Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
5. Kesimpulan
Hubungan yang erat antara religi Jepang dengan sistem nilai Jepang sebagaimana digambarkan terutama di bagian akhir Bab II terlihat jelas. Kita lihat bagaimana dua jenis kegiatan religius, satu berasal dari Budhisme dan satunya dari Konfusianisme telah menguatkan nilai-nilali dasar tentang prestasi dan partikularisme. Keduanya menjadikan hubungan-hubungan partikularistik dengan atasan bersifat sakral dan menitikberatkan pentingnya prestasi yang tinggi dalam melaksanakan kewajiban sebagai syarat penyelamatan religius. Keduanya memberikan landasan metafisik, satu cara pandang tentang manusia dan keilahian, sehingga nilai-nilai dasar tersebut dalam beberapa hal mengandung arti keilahian. Keduanya menjanjikan pencerahan atau keselamatan abadi, keunggulan makna hidup atas frustasi dasar jika nilai-nilai itu ditaati, dan kesengsaraan dalam jurang keakuan pementingan diri jika tidak. Besar kemungkinan pada tingkat kegiatan-kegiatan religiuslah nilai-nilai ini pertama kali mendapatkan formulasinya yang paling jernih dan sederhana. Hal ini berkaitan dengan masa sebelumnya yang menjadi fokus utama perhatian kita. Dengan demikian dapatlah dipastikan bahwa pada Era Tokugawa kegiatan religius telah menguatkan nilai-nilai sentral yang ada dalam masyarakat.
Dalam faham mengenai dewa sebagai kebajikan yang maha tinggi dapatlah dikatakan bahwa prestasi dan partikularisme merupakan nilai-nilai yang menentukan obyek religius. Dewa melakukan tindakan-tindakan kebajikan terhadap mereka yang mempunyai hubungan partikularistik dengannya. Ini menyangkut kaitan timbal balik antara kesetiaan dan balas budi. Pandangan tentang yang ilahi sebagai "dasar segala yang ada" mengartikan obyek religius dengan nilai partikularisme dan mementingkan kualitas bawaan obyek. Obyek religius itu tidak "berbuat". Pada kenyataannya dia bukan sepenuhnya obyek, karena dia mengatasi batasan subyek dan obyek; dia adalah suatu identitas yang mencakup diri dan yang lain, yang dapat dicapai oleh pelaku religius. Norma-norma prestasi dibangun dalam proses pencapaian ini, tetapi menjadi sangat ditekankan mungkin karena pengaruh dari konsep jenis pertama tentang tuhan. Bagaimanapun arti penting konsep kedua tentang tuhan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai integratif sangatlah penting dalam sistem nilai orang Jepang dan bahwa kebutuhan akan bentuk-bentuk penyelesaian personal yang mengatasi seluruh tuntutan akan prestasi nampaknya merupakan akibat yang tak terelakkan dari ketegangan yang inheren dalam pola tindakan partikularistik.
Hampir tidak diragukan lagi bahwa religi semacam yang diuraikan dalam bab ini menjadikan ikatan motivasional kepada nilai-nilai kelembagaan masyarakat Jepang semakin menguat. Dengan kata lain religi semacam itu telah memperkuat nilai-nilai prestasi dan partikularisme. Hubungan antara religi dengan kesetiaan dan ketaatan kepada orang tua merupakan contoh konkret untuk ini. Dalam pengertian formalnya hal ini berarti bahwa religi memperkuat masukan bagi kesesuaian pola dari sistem motivasional menjadi sistem institusional.
Pada bab II kita melihat bahwa bermacam segmen dalam masyarakat dicengkram oleh bermacam bentuk kegelisahan. Masalah dari para samurai, pedagang dan petani tidak sepenuhnya sama. Karena itu, tidak mengherankan jika reaksi yang diberikan oleh kelompok-kelompok tersebut terhadap kegelisahan atau ketegangan itu dalam suatu bentuk aspek religi juga berbeda. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kelas mempunyai etika sesuai statusnya, seperangkat sistem nilai dasar yang secara khusus disesuaikan dengan kondisinya. Berbagai gerakan religius dan etika pada masa Tokugawa menyusun dan memformalkan etika-etika status ini, dan memperkenalkan unsur-unsur baru dan dinamis ke dalamnya. Dalam hal ini kecenderungan-kecenderungan baru yang penting telah merasuk melewati batasan-batasan kelas. Sebagaimana telah kita nyatakan sebelumnya, arah utama dari gerakan-gerakan baru ini bukan untuk memperkenalkan nilai-nilai baru atau mengguncang yang lama, tetapi untuk menyebarkan nilai lama yang lebih kuat dan lebih intens. Dua aspek utama yang terpengaruh oleh diperkuatnya nilai-nilai lama ini adalah politik dan ekonomi. Oleh karena itu, dua bab berikut akan difokuskan pada analisis tentang hubungan antara religi, sistem politik dan ekonomi pada masa Tokugawa. Untuk itu garis besar etika status yang berbeda-beda tadi akan diuraikan, dan sebagian besar gerakan etika dan religius baru yang terpenting akan dipaparkan secara ringkas.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
Comments
Post a Comment