Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
3. Kualifikasi Pemimpin dan Hubungan Antarpribadi dalam Kelompok
Di dalam struktur kelompok seperti telah ditunjukkan dalam bagian depan, kualifikasi pemimpin terutama bergantung pada tempat kedudukannya dalam kelompok, dan bukan pada jasa perseorangan; kesetiaan anggota lain kepada pemimpin juga berasal dari kedudukan mereka sebagai bawahannya saja. Faktor yang sangat penting di dalam pelaksanaan kepemimpinan adalah ikatan pribadi antara pemimpin dan bawahan langsungnya. Ikatan pribadi yang kuat dan fungsional selalu timbul dari struktur informal. Dalam situasi tertentu struktur informal ini mungkin sesuai mungkin tidak sesuai dengan organisasi administrasi yang kelihatan dan formal dari lembaga tersebut. Pemimpin teras organisasi formal yang para bawahannya terikat secara informal pada pemimpin lain di luar kantornya akan mengalami masa-masa yang sulit di Jepang. Walaupun sepintas kilas bawahannya kelihatan setia dan bekerja baik, tetapi perintah-perintahnya seringkali tidak dilaksanakan bila tidak ditungguinya dan kadang-kadang ia dikhianati. Ia mungkin dapat membina ikatan pribadi yang baru lewat organisasi formalnya, tetapi bila karirnya menanjak hal ini akan menimbulkan kesulitan yang lebih besar dan lebih berat lagi. Karena setiap orang cenderung membina ikatan pribadi sejak tahap yang relatif awal dalam karirnya, dan ikatan pribadi yang dibina sejak awal karir biasanya lebih besar pengaruhnya daripada ikatan pribadi yang dibangun pada masa-masa karir memuncak: makin awal dibina, makin kuatlah fungsi ikatan pribadi itu.
Dalam kenyataannya, orang yang menanjak menduduki posisi dengan tanggungjawab yang lebih berat berusaha sekeras-kerasnya menarik kobun-nya menjadi bawahannya. Adalah rahasia umum di antara para dokter di Jepang bahwa penggantian direktur suatu rumah sakit besar akan meliputi pergantian mayoritas besar jabatan-jabatan di bawahnya: pucuk pimpinan itu bergerak keluar dan ke dalam dengan kobun-nya, yaitu bawahannya dalam satu struktur informal. Demikianlah, dalam rangka mencapai kedudukan pemimpin puncak, pemimpin golongan politik sama saja bergerak bersama kobun-nya. Kecenderungan ini makin kuat bila sifat kegiatan kelompok memerlukan kelompok kerja yang kompak. Dalam kelompok yang mempunyai sifat semacam inilah maka watak-watak kepemimpinan Jepang tampak paling jelas.
Hubungan pribadi vertikal bersifat lebih dinamis daripada hubungan horisontal. Perlindungan dibayar dengan ketergantungan, afeksi dengan kesetiaan. Karena ini semua bukan pertukaran yang setara maka cenderung meningkatkan unsur emosional yang jauh di luar cakupan hubungan horisontal, dan mempermudah pengendalian tindakan perorangan. Hubungan demikian tidak hanya mengikat bawahan semata; ikatan itu juga melibatkan pemimpin yang sekalipun sering kelihatan mampu melakukan sesuatu dengan kekuasaan besar tetapi kadang-kadang dari tipe despotik, tetapi sesungguhnya bila dibandingkan dengan para pemimpin lain dalam masyarakat lainnya ternyata memiliki kekuasaan yang selalu diperiksa dan dikendalikan di banyak titik. Seperti yang telah saya katakan, kesetiaan seorang bawahan kepada atasannya sangat dihargai dalam etika Jepang, dan seringkali dipaksakan oleh sang pemimpin, tetapi dalam prakteknya biaya untuk mendapatkan kesetiaan semacam itu sangat tinggi. Sebagian besar hal ini disebabkan oleh kualitas relatif hubungan di antara pemimpin dan bawahan, yang indikasinya ditemukan dalam unsur-unsur politik, ekonomi dan emosional. Biasanya semua faktor ini ada, walaupun faktor emosional memiliki konotasi yang luar biasa penting.
Simpati emosional yang dirasakan oleh pemimpin terhadap bawahannya diungkapkan dengan istilah onjo-shugi, atau paternalisme dan selalu menandakan penghargaan simpatik terhadap bawahan. Pendapat dan harapan bawahannya akan memberikan warna tegas dalam setiap pertimbangannya. Sesungguhnya, makin besar seorang pemimpin, kecenderungan ini makin terungkap nyata. Dengan kata lain, makin luas sikap perseptif dan permisif seorang pemimpin, bawahannya akan makin baik. Sifat super-subordinasi yang melekat erat dalam kepemimpinan ini juga diperlihatkan dalam apa yang disebut ringi-sei (semacam sistem konsensus) yang dikembangkan dengan baik sekali di Jepang. Para atasan tidak memaksakan ide-idenya kepada bawahan junior; sebaliknya, para bawahan junior secara spontan memberikan pendapat kepada atasan mereka dan berusaha agar pendapat itu diterima. Praktek demikian ini juga harus dibina agar organ-organ birokrasi mampu melaksanakan kebijakan.
Salah satu sifat khas dalam pelaksanaan sistem ini ialah bahwa kelemahan atasan dapat ditutup oleh bawahannya, demikian pula sebaliknya. Dalam sistem ini para atasan, termasuk pemimpin puncak, tidak perlu sangat pandai. Dan memang lebih baik bila ia tidak sangat brilian. Sebab bila pikirannya sangat tajam dan kemampuannya berlebihan dalam melakukan pekerjaan, para bawahannya akan kehilangan sebagian dari fungsi mereka yang esensial dan makin terasing daripadanya. Sebagai balasan dari ketergantungan pada pemimpin dari pihak bawahan, selalu diharapkan agar pemimpin pada gilirannya juga menggantungkan diri pada bawahannya. Pemimpin pasti mempunyai kelemahan yang dapat dilengkapi oleh bawahan dengan suka hati, mungkin dengan sementara bantuan. Sebuah hubungan kuat seperti ini terbina, bawahan akan selalu bersedia memahami dan bekerja sama dengan ide dan tindakan pemimpinnya.
Sifat-sifat yang dituntut dari pemimpin Jepang itu sesuai benar dengan sistem kewerdaan. Bila tidak niscaya pola hubungan di antara pemimpin dan bawahan itu akan berkembang melalui adat penghargaan pada sistem kewerdaan. Karena kelompok pasti dapat memaksimumkan fungsinya bila memiliki pemimpin yang berkemampuan tinggi dan dipatuhi oleh bawahannya. Dan kepatuhan bawahan seperti itu dapat diperoleh hanya bila pemimpin benar-benar berkemampuan tinggi dan perseptif. Berfungsinya hubungan di antara atasan dan bawahan seperti yang dijelaskan di atas memberikan suatu mekanisme penyesuaian bila orang biasa menduduki jabatan puncak karena sudah tiba gilirannya di dalam sistem kewerdaan. Berdasarkan sistem kewerdaan itu kedudukan tertinggi selalu ditempati oleh orang yang paling senior dalam kelompok. Kewerdaan didasarkan atas masa kerja seseorang dalam sesuatu kelompok atau lembaga, dan bukan atas dasar usia seseorang. Sistem ini hanya sedikit memberikan peluang kepada tenaga muda untuk memegang jabatan atau pangkat yang tinggi, karena jabatan atau kedudukan tinggi sebagai pemimpin di Jepang biasanya dipegang oleh orang-orang yang lebih werda, yang duduk nyaman di kantor dan menikmati tingginya gengsi sosial sekalipun ia memiliki kekurangan dalam hal kemampuan yang diperlukan. Hal ini tampak jelas bila masyarakat Jepang dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Misalnya, mustahil bagi Jepang untuk mendapatkan seorang perdana menteri yang berusia empat puluhan tahun, yaitu usia di mana Kennedy menjadi presiden. Para pemimpin Partai Liberal Demokrat yang sejarahnya cukup panjang kebanyakan berusia tujuh puluh tahunan dan dari antara mereka itulah dipilih calon-calon perdana menteri sejak tahun-tahun 1940-an. Pemimpin yang agak muda hanya timbul dari kelompok-kelompok yang baru timbul; anggota kelompok pimpinan Komeito (partai politik yang paling muda di Jepang dan didukung oleh Soka gakkai) rata-rata berusia empat puluh tahun.
Di dalam lingkungan akademi, posisi-posisi penanggung jawab diduduki oleh para profesor yang menjelang atau sudah mencapai usia penisun; di dalam universitas-universitas yang lebih tua, para sarjana yang berusia empat puluhan tahun dianggap belum cukup tua untuk memegang jabatan penanggungjawab, seperti dekan (kepala departemen) atau asosiasi, direktur atau ketua komisi, yang para anggotanya berusia lima puluhan atau enam puluhan tahun.
Pada umumnya, puncak kegiatan sosial dan politik seseorang tercapai pada umur-umur sesudah lima puluh tahun, selagi ia menjelang pensiun. Di dalam bidang industri, orang tidak dapat menjadi direktur atau presiden sebelum berusia enam puluh tahun, sekurang-kurangnya di beberapa perusahaan yang lebih mapan. Adalah berita yang sangat luar biasa bahwa seseorang dijadikan direktur Japan Electric Company pada awal usia lima puluhan. Sekalipun pekerjaannya sangat berhasil dan dihargai oleh dunia internasional, seorang sarjana yang masih muda jarang dipromosikan untuk memperoleh gelar profesor. Sebab dalam perhitungan tradisional ia masih terlalu muda untuk itu. Terpilihnya seorang presiden Universitas Tokyo yang masih berumur pertengahan empat puluhan juga berita yang mengejutkan. Sikap umum terhadap penunjukan yang luar biasa seperti ini adalah penerimaan dengan melihat sifat kritis situasi (misalnya revolusi dari para mahasiswa radikal) atas keputusan pemilihan; tetapi tentu saja ada rasa tidak enak yang disembunyikan, khususnya di antara para anggota dewan guru yang lebih tua. Jadi tampak bahwa praktek yang sudah mapan diabaikan manakala terjadi keadaan darurat atau pada waktu terjadi perubahan sosial dan politik yang besar. Harus diingat bahwa selama periode Meiji, ketika proses modernisasi Jepang dimulai, banyak orang muda yang berusia tiga puluhan dan empat puluhan tahun menduduki jabatan-jabatan puncak di berbagai bidang. Tetapi, begitu sistem menjadi mapan, dan sesudah posisi itu dialihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, peluang terjadinya pengangkatan anak muda sebagai kepala bagian membawahkan orang-orang yang lebih tua makin sempit. Selama perang dikatakan bahwa kepala komando suatu kampanye besar ditunjuk sesuai dengan susunan hirarki menurut kewerdaan, yang semata-mata tampak dari tahun wisuda dari Sekolah Angkatan Darat atau Angkatan Laut.
Dalam sistem semacam itu dapatlah diduga bahwa pasti ada rasa frustasi yang begitu besar di antara para anggota yang mempunyai kemampuan besar, khususnya di antara mereka yang berada dalam pertengahan usia yang sudah banyak makan asam garam dan berprestasi dalam bidang masing-masing. Orang yang begitu frustasi mungkin pergi dan membentuk kelompok mandiri sendiri; tetapi bila dia adalah anggota satu kelompok yang amat berpengaruh dan kedudukannya menguntungkan, ia akan banyak menanggung rugi bila pergi. Oleh karena itu ia mencari jalan lain, yaitu memperkuat kekuasaannya dari dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini sistem itu sendiri dapat memberikan saluran untuk rasa frustasinya. Sebagaimana telah dikatakan hubungan antara atasan dan bawahan merupakan saling ketergantungan. Bila seorang pemimpin sangat menggantungkan diri pada bawahannya maka bawahan tersebut mudah sekali merongrong kedudukan pemimpinnya. Tentu saja bawahan de facto sering melakukan pekerjaan atasannya, dan dalam hal ini ia memperluas kekuatannya yang tersembunyi meliputi keseluruhan kelompok, dengan menggunakan nama atasannya. Dengan cara ini ia menarik lebih banyak keuntungan untuk diri sendiri daripada bila ia memegang kepemimpinan de jure sendiri atas kelompok tersebut. Pada Gambar 2, misalnya, bila b pegang kepemimpinan de jure maka a dan c bersama-sama dengan para bawahannya akan enggan melaksanakan perintah-perintah b. Jadi dia hanya dapat menggerakkan d dan e, bawahannya sendiri. Ada banyak contoh di mana bawahan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang secara resmi ditetapkan baginya. Dalam hal ini seorang pemimpin Jepang memberikan keleluasaan yang sangat besar pada para bawahannya. Namun pangkat atau kedudukan para anggota kelompok tidak selalu mencerminkan prosedur kerja yang tepat. Dan tentu saja seringkali sulit bagi orang luar yang kurang pengetahuan mengenai kelompok yang bersangkutan untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas sesuatu kegiatan.
Tetapi, susunan pangkat sangat penting dalam hal kegiatan kelompok ke luar. Karena susunan ini merupakan dasar bekerjanya seluruh sistem sosial Jepang. Namun betapapun lebih berpengaruhnya atau betapapun lebih besar kemampuan seseorang bawahan ketimbang atasannya, ia tidak boleh memperlihatkan hal itu dalam perilakunya terhadap atasan di hadapan pihak yang ketiga. Ia harus menyelamatkan muka atasannya. Di dalam berhubungan secara pribadi dengan rekan sekerja lainnya ia boleh saja berperilaku sesuai dengan kehendaknya, dan pemimpinnya memang dapat saja menunjukkan kelemahan tertentu di hadapan bawahannya yang berkemampuan tinggi; tetapi sebenarnya sifat hubungan dan perilaku tidaklah sama dengan yang sering ditemui pada suami - istri Jepang. Dalam banyak contoh sekalipun kedudukan bawahan tersebut sangat rendah, namun hubungan semacam itu merupakan kompensasi yang sepadan di balik penglihatan umum. Tetapi ihwal "urusan rumah tangga" benar-benar tidak boleh diperlihatkan pada umum, sehingga pangkat tetap mempunyai implikasi sosial yang penting sebagai penopang tatanan sosial.
Di Jepang ada kecenderungan umum untuk mengaitkan gengsi dengan status, bukan dengan jasa baik. Hal ini sangat mendorong kehendak orang baik yang berkemampuan maupun yang kurang mampu untuk meraih jabatan puncak. Dalam kenyataannya orang yang sangat biasa dan tidak efektif dapat saja meraih jabatan puncak hanya karena ia paling werda dalam organisasi. Akibatnya sering terjadi seorang pewawancara, misalnya, ternyata sangat kecewa setelah bertemu dengan pemimpin suatu lembaga di Jepang, karena orang itu sangat biasa dan tidak memiliki bukti bahwa kemampuannya istimewa sehingga tepat untuk memegang jabatannya.
Beberapa orang eksekutif Amerika yang berkunjung ke Jepang terkesan akan begitu banyaknya para direktur Jepang yang tidak dapat memberikan penjelasan terperinci mengenai perusahaan mereka. Mereka benar-benar mengandalkan bawahan dengan penuh kepercayaan dan kasih, dalam mengendalikan perusahaan; kesibukan mereka yang paling kokoh adalah memelihara hubungan yang menyenangkan di antara para bawahan, karena mereka yakin bahwa disinilah letak keberhasilan usaha. Di Jepang orang sulit menemukan perusahaan yang pada umumnya di Barat dijalankan oleh satu atau dua orang pemimpin puncak, sementara para pekerja semata-mata merupakan alat. Dalam pola seperti itu, pekerja hanyalah komponen yang gampang diganti-ganti, dan garis tanggung jawab di antara para manajer dan pekerja biasa dapat ditarik secara tegas. Di dalam pola Jepang tidak ada pembagian bidang tanggung jawab yang sedemikian ketat di antara para manajer dan bawahannya, dan seluruh kelompok menjadi satu badan fungsional di mana semua orang, termasuk manajer, meleburkan diri menjadi satu entitas.
Hingga kini pembicaraan kita menyoroti satu sifat penting hubungan pemimpin-bawahan di Jepang, yaitu bahwa pemimpin merupakan bagian dari organisasi kelompok. Tempatnya dalam organisasi bukanlah mandiri, terpisah dari para anggota lain dalam kelompok. Pada kenyataannya, bahasa Jepang tidak memiliki satu istilah khusus untuk kepemimpinan; untuk mengungkapkan konsep itu, orang harus kembali pada istilah-istilah yang melukiskan hubungan oyabun-kobun. Pemimpin diharapkan sepenuhnya terlibat dalam kelompok, sehingga ia nyaris tidak memiliki identitas pribadi lagi. Ada beberapa contoh mengenai direktur yang perusahaannya menghadapi kebangkrutan atau yang mengambil alih perusahaan yang nyaris bangkrut, yang menolak pemberian gaji untuk dirinya sendiri dan bekerja cuma-cuma hingga perusahaan yang dipimpin mencapai keberhasilan.
Pada masa Tokugawa sistem feodal mengaburkan perbedaan antara hak milik keluarga dan hak milik pribadi dari majikan dan dari para pekerjanya atau dari mereka yang tinggal di tanah-tanah kekuasaannya. Sang majikan tidak mengendalikan atau mengelola tanah-tanah kekuasaannya secara langsung. Bila panen dari tanah-tanah itu buruk atau bila kelebihan penduduk mengakibatkan kurangnya tanah, maka belanja untuk pribadinya dipotong dan para pekerjanya diminta agar berhemat. Kehidupan para majina dan pekerjanya terikat demikian intimnya, sehingga seolah-olah membentuk satu ekonomi rumah tangga. Kini secara efektif kepemimpinan tampak sekali menunjukkan betapa para pemimpin ikut serta berjuang, bersusah payah dengan para pekerja.
Sekalipun seorang pemimpin tampak despotik, ia tidak akan mencapai kedudukannya tanpa menyadari dan kemudian memenuih kualifikasi ini. Ia hanya dapat melakukan selera kedikatorannya bila ia masih dapat mempertahankan orang-orangnya secara emosional dan memenuhi harapan mereka. Tentu saja ada sementara bawahan yang mengagumi perilaku despotiknya, kontras dengan pandangan dan perhatian yang hangat yang ditunjukkannya pada saat-saat informal, dan bahkan perilaku yang kasar pun masih dianggap sebagai bentuk afeksi negatif dari kehangatannya. Sifat pemimpin seperti ini sangat lain dari sifat diktator yang ditemui orang di tempat-tempat lain.
Walaupun demikian, variasi kepemimpinan dalam arti kelainan cara pemimpin mengungkapkan perintah-perintahnya—entah dalam despotisme atau demokrasi, atau gampangnya idiosi—bukanlah masalah yang sungguh-sungguh penting. Soalnya perbedaan itu bersifat pribadi dan kondisional (bersyarat). Yang penting ialah bahwa karena adanya ambiguitas bidang fungsi manajer dan bawahannya, cakupan bidang kekuasaan manajer ditentukan oleh keseimbangan relatif antara kemampuan dan kepribadian yang dibawah baik oleh pemimpin maupun bawahannya ke dalam organisasi.
Terutama, kualitas pemimpin di dalam masyarakat Jepang bergantung pada kemampuannya untuk memahami dan menarik simpati para bawahan. Tidak peduli bagaimanapun besarnya kuasa dan kekayaan, bagaimanapun cemerlangnya bakat dan entah apa pun tipe kepribadian yang dimiliki seseorang, bila ia tidak mampu mengikat para pengikut secara emosional dan melekatkan mereka pada hubungan vertikal, mustahil ia berhasil menjadi seorang pemimpin. Oleh karenanya Jepang dapat merupakan tanah yang gersang bagi pertumbuhan pemimpin karismatis. Dengan kata lain, seorang pemimpin hanya dapat mewujudkan karismanya melalui hubungan pribadi secara langsung. Pada kenyataannya, citra pemimpin Jepang yang dapat bertahan lama bukanlah citra kepemimpinan Napoleon, melainkan selalu citra kepemimpinan Oishi Kuranosuke, pemimpin Empat Puluh Tujuh Ronin yang terkenal itu.
Karena Oishi adalah pemimpin yang sangat paternalistik, ia menikmati pengabdian total dari empat puluh enam pengikutnya. Mereka meninggalkan keluarga dan bersumpah akan bunuh diri (harakiri) bila gagal membantu pemimpinnya untuk menuntut balas demi pemimpinnya. Cerita ini sangat populer pada masyarakat Jepang sehingga diberitakan bahwa sekalipun dalam masa depresi berat, bila darama ini dipentaskan, penontonnya akan melimpah-ruah. Empat puluh tujuh Ronin mengungkapkan dalam beberapa bentuk hubungan pribadi yang ideal (selalu dalam arti hubungan pribadi atasan-bawahan) di mata orang Jepang. Ceritanya sendiri membawakan kemiripan dengan kisah cinta. Tidak ada kisah cinta yang dapat disetarakan dengan Empat Puluh Tujuh Ronin di Jepang. Lelaki yang menjalin hubungan cinta persaudaraan semacam itu hampir tidak lagi memikirkan istri atau kekasih. Di dalam moral tradisional, manusia ideal tidak boleh menjalin cinta dengan lawan jenis. Saya pikir bila orang terlibat dalam hubungan antarlelaki yang sedemikian agung ini tampaknya ia tidak memerlukan lagi hubungan cinta dengan wanita. Seluruh emosinya tercurah dalam pengabdian kepada pemimpinnya. Saya kira inilah sifat yang sebenarnya dari mentalitas samurai, dan dalam batas-batas tertentu juga benar untuk orang Jepang modern.
Daya berfungsinya kelompok tidak begitu bergantung pada kemampuan pribadi pemimpinnya, melainkan lebih mengandalkan kepribadian pemimpin yang sangat ramah memikat para bawahan yang berbakat, penguasaannya atas seni menyelaraskan kelompok dan kemampuannya mengarahkan semua bakat yang ada. Mereka dianggap sebagai pemimpin besar biasanya sangat ramah, "charming". Para pengikutnya bertindak bukan karena diperintah pemimpin secara formal, melainkan karena prakarsa yang didorong oleh keramahan pribadi yang ditunjukkan pemimpin dalam hubungan manusiawi secara langsung. Frase "Ia melayangkan pandangan pada saya" jauh lebih banyak artinya daripada makna yang diserap secara rasional. Dikatakan bahwa para prajurit yang berteriak "Banzai bagi Kaisar" dan bersedia mati untuk kaisar selalu dipenuhi oleh penghormatan yang hangat dan penuh hormat, dan pada waktu mereka mengorbankan diri, mereka akan berbisik, "Inilah yang diminta sang pemimpin agar kita lakukan." Kegiatan pemimpin yang paling pokok adalah mengikat bawahannya secara emosional; bila tidak perintah-perintahnya tak akan ditaati di medan perang. Hal ini juga penting baginya untuk melindungi diri: pengabdian emosional kepada pemimpin dari prajurit akan membuat prajurit itu sedia mengorbankan diri dan hidupnya demi keselamatan komandannya.
Di dalam bisnis, kualitas yang menentukan pada para manajer dan siapa saja yang menduduki jabatan puncak adalah kepribadian. Dan tampaknya tidak ada tempat lain di mana kepribadian manajer menimbulkan masalah baik terhadap mereka yang bersangkutan secara langsung maupun terhadap masyarakat pada umumnya, selain di Jepang. Banyak tulisan dalam surat kabar dan majalah Jepang memperbincangkan kepribadian manajer ini dan itu dan hubungan di antara majikan dan pekerja. Berikut ini adalah beberapa contoh:
'Shain yaitu para staf perusahaan, bukanlah shiyonin (kacung pribadi majikan). Mereka adalah orang-orang yang bersedia bekerja sama di dalam bisnis. Bersama dengan majikan mereka bekerja bersama demi keberhasilan perusahaan. Hubungan ini tidak dapat diterangkan sepenuhnya dengan istilah seperti buruh dan majikan'. (Cuplikan dari pidato Direktur Perusahaan Jam Ricoh, yang diketahui umum mencapai kemajuan pesat setelah pergantian direktur). Di dalam perusahaan ini didirikan satu biro penyuluhan (counselling office) di mana para bekas direktur bertindak selalu penyuluh mengenai segala macam permasalahan pribadi, sejak tahun 1963.
Perusahaan Canon yang terkenal karena produksi kameranya juga terkenal karena apa yang disebut "Manajemen Keluarga". Konsep ini timbul dari direkturnya yang yakin bahwa rumah tangga yang sehat dan bahagia merupakan sumber energi para buruh dalam bekerja. Oleh karena itu diadakan satu sistem pemberian hadiah yang disebut "Hadiah untuk Keluarga Bahagia" kepada pekerja. Hadiah diberikan kepada mereka yang bekerja dengan tidak pernah sakit atau kecelakaan selama lima tahun. Pada waktu penyerahan hadiah, pekerja yang menang didampingi oleh istrinya. (Di sini kita lihat pengaruh Amerika dalam hal pemikiran terbuka terhadap rumah tangga pekerja; tetapi ditilik dari segi filsafat manajemennya, konsep ini sama sekali tidak bersifat Amerika).
Ada pertalian pribadi yang sangat akrab di antara manajer dan pekerja biasa. Adalah adat-istiadat bahwa seorang direktur atau kepala bagian ikut hadir dalam upacara pernikahan seorang pekerja, sekalipun harus mengorbankan banyak waktu untuk meninggalkan kantor. Di pihak lain bila seorang anggota keluarga direktur meninggal maka sekretaris direktur dan para bawahannya akan mempersiapkan upacara pemakaman dan upacara-upacara lain sesudahnya, sementara para kerabat dan teman-teman direktur datang sebagai tamu dan bebas tugas.
Masalah manajer itu bukanlah masalah baru. Sudah sejak permulaan masa industrialisasi, Jepang mengolah konsep bahwa "perusahaan adalah orangnya" dan bergulat dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerja. Apakah para manajer Indonesia juga berpikir sejauh ini mengenai para bawahannya? Apakah pemikiran semacam ini diperlukan di Indonesia?
Bila ikatan secara emosional di antara manajemen dan buruh sedemikian eratnya, juga di perusahaan-perusahaan modern, tentu saja dapat dipastikan ada sistem boss di kalangan bandit; ada orang-orang yang siap berkorban jiwa raga demi atasannya. Menurut seorang pemimpin rumah pendidikan anak nakal, sebabnya mengapa anak-anak yang sekali pernah masuk dalam dunia penjahat mereka menerima cinta dan penghargaan dari para oyabun di situ, yang tidak dapat diperoleh dari setiap lembaga pendidikan, pembinaan dan pemasyarakatan, bahkan dari orang tua angkat sekalipun. Bagi orang-orang yang lemah jaminan keamanan emosional yang berasal dari hubungan pemimpin-bawahan yang akrab sekali menciptakan suatu dunia yang penuh kedamaian.
Menarik sekali bahwa beberapa sekte keagamaan baru yang muncul di sana-sini sesudah perang menggunakan sebagai dasar organisasi mereka garis vertikal emosional, yang merupakan pengantar dalam hubungan langsung melalui seorang pemimpin hipnotik. Garis vertikal dalam Soka - gakkai memaksakan pertobatan dan hubungan "ayah - anak" dalam Rissho - kosekai merupakan purbarupa (prototipe) dari penyusunan struktur semacam ini. Terpikat oleh unsur-unsur keakraban ini para penganut dengan mudah dapat ditarik dalam jaringan organisasi dan tenggelam dalam perasaan terlindung "Saya tidak sendirian lagi: di dalam dunia ini mereka memahami saya, saya memahami mereka; kami sama-sama umat". Tampak bahwa esensi dan kekuatan dari kelompok-kelompok keagamaan ini terletak pada faktor sosiologis dan psikologis, bukan pada salah satu segi dari dogmanya.
Hubungan vertikal yang diwujudkan dalam bentuk á´§ dengan sendirinya menjadi faktor vital sebagai inti struktural kelompok fungsional yang tidak memiliki kerangka lembaga yang khas maupun yang lemah kerangkanya. Kelompok mempertahankan kehidupannya berdasarkan hubungan yang sangat pribadi dalam á´§; terdesak oleh kepentingan, maka organisasi dinomorsatukan dan berkembang menjadi kaku tanpa dapat dihindarkan lagi. Dunia para politisi dan para penjahat merupakan purbarupa (prototipe) dari kelompok-kelompok semacam itu; yang lain tampak dalam bidang-bidang yang sedemikian komersial seperti kelompok pemukat ikan yang amat bergantung pada modal kecil yang labil (di mana boss para nelayan merupakan "kapitalis" kelompok, kapal pelopor dan kapal-kapal yang mengikutinya), asosiasi pengusaha hasil kayu, dan lain-lain. Tipe-tipe asosiasi ini dikecam sebagai "terbelakang" dan "feodalistis", dan diberi cap buruk sebagai "sistem boss" atau "antek partai". Akan tetapi kaidah yang sama juga berlaku di kalangan orang-orang yang idenya progresif, para profesor di universitas-universitas yang mengambil spesialisasi kemasyarakatan dan ekonomi Barat, mereka yang memegang kedudukan puncak dalam berbagai lembaga dan sebagainya, dan sebagainya.
Di antara para cerdik pandai terdapat juga contoh asosiasi semacam ini, misalnya kelompok-kelompok riset akademis yang bermunculan sesudah perang. Mereka memiliki sejumlah perbedaan, menurut pengamatan saya, misalnya dari kelompok-kelompok riset Italia dan Perancis. Satu kelompok riset dari Eropa lazimnya tidak diberi nama menurut nama universitas atau lembaga tertentu, juga para anggotanya tidak selalu staf dari universitas ketua kelompok atau para alumni universitas tersebut. Di Eropa pemimpin kelompok biasanya memilih di antara cakupan bidang, para spesialis yang paling sesuai dengan tujuan kelompok riset dan kelompoknya sendiri dibentuk berdasarkan permintaan. Karenanya, orang-orang yang kemudian bergabung mungkin sedikit saja yang pernah berkenalan dengan sang direktur. Begitu kontrak di antara pemimpin kelompok dengan anggota kelompok disepakati, hubungan di antara mereka kuat hingga riset diselesaikan; sejauh berkenaan dengan pekerjaan perintah direktu dipatuhi dengan mutlak. Misalnya, bagaimanapun terkenalnya seorang fotografer, karena ia menjadi anggota kelompok maka ia akan memotret apa saja yang dikehendaki direktur (sekalipun sang direktur lebih muda dan kurang dikenal daripada sang fotografer tersebut). Tetapi, sekalipun masih dalam masa riset, bila ada jam-jam bebas maka para anggota juga sama sekali bebas kerja. Tidak ada alasan untuk menyesuaikan diri dengan kehendak direktur dalam hal-hal yang tidak ada sangkutannya dengan pekerjaan, walaupun dalam batas-batas tugas direktur dapat membuat kelompok mengikuti kehendaknya untuk mencapai sasaran.
Di pihak lain bila badan-badan riset akademis Jepang membentuk kelompok-kelompok heterogin dengan pola-pola kontrak yang serupa, mereka dapat dipastikan nyaris membuat kesalahan. Sekalipun mereka tidak gagal sama sekali, pekerjaan dilakukan dengan tidak efisien karena semua energi dicurahkan pada hubungan manusiawi yang emosional dan operasi tidak berjalan begitu lancar tetapi malah menjadi beban yang berat. Bahkan para profesor dari universitas-universitas yang terkemuka pun bertengkar di hadapan orang-orang luar dan orang-orang asing, sehingga mereka membuat reputasi Negeri Jepang jadi buruk dengan berbagai percekcokan itu. Bagaimana pun terkenalnya para anggota pribadi atau betapa pun besarnya dana yang mereka terima, pekerjaan dilakukan dengan buruk sekali. Biasanya kelompok semacam ini terpecah belah, di mana direktur pasti menjadi obyek caci maki.
Untuk keperluan riset ilmiah tidak ada pekerjaan apa pun yang dilakukan secara efektif di Jepang bila sesuatu kelompok terdiri dari para profesor senior. Lain bila para pemimpin dan anggotanya dipilih dari para pengikut sendiri. Tim semacam itu memang dapat mencapai tujuannya sekalipun dananya kecil dan lingkungannya buruk. Para anggota kelompok memiliki "kualitas positif yang bagus sekali" (menurut istilah Jepang) karena tidak tanggung-tanggung bekerja demi sang pemimpin, sementara dari pihak luar mengalir pandangan yang simpatik atas sang pemimpin yang memberikan afeksi yang lebih dari sekedar bahwa "mereka adalah rekan-rekan yang baik". Dalam hubungan ini tentu saja direktur berkuasa, tetapi dibandingkan dengan kekuasaan para direktur badan riset di Eropa, kekuasaan direktur Jepang jauh kurang nyata. Akibatnya, pemimpin Jepang yang berbakat dan bernilai akademis tinggi mungkin tidak akan dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kehendaknya sendiri: ia harus menerima pendapat bawahannya, juga sekalipun pendapat itu lebih buruk daripada idenya. Dengan demikian ia dapat menunjukkan bahwa baginya bawahan tersebut penting. Kebutuhan untuk bersikap demikian lebih bersifat emosional daripada rasional. Dalam hal itu pemimpin harus menambah rangsangan bagi para bawahannya. Raison d'etre pemimpin tidak terletak pada pengarahannya atas proyek atau pengembangan risetnya sendiri, melainkan pada pengabdiannya sebagai titik tumpu hubungan manusiawi dan pemelihara kedamaian. Kelompok riset tersebut merupakan kesatuan Gemeinschaft, "kelompok semua orang", "kelompok kita", dan bukan himpunan para pengikut direktur pribadi.
Tetapi di Eropa suatu kelompok riset merupakan milik direkturnya; kelompok itu merupakan kesatuan Gesellschaft di mana para anggotanya tidak memainkan peran lebih dari yang telah ditetapkan baginya untuk menyelesaikan pekerjaan sang direktur. Pada akhirnya, bila kelompok sudah menyelesaikan tugas dan bubar, pemimpin kelompok dan berbagai ragam anggotanya lepas dari segala ikatan. Di Jepang ikatan yang terjadi dari satu kerja sama berpeluang besar untuk berlangsung terus selama hayat. Hanya di dalam kehangatan demikian itulah mereka dapat diharapkan menyelesaikan tugas dengan berhasil.
Di dalam masyarakat Jepang dewasa ini sekurang-kurangnya, saya yakin tipe hubungan pribadi semacam ini merupakan daya dorong kelompok dan menghasilkan sukses yang lebih besar daripada tipe-tipe organisasi lainnya. Siapa saja yang berpengalaman mengarahkan atau bekerja sama dengan kelompok-kelompok orang dalam setiap pelaksanaannya akan menerapkan hal itu. Sebab bila para peserta kelompok belum pernah bekerja sama sebelumnya dalam jangka yang lama, peluang untuk sukses kecil sekali, bila mereka tidak dijalin dalam hubungan semacam itu. Jadi yang menjadi sumber kesulitan adalah hubungan manusiawi, khususnya yang mengembangkan kaitan emosional. Bila para anggota saling bentrok, atau anggota kelompok tidak dapat menerima pemimpin kelompok, maka tidak saja orang akan mulai melalaikan pekerjaannya, tetapi malahan ada orang yang sudah mulai pindah kerja. Bila kebutuhan pekerja tidak terpenuhi sepenuhnya, orang Jepang biasanya suka menempatkan pemimpinnya dalam kesulitannya dengan mengatakan: "Sudahlah. Saya mohon berhenti." (kadang-kadang dengan lembut, kadang-kadang secara keras). Dalam perilaku yang menyebabkan perasaan susah pada atasan itu mereka nikmati kepuasan egoistis tertentu. Di luar dan di balik setiap akibat provokasi atau kurang kuatnya tujuan bersama atau kurangnya rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas, orang dapat melihat kecenderungan emosional yang begitu kuat di Jepang, dan dapat merasakan betapa pentingnya untuk mengikatkan diri pada isi emosional hubungan manusiawi. Dan kecenderungan emosional ini tidak hanya dapat menghambat penyelesaian sesuatu kontrak, tetapi orang dapat berkata bahwa pada dasarnya sama sekali tidak ada konsep mengenai kontrak di situ, dan hal ini berlaku baik bagi mereka yang melakukan pekerjaan maupun bagi mereka yang memesan dan membayar pekerjaan tersebut.
Orang Jepang selalu mempergunakan struktur hubungan pribadi yang sudah ada untuk organisasi kelompok antarlembaga atau antarprofesional, misalnya komisi pengatur rapat besar yang memerlukan kerja sama dari beberapa ahli dalam bidang-bidang yang berlainan. Pertama, undangan diberikan kepada sekumpulan orang yang memegang kedudukan puncak dalam bidang masing-masing, dan ini membentuk dewan kehormatan. Para anggota dewan kehormatan ini kebanyakan sudah senior ditilik dari segi tahun, yang penuh dengan kesibukan kerja; dengan demikian mereka ini tidak perlu mampu atau cocok untuk membantu pekerjaan yang sesungguhnya dari komisi pengatur, tetapi mereka sungguh-sungguh memiliki kekuasaan besar dan pengaruh untuk menggerakkan para pembantu dalam bidang masin-masing. Tahap yang kedua adalah pembentukan komisi fungsional yang sebenarnya dari sekelompok ahli berusia lima puluhan tahun yang telah bersedia memenuhi permintaan dari para pemimpin mereka yang duduk dalam dewan kehormatan. Komisi inilah yang melaksanakan pekerjaan yang senyatanya. Kelompok yang dibentuk dengan cara ini mempunyai kelemahan tertentu. kemungkinan terdapat kekurangan struktur berbentuk á´§ intern. Sekalipun demikian para anggotanya tidak akan bertindak merusak atau tidak bertanggung jawab karena mereka bekerja atas permintaan para atasan atau pemimpin mereka (baik dalam hubungan formal maupun informal). Di sini tidak ada sifat kontrak (yang memerlukan penandatanganan piagam kontrak), melainkan kesungguhan pribadi terhadap atasan atau pemimpin yang meminta agar bawahannya melakukan pekerjaan komisi tersebut.
Karena diatur sedemikian maka komisi penyelenggara selalu terdiri dari anggota-anggota yang jumlahnya relatif besar, di antaranya yang benar-benar berhati mulialah yang aktif dan produktif. Bahkan di antara mereka yang aktif, ada beberapa yang bekerja dengan tulus dan sangat membantu pelaksanaan pekerjaan, sementara yang lain tidak dapat banyak bekerja karena keahlian mereka tidak cocok untuk pekerjaan yang sedang dilaksanakan (proses rekomendasi tidak selalu menghasilkan orang-orang yang cocok sekali). Praktek Jepang seperti ini menyebabkan orang yang sama dapat memegang beberapa jabatan tambahan, karena dalam beberapa komisi ia mungkin diperlukan semata-mata karena namanya, sedangkan partisipasinya dalam pekerjaan nyata dari komisi dapat dikatakan sedikit atau malah tidak ada sama sekali. Situasi ini tampak lebih menyolok pada seorang pejabat puncak yang sudah bertahun-tahun memegang jabatannya dan mampu memobilisasikan banyak junior bawahannya untuk macam-macam keperluan. Senior seperti itu mungkin sudah berhasil memperoleh begitu banyak kedudukan kehormatan sehingga dia sendiri tidak dapat mengingatnya lagi semuanya Tentu saja ada beberapa jabatan kehormatan yang diperolehnya, yang sama sekali tidak ada sangkutannya dengan spesialisasinya: tidak jadi apa, sebab yang diminta darinya adalah kemampuannya untuk memobilisasi para junior, bukan kemampuan untuk melaksanakan sejenis pekerjaan tertentu. Jabatan-jabatan seperti itu memang meningkatkan derajat gengsi sosial. Sebaliknya, makin tinggi gengsi seseorang makin perlu dukungan dari macam-macam jabatan kehormatan seperti itu. Seorang organisator harus memiliki sejumlah nama orang yang gengsinya tinggi. Sebab mereka tidak hanya dapat membantu mengumpulkan orang untuk melaksanakan pekerjaan tetapi juga membuat kedudukan kepanitiaan jadi terhormat dan memiliki standar yang kokoh. Sehubungan dengan makin banyaknya jabatan dan tumpang tindih di antaranya maka gambaran organisasi semacam itu menjadi sangat rumit. Tetapi bila berbagai organisasi itu dilihat dari struktur bentuk á´§ yang terutama mengikat dasar pekerjaan prinsip pengatur berasal dari hubungan pribadi vertikal yang abadi.
Baru-baru ini timbul kritik bertubi-tubi di lingkungan politis habatsu (fraksi-fraksi). Kritik-kritik itu menyebabkan timbulnya deklarasi dari para perdana menteri berturut-turut, Ikeda dan Sato, serta tokoh-tokoh politik yang terkemuka lainnya, mengenai maksud mereka untuk memecah-meecah habatsu, dan selanjutnya bergerak ke arah apa yang mereka sebut politik "modern". Tetapi di balik pernyataan yang salah itu, tidak ada bukti mengenai kurangnya atau melemahnya kegiatan habatsu, baik di kalangan orang-orang konservatif maupun di kalangan orang-orang sosialis. Hal ini tidak mengherankan, sebab sekalipun di antara mereka yang menyatakan diri "kaum intelek modern" sebenarnya sulit dibina satu hubungan pribadi yang didasarkan atas kontrak dan sedikit sekali pengaruhnya. Karena itu sulit sekali mengharapkan keberhasilan usaha para politisi untuk menggantikan habatsu.
Seandainya bentuk hubungan á´§ dihilangkan, harus diganti dengan bentuk organisasi lainnya. Menurut teori, hanya ada dua alternatif; yang pertama adalah penerangan sistem yang didasarkan atas hubungan horisontal; tetapi hal ini belum tentu lebih baik dari sistem yang didasarkan atas hubungan oyabun-kobun, karena banyak persamaannya dengan nepotisme dan cenderung menjadi monopolisasi oleh semacam kelompok tertentu. Lagi pula, sistem itu tidak akan mendapat dukungan di antara orang Jepang bila tidak disertai perubahan dasar pada watak orang Jepang.
Alternatif yang kedua bergantung pada hubungan "kontrak" — seperti ketika Kennedy menata pemerintahannya, berdasarkan kemampuan masing-masing ia memilih orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, yaitu Ruska dan MacNamara yang adalah dari Partai Republik (dalam logat Jepang hal ini dikatakan "berdagang dengan musuh"). Tetapi metode ini menuntut syarat pemahaman akan kontrak, dan tampaknya (sekurang-kurangnya bagi saya) kemungkinan yang berkaitan dengan kontrak inilah yang membuat para politisi Amerika dan Inggris jauh lebih unggul daripada para politisi Jepang. Namun menurut penelitian saya, kemungkinan ini tidak ada di Jepang.
Pengembangan sistem kontrak modern di Barat dan kegagalannya di Jepang menurut hemat saya dapat dipelajari bukan menurut setiap perbedaan derajat industrialisasi, tetapi lebih-lebih menurut ada dan terpeliharanya nilai-nilai asli yang diwujudkan sejak zaman feodal dulu sehubungan dengan para tuan dan abdi. Bila di Barat orang dapat mempunyai banyak tuan, di Jepang prinsip itu ditolak: "orang tidak dapat mengabdi dua tuan", demikian kata orang, dan hubungan abdi dengan seorang tuan bila diwariskan dari generasi yang satu ke generasi yang lain akan makin lebih baik. Sifat hubungan antara tuan dan abdi juga sangat berbeda. Di Barat hubungan itu menyangkut nosi awal kontrak modern, sementara di Jepang hal itu berarti ikatan selama hidup, yang melestarikan ideologi yang jauh sekali dari makna kontrak apa pun. Kesulitan untuk membina hubungan yang bersifat kontrak menurut gaya Barat dalam perusahaan industri modern Jepang, yang sudah dilukiskan dalam latar belakang historis sistem pengangkatan kerja selama hidup (lihat halaman di atas). Akan tampak bahwa manajemen, sambil mencari metode untuk menjamin penyediaan tenaga kerja (khususnya tenaga terampil) dan memperkuat sistem pengangkatan kerja yang sangat cocok dengan orang Jepang.
Ringkasnya: ada banyak sekali alasan mengapa sulit bagi orang Jepang untuk membentuk hubungan pribadi yang secara operasional didasarkan atas kontrak. Pertama, sulit bagi orang Jepang untuk membeda-bedakan peranannya (hal ini akan saya bicarakan secara terperinci dalam bagian berikut nanti), demikian suatu hubungan terbentuk maka kedua belah pihak cenderung mengharapkan lebih daripada kalau masing-masing bekerja sendiri, sehingga mengikatkan mereka secara emosional: hanya melalui ikatan inilah mereka dapat merasa yakin bahwa operasi yang dimaksudkan akan dilaksanakan dengan lancar dan efektif. Lagi pula setiap pihak cenderung memonopoli kesetiaan partnernya, walaupun mungkin hal itu sama sekali tidak penting untuk penyelesaian tugas. Jaminan keamanan emosional tampaknya merupakan syarat utama bagi seorang Jepang yang bersangkutan dengan sesuatu kerja sama. Kedua, di Jepang sulit sekali membentuk suatu kelompok usaha dengan mengajak mereka yang paling cocok keahliannya dengan pekerjaan yang ada; setiap orang kurang lebih sudah terikat pada satu kelompok khusus — dan ikatan-ikatan serta kesetiaan terhadap kelompok tersebut sekali terbina sulit diputus. Bila orang diajak bergabung dengan suatu kelompok baru ia akan berusaha sekuat mungkin, seperti induk ayam dan anak-anaknya, merangkul sepenuhnya kelompok baru itu; atau mungkin ia tetap mempertahankan kesetiaannya pada kelompoknya yang terdahulu. Faktor-faktor inilah yang dekat sekali pengaruhnya terhadap berfungsinya kelompok baru. Karena kesetiaan adalah masalah emosional, maka biasanya tidak dikehendaki untuk terbagi-bagi.
Baca: Buku Masyarakat Jepang
Comments
Post a Comment