kita telah melihat di Jepang bahwa nilai kesetiaan merasuki keseluruhan masyarakat dan menjadi ideal di semua kelas. Di Cina, sebaliknya, nilai itu bahkan tidak berlaku secara kuat atas kelas bangsawan tetapi hanya atas mereka yang menduduki jabatan di pemerintahan: 

     Orang tidak bisa memilih ayah. Itu merupakan ketentuan nasib. Tetapi orang bisa memilih penguasa, sebagaimana juga seorang gadis yang belum menikah, bisa menentukan siapa yang akan menjadi suaminya. Pepatah mengatakan, "burung yang bijaksana memilih pohon yang sesuai untuk membangun sangkarnya; menteri yang bijaksana memilih penguasa yang tepat untuk tempat mengabdi". Tidak bisa diingkari bahwa semua orang dalam Kekaisaran Cina secara teoritik rakyat kaisar. Tetapi juga tidak bisa diingkari bahwa secara tradisional rakyat awam tidak mempunyai kewajiban yang sama dalam hal kesetiaan kepada kaisar sebagaimana mereka yang menduduki jabatan sebagai pegawai pemerintah. Hubungan antara penguasa dan bawahan secara khusus lebih berlaku bagi para pegawai pemerintah. Jadi bahkan pada masa kesatuan di mana penguasa hanya satu orang masih tetap bisa memilih apakah menjadi pegawai pemerintah atau tidak, sebagaimana seorang gadis bisa memilih untuk tetap melajang, walaupun hanya ada satu orang laki-laki yang bisa dinikahinya. Dalam sejarah Cina, jika seorang terpelajar memilih untuk tetap berada di luar jajaran pegawai pemerintah, dia adalah seorang laki-laki, sebagai mana pepatah lama menyebutnya, "yang bahkan Putra Langit pun tidak bisa mengambilnya sebagai menteri, begitu juga sang pangeran tidak bisa menjadikannya sebagai teman". Dia seorang laki-laki utama yang merdeka, tanpa kewajiban apa pun terhadap kaisar kecuali membayar pajak.(14)

Sikap terhadap pemimpin negara semacam itu jelas tidak diharapkan dalam sistem nilai di Jepang. Pada kenyataannya, kekuasaan politik memang masuk sampai ke unit terbawah dalam masyarakat di Jepang, sementara di Cina yang seperti itu lebih terbatas:  

     Kehidupan keseharian masyarakat awam diatur oleh kewenangan sosial, sedangkan kewenangan politik pada umumnya terbatas pada kegiatan para yamen. Istana, kecuali dalam kasus beberapa tiran, tidak mencampuri kepentingan masyarakat. Secara umum seorang raja yang baik mengumpulkan pajak dalam jumlah terbatas dan selanjutnya membiarkan rakyat mengatur dirinya sendiri.(15)

Bukan hanya generalisasi dan perluasan kekuasaan politik terhalangi oleh sempitnya ruang gerak kekuasaan tersebut, tetapi bahkan di pusatnya sendiri, birokrasi kekaisaran, kekuasaan itu secara terus menerus dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan familistik dan integratif. Kendati mungkin kepentingan kaisar memang terletak pada pembangunan kekuatan nasional dan pada upaya-upaya untuk mengambil langkah-langkah tegas yang terorientasikan pada tujuan tertentu pada arah tersebut, dia selalu terhalangi oleh birokrasi yang tidak berorientasi kepada nilai-nilai pencapaian tujuan, tetapi kepada pemeliharaan sistem kepentingan yang ada. Sejarah setiap usaha "pembaharuan" dalam sejarah Cina modern (sebelum pergantian regim terakhir) adalah kisah tentang situasi ini, baik yang terjadi sebelum atau sesudah revolusi 1911. Satu gambaran yang mungkin agak berlebihan tetapi jelas adalah dari apa yang dituturkan oleh Fei:

     ... Para pejabat pemerintah Cina tidak berbagi kekuasaan politik dengan kaisar tetapi mengabdi kepada kerajaan dengan cara menetralisasikan dan melemahkan kekuasaannya, bukannya dengan mendukungnya. Karena keponakannya menduduki jabatan di keraton, maka sang paman akan dilindungi walaupun terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberontakan rahasia. Menurut tradisi Cina, para pejabat tidak bekerja sungguh-sungguh untuk pemerintah, dan mereka juga tidak ingin menjadi pejabat pemerintah dalam waktu yang lama. Tujuan mereka masuk menjadi pegawai pemerintah adalah untuk mendapatkan kekebalan dan kekayaan. Para pejabat Cina yang masih bertugas akan melindungi sanak kerabatnya, dan jika kewajiban ini telah terpenuhi dia akan pensiun. Hidup sebagai pensiunan dan bahkan sebagai pertapa adalah ideal. Dalam masa pensiun orang tidak perlu lagi mengabdi kepada atasan dengan sikap sangat hati-hati, sedangkan para kerabat yang telah mendapat perlindungan akan berhutang budi kepadanya. Sekarang dia bisa menikmati status sosial dan menjadi gemuk serta bahagia. Sebagaimana ungkapan di Cina mengatakan, "Kembali ke tanah kelahiran, berpakaian indah dan penuh dengan kehormatan, adalah hal yang terbaik dalam hidup".(16)

Tentu saja tidak semua pejabat pemerintah bersikap demikian. Banyak terdapat contoh pejabat yang sangat loyal dan sungguh-sungguh berusaha membangun kekuatan bangsa. Kendati demikian, mereka tidak pernah bisa mendominasi pemerintahan dan melaksanakan program modernisasi sebagaimana yang dilakukan oleh para samurai muda di Jepang. Mereka selalu saja berhasil dihambat oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mempertahankan sistem lama. Bahkan dalam kerangka nilai-nilai integratif pun sebetulnya terdapat ruang yang cukup untuk rasionalisasi. Weber telah mengemukakan hal ini dalam studinya tentang etika Konfusian. Sebagai contoh, telah ditulis oleh Tseng Kuo-fan, salah satu pejabat Ch'ing yang terkenal jujur dan loyal:

     Setiap hari dia berusaha memperbaiki diri dengan selalu memeriksa kesalahan dan kelemahan dirinya. ... Sikap yang sama juga nampak dalam surat-surat yang ditulisnya kepada orang tuanya, saudara-saudara laki-lakinya, dan anak laki-lakinya; dan dalam nasihatnya kepada orang-orang muda dia menganjurkan cara hidup yang ugahari, rajin, dan penuh integritas.(17)

Inilah etika keduniawian yang rasional, etika para cendekia Konfusian. Tetapi tujuan etika ini bukanlah untuk menumpuk kekayaan ataupun meningkatkan kekuatan nasional. Tetapi lebih dibuat untuk menjaga ekuilibrium masyarakat Cina. Karena itu dia kehilangan dinamisme yang bisa mengatasi tradisionalisme massa atau mengubah kesetiaan primer terhadap keluarga ke suatu bentuk kesetiaan terhadap kolektivitas yang lebih besar. Rasionalisme yang inheren dalam etika Konfusian nampaknya perlu dikaitkan dengan suatu sistem nilai di mana nilai-nilai politik menduduki tempat utama agar bisa memberikan pengaruh yang menentukan terhadap modernisasi. Inilah yang terjadi di Jepang dan mungkin di Cina masa kini.

Mungkin yang paling menarik dari cara membandingkan sistem nilai Cina dan Jepang semacam ini adalah timbulnya kesadaran pada kita bahwa keduanya memberikan titik berat yang kuat terhadap nilai-nilai politik dan integratif, terhadap kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua, tetapi terdapat perbedaan dalam hal tekanan utamanya. Perbandingan ini akhirnya dapat kita gunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan dramatis yang terdapat dalam perkembangan sosial dua masyarakat tersebut. Dengan demikian perbedaan konsekuensi-konsekuensi sosial bukanlah dilihat dari ada tidaknya nilai-nilai kunci tertentu, tetapi sepenuhnya didasarkan kepada bagaimana cara nilai-nilai tersebut diterapkan.

Sampai di sini nampaknya kita perlu kembali kepada beberapa pertimbangan yang dipaparkan pada Bab I dan membuat ringkasan dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan berkaitan dengan beberapa permasalahan yang diajukan di sana.

Kesimpulan umum pertama yang bisa diajukan adalah bahwa negara yang kuat dan nilai-nilai politik yang dominan di Jepang ternyata sangat mendukung berkembangnya satu masyarakat industri. Kesimpulan semacam ini tidak akan muncul jika orang hanya melakukan ekstrapolasi dari masalah-masalah Eropa. Pandangan ortodoks sejarah ekonomi Eropa pada umumnya menganggap bahwa "campur tangan" pemerintah dalam ekonomi akan menghemat perkembangan ekonomi, walaupun kebijakan-kebijakan tertentu dari negara sering kali dipandang berguna. Pandangan umum tentang hubungan negara dan nilai-nilai politik dengan perkembangan ekonomi di Barat kemungkinan besar bisa mengalihkan cara pandang tradisional. Namun demikian, nampaknya peran negara dianggap jauh lebih kecil dalam perkembangan ekonomi Eropa dibanding di Jepang. Kasus Jepang menjadi sangat penting jika dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat non-Barat lainnya. Semua masyarakat ini menghadapi permasalahan yang sama yang berbeda dari yang dihadapi oleh Barat. Jika di Barat industrialisme dibangun selama berabad-abad melalui akumulasi modal yang berproses lama dan teknik-teknik yang dikembangkan dalam waktu lama pula, masyarakat-masyarakat non-Barat menghadapi industrialisasi sebagai fakta nyata. Mereka tidak harus melewati proses akumulasi yang lama sebagaimana yang dialami Barat, dan bahkan jika yang dibutuhkan untuk industrialisasi modern terlalu besar untuk bisa disediakan oleh mekanisme ekonomi yang ada di masyarakat-masyarakat ini. Di hampir semua kasus yang terjadi, apa pun industrialisasi yang telah berlangsung, proses itu selalu disponsori atau dikontrol oleh pemerintah, karena hanya pemerintah yang mampu menyediakan modal yang dibutuhkan tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa kekuatan negara dan nilai-nilai politik menjadi variabel yang sangat menentukan. Dari semua masyarakat non-Barat yang menonjol Jepang merupakan kasus yang unik karena pemerintahnya yang dominan dan nilai-nilai politiknya yang terpusat, dan inilah lebih dari yang lain-lainnya, menurut pendapat saya, yang menentukan diterimanya industrialisasi secara mudah.

Perbandingan dengan kasus-kasus Cina dan Rusia mungkin akan lebih bisa meyakinkan kita dalam hal ini. Masyarakat-masyarakat ini, semenjak mereka menjadi Komunis, jelas mempunyai pemerintahan dan nilai-nilai politik yang dominan. Uni Soviet, pada kenyataannya hampir merupakan contoh khas masyarakat yang menekankan pencapaian tujuan. Walaupun Rusia merupakan kasus marginal, jika kita memasukkannnya dalam kategori non-Barat, dia merupakan satu-satunya negara non-Barat di samping Jepang yang telah mampu menjadi kekuatan industri utama berdasar kekuatannya sendiri. Cina, jelas masyarakat non-Barat, sejak peralihannya dari nilai-nilai integratif tradisional ke nilai-nilai negara Komunis telah menunjukkan satu lompatan dalam industrialisasi dan dapat diharap akan segera menyusul Jepang dan Rusia sebagai masyarakat non-Barat ketiga yang berhasil masuk ke dalam era industrialisasi. Turki di bawah Kemal memberikan satu contoh non-Komunis tentang pentingnya pemerintah yang kuat dalam proses modernisasi. Sebaliknya, jika kita melihat masyarakat seperti Indonesia, kita melihat bahwa walaupun industrialisasi di sana berada dalam pimpinan dan disponsori oleh pemerintah, lemahnya pemerintah dan kurangnya titik berat pada nilai-nilai politik telah merupakan faktor-faktor utama penyebab ketersendatan, ketidakefisienan dan lemahnya kemajuan ke arah industrialisasi.(18) Bentuk apa pun yang diambil, dan memang contoh Jepang dan negara-negara Komunis merupakan kekhususan, nilai-nilai politik dan pemerintah yang dominan atau kuat nampaknya sangat mentungunkan atau bahkan merupakan persyaratan bagi industrialisasi di bagian-bagian dunia yang saat ini masih "terbelakang". Hanya sayangnya, setiap masyarakat yang secara kuat menekankan pencapaian tujuan cenderung menjadi totaliter, jika dengan itu kita artikan sebagai situasi di mana pertimbangan-pertimbangan politik cenderung mengatasi semua pertimbangan lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh ketiga contoh di atas.

Kesimpulan kita yang kedua adalah bahwa religi memainkan peran penting dalam proses rasionalisasi politik dan ekonomi di Jepang dengan cara mempertahankan dan memperkuat keterikatan kepada nilai-nilai sentral, memberikan motivasi dan legitimasi untuk beberapa inovasi politik dan memperkuat etika asketisme duniawi yang menekankan sikap rajin dan hemat. Kemungkinan besar hal ini juga memainkan peran penting dalam pembentukan nilai-nilai sentral yang mendukung industrialisasi.

Religi memperkuat ikatan kepada sistem nilai sentral dengan cara menjadikan sistem nilai tersebut juga mempunyai makna yang amat mendasar. Keluarga dan bangsa bukanlah sekedar kolektivitas sekular tetapi juga entitas religius. Orang tua dan pimpinan negara mempunyai unsur sakral dalam dirinya, sebagai bagian dari alam kedewaan dalam tataran yang lebih rendah. Pemenuhan kewajiban terhadap mereka ini mempunyai makna yang amat mendalam juga, yaitu menjamin terus berlangsungnya berkat dan perlindungan yang dapat melindungi orang dari kesulitan dan bahaya di dunia yang fana ini.

Sebagai alternatif sekumpulan konsep religius ditawarkan yang juga memperkuat sistem nilai sentral. Pandangan ini menganggap struktur masyarakat Jepang dan nilai-nilainya sesuai dengan hakikat realitas. Secara menyeluruh dan sepenuh hati menjalani bagian seseorang dalam masyarakat dan sepenuhnya menganut nilai-nilainya berarti mengidentifikasikan diri dengan kodrat realitas. Mengikis keakuan dan menyatukan diri dengan kodrat realitas, suatu paham religius yang diambil dari Mencius, juga menjanjikan pembebasan dari frustasi dasar eksistensi menuju kondisi pencerahan. Sebenarnya dua pandangan itu biasanya secara bersamaan hadir, keduanya merupakan dua lensa yang digunakan oleh religi Jepang memandang dunia; walaupun secara analitis keduanya bisa dipisahkan, pada prakteknya perbedaan antara keduanya biasanya tidak terlihat.

Walaupun penguatan sistem nilai sentral melalui religi terutama terjadi dalam kultus-kultus keluarga dan nasional, sejumlah gerakan religius muncul pada Era Tokugawa yang mengembangkan bentuk-bentuk kelembagaan independen dan menyebar di sejumlah besar orang. Beberapa gerakan ini telah dibahas secara cukup mendalam dalam studi ini. Gerakan-gerakan ini harus dilihat sebagai kecenderungan semakin meningkatnya ikatan terhadap nilai-nilai sentral di masa Tokugawa dan pada gilirannya menyumbang kepada penguatan nilai-nilai tersebut. Dari segi doktrin gerakan-gerakan ini pada umumnya merupakan versi sederhana dari konsep-konsep religius yang baru saja kita bahas. Pada umumnya mereka mempunyai akar sinkretik dan lebih mengutamakan kepatuhan kepada orang tua dan tindakan-tindakan etis daripada kemurnian doktrin. Dengan demikian, religi baik dalam aspek-aspek umum maupun sektariannya menyumbang kepada integrasi masyarakat dalam kerangka seperangkat nilai yang, sebagaimana telah kita lihat, mendukung industrialisasi Jepang dalam keadaan-keadaan yang khusus di mana industrialisasi tersebut berlangsung.

Lebih jauh, religi memainkan peran penting dalam rasionalisasi politik dengan cara menekankan ikatan-ikatan religio-politis tertentu yang dapat mengatasi semua kewajiban yang lebih kecil, sehingga memberi motivasi dan legitimasi bagi Restorasi kaisar, meskipun Restorasi ini menyangkut juga pengakhiran banyak kepatuhan dan adat-adat lama. Kecenderungan ini dibungkus dalam kemasan nativistik dan fundamentalis sebagaimana banyak terjadi pada kasus ketika gerakan-gerakan religius mencari legitimasi untuk perubahan sosial yang dilakukannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Reformasi Protestan, "Kembali ke Injil" dan Reformasi Islam "Kembali ke Qur'an", demikian juga gerakan Kebangkitan Kembali Shinto yang menyatakan "Kembali ke Kojiki". Walaupun Shinto negara pada era modern dalam beberapa hal lebih menyerupai tanaman di rumah kaca, tidak bisa dipungkiri bahwa rasa hormat kepada kaisar merupakan kekuatan ideologis di Jepang dan telah berfungsi memberikan legitimasi untuk perubahan yang tanpa itu akan mendapatkan tantangan yang sangat keras. Sumber dari sikap-sikap ini tidak terbatas hanya pada beberapa orang terpelajar dari kelompok Kokugaku, tetapi secara luas dan mendalam tersebar pada masa Tokugawa. Biografi Ishida Baigan (diterjemahkan dalam Lampiran I), yang jelas bukan Kokugakusha, hanya salah satu contoh. Bahwa motivasi religius yang kuat itu seringkali merupakan faktor penting dalam perubahan politik besar juga ditunjukkan oleh eratnya kaitan antara Protestantisme dan demokrasi di Barat dan oleh ideologi Komunisme yang karismatik, yang dalam banyak hal dianggap agama, yang tanpa itu keberhasilan politik kaum Komunis hampir mustahil.

Akhirnya, kita harus mempertimbangkan hubungan antara religi dengan etika asketisme duniawi yang juga sangat kuat di Jepang. Keharusan untuk bekerja keras tanpa mementingkan diri dan membatasi nafsu konsumsi sangat erat dikaitkan dengan kewajiban terhadap atasan atau pimpinan yang suci atau setengah suci yang sangat ditekankan dalam religi Jepang, sebagaimana juga identifikasi diri tanpa keakuan dengan hakikat tertinggi. Sebagaimana telah sering kita lihat, religi Jepang tidak habis-habisnya menekankan pentingnya sikap rajin dan ugahari dengan memberikan makna religius terhadapnya, baik dalam hal pelaksanaan kewajiban seseorang terhadap yang suci maupun dalam hal penyucian diri dari dorongan-dorongan dan nafsu jahat. Kenyataan bahwa etika semacam ini sangat mendukung rasionalisasi ekonomi merupakan pokok pikiran utama dalam studi Weber mengenai Protestantisme dan hal yang sama nampaknya juga terjadi di Jepang. Arti penting dari etika semacam ini jelas relevan dengan kondisi umum sosial budaya. Suatu etika asketis duniawi telah digambarkan berkenaan dengan masyarakat Manus(19) dan Yurok(20), tetapi kedua masyarakat primitif tersebut jelas tidak mampu melakukan industrialisasi. Lebih jauh, hal ini mungkin tidak asing di kalangan beberapa kelas pedagang tertentu. Geertz telah menguraikan asketisme duniawi dari pedagang Muslim di Jawa, yang jelas ada hubungannya dengan keberhasilan mereka, tetapi tidak mencukupi untuk menjamin keberhasilan industrialisasi di Indonesia. Di pihak lain, etika semacam itu jelas mendukung, kalau tidak esensial, bagi industrialisasi, paling tidak pada tahap awalnya. Hal ini tidak didapati hanya pada Protestantisme dan Jepang, tetapi juga pada Komunisme. Pada masing-masing contoh tersebut penguatan dan rasionalisasi religi mempunyai arti yang sangat penting.

Setelah semua hal mengenai "fungsi-fungsi" religi Jepang kita bahas, akhirnya kita harus mempertimbangkan makna dari fungsi-fungsi tersebut menurut kerangka pemahaman religi sendiri. Jika kita "memuji" religi Jepang karena telah mendukung kebangkitan Jepang modern yang menakjubkan, kita juga perlu "menyalahkannya" karena telah memberikan sumbangannya kepada bencana yang mencapai puncaknya pada 1945. Kesimpulan semacam ini memiliki beberapa akibat bagi hubungan antara religi dan masyarakat pada umumnya. Setiap religi berusaha menyampaikan kebenaran yang mentransendensi dunia, tetapi terperangkap dalam dunia yang justru ingin ditransendirnya. Setiap religi berusaha membentuk kembali dunia sesuai gambaran idealnya, tetapi dalam beberapa hal dia sendiri selalu terbentuk kembali dalam gambaran dunia. Inilah tragedi religi. Dia berusaha mentrandensi kemanusiaan, tetapi dia sendiri adalah kemanusiaan, bahkan terlalu manusiawi. Kendati demikian, tragedi bukanlah kata akhir tentang religi, dan 1945 bukanlah akhir dari religi Jepang. Selama religi menjaga keterikatannya kepada sumber nilai tertinggi, atau dengan kata lain, selama dia tetap menjadi religi, tegangan antara religi dan masyarakat akan terus berlangsung. Berpegang kepada komitmen tersebut religi mengubah setiap kekalahan manusia menjadi kemenangan.

      
 


Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang


-------------------------------------------
(1) Aston (terj.), Nihongi, hlm. 114
(2) Nippon Gakujitsu Shinkokai, Manyoshroman Eu Tilde, hlm. 41
(3) Whitelock, The Beginning of English Society, hlm. 31  
(4) Ibid., hlm. 37
(5) Ibid., hlm. 29
(6) Ibid., hlm. 38 
(7) Hashimoto, "The Keystone of Medieval Bushido", hlm. 265
(8) Untuk pertimbangan mengenai terjemahan ini, lihat Waley, The Annalects of Confucius, hlm. 33-34
(9) Jelas bahwa banyak samurai yang mendukung Restorasi didorong oleh kebutuhan ekonomis yang mendesak. Kendati demikian, ideologi Restorasi bukan ungkapan dari tuntutan ekonomi kelas ini.
(10) Sejak menulis bab ini saya mendapati munculnya penghargaan kembali terhadap peran aristokrasi Eropa dalam perkembangan ekonomi: Redlich, "European Aristocracy and Economic Development". Redlich mengemukakan beberapa bukti kuat untuk menunjukkan bahwa aristokrasi mempunyai peran yang tidak kecil dalam perkembangan ekonomi Eropa. Secara khusus ia menunjuk aspek-aspek yang berkaitan dengan etika mereka yang mendukung munculnya inisiatif dan keberanian, sebagai faktor yang penting secara ekonomis. Dia menyatakan bahwa pandangan stereotip tentang kaum aristokrat sebagai yang tidak tahu masalah ekonomi sebagian merupakan bias para ahli sejarah yang telah muncul selama satu abad. Dia mengharapkan diadakan studi yang lebih mendalam dalam bidang ini sebelum penilaian terhadap masalah ini bisa disusun.
(11) Makihara, "Social Values in Capitalist Development: A Case Study in Japan", hlm. 88
(12) Fei, Cina's Gentry, hlm. 74
(13) Fung, "The Philosophy at the Basis of Traditional Chinese Society", hlm. 31
(14) Ibid., hlm. 27-28 
(15) Fei, op. cit., hlm. 69
(16) Ibid., hlm. 32
(17) Hummerl (ed.), Eminent Chinese of The Ch'ing Period, vol. II, hlm 754 
(18) Pernyataan ini didasarkan pada perbincangan dengan Clifford Geertz, Jr. 
(19) Mead, Growing up in New Guinea.
(20) Goldschmidt, "Ethics and the Structure of Society".  
       

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Observasi dan Penelitian Lapangan

3. Observasi dan Penelitian Lapangan Pengumpulan data untuk suatu tulisan ilmiah dapat dilakukan melalui observasi dan penelitian lapangan. Observasi adalah pengamatan langsung kepada suatu obyek yang akan diteliti, sedangkan penelitian lapangan adalah usaha pengumpulan data dan informasi secara intensif disertai analisa dan pengujian kembali atas semua yang telah dikumpulkan. Observasi dapat dilakukan dalam suatu waktu yang singkat, sebaliknya penelitian lapangan memerlukan waktu yang lebih panjang. Observasi dapat dilakukan mendahului pengumpulan data melalui angket atau penelitian lapangan. Dalam hal ini observasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai obyek penelitian sehingga dapat disusun daftar kuestioner yang tepat atau dapat menyusun suatu desain penelitian yang cermat. Sebaliknya observasi dapat juga dilakukan sesudah mengumpulkan data melalui angket atau wawancara. Dalam hal ini tujuan observasi adalah untuk mengecek sendiri sampai di mana kebenara