Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
2. Dari Magi ke Metafisika
Dalam bagian ini perlu rasanya kita secara singkat melihat kembali perkembangan religi Jepang sebelum Era Tokugawa. Perkembangan-perkembangan ini menunjukkan adanya kecenderungan ke arah rasionalisasi baik di tingkat filosofi maupun di tingkat etika yang berperan banyak dalam membebaskan dunia dari magi primitif. Karena perkembangan semacam ini merupakan prasyarat bagi pemanfaatan motivasi religius dalam merasionalisasikan dunia pada lingkup non-religi, aspek ini merupakan hal yang sangat penting bagi studi ini.
Di antara hal-hal lain, kesuburan merupakan hal yang menjadi perhatian paling utama dari Shinto masa awal. Upacara-upacara doa untuk keberhasilan panen dan syukuran setelah panen menempati posisi sangat penting dalam kalender ritual. Di desa-desa ritus-ritus lingga dilaksanakan untuk menjamin kesuburan melalui magi atau jampi-jampi pekasih, dan bahkan dalam kultus negara yang resmi titik berat adalah terutama pada persembahan-persembahan dan janji pemujaan kepada para dewa jika panen berhasil. Engishiki, satu tulisan yang berasal dari abad 10, mencantumkan naskah doa panen yang dilaksanakan setiap tahun pada hari keempat bulan kedua oleh para anggota keluarga kependetaan Nakatomi dalam upacara besar di ibukota. Satu petikan darinya mungkin dapat memberikan gambaran dari warna Shinto awal ini:
Saya bersaksi di depan para dewa Panen yang mahatinggi. Jika para dewa yang mahatinggi berkenan melimpahkan dalam panen yang berlimpah yang terdiri atas untaian yang ranum dan gemuk, panen berlimpah dan ranum yang akan dihasilkan dengan cara meneteskan busa dari tangan-tangannya dan mengumpulkan lumpur di antara kedua belah pahanya, maka saya akan melantunkan puji-pujian untuk mereka dengan cara memasang hasil pertama dalam ribuan untaian dan ratusan untaian, mengangkat tinggi botol-botol bir, memenuhi dan menata berjejer perut-perut botol bir itu...(4)
Terdapat sejumlah naskah yang menggambarkan upacara-upacara masa awal itu untuk menangkal bahaya api, badai atau wabah, dan untuk menyenangkan hati para roh sehingga tetap berdiam di tempat mereka. Penyucian menempati kedudukan yang penting dalam ritual Shinto awal. Pelanggaran, karena disengaja atau karena kecerobohan, dianggap akan mendatangkan pencemaran dan memerlukan bermacam tindakan penyucian seperti upacara penyucian, puasa dan berpantang. Lepra, tumor, dan "malapetaka karena hal-hal yang mengerikan" dimasukkan ke dalam daftar yang sama seperti melukai dan membunuh, incest, dan sifat kebinatangan, semua menyebabkan pencemaran sehingga diperlukan penyucian.
Kesuburan, penyucian, dan bentuk-bentuk ritual serupa tetap berlanjut sampai waktu akhir-akhir ini dalam bentuknya yang kurang lebih tetap "primitif" sebagaimana digambarkan di atas, tetapi sejak paling tidak abad 13 mulailah berkembang, terutama di kalangan kultus yang berpusat di Ise, suatu kecenderungan menonjol ke arah filosofi dan rasionalisasi etika. Tak pelak lagi hal ini pasti terjadi karena dorongan pengaruh Budha, tetapi tetap merupakan hasil pengolahan oleh tradisi Shinto sendiri dan bukan sekedar pengaruh Budha yang ditempelkan.
Salah satu dokumen yang menunjukkan adanya kecenderungan ini adalah Shinto Gobusho yang disusun oleh para pendeta Geku dari Ise kemungkinan besar pada abad 13, yang sebagian bahannya pasti berasal dari masa yang lebih tua. Dalam kaitannya dengan persembahan dikatakan di dalamnya, "Para dewa tidak menginginkan hadiah barang, tetapi persembahan ketulusan dan sikap lurus,"(5) dan tentang kesucian, "Melaksanakan kebajikan berarti menjadi suci; melakukan kejahatan berarti menjadi tidak suci."(6) Rahib Muso Kokushi (1271-1340) menuturkan kembali kunjungan ke kuil Ise tak lama setelah masa yang diduga sebagai waktu penyusunan Shinto Gobusho. Berikut adalah penuturannya:
Di Ise Daijingu persembahan tidak diperkenankan, demikian pula pembacaan mantra atau sutra Budha yang mana pun. Ketika saya pergi ke Ise saya berhenti di sana untuk beberapa waktu dekat Geku dan bertanya kepada seorang pengurus upacara Shinto yang berpenampilan seperti Negi yang saya temui di tempat itu dan dia menjawab, "Jika seseorang datang untuk melakukan pemujaan di sini, dia harus suci luar dan dalam. Suci luar berarti makan makanan yang bersih dan menjalani upacara penyucian serta menjaga diri dari kotoran, sedangkan suci dalam berarti membersihkan diri dari semua nafsu ambisius." Pada umumnya orang mempersembahkan sesajian di kuil-kuil dan melaksanakan Kagura sebagai cara menyampaikan permohonan sesuai yang dimaui; semua itu sangat jauh dari pengertian kesucian-batin, karena itu dilarang di sini.(7)
Di sini kita melihat bahwa gagasan lama tentang sesajian atau persembahan dan penyucian diberi makna simbolik dan etis. Pengertian dari ide kesucian batin dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan diuraikan dalam kutipan berikut yang berasal dari seorang pengunjung kuil Ise pada abad 14:
Secara khusus ini adalah tradisi yang sudah sangat mengakar dari kuil ini bahwa kita tidak boleh membawa tasbih Budha atau sesajian atau permohonan apa pun dalam hati kita dan semua itu dinamakan "Kesucian Batin". Membasuh badan dengan air laut dan menjaga agar badan tetap bebas dari kotoran disebut "Kesucian Luar". Dan jika kedua kesucian ini dapat dicapai maka tidak akan ada lagi batas antara pikiran kita dengan para dewa. Dan jika kita merasa menyatu dengan para dewa, apa gunanya lagi doa bagi kita? Ketika saya mendengar bahwa inilah cara pemujaan yang benar di kuil ini, saya tidak bisa menahan air mata karena rasa syukur.(8)
Gambaran awal tentang makhluk adikodrati, yang terus dipertahankan sampai jaman modern, sebagaimana digambarkan di atas cenderung diganti dengan konsep ketuhanan sebagaimana telah diuraikan pada bagian konsep-konsep dasar di atas. Hal ini dijelaskan oleh pernyataan seorang teolog Shinto dari abad 14, Imbe-no-Masamichi dalam karyanya Shindai Kuketsu (1367):
Kami (istilah Jepang untuk dewa) berasal dari kata kagami (cermin) yang kemudian disingkat dan dibaca kami. Pikiran Tuhan, seperti sebuah cermin, merefleksikan semua yang ada di alam. Dia bertindak dengan keadilan yang tidak memihak dan tidak menenggang setitik pun kotoran. Apa yang ada di langit itulah Kami, di alam itulah Ruh dan dalam diri manusia itulah Ketulusan. Jika ruh alam dan hati manusia suci dan jernih, maka mereka menjadi Kami.(9)
Untuk mengakhiri pembahasan ini perlu kiranya kita melihat karya Shinto yang sangat populer pada masa Tokugawa, Warongo atau Bunga Rampai Jepang. Dalam kutipan berikut ini dapat kita lihat konsep-konsep dasar dari dewa dan penekanan yang lebih kepada kesucian batin dibanding kesucian luar:
Bahwa Tuhan tidak menyukai yang kotor, sama dengan mengatakan bahwa seseorang yang hatinya tidak suci tidak menyenangkan Tuhan.
Dia yang hatinya jujur dan lurus tidaklah kotor, walaupun badannya tidak demikian.
Bagi Tuhan, kesucian batinlah yang terpenting; sekedar kebersihan luar tiada faedahnya. Karena Tuhan adalah Inti dari Kelurusan dan Kejujuran, karena itu, perintah Ilahiahnya adalah kita harus hidup dengan jujur, bahagia dan mengikuti KehendakNya.
Jika seseorang suci hatinya, niscaya dia akan selalu merasakan Kehadiran Ilahi bersamanya, dan memiliki kedekatan rasa Keilahian dalam dirinya.(10)
Budhisme di Jepang mengalami alur perkembangan yang serupa dengan yang dialami Shinto sebagaimana diuraikan di atas. Walaupun sejak awal jelas terdapat sejumlah rahib Budha yang tulus dan memahami religi mereka dalam pengertian yang lebih filosofis, sulit disangkal bahwa pengaruh Budhisme pada abad-abad awal perkembangannya di Jepang lebih banyak disebabkan karena unsur magi yang dipunyainya. Sutra dibaca sering kali bukan karena kandungan intrinsiknya tetapi karena hasil magis yang dipercaya bisa didatangkannya. Sebagai misal, pada abad ketujuh kita mencatat adanya pembacaan Sutra (ringkasan Veda) untuk maksud mendatangkan hujan; dan untuk ini Maga-megha-sutra lah yang dipercaya cocok dibaca untuk keperluan ini. Beberapa sutra yang lain dibaca untuk menghentikan hujan jika dikhawatirkan akan terjadi banjir. Kenduri vegetarian ritual diadakan untuk sejumlah besar rahib untuk beragam tujuan seperti memelihara kesehatan atau memanjangkan umur tokoh pelindung atau untuk mendoakan orang yang meninggal. Pertemuan besar diadakan untuk membaca sutra-sutra tertentu dengan cara-cara khusus, yaitu, menghadap ke arah tertentu atau menggunakan suara dengan tinggi nada tertentu dan sebagainya, untuk mendapatkan hasil magis tertentu. Ninnokyo atau Sutra Para Raja Utama sering kali dibaca dalam pertemuan semacam itu. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga kedamaian dan kesejahteraan seluruh wilayah kekaisaran, tetapi sering kali juga untuk mendatangkan hujan, menghentikan wabah cacar, lepra atau epidemi lainnya dan menangkal pratanda-pratanda jelek seperti gerhana, komet, dan sebagainya. Tindakan-tindakan yang mengarah kepada kebajikan, seperti pemberian amnesti umum, atau penetapan peraturan yang melarang pembunuhan binatang, atau adanya orang suci yang mengundurkan diri dari kehidupan keduniaan, juga dilakukan agar hal-hal seperti kekeringan akan berakhir atau agar kaisar yang sedang sakit sembuh kembali.(11)
Di tingkat individual, Budhisme pada masa-masa awalnya lebih berkaitan dengan jampi-jampi dan mantera serta pemujaan kepada Bodisatva tertentu yang dipuja secara khusus. Sebagian dari kecenderungan ini memang masih terus terbawa sampai jaman modern, tetapi paling tidak abad 12 dan 13 telah membawa titik balik yang menentukan untuk Budhisme Jepang; pada masa itu ada kecenderungan kuat untuk membebaskan agama itu dari aspek magi. Hal ini paling kuat ditunjukkan oleh adanya tiga sekte besar atau gabungan sekte-sekte yang muncul pada abad-abad itu, Zen, Nichiren dan Jodo atau sekte Tanah Murni.
Eisai (1141-1215), pendiri aliran Rinzai dari Zen di Jepang, mengajarkan bahwa pengetahuan tentang pikiran Budha hanya dapat diperoleh secara intuitif melalui meditasi (dhyana), dan bukan dengan cara melakukan pemujaan kepada Budha, mendaras sutra atau melakukan praktek religi serupa lainnya. Dia berpendapat bahwa tidak ada media fisik yang dapat mengekspresikan atau melambangkan pikiran-Budha. Dia hanya dapat ditemukan di dalam pikiran orang itu sendiri melalui meditasi. "Temukanlah Budha dalam hatimu sendiri, yang inti dasarnya adalah Budha sendiri," katanya.(12)
Zen tidak menganggap praktek-praktek keagamaan yang tua itu sebagai "yang harus dibenci" tetapi lebih sebagai sesuatu yang sia-sia, karena itu tidak berusaha menghapusnya. Namun, di kalangan penganutnya, kebanyakan dari kalangan intelektual terkemuka dan tokoh-tokoh militer kelas atas, pandangan ini menjadi senjata ampuh untuk memerangi praktek-praktek magis lama religi itu.
Nichiren (1222-1282), pendiri sekte yang menggunakan namanya, mengajarkan bahwa pemujaan hendaknya hanyalah kepada satu Budha, yakni Budha dari Lotus Sutra. Pemujaan kepada Budha yang lain menurutnya bukan saja sia-sia tetapi merupakan kejahatan dan pengkhianatan kepada Budha yang sesungguhnya. Dia menganjurkan agar sekte-sekte lain ditindas berdasarkan alasan tersebut. Ajarannya lebih bersifat kesusilaan dan dia tidak menekankan pelaksanaan ritual atau cara yang mengarah kepada kontemplasi mistik sebagai cara pemujaan Budha. Dia lebih menekankan agar keimanan dipusatkan pada Budha, dikuatkan dengan mendaras frase pendek yang memuja Lotus Sutra, sutra paling keramat di antara semuanya dan yang dalam beberapa hal identik dengan Budha sendiri. Keimanan harus diwujudkan dalam kehidupan nyata dalam tindakan-tindakan beradab dan susila, dan yang paling utama dari semua itu adalah, menurut ajarannya, sikap hormat kepada raja, guru, dan orang tua.(13)
Sekte-sekte Tanah Murni dalam beberapa hal merupakan yang paling jauh bertindak dalam membebaskan religi dari magi, takhayul dan praktek-praktek ritual. Jodo Shinshu, yang didirikan oleh Shinran Shonin (1173-1262), berada di barisan terdepan dari sekte-sekte Tanah Murni dalam usaha ini, dan karena dia merupakan sekte terbesar tidak hanya di kalangan sekte-sekte Tanah Suci tetapi juga di kalangan semua sekte Budhisme di Jepang, ulasan berikut akan dibatasi hanya tentangnya saja.
Inti kepercayaan Shinshu adalah bahwa hanya keimanan kepada Amida saja yang dapat membawa kepada keselamatan. Shinran menulis:
Ada dua hal penting yang berkaitan dengan Keimanan. Pertama, yakin bahwa kita berdosa; dengan menghamba kepada perbuatan-perbuatan jahat kita tidak akan mempunyai alat untuk memerdekakan diri kita. Kedua, karena itu, kita harus menyerahkan diri kita sepenuhnya ke dalam Kekuasaan Keilahian Amida Nyorai dengan kepercayaan penuh bahwa Empat Puluh Delapan Janjinya untuk menyelamatkan segala makhluk yang beriman kepadaNya tanpa rasa ragu atau takut. Ruh-ruh semacam ini akan dilahirkan kembali dalam Tanah MurniNya.(14)
Karena keimanan kepada Amida saja sudah merupakan jaminan, semua upacara, mantra, atau pemujaan kepada Budha yang lain, dan sebagainya tidak lagi berguna. Shinran mengatakan:
Bukti semakin bobroknya dunia terlihat dari kehidupan beragama para pendeta dan orang awam masa ini. Mereka pemeluk Budha dari penampilannya, tetapi sebenarnya mereka adalah pengikut religi palsu.
Alangkah menyedihkan melihat mereka menghitung-hitung "hari baik", memuja dewa-dewa yang lain di bumi dan di langit, menenggelamkan diri dalam ramalan dan penggunaan "guna-guna".(15)
Penekanan pada "hanya iman" menjadikan praktek-praktek Budhisme yang lebih tua terkesan seperti takhayul yang ketinggalan jaman. Larangan kawin bagi pendeta dihapuskan, sebagaimana juga larangan makan daging. Akibatnya jabatan yang tadinya dianggap hina sekarang diperbaiki citranya. Shinran berkata:
Tidak ada perbedaan antara mereka yang hidup dari memancing ikan dengan tali atau dengan jala, di laut atau di sungai, mereka yang mempertahankan hidupnya dengan berburu atau beternak di padang dan gunung, dengan mereka yang berdagang atau menggarap tanah. Orang bisa melakukan apa saja jika dia digerakkan oleh karmanya.(16)
Rennyo Shonin (1415-1499), sering kali dianggap pendiri kedua Shinshu karena pengaruhnya yang besar dalam perkembangan sekte itu, mengembangkan karya Shinran. Dia menentang cara hidup hemat dan meditasi, menganggapnya sebagai menyerahkan hati dan memberi kesempatan kepada pikiran-pikiran jahat. Dia menekankan penerapan ajaran kebajikan Konfusius dalam kehidupan sehari-hari dan ketaatan kepada penguasa negara, sedangkan kehidupan batin harus diserahkan sepenuhnya kepada Amida. Rennyo menentang setiap pemujaan kepada dewa-dewa Shinto dan karena dialah maka tidak ada lagi kamidana (kuil Shinto yang selalu terdapat di rumah-rumah Jepang) di rumah-rumah penganut Shinshu sampai hari ini.
Di sini Konfusianisme perlu mulai dikemukakan. Proses rasionalisasi mirip sebagaimana yang telah dilalui oleh Shinto dan Budhisme beberapa abad lebih awal di Cina juga telah dialaminya. Arthur Waley melihat ini sebagai transisi dari suatu tahapan "sesaji-nujum" ke suatu tahapan "moralistik", suatu transisi yang bermula pada sekitar 400 sebelum Masehi atau bahkan lebih awal dan selesai pada masa Hsun Tzu (c.298-c.238 S.M.).(17) Dengan demikian Konfusianisme di Jepang dari awalnya telah memberikan pengaruh rasionalisasi di bidang etika. Setelah itu ketika filsafat neo-Konfusian dari Chu Hsi (1130-1200) dan lain-lainnya mulai dimasukkan ke Jepang (pada awal abad 13) terutama oleh para pendeta Zen, Konfusianisme juga memberikan pengaruhnya pada filosofi dan psikologi. Kecenderungan ini mencapai puncaknya pada Era Tokugawa ketika Konfusianisme filosofis menikmati masa jayanya. Tidak pelak lagi dimasukkannya Taoisme rakyat dan kepercayaan-kepercayaan rakyat lainnya dari Cina telah memberikan dampak yang sama sekali berlawanan.
Arti penting dari proses rasionalisasi sebagaimana telah kita paparkan adalah bahwa dia telah menciptakan kemungkinan dilakukan kegiatan religius yang didasarkan atas dasar pemikiran yang tidak terlalu banyak dan diterapkan secara sistematis dalam lingkup yang luas. Tahapan magis pada masa sebelumnya cenderung mempunyai hanya sedikit generalisasi etis dan metafisik yang dapat digunakan untuk mengatur perilaku dan lebih banyak mengandung sejumlah besar ajaran rahasia yang saling berlawanan, serta larangan-larangan yang hampir semuanya secara khusus mempunyai landasan moralnya masing-masing, bukannya mengacu kepada peraturan yang sifatnya lebih umum. Oleh karena itu, tugas kita selanjutnya adalah memahami kegiatan-kegiatan religius yang sangat terasionalisasi ini secara mendalam. Dengan demikian kita akan dapat menentukan hubungan antara kegiatan religius dengan kegiatan pada lingkup yang lain.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(4) Satow, "Ancient Japanese Rituals" p. 20
(5) Holtom, "The Meaning of Kami", hlm. 34
(6) Kato, A Study of Shinto, hlm. 163
(7) Sadler, Saka's Diary of a Pilgrim to Ise, hlm. 10-11
(8) Ibid., hlm. 48
(9) Holtom, op. cit., hlm. 5
(10) Kato, "The Warongo or Japanese Analects", hlm. 67. Selanjutnya artikel ini akan disebut sebagai Warongo.
(11) Informasi dalam alinea ini banyak diambil dari De Visser, Ancient Buddhism in Japan
(12) Coates dan Ishizuka, Honen, The Buddhist Saint, hlm. vi
(13) Tentang Nichiren, lihat Anesaki, Nichiren, the Buddhist Prophet.
(14) Nikai, Shinran and his Religion of Pure Faith, hlm. 111
(15) Ibid., hlm. 119
(16) Fujimoto (terj.), The Tannisho, hlm. 22
(17) Waley, the Way and Its Power, hlm. 20-25
Comments
Post a Comment