Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
4. Agama dan Dunia
Cara terbaik untuk memulai pembahasan dalam bagian ini adalah dengan cara mengambil beberapa contoh konkret tentang hoon. Berikut ini adalah lanjutan dari komentar pendiri cabang Soto dari sekte Zen Jepang yang telah dikutip di atas:
Dalam menunjukkan rasa syukur ini, manusia tidak harus menerapkan peraturan-peraturan yang berlebihan atau tidak perlu; pelaksanaan tugas sehari-hari merupakan cara untuk membuktikan rasa syukur seseorang. Perenungan bukanlah dengan cara mengabaikan kehidupan sehari-hari ataupun menyia-nyiakannya dalam sikap mementingkan diri sendiri.
Sebagai pendukung dari pandangan di atas marilah kita sitir satu risalah Shinshu berikut:
Jalan Budha berada di setiap tempat dan setiap benda, dia ada pada diri guru kita, kedua orang tua kita, saudara laki-laki, istri, anak, teman dan juga dalam negara atau komunitas kita; Budha melindungi, memelihara, menghibur, dan memimpin kita dengan segala macam cara. Hutang budi kita kepada Budha tidak hanya pada waktu kita dibawahnya ke Tanah Murni, tetapi bahkan ketika kita masih menjalani kehidupan sehari-hari kita di bumi, yang untuknya kita juga harus memanjatkan syukur. Janganlah kita melupakan betapa besar hutang budi kita kepada lingkungan kita, dan marilah memperlakukannya dengan hormat dan cinta. Kita harus berusaha sekuat tenaga untuk bisa melaksanakan tugas sehari-hari kita dengan setia, melakukan kegiatan untuk mengembangkan Budhisme, untuk kebaikan keluarga, negara, dan masyarakat, dengan demikian membayar bagian keseribu dari hutang kita kepada Amida. Dengan demikian, bekerja untuk dunia dengan rasa syukur adalah kehidupan sejati seorang penganut Budha.(37)
Cara untuk mencapai "pengetahuan sejati", yang merupakan tujuan dari kegiatan religius yang kedua, ternyata tidak terlalu berbeda dari apa yang diuraikan di atas. Muro Kyuso (1658-1734), salah seorang Konfusian Tokugawa yang terkenal, berkata,
Baca, dan pelajarilah "hukum dan aturan" kemudian carilah semua itu dalam tindakan dan kejadian; inilah pengetahuan sejati, pengetahuan yang merupakan awal dari tindakan yang benar. "Jalan" para Bijak tidaklah terpisah dari hal-hal sehari-hari. Kesetiaan, ketaatan, persahabatan, semua hubungan itu adalah "pelajaran" dan gerakan, dan bahkan istirahat kita, semua itu tidak ada yang tanpa kewajiban itu.(38)
Beberapa kutipan di atas dapat memberikan gambaran tentang cara pandang yang sangat umum dianut pada masa Tokugawa. Kegiatan religius, apakah itu hoon atapun upaya untuk mencapai pencerahan diri, pada umumnya mengambil bentuk pemenuhan kewajiban seseorang di dunia. Ritual, doa, dan meditasi semua menempati tempat kedua dalam kewajiban-kewajiban etis utama. Apa yang secara konkret cenderung ditekankan adalah kewajiban kepada para tokoh negara dan kewajiban kepada keluarga. Dalam kutipan di atas kewajiban semacam itu tampaknya dianggap sebagai pemenuhan sementara dari kewajiban yang lebih abadi sifatnya. Contoh lain tentang ini adalah perintah Nichiren kepada penganut samurai: "Anggaplah pekerjaan-pekerjaan sehari-hari yang kamu lakukan untuk tuanmu sebagai latihan Hokkekyo (Lotus Suta)."(39). Tetapi ada juga kecenderungan untuk menjadikan kewajiban-kewajiban moral ini sebagai tujuan, dalam arti menjadikannya azali dan "religius". Kecenderungan ini secara jelas digambarkan oleh kutipan dari Warongo berikut ini:
Wahai, seluruh rakyatku, yang tinggi dan rendah, yang kaya dan miskin! Sebelum kamu berdoa kepada Langit dan Bumi ataupun kepada ribuan dewa yang lain, hendaknya kamu menunjukkan dulu kepatuhan kepada kedua orang tuamu, karena pada merekalah kamu dapat menemukan semua dewa "Dalam" dan "Luar". Tidak ada gunanya untuk melakukan sembah kepada para Dewa yang ada di "Luar" jika kamu tidak memperlakukan orang tuamu di Dalam (di rumah) dengan sikap patuh dan hormat.(40)
Selanjutnya marilah kita kutip satu contoh menarik yang agak ekstrem tentang kecenderungan mencampurkan apa yang biasa kita bedakan dalam kategori religius dan etika. Berikut adalah interpretasi kosmik tentang ko (ketaatan kepada orang tua) yang dibuat oleh Nakae Toju:
Sebelum langit dan bumi diciptakan ko merupakan jalan ilahian dari langit. Langit, bumi dan manusia, ya, segala ciptaan disusun oleh ko. Musim semi dan musim panas, musim gugur dan musim dingin, guruh dan hujan dan embun tidak akan pernah ada kecuali karena ko. Kebajikan, kelurusan, kesusilaan dan pengertian semua itu adalah prinsip dasar ko.(41)Ko berada di jagad raya dalam bentuk ruh yang berdiam dalam diri manusia. Dia tidak mempunyai awal maupun akhir: tanpanya tak akan ada waktu ataupun makhluk; tidak ada sesuatu pun di seluruh alam raya ini yang tidak diberkati dengan ko. Karena manusia adalah pemimpin alam raya dan perwujudan minatur darinya, ko memberkati wa-dag dan ruhnya, dan ketaatan kepada jalan (the way) adalah titik inti eksistensi.(42)
Pemahaman yang sejati akan ko akan menghasilkan identifikasi manusia dengan alam raya:
Jika kita mencari asal usul segala sesuatu, kita akan mendapati bahwa sebagaimana tubuh kita terpisah dari tubuh orang tua kita tetapi tetap satu dengan mereka, demikianlah tubuh mereka dipisahkan dari ruh langit dan bumi, dan ruh langit dan bumi adalah keturunan dari ruh alam raya; dengan demikian tubuh saya adalah satu kesatuan dengan alam raya dan para dewa. Jelaslah bahwa memahami kebenaran sejati ini dan bertindak sesuai dengannya merupakan sikap taat kepada jalan (the way).(43)
Ko juga merupakan alat terbaik untuk membunuh keakuan:
Marilah kita belajar dari hakikat asal kita karena dia itu masih murni walaupun kita bodoh dan jahat. Dia akan menunjukkan kepada kita bahwa sikap tidak patuh kepada orang tua adalah siksaan neraka dan sumber segala kejahatan. Semua yang kita punyai, tubuh dan jiwa kita, semua itu berasal dari orang tua kita. Jika kita melukai diri kita maka yang sebenarnya kita rusakkan bukanlah milik kita tapi milik mereka.(44)Semua kesalahan umat manusia berasal dari "keakuan" karena kita berpikir "inilah tubuhku", "inilah kepunyaanku", tetapi ko membunuh keakuan.(45)
Bahan di atas menarik karena memberikan uraian yang cukup lengkap tentang "teologi" untuk suatu "religi ketaatan kepada orang tua". Lebih dari itu, teologi ini ditarik sepenuhnya dari elemen-elemen sistem religi umum sebagaimana telah kita diskusikan di atas. Kendati demikian, religi ini tidak otomatis berkaitan dengan sekte, kuil atau candi. Dia adalah religi keluarga, dan di dalam keluargalah kita harus mencari titik penting kehidupan religius di Jepang masa Tokugawa.
"Religi keluarga" Nakae Toju memang tidak bisa dianggap khas. Religi ini mewakili suatu bentuk kecanggihan filosofis dan kejelasan rincian yang sangat tinggi. Kendati demikian, sebenarnya dia merupakan perwujudan dari semangat yang mendasari religi itu, dalam bentuk yang sudah lebih diperhalus dan lebih abstrak sehingga cenderung sulit dipahami oleh orang pada masa itu. Religi keluarga yang sangat umum dianut di Jepang ini sebenarnya adalah pemujaan kepada leluhur. Setiap keluarga mempunyai kuil keluarga yang biasanya berjumlah dua, satu kuil Shinto dan satu kuil Budha. Biasanya dalam kuil Budha itu disimpan barang-barang yang berasal dari para leluhur, di samping patung-patung atau simbol-simbol para dewa. Upacara singkat selalu dilakukan di kuil itu, sekali di waktu pagi dan sekali di waktu sore dengan cara menghidupkan lampu dan mempersembahkan sejumlah makanan. Kultus leluhur ini merupakan cara untuk terus menerus mengingatkan arti suci garis leluhur dan tanggung jawab semua anggota keluarga terhadapnya. Motoori Norinaga (1730-1801) menulis:
Jangan hendaknya kamu melupakan cinta yang melindungi yang telah dipancarkan oleh leluhurmu selama berabad-abad. Leluhur saya adalah para dewa keluarga saya, mereka semua adalah para Dewa rumah saya.(46)
Dari leluhur ke orang tua hanyalah satu langkah, dan langkah itu sangatlah mudah diambil. Motoori juga menulis:
Ayah dan ibu adalah Dewa-dewa keluarga, mereka Dewa-dewa kita, anak manusia memelihara dan melakukan pemujaan atas mereka.(47)
Sebagaimana telah kita lihat di atas, suatu "teologi" ketaataan kepada orang tua merupakan suatu cara untuk menyatu dengan alam raya, demikian pula teori tentang ketaatan kepada orang tua yang didasarkan kepada konsep on sangat banyak dianut. Sering kali dinyatakan bahwa kewajiban anak kepada orang tuanya "lebih tinggi dari langit dan lebih dalam dari lautan". Kewajiban semacam ini tidak terbayar. Hirata Atsutane (1776-1843) mengatakan:
Jika seorang anak harus membantu menghidupi orang tuanya belum bisa dia mengatakan bahwa dia telah memberikan kasih sayang kepada mereka. Melalui siapa dia lahir dan tumbuh dan siapa yang memungkinkan dia memberikan bantuan kepada orang tuanya? Melalui orang tuanya bukan? Jika kenyataan ini dipertimbangkan betul maka tidak ada balasan cinta yang bisa membayar apa yang sudah diberikan orang tua dalam mengasuh dan membesarkan anaknya, dengan hati yang penuh kasih dia memberikan tubuhnya untuk membesarkan si anak dan cintanya sepuluh kali lebih besar dari yang bisa dikembalikan kepadanya.(48)
Keluarga bukan hanya pusat dari kultus leluhur. Dia merupakan tempat di mana pemujaan kepada para dewa paling sering dilakukan. Telah kita kemukakan bahwa hampir setiap rumah mempunyai kuil Shinto dan kuil Budha. Bermacam dewa Shinto dan Budha akan dipuja bersamaan dengan para leluhur. Hampir setiap rumah mempunyai suatu bagian dari kuil Dewi Matahari di Ise, sehingga dalam beberapa hal mereka ikut memuja leluhur kaisar. Kunjungan ke kuil atau candi jarang dilakukan dan jika pun terjadi biasanya dilakukan oleh kepala keluarga yang mewakili seluruh anggota lainnya, kecuali jika ada festival di mana semua anggota keluarga ikut pergi. Pada Era Tokugawa ceramah agama di kalangan rakyat secara luas dilakukan, demikian juga pembacaan khotbah serta risalah-risalah. Kendati demikian tetap tidak dapat disangkal bahwa penanaman rasa religius sebagian besar terjadi di dalam keluarga.
Bersamaan dengan adanya "religi ketaatan kepada orang tua", terdapat pula "religi kesetiaan". Sebenarnya istilah ini digunakan dalam kaitan dengan Bushido, etika status dari kelas samurai, yang akan kita bicarakan lebih jauh nanti dalam bab yang akan datang. Bahwa kesetiaan mempunyai keharusan yang bersifat religius sampai mengalahkan ikatan-ikatan religius lainnya, ditunjukkan oleh peristiwa berikut ini:
Ketika para pendeta memberontak melawan Ieyasu di Mikawa dan banyak orang ragu-ragu untuk menghadapi mereka, Nagayoshi Doi, dengan mengangkat tombaknya meloncat ke arah musuh sambil berteriak,"Kemurahan hati pangeran kita jelas dan di depan mata, sedangkan hukuman Budha masih gelap dan jauh. Jika kita terpaksa harus dibakar dalam panas api neraka karena menyelamatkan pangeran kita dari para pemberontak itu, apa boleh buat? Jika kita gagal membela pangeran kita dalam situasi genting ini, kita mengingkari kewajiban kita dan hilanglah kehormatan kita. Jika kalian mendengarkan aku, hai para pemberontak, menyerahlah dan mohonlah ampunan dari pangeran kita".(49)
Kesetiaan adalah salah satu ajaran utama dari religi keluarga. Ketaatan kepada orang tua bukan beradu kuat dengan kesetiaan tetapi menguatkannya. Nakae Toju, ketika ditanya apakah kewajiban untuk menjaga tubuh sebagai hadiah orang tua berarti menghalangi seseorang untuk maju ke medan perang, menjawab bahwa kewajiban untuk menjaga kebajikan lebih tinggi nilainya dari menjaga tubuh, dan jika diperlukan seseorang harus rela untuk mati demi tuannya. Ini adalah ketaatan sejati kepada orang tua. Kita akan lihat dari kutipan dari Nichiren di bawah ini bahwa ketaatan kepada orang tua pada akhirnya untuk orang Jepang berarti kesetiaan:
...jika seorang ayah menentang raja, anak yang tahu kewajiban akan meninggalkan orang tuanya dan mengikuti raja. Inilah ketaatan kepada orang tua dalam bentuknya yang tertinggi.(50)
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(37) Anon., Principle Teachings of the True Sect of Pure Land, hlm.86-88
(38) Knox, "A Japanese Philosopher". hlm. 61
(39) Satomi, op. cit., hlm. 108
(40) Kato, Warongo, hml. 10
(41) Fisher, op. cit., hlm. 40
(42) Ibid., hlm. 41
(43) Knox, "A System of Ethics, an Abridged Translation of the Okina Mondo", hlm. 102
(44) Ibid., hlm.349
(45) Ibid., hlm. 103
(46) Kirby, "Ancestral Worship in Japan", hlm. 238
(47) Ibid., hlm.246
(48) Ibid., hlm. 244
(49) Departemen Pendidikan, History of Japanese Education, hlm. 69-70
(50) Ehara, op. cit., hlm. 61
Comments
Post a Comment