Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...
5. Konvensi Naskah Lainnya
Sebuah karya ilmiah yang formal memerlukan persyaratan-persyaratan teknis antara lain pengetikan yang rapih, perwajahan yang menarik dan beberapa persyaratan lainnya. Semua persyaratan ini secara umum disebut konvensi naskah. Beberapa ketentuan tentang konvensi ini, khususnya tentang teknik pengetikan dan penyusunan teks pada halaman-halaman pendahuluan, isi karangan dan bagian pelengkap penutup sudah disinggung di atas. Walaupun konvensi-konvensi itu tidak mempunyai pertalian langsung dengan tema yang digarap, tetapi ia menjadi sarana upaya yang harus dipakai agar tema itu bisa tampil dalam tampan yang menarik.
Pokok-pokok yang terpenting dari konvensi naskah yang perlu diperhatikan, selain dari yang telah diuraikan, adalah sebagai berikut:
a. Ukuran kertas
Bagi karya tulis atau karya ilmiah di Perguruan Tinggi, biasanya ditetapkan ukuran kertas tertentu, yaitu kertas HVS putih, berukuran 8,5 x 11 inci (atau kira-kira 21,5 x 28 cm) atau disebut juga kertas kuarto. Untuk naskah final, penggunaan kertas berwarna atau bergaris hendaknya dihindarkan. Bila masih dalam bentuk naskah sementara, maka dapat ditulis dengan tulisan tangan, asal jelas. Sebuah naskah final tidak boleh diketik bolak-balik.
Naskah-naskah yang harus diserahkan kepada Panitia Penguji hendaknya diketik di atas kertas HVS. Bila sulit mengetik beberapa tindakan sekaligus dengan kertas HVS, maka lembaran yang pertama dapat diketik dengan kertas HVS, sedangkan selebihnya dengan kertas yang lebih tipis (doorslag). Yang paling ideal adalah untuk semua lembar naskah harus diketik di atas kertas yang berkualitas sama, serta warna dan uratnya juga sama. Sebab itu sangat dianjurkan untuk membeli sekaligus satu atau dua rim kertas yang mempunyai kualitas yang sama untuk maksud tertentu.
b. Mesin Tulis
Untuk karya-karya ilmiah yang formal, biasanya diminta untuk mempergunakan mesin tulis berhuruf besar atau disebut juga Pika (dalam satu inci bisa diketik 10 huruf). Untuk tabel-tabel atau keperluan khusus dapat dipergunakan mesin tulis berhuruf kecil atau disebut elite (dalam satu inci dapat diketik 12 huruf). Bila tidak mungkin memperoleh mesin tulis yang berukuran pika, maka sebaiknya merundingkan hal itu dengan pembimbing untuk diijinkan mempergunakan mesin elite.
Sesuai dengan perkembangan teknologi, ada lembaga yang menginginkan agar semua naskah diketik dengan mesin listrik. Dengan mesin semacam ini hasilnya akan jauh lebih baik daripada mesin-mesin tulis konvensional. Malahan ada model mesin tulis terakhir yang bisa menghasilkan bermacam-macam tipe huruf. Tentu hal ini jauh dari jangkauan kemampuan mahasiswa Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun juga, satu hal jelas tidak boleh dilakukan adalah mempergunakan mesin tulis yang berhuruf tulis.
c. Pita dan Karbon
Untuk memperoleh sebuah naskah yang baik, jelas dan rapih, maka selain dari persoalan kertas, penulis harus memperhatikan pula pita dan kertas karbon.
Pita yang sudah hancur atau tidak jelas lagi tintanya, harus diganti dengan pita yang baru. Tetapi sebaliknya tidak semua pita yang baru dapat memenuhi persyaratan. Ada pita yang terlalu tebal tintanya, sehingga huruf-huruf dari ketikan pertama terlalu tebal dan kurang jelas dibaca atau dibedakan. Sebab itu pita semacam itu harus dipakai dulu beberapa kali untuk menghilangkan lapisan tinta yang berkelebihan itu, baru dapat dipakai untuk pengetikan naskah final.
Untuk memperoleh tindasan-tindasan yang baik, penulis harus memperhatikan kertas karbon. Sebaiknya selalu mempergunakan kertas karbon yang baru. Seperti halnya dengan kertas, maka untuk pengetikan naskah yang final lebih baik sekaligus membeli satu dos karbon untuk menjamin kualitas yang sama. Ada karbon yang sudah merosot nilainya sesudah dua atau tiga kali dipakai. Karbon yang berkualitas semacam ini harus lebih sering diganti. Karbon yang berkualitas baik dapat dipakai sampai enam atau tujuh kali untuk lembaran kedua, sedangkan untuk lembaran ketiga dan seterusnya jangan dipakai lebih dari tiga atau empat kali.
d. Margin
Sebuah naskah tidak boleh diketik dari ujung kertas sebelah kiri hingga pinggir sebelah kanan, sehingga tidak ada bagian yang kosong pada sisi kiri atau kanannya. Harus disediakan bagian yang kosong pada semua sisinya. Bagian yang dikosongkan pada semua sisi kertas disebut margin atau batas pinggir.
Margin standar untuk naskah-naskah formal adalah sebelah kiri 4 cm, kanan 2,5 cm, margin atas 4 cm, dan margin bawah 2,5 cm. Dengan demikian bila karya tulis itu harus dijilid maka tidak ada bagian pada pinggir kiri tidak akan terbaca. Sebaliknya margin atas diberi 4 cm karena dalam jarak 2,5 cm dari pinggir atas akan dicantumkan nomor halaman.
Dengan batas-batas sebagai disebut di atas, maka bagian yang dapat diketik adalah yang terdapat dalam batas-batas tadi, jangan sampai batas itu dilampaui. Dengan demikian pada satu baris ketikan dengan mesin pika dapat diketik sekitar 60 huruf dan pada mesin elite sekitar 72 huruf. Semua baris dalam tiap alinea harus diketik hingga batas terakhir pada margin kanan, kecuali kalau baris itu mengakhiri sebuah alinea. Pengetik yang ahli akan mengatur sehingga huruf terakhir pada baris itu harus tampak lurus dari atas ke bawah. Bila tidak sanggup melakukan itu, maka lebih baik berhenti satu atau dua ketikan lebih dulu daripada melampaui margin tadi.
Halaman-halaman yang memuat bab-bab baru diberi margin atas yang lebih lebar. Nomor bab diketik kira-kira 6,5 cm dari pinggir atas, judul bab dimulai kira-kira 8 cm dari pinggir atas. Kalau nomor halaman ingin dicantumkan juga maka dapat ditempatkan pada kaki halaman dalam jarak 1,5 cm dari baris terakhir teks dan 2,5 cm dari pinggir bawah.
c. Pemisahan Suku Kata
Tiap bahasa mempunyai ketentuan tersendiri bagaimana memisahkan suku-suku katanya. Persoalan pemisahan suku kata itu menjadi persoalan yang penting dalam hubungan dengan margin kanan. Pengetik harus tahu sesudah lonceng margin berbunyi tinggal berapa ketikan lagi yang boleh dipakai. Ia harus mengatur agar bisa memutuskan kata itu secara tepat. Pemutusan itu dinyatakan dengan sebuah garis penghubung pada suku kata sebelumnya yang terdapat pada akhir baris itu. Kebiasaan untuk menempatkan garis penghubung itu di bawah suku kata sebelumnya pada akhir baris itu harus dihindarkan, misalnya: man(di), tun (duku), meng (undang), dsb. Sesuai dengan ketentuan ejaan pemutusan itu harus ditulis seperti man - di, tun - duk, meng - un - dang, dsb.
Walaupun pada prinsipnya pemisahan kata berdasarkan suku-suku kata dimungkinkan, perlu kiranya diperhatikan pemisahan pada kata-kata yang suku kata awalnya terdiri dari satu huruf, dan khususnya akhiran -i, yang mengakhiri sebuah kata. Dalam hal ini daripada menulis: o - rang, a - nak, i - kan, u - rat, e - kor, atau menulis: memilik - i, dimarah - i, dilempar - i, dsb. lebih baik menulis kata itu secara lengkap pada baris berikutnya (kelompok pertama), atau menulis seluruh kata itu pada baris sebelumnya (karena tempat garis penghubung dapat dipakai untuk mengetik i). Bila kelompok yang kedua itu sudah melampaui batas margin lebih baik dipisahkan menjadi: dima-rahi, di-lempari, memi-liki, dsb.
Kata-kata yang mengandung awalan me-, pe- (nasal), dan ber- sering menimbulkan problem tersendiri. Kalau betul-betul diperhatikan apa kata dasarnya, maka persoalannya mudah diatasi. Coba perhatikan contoh-contoh berikut:
f. Spasi
Ketikan itu tidak boleh dilakukan berjejal-jejal sehingga sulit dibaca. Sebab itu jarak antara baris dengan baris cukup lebar. Jarak antara baris dengan baris, maupun antara huruf dengan huruf disebut spasi. Spasi secara horisontal pada mesin pika berbeda dari mesin elite. Tetapi spasi vertikal (antar baris) pada semua jenis mesin tulis sama.
Jarak antara baris dengan baris teks selalu mempergunakan spasi rangkap. Untuk catatan kaki, bibliografi, dan kutipan yang lebih dari empat baris dipergunakan spasi rapat. Spasi yang lebih besar dari jarak antar baris teks dibuat untuk jarak antar alinea, antara judul bab dan teks, antara judul anak bab dan teks. Jarak itu berkisar antara 3 - 3,5 - 4 spasi. Karena spasi vertikal ini sama pada semua mesin tik, maka pada sebuah kertas kuarto dapat diketik 25 baris ketikan, sedangkan pada kertas folio dapat diketik sebanyak 30 baris ketikan.
g. Nomor halaman
Semua halaman diberi nomor urut dengan mempergunakan angka-angka Arab di bagian tengah halaman sebelah atas, atau di sudut kanan atas, kira-kira 2,5 cm dari pinggir atas. Angka-angka Romawi sering pula dipergunakan untuk menomori halaman-halaman pendahuluan. Angka-angka Romawi tidak pernah dipergunakan untuk menomori halaman-halaman isi karangan. Halaman-halaman bagian pelengkap penutup biasanya melanjutkan saja nomor urut dari bagian isi karangan.
h. Judul
Judul bab selalu ditempatkan di bagian tengah atas, dalam huruf kapital. Antara judul bab dan teks diberi jarak 4 spasi. Judul bab sama sekali tidak boleh ditempatkan dalam tanda kutip atau digaris-bawahi, dan tidak boleh diberi titik. Judul-judul anak bab bervariasi seperti sudah dikemukakan pada uraian mengenai tubuh karangan. Judul dan teks merupakan dua hal yang berlainan. Judul merupakan nama untuk menyebut seluruh uraian di bawahnya. Judul memberi bayangan terhadap seluruh isi bab atau anak bab itu. Sebab itu judul tidak boleh dipakai atau diperlakukan sebagai bagian dari kalimat pertama dari teks bab atau anak bab itu.
Semua judul yang ditempatkan di tengah halaman, entah judul bab atau judul anak bab, harus diketik secara simetris, yaitu sebelah kiri dan kanan dari tengah halaman harus sama panjang. Judul-judul yang terlalu panjang dapat dibagi dalam dua baris atau lebih, agar lebih mudah ditempatkan pada tengah halaman ketikan itu. Biasanya panjang tiap baris harus disusun menurut piramida terbalik, yaitu baris pertama lebih panjang, baris kedua lebih pendek, dan seterusnya. Namun pembagian itu harus memperhatikan pula kesatuan semantik rangkaian kata-katanya, misalnya:
i. Huruf Miring
Huruf miring dalam buku-buku biasanya dinyatakan dengan sebuah garis-bawah pada kata atau kalimat yang bersangkutan dalam sebuah naskah yang diketik. Garis-bawah atau huruf miring biasanya dibuat bila penulis ingin menyatakan:
(1) Penekanan terhadap sebuah kata, frasa atau kalimat. Namun terlalu banyak menggunakan huruf miring karena alasan penekanan, tidak akan menarik. Sebab itu sejauh mungkin dihindari, misalnya menggantikannya dengan variasi posisi dalam kalimat, penggunaan partikel penekan, dsb.
(2) Untuk menyatakan judul buku, majalah, dan karya-karya seni lainnya.
(3) Untuk menyatakan kata-kata asing atau frasa-frasa asing. Yang dimaksud dengan kata dan frasa asing adalah kata-kata yang belum diadaptasikan dalam perbendaharaan kata Indonesia, sehingga bentuknya masih ditulis seperti ejaan aslinya.
(4) Untuk menyatakan hipostatis, yaitu untuk menyatakan kata, huruf, angka, dsb. tanpa menghubungkannya dengan hubungan makna dan fungsinya dalam konteks. Misalnya:
Ia terlalu sering mempergunakan kata itu.
Angka 3 dalam bilangan 5.783 kurang jelas ditulis.
Ia menanyakan apa itu keadilan pada para hadirin.
j. Penulisan Angka
Sebuah karya yang penuh berisi angka-angka akan sangat mengganggu. Kecuali angka-angka yang dipakai untuk maksud-maksud khusus seperti: tabel-tabel, dan statistik, maka sejauh mungkin menghindari pemakaian angka yang terlalu banyak. Untuk maksud tersebut perlu diperhatikan beberapa ketentuan berikut:
(1) Bilangan yang terdiri dari satu atau dua kata, terutama angka-angka di bawah seratus, seratus dan kelipatannya, seribu dan kelipatannya, harus ditulis dengan huruf: satu, dua puluh, seratus, dua ratus, seribu, dsb.
(2) Bila bilangan itu terdiri dari tiga kata atau lebih, lebih baik ditulis dengan angka: 321, 1.345,677.856, 1.968.075, dsb.
Dalam hubungan ini hendaknya penulis menjaga agar ia tetap konsisten mempergunakan cara-cara itu. Walaupun ada anjuran untuk menulis angka-angka dengan cara di atas, ada beberapa hal yang khusus yang harus mengikuti konvensi-konvensi tertentu. Hal-hal yang khusus tersebut adalah:
(1) Tidak boleh ada angka yang mengawali sebuah kalimat. Bila ada bilangan yang terdapat pada awal kalimat, maka tulislah dengan huruf kalau syarat pertama dipenuhi, kalau tidak rubahlah kalimat itu sehingga angka-angka itu dipindahkan ke tengah kalimat.
Tidak baik: Rp. 1.000.000,- dimintanya untuk harga rumah yang ditempatinya sekarang.
Lebih baik: Rumah yang ditempatinya sekarang, ditawarkan dengan harga Rp. 1.000.000,-.
(2) Bilangan pecahan biasanya ditulis dengan huruf, kecuali bila pecahan itu merupakan bagian dari suatu bilangan bulat yang besar, setengah, seperempat, sepersepuluh. Tetapi: 567 3/4, 1250 9/10, dsb.
Dalam tulisan-tulisan resmi dan tulisan ilmiah, pecahan desimal selalu ditulis dengan angka: 0,36, 0,002, 0,7869, 0,2567, dsb.
(3) Untuk menyatakan prosentase tetap dipergunakan angka, walaupun bilangan itu hanya terdiri dari satu angka:
Sebagai upah ia menerima 10 persen dari harga penjualan.
Sebagai upah ia menerima 10% dari harga penjualan.
(4) Untuk menyatakan penanggalan, nomor jalan, nomor tilpon dan nomor halaman, tetap dipergunakan angka:
Ia lahir tanggal 31 Maret 1970.
Ia akan bertolak tanggal 25 Januari 1973.
Rumahnya terletak di Jln. Matraman Raya 125, Jakarta.
Bila anda ingin menghubunginya, putarlah tilpon nomor 81811.
Kecuali dalam beberapa hal yang khusus, seperti perjanjian atas segel, akte notaris, maka untuk menghindari pemalsuan tanggal dan tahun biasanya ditulis dengan huruf.
(5) Angka-angka Romawi biasanya dipergunakan untuk menyatakan jilid, bab, serta nomor halaman-halaman pendahuluan. Karena jarang dipergunakan, maka sering timbul kesulitan pada waktu menulis bilangan-bilangan besar dengan angka-angka Romawi. Untuk menghindari kesalahan, maka perlu diingat angka-angka kunci berikut:
Kecil: i, v, x, l, c, d, m, berturut-turut: 1, 5, 10, 50, 100, 500, dan 1000.
Besar: I, V, X, L, C, D, M.
Prinsip penulisan angka-angka Romawi adalah: angka-angka yang lebih besar ditulis dengan menambah satu unit pada angka yang lebih kecil, atau mengurangi satu unit dari angka yang lebih besar. Perhatikan contoh-contoh di bawah ini:
Baca: Buku Komposisi Gorys Keraf
Comments
Post a Comment