Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
Analisa yang disajikan di dalam bab-bab yang lalu tentang organisasi kelompok Jepang mengungkapkan prinsip bangunan vertikal, yang intinya didapat dalam hubungan sosial dasar di antara dua perorangan. Kecenderungan bangunan itu, yang berkembang sepanjang sejarah bangsa Jepang, telah menjadi salah satu ciri dari kebudayaan Jepang.
Faktor-faktor tertentu telah memberikan jalan pada kecenderungan ini. Yang pertama ialah konfigurasi serba sama dari masyarakat Jepang. Riset arkeologi telah menunjukkan, bahwa selama zaman Jomon sebuah kebudayaan tunggal menyebar ke seluruh Jepang: di antara kurun waktu ini dan permulaan zaman sejarah (abad kelima M) kebudayaan daratan Asia mungkin meninggalkan pengaruh yang sangat besar, khususnya di Jepang Barat, dan mungkin membantu dalam pengembangan bentuk negara Jepang, akan tetapi jumlah orang daratan yang benar-benar bergerak ke negeri Jepang nampaknya hanya sedikit sekali, dan mereka-mereka ini dengan cepat dan mudah terbaur di dalam penduduk asli, sehingga tidak ada petunjuk, bahwa unsur-unsur baru ini membentuk sebuah lapisan terpisah dari orang Jepang. Tidak terdapat bukti tentang gerakan penting ke pulau-pulau oleh orang-orang yang bukan Jepang sesudah zaman ini.
Kekuatan-kekuatan dan kebudayaan lokal berkembang selama kurun waktu pertengahan, akan tetapi ini tidak lebih dari jenis-jenis lain dari pola asli. Di kurun waktu Tokugawa sistem feodal yang terpusat di bawah ke-shogun-an membantu perkembangan keserbasamaan lembaga di tingkat atas dari kebersamaan budaya. Di Jepang kurun waktu Tokugawa para petani merupakan lebih dari 80 persen penduduk, sedangkan samurai — ialah kelompok berstatus di puncak — merupakan tambahan enam persen dan selebihnya terdiri dari pedagang, kaum pekerja kerajinan tangan, pendeta dan golongan minoritas yang tidak terdaftar. Pembagian klasifikasi samurai memuat hampir dua ratus feodal serta pengikut-pengikutnya di samping pengikut-pengikut keshogunan Tokugawa. Mereka itu seperti birokrat modern, di dalam hal mereka itu hidup dari gaji, yang dibayar dengan padi, dan dibeda-bedakan di dalam status dan terpisah jauh dari petani. Tidak seperti lapisan atas di Inggris, Eropa, India dan Cina pramodern, mereka itu bukanlah kaum ningrat yang memiliki tanah dan bukan pedagang.
Penglapisan sosial dalam makna samurai dan petani didasarkan atas kebijaksanaan Tokugawa dan diperkuat oleh hukum; hal itu bukanlah perbedaan sosial sebagai hasil dari perkembangan ekonomi. Selain dari itu, kelompok samurai begitu tidak berarti jumlah sehingga penglapisan semacam itu tidak ada arti sosiologinya dalam hal konfigurasi keseluruhannya. Akan lebih tepatlah untuk memandang samurai ini sebagai sejenis birokrat, meskipun statusnya turun-temurun. Oleh sebab inilah maka garis pemisah antara samurai dan petani begitu cepatnya memudar setelah adanya "modernisasi" dan pengembangan yang efektif dari sistem pendidikan dan birokrat. Sebagai penata-usaha dan kaum intelek di bawah sistem terpusat, para samurai membantu dalam menyebarkan kebudayaan nasional yang seragam.
Persekutuan tani sangat bersifat serba sama dan para petani terpisah secara lokal dari kelompok-kelompok yang memegang jabatan. Meskipun tentunya ada orang-orang kaya dan orang-orang miskin, namun perbedaan itu relatif dan tidak penting (sebagian besar adalah pemilik tanah kecil), sehingga tidak pernah terjadi pengembangan status yang nyata, seperti kaum pemilik tanah dan petani miskin yang tidak memiliki tanah dalam persekutuan ini. Sebaliknya tumbuh rasa solidaritas yang kuat di dalam tiap persekutuan desa yang nyata; sekalipun ada perbedaan derajat seperti atasan dan bawahan atau yang kaya dan yang miskin di dalam persekutuan itu, perbedaan-perbedaan itu tidak menciptakan golongan status tetap yang melintasi desa yang berbeda-beda. Hal ini dalam kenyataannya berarti, bahwa sebagian besar orang-orang Jepang secara historis tidak dipersiapkan untuk kehidupan di dalam persekutuan yang berlapis-lapis dengan garis demarkasi yang efektif antara berbagai lapisan masyarakat itu. Mereka itu terbiasa memandang tingkatan dan bukan lapisan sebagai prinsip pengorganisasian.
Seorang yang hidup di dalam masyarakat dengan dasar organisasi dan latar belakang budaya ini percaya pada persamaan dan hak-hak komunal yang asasi; sementara ia sadar akan perbedaan dalam tingkatan-tingkatan dengan pembagiannya yang halus, di antara sesama manusia, ia tidak mau mengakui adanya pelapisan terbuka di dunia ini. Mentalitet semacam itu muncul di dalam semua cara kegiatan kelompok. Sebagai penggambaran yang layak, hal itu berlaku pada konsep "demokrasi" Jepang. Sesungguhnya, jika seorang "luar" hendak mengerti konsep ini ia harus menyadari benar akan mentalitet ini.
"Demokrasi" sebagai kata perlambang mulai berakar di Jepang segera setelah perang dunia selesai, bersamaan dengan serangkaian unsur budaya dari Amerika. Penggunaannya, yang begitu menjadi mode di Jepang dan di bagian Asia lain, tidak mengandung pengertian yang sama seperti di Barat; di Jepang, misalnya, demokrasi tidak bertalian dengan bentuk pemerintahan, akan tetapi pada bentuk hubungan. Penggunaan ini nampaknya aneh bagi dunia Barat.
Misalnya: Pada satu saat orang harus berhati-hati bahwa orang tidak salah mengerti apa yang oleh orang Jepang dinamakan "demokrasi", ialah satu kata yang selalu mereka gunakan. Demokrasi tidak berarti persamaan sosial; perhatian, misalnya, yang ditunjukkan kepada sesama derajat dan kepada atasan resmi tidak meluas hingga pada para bawahan. "Demokrasi" nampaknya benar berarti satu cara untuk mengadakan bisnis yang dapat mengkombinasikan keterikatan pada janji dan prinsip tinggi dengan tidak adanya fraksionalisme dan pertentangan saling merusak. Orang menyebut-nyebut sebuah organisasi sebagai "tidak demokrasi" jika tidak ada keserasian atau konsensus. Jadi, demokrasi dan politik nampaknya antiteseis (David Rieman, Conversation in Japan, New York, 1967, p. 202).
Sebab mengapa kata "demokrasi" begitu populer di Jepang setelah perang, nampaknya ialah, bahwa orang Jepang berpendapat bahwa kata itu sangat berguna untuk dipakai untuk memperkecil arti pola "feodal" dan "otoriter" yang lama dari sistem sosial dan politik Jepang. "Demokrasi" merupakan reaksi negatif terhadap jalannya sistem sebelum perang, yang memberikan kekuasaan pada sektor yang lebih tinggi di dalam organisasi. Di dalam sistem Jepang posisi lebih tinggi di dalam organisasi hirarki dapat memegang kekuasaan tanpa batas atau hak-hak istimewa terhadap bawahan, oleh karena tidak ada penggarisan yang nyata mengenai peran-peran yang harus dilakukan antara atasan dan bawahan.
Dalam bumi sosiologis dan psikologis inilah kata impor "demokrasi" mengembangkan arti tambahan Jepangnya yang khusus. Kata itu digunakan terutama sebagai dakwaan terhadap monopoli kekuasaan yang dipegang oleh sektor yang memiliki hak-hak istimewa atau fraksi terkuat dalam organisasi. Tetapi adalah menarik perhatian untuk ditunjukkan, bahwa bentuk yang digunakan untuk menyatakan dakwaan ini, serupa dengan yang digunakan untuk menjalankan kekuasaan otoriter. Perubahan dari feodalisme ke "demokrasi" bukanlah merupakan bangunan atau organisasi; bahkan merupakan perubahan arah di dalam gerak energi di dalam jalur pipa organisasi yang ada, sedangkan energi ini dikeluarkan oleh jenis orang yang sama.
Apa yang dimaksudkan oleh orang dengan "demokrasi" ialah suatu sistem yang harus memihak pada, atau memberikan pertimbangan kepada yang lemah dan yang rendah; di dalam praktek, setiap keputusan harus dibuat atas dasar konsensus — yang dicapai oleh apa yang dinamakan permusyawaratan yang maksimum — nampaknya merupakan hasil sampingan dari zaman "demokrasi" sesudah perang; namun hal ini bukan merupakan soal baru sama sekali bagi orang Jepang, karena merupakan gaya sangat asasi dari jalannya kelompok tradisional. Penggunaan kekuasaan atau membuat keputusan secara sepihak oleh pihak yang berada dalam sektor teratas dari kelompok dapat hidup bersama dengan pengambilan keputusan secara bulat dengan dasar permusyawaratan maksimum. Perbedaan antara kedua prosedur ini, seperti yang saya lihat, bersumber pada perbedaan-perbedaan di dalam komposisi dari sesuatu kelompok (seperti skala atau cara) bukan di dalam jenis kelompok — seperti perbedaan dalam jabatan, di antara kota dan pedesaan atau di antara yang muda dan yang tua.
Kelompok kecil, yang jumlahnya selusin atau kurang dari itu, yang tidak memiliki status atau perbedaan ekonomis di antara para anggotanya, banyak kemungkinannya dapat berfungsi secara "demokratis" di dalam pengertian Jepang. Contoh-contoh baik dari kelompok-kelompok semacam itu dapat ditemukan di antara desa-desa yang sudah berlangsung lama, di mana sudah menjadi tradisi untuk mendasarkan keputusan pada permusyawaratan maksimum. Selain dari pertemuan-pertemuan biasa, pengumpulan secara darurat diadakan kapan saja sebuah persoalan mendesak atau persoalan besar harus dihadapi oleh desa. Pada pertemuan semacam itu tiap rumah tangga mengirimkan seorang wakil, biasanya kepala rumah tangga; jika ia tidak ada, istrinya atau anaknya yang sudah besar mewakilinya. Pertemuan demikian, secara idealnya, terdiri dari sepuluh orang. Sebuah desa selamanya diatur oleh anak kelompok (kelompok hukum setempat) yang terdiri dari kira-kira sepuluh rumah tangga, dan di dalam kelompok-kelompok fungsional penting inilah pertemuan-pertemuan mula-mula diadakan.
Inilah ukuran pertemuan yang oleh orang Jepang dianggap sebagai yang paling memuaskan dan yang paling menyenangkan. Sudah biasa di dalam pertemuan-pertemuan semacam itu bagi setiap peserta, apakah ia miskin, atau berpangkat rendah atau tidak, untuk menyampaikan pendapatnya. Pembicaraan secara santai dan tidak resmi pada permulaan pertemuan menerbitkan suatu suasana yang bebas, sebagai suatu macam pemanasan bagi pertemuan yang sebenarnya. Sangat penting bahwa pertemuan mencapai sebuah kesimpulan yang bulat; pertemuan itu seharusnya tidak membiarkan seorang pun mengalami frustasi atau merasa tidak puas, oleh karena hal ini akan melemahkan persatuan dan solidaritas atau kelompok. Aliran perasaan yang tersirat di dalamnya ialah: "Bagaimanapun juga kita semua berada di dalam perahu yang sama, dan kita harus hidup damai tanpa ada seorang pun yang boleh tertinggal di belakang". Tidak perduli berapa banyak waktu yang digunakan atau jerih payah yang harus diperlukan untuk mencapai kebulatan pendapat tersebut; yang penting ialah, bahwa semuanya harus memainkan perannya di dalam mencapai konsensus terakhir itu.
Proses permusyawaratan tersebut tidak perlu logis. Mereka itu akan berbicara mengenai ini dan itu, sering dengan lapang dada terhadap perasaan perorangan yang dipertaruhkan. Sebuah pertemuan bisa ditunda jika timbul kemacetan, dan akan diulangi lagi dengan semangat baru. Sepanjang berlalunya waktu, perselisihan itu akan berkurang tajamnya dan kemungkinan konsensus meningkat. Bilamana suatu titik tercapai di mana tujuh puluh persen dari para anggota setuju, hal ini berarti, bahwa konsensus itu sudah mendekat. Pada tingkat terakhir yang berada dalam minoritas akan membuat suatu konsesi dengan mengatakan, "Saya akan ikut serta, oleh karena semua kalian sudah menyetujuinya. Meskipun saya berpendapat lain di dalam persoalan yang khusus ini, saya siap untuk bekerja sama dengan kalian; bagaimanapun juga saya telah mendapat kesempatan untuk mengatakan apa yang saya ingin katakan".
Namun demikian, prosedur pertemuan dari sebuah kelompok besar tidak memungkinkan tersedianya waktu cukup dan tentu saja tingkat perbedaan status dan kepentingan di sini jauh lebih besar; akibatnya ialah para anggota mengetahui lebih sedikit mengenai diri masing-masing, dan banyak di antara mereka yang enggan untuk mencurahkan isi hatinya. Faktor-faktor demikian membantu untuk membuat prosedur mengambil keputusan di dalam keadaan ini menjadi "tidak demokratis"; proses itu dipengaruhi oleh anggota top atau oleh klik yang berpengaruh dan dipimpin oleh prinsip pemerintahan mayoritas, dengan kesempatan untuk dimanfaatkannya secara efektif hubungan-hubungan kekuasaan hirarki.
Dorongan ke arah permusyawaratan maksimum, tanpa memandang sifat dan ukuran besarnya kelompok sering berakibatkan pertemuan-pertemuan yang berkepanjangan, tanpa batas dan tersendat-sendat atas nama "demokrasi". Jepang sekarang ini merupakan negara pertemuan dan sama sekali tidak sulit untuk menemukan seorang yang lebih banyak menggunakan waktunya di pertemuan daripada di meja kerjanya. Di dalam mengoperasikan secara kelompok sistem Jepang ini ada beberapa aturan tetap sedangkan peran di dalamnya tidak digariskan atau diperbedakan secara jelas, sehingga tidak saja persoalan-persoalan vital, namun juga yang tidak begitu mendesak dikemukakan untuk dipertimbangkan oleh pertemuan. Prosedur "demokrasi" tentu saja, tidak membantu tercapainya manajemen modern yang efisien; akan tetapi mereka yang berada di puncak dapat menggunakannya sebagai dalih yang gampang untuk mengadakan pertunjukan kosong mengenai "demokrasi", padahal kenyataannya, keputusan itu diambil oleh seorang "boss" atau anggota-anggota berpengaruh dari kelompok, tanpa mengindahkan fungsi ketua pun. "Demokrasi" bisa jadi merupakan tuntutan masa, namun susunan fungsi hirarki berfungsi secara laten di bawah permukaan dan format "demokrasi".
Terlepas dari apa yang dinamakannya prosedur "demokrasi" bagaimanakah orang Jepang memandang organisasinya ini? Seorang Jepang tidak mau membiarkan diterapkannya diskriminasi oleh kelompok atau lapisan. Untuk memberikan gambaran tentang macam perasaan ini, ada sebuah cerita tentang seorang sarariman yang didekati oleh salah sebuah firma Barat di Jepang, yang sedang mencari seorang yang memenuhi syarat sebagai anggota staf Jepang. Sarariman tersebut mempunyai minat betul pada jabatan yang ditawarkan, yang jauh lebih baik daripada pekerjaannya sendiri di dalam perusahaan Jepang. Namun demikian, ia menolak tawaran itu karena ia mendapat cerita dari kawannya yang bekerja pada perusahaan Barat itu, bahwa hanya para eksekutif (orang-orang Barat) mengambil istirahat untuk minum kopi, sedangkan staf bawahan Jepang tetap bekerja. Hal ini menimbulkan pada dirinya perasaan diskriminasi dan penghinaan. Meskipun di dalam perusahaan-perusahaan Jepang eksekutif puncak sering tidak hadir di meja kerjanya untuk menghadiri upacara perkawinan atau penguburan atau untuk bermain golf, hal-hal ini diterima secara mudah oleh bawahan sebagai kewajiban-kewajiban sosial orang-orang di puncak, yang kadang-kadang mau menyertai minum kopi atau minuman lain dengan stafnya. Akan tetapi sulit bagi seorang Jepang untuk menerima, bahwa mereka yang berada di puncak organisasi mengambil istirahat minum kopi, sedangkan bawahannya tetap bekerja.
Kelonggaran bagi mereka yang berada di puncak adalah kelompok Jepang, dapat dipandang dengan beberapa cara, barangkali lebih jelas dari sikapnya terhadap bawahan. Orang Jepang dapat membiarkan suatu hubungan kekuasaan vertikal secara orang per orang di antara orang-orang yang langsung berkaitan satu dengan yang lain, akan tetapi hal ini tidak diterimanya di dalam bentuk kelas atau kelompok. Di sini kita melihat kaitan langsung dengan pengalaman petani di zaman dahulu-dahulu. Tidak ada kelompok status yang jelas dibentuk oleh penguasa atau pembesar tanah, yang menolak ikut sertanya para petani dalam kelompok itu. Sebaliknya, kelompok X fungsional dibentuk oleh penguasa tanah dan pelayan, dan majikan atau atasan selamanya menjadi salah seorang di antara mereka di dalam kelompok yang sama. Hubungan pribadi di Jepang antara atasan dan bawahan bisa memberikan kesan adanya selisih yang besar pada peristiwa-peristiwa formal — seorang bawahan yang biasa adalah tukang "mengiakan" dengan membungkuk-bungkuk banyak pada atasannya; akan tetapi hal ini ditiadakan oleh kontak informal yang memberikan pada bawahan itu suatu perasaan menjadi anggota dari rumah tangga yang sama. Boss Jepang, secara sadar atau tidak, pada kesempatan-kesempatan tertentu menunjukkan pada bawahannya semacam sikap di mana hubungan kekuasaan organisasi formal terbalik, dengan teori, bahwa bilamana semua orang berada dalam perahu yang sama, tiap orang harus menikmati hak-hak komunal, tanpa memandang perbedaan status dan sumbangannya. Terdapat perlawanan keras terhadap pembentukan kelompok status di dalam persekutuan tunggal, meskipun urutan atasan dan bawahan dalam hubungan di antara perorangan dapati diterima dengan mudah.
Nampak dari pertimbangan-pertimbangan ini dan pertimbangan-pertimbangan yang serupa, bahwa "demokrasi" Jepang adalah semacam sentimen persekutuan dengan anggapan utama terlebih dahulu adanya suatu kohesi tingkat tinggi dan konsensus di dalam kelompok. Liberalisme bertalian dengan pendapat bukanlah bagian dari konsep oleh karena "demokrasi" dapat benar ditafsirkan dalam istilah kebebasan berbicara dan dengan istilah itu dimaksudkan kebebasan bagi yang rendahan dan yang kurang beruntung untuk mencurahkan isi hatinya; akan tetapi tidak terdapat baik keinginan untuk beroposisi maupun untuk melaksanakan fungsi oposisi tersebut. Di Jepang sangat sulit sekali untuk melakukan sebuah perundingan yang benar-benar bersifat demokrasi (sejenis yang saya ketahui dari pengalaman biasa terjadi di India atau, misalnya, di Italia, Inggris atau Amerika), ialah selama perundingan itu, pernyataan-pernyataan pihak oposisi diperhatikan oleh pihak yang lain dan kemudian menjadi unsur penting dalam pengembangan perundingan tersebut.
Tafsiran Jepang mengenai "demokrasi" ditambahkan pada ciri-ciri dan nilai orientasi yang sudah dibicarakan, membantu untuk memperkuat solidaritas kelompok yang dibangun oleh para anggota yang memiliki syarat-syarat dan status yang berbeda-beda. Prinsip persamaan dalam kerja kelompok, seperti ditunjukkan sebelum ini (lihat hal 46) menghalang-halangi perumusan dan pengembangan konsep spesialisasi dan peleburan kelompok-kelompok semacam itu. Di sini kita boleh mengingat-ingat pembahasan yang terdahulu, di mana sebuah teori dikemukakan, bahwa tidak adanya pembagian kerja membantu dalam mengembangkan sistem vertikal. Juga penting di dalam analisa ini ialah tidak adanya suatu tipe prinsip organisasi yang didasarkan atas jaringan-jaringan kekeluargaan dan juga atas tidak adanya perbedaan tajam di antara keluarga dan bukan keluarga. Oleh karena faktor pertalian keluarga tidak dapat digunakan sebagai perjanjian utama dan efektif dari organisasi kelompok, maka dasarnya adalah tempat dan hubungan perorangan yang terus-menerus dan yang dapat dirasakan. Saya telah menyajikan sebuah analisa tentang persekutuan pedesaan yang tradisional*) kita sekarang menemukan bahwa prinsip yang sama berlaku dalam persekutuan-persekutuan modern.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat Jepang selama diadakan modernisasi telah melibatkan banyak riset dan pembahasan. Sering dikemukakan, bahwa peperangan membawa perubahan fundamental pada diri seorang Jepang; lebih benar kiranya untuk mengemukakan, bahwa oleh karena keadaan dan penopang kehidupan di Jepang telah berubah secara radikal, gagasan-gagasan dan sikap-sikap terhadap kehidupan di Jepang telah ikut berubah pula, seperti juga pakaian akan berubah pula di musim semi yang akan datang sesudah musim dingin yang benar-benar dingin. Adalah sifat Jepang untuk menerima perubahan tanpa perlawanan keras dan bahkan untuk menyambut baik dan menghargai perubahan; akan tetapi perubahan pemandangan yang dangkal, yang terjadi sesudah perubahan-perubahan dalam mode, tidak mempunyai pengaruh sedikit pun atas kekerasan dan keteguhan hati dari watak dasar dan inti dari hubungan pribadi dan dinamika kelompok.
Para ahli sejarah, ahli sosiologi, ahli ekonomi dan ahli kritik sosial berminat untuk mengikuti proses-proses perubahan. Mereka ini mungkin menyalahkan analisa yang disajikan di sini begitu pula para ahli antropologi yang tidak biasa dengan analisa struktural, dengan dakwaan, bahwa saya tidak mengindahkan segi yang berubah-ubah dari masyarakat Jepang. Sebagai jawaban saya harus menyatakan sekali lagi, bahwa tujuan dari penelitian ini — bukanlah untuk melukiskan masyarakat Jepang melainkan untuk memandang bangunan sosial Jepang dari sudut perbandingan lintas budaya (cross cultural) dari bangunan-bangunan sosial; hal ini adalah urusan antropologi sosial lainnya. Saya sedetik pun tidak membantah adanya segi-segi yang berubah dari masyarakat Jepang, namun saya yakin, bahwa sangat penting juga untuk mencari faktor-faktor tetap yang tersirat di dalam berbagai macam perubahan itu. Di dalam perbandingan lintas budaya secara ilmiah, unsur tetap (konstan), digarap secara lebih efektif; segi-segi perubahan lebih menarik untuk melukiskan gambar tentang Jepang saja.
Dalam sistem-sistem informallah dan bukannya dalam unsur-unsur budaya terbuka faktor-faktor tetap itu bisa didapatkan. Sistem informal, ialah kekuatan pendorong kegiatan Jepang, adalah masakan asli Jepang, yang bercorakkan satu ciri tunggal kebudayaan Jepang. Selama dilakukan modernisasi, Jepang banyak memasukkan dari luar negeri unsur-unsur budaya Barat, akan tetapi ini dahulu dan selamanya hanya bersifat sebagian atau sebagian kecil dan tidak pernah dalam bentuk sistem yang dapat beroperasi. Hal itu dapat dipersamakan dalam bahasa dengan bangunan atau tata-bahasa asli sebagai dasar yang telah menimbun lapisan atas yang terdiri dari perbendaharaan kata yang dipinjamnya dari luar; sementara pandangan hidup masyarakat Jepang telah mengalami perubahan-perubahan yang drastis selama seratus tahun yang lewat, tata bahasa sosial yang asasi hampir tidak terpengaruh sama sekali. Di sini dapat dikemukakan sebuah contoh mengenai industrialisasi dan impor kebudayaan Barat tidak mengakibatkan perubahan-perubahan di dalam bangunan budaya yang asasi.
Daya hidup bangunan ini adalah perwujudan dari salah satu ciri menonjol dari masyarakat serba sama yang didirikan atas prinsip organisasi vertikal. Masyarakat semacam itu sangat mantap; sulit untuk menciptakan sebuah revolusi atau kekacauan pada skala nasional, oleh karena ada segmentasi di sektor bawahan ke dalam kumpulan kelompok. Kesulitan-kesulitan struktural menghalangi jangkauan luas kegiatan bersama — anggota-anggota perserikatan buruh, misalnya, terlalu setia pada perusahaannya untuk ikut serta dengan saudara-saudaranya di serikat-serikat perusahaan lainnya; persatuan-persatuan pelajar tidak dapat mengumpulkan sebagian pelajar, akan tetapi mengembangkan kelompok-kelompok di mana solidaritas dari kelompok yang satu berbeda dari kelompok yang lain. Sebuah gerakan serikat buruh, sebuah konfrontasi, apakah itu di antara manajer dan pekerja atau di antara fakultas dan mahasiswa-mahasiswa, selamanya dilakukan di dalam pembatasan lembagan, meskipun hal itu menyebabkan gema secara umum atau secara politik. Hal itu dapat dibandingkan dengan timbulnya perselisihan di rumah tangga dan karenanya cenderung bersifat emosional dan radikal. Dalam hal-hal yang ekstrem hal itu bisa menyebabkan beberapa orang direktur atau kepala bagian melakukan bunuh diri. Pada memuncaknya sebuah pembangkangan pelajar, tiga orang direktur melakukan bunuh diri, dan ada contoh-contoh serupa selama berlangsungnya gerakan serikat buruh di sektor industri pada masa segera setelah perang selesai. Gerakan-gerakan ini menimbulkan simpati yang kuat atau reaksi-reaksi pada semua pihak yang berkepentingan, akan tetapi hal ini sangat bertentangan dengan susunan tertib kehidupan sosial khalayak ramai yang mengelilinginya. Oleh karenanya serikat-serikat kerja dan persatuan-persatuan pelajar dan gerakan-gerakan populer lainnya, meskipun mempunyai daya tarik dalam radikalisme dan kekerasan, tidak mempunyai arti sosial yang penting, dengan pengertian bahwa mereka itu tidak dapat menggerakkan mayoritas, bahkan mereka-mereka yang tergolong pada kategori individu pun.
Jadi ada hambatan yang benar-benar berat yang harus dihadapi oleh mereka yang tidak punya kekuasaan dan yang tingkatan sosialnya rendah. Memang, tidak ada kemungkinan untuk menciptakan semacam revolusi. Pembangkangan terhadap para boss dan seruan pada khalayak ramai dapat menghasilkan perubahan dalam pendapat umum, akan tetapi tidak akan dapat berhasil dalam mengubah bangunan sosial. Dalam pada itu, meskipun mereka yang berada di puncak sebagai kelompok dapat menjalankan kekuasaan dan pengaruhnya untuk menindas gerakan-gerakan tersebut, akan tetapi secara perseorangan, bagaimanapun juga kemampuannya, bagaimanapun juga kepribadiannya dan bagaimanapun juga tinggi statusnya, harus berkompromi dengan keputusan kelompoknya yang ketika itu mengembangkan kehidupannya sendiri. Sekali keputusan kolektif demikian ini dirumuskan, tidak ada seorang pun secara sendiri dapat menahan atau membelokkannya, dan ia hanya tinggal menunggu kapan gelombang itu akan surut sendiri, ia seperti seorang petani yang menanam padi di sawah dan harus menunggu datangnya udara bagus menyusul angin taupan yang menimpa tanaman padinya. Namun demikian, sudah merupakan susunan mental orang Jepang yang memungkinkan perumusan keputusan kelompok yang begitu berkuasa. Salah satu faktor yang mendominasi pemikiran dan cita-cita orang Jepang ialah relativisme, keinginan terus menerus untuk meningkatkan lebih tinggi dari rata-rata orang; untuk mengatakan itu dengan cara Jepang "sesuatu keinginan untuk berada dalam tingkat sama seperti orang lain yang diduga lebih tinggi dari diri sendiri". Orang Jepang tidak memiliki praktek keagamaan atau kepercayaan keagamaan yang menguasai pemikiran seseorang dan kelakuan seseorang atas dasar kekuatan makhluk ajaib; peran yang vital dimainkan bukan oleh agama atau filsafat akan tetapi oleh moral manusia itu sendiri. Ukuran moral itu selamanya ditentukan oleh aliran-aliran masa kini. Perasaan, bahwa "Saya harus melakukan ini, oleh karena A dan B juga mengerjakannya", atau "mereka itu akan mentertawakan saya kecuali bila saya melaksanakan aturan ini atau itu". Itulah yang mengatur kehidupan seseorang dengan kekuatan yang lebih besar daripada pertimbangan-pertimbangan lainnya dan dengan demikian mempunyai pengaruh pada pengambilan keputusan. Taruhlah ada juga orang-orang yang mempertahankan sikap, mengikuti selera hidupnya sendiri akan tetapi hal ini sangat jarang terdapat dalam masyarakat Jepang. Telah ditunjukkan, bahwa angkatan muda yang berubah menjadi lebih kritis terhadap sikap umum ini, dan kecenderungan ini pada waktunya akan memperlemah kekuatan tersebut. Meskipun begitu, untuk sementara, kebiasaan sosial yang sudah berakar dalam-dalam ini masih tetap berlangsung sebagai kecenderungan yang dominan. Sebagian karena berdasarkan sikap-sikap demikian itulah maka cita-cita orang Jepang dapat lebih mudah mengarungi liku-liku perubahan zaman dan contoh cita-cita masyarakat-masyarakat lain. Dan sumber inilah asalnya "tidak ada konsekuensi" atau "kemampuan besar untuk menyesuaikan" yang sering menjadi bagian dari pelukisan watak orang Jepang. Pemerintahan mayoritas adalah alat yang hebat di tangan kelompok atau sektor kelompok yang berpengaruh; berkuasa di puncak, yang selalu berupa kelompok dan bukan seseorang yang berpengaruh, selamanya berhasil untuk memaksakan tujuannya, sementara hukum-hukum bahkan tak berdaya untuk melakukan pembatasan. Jelaslah, bahwa sifat-sifat politik dan bukan sosial yang menjadi penentu dalam masyarakat demikian itu, dan sepanjang sejarah Jepang, kegiatan politik adalah lebih penting dari kegiatan-kegiatan lainnya. Inilah petunjuk untuk menemukan rahasia efisiensi Jepang — namun ini juga merupakan sumber bahaya, bagi masyarakat Jepang secara keseluruhannya dan pada kelompok-kelompok yang merupakan bagiannya.
Baca: Buku Masyarakat Jepang
———————
*) Lihat Nakane, op. cit.
Comments
Post a Comment