Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...
LAMPIRAN I
MEMOIR TENTANG GURU KAMI, ISHIDA
1. Catatan Penerjemah Bahasa Inggris
Berikut ini adalah terjemahan dari Ishida Sensei Jiseki, suatu karya yang disusun oleh para murid Ishida Baigan pada musim semi 1769, sekitar dua puluh lima tahun setelah kematiannya. Tulisan ini telah tersimpan dalam kotak selama lebih dari tiga puluh tahun ketika seseorang menemukannya dan menerbitkannya tanpa nama pengarang. Karena terbitan pertama ini mengandung banyak kesalahan, kecerobohan dan salah cetak, Uekawa Kisui (1748-1817), anak angkat Teshima Toan, menyuruh menyalin kembali naskah aslinya, dan mencek betul sehingga sama sekali tidak ada kesalahan, kemudian mencetaknya. Ini terjadi pada tahun 1805. Sejarah naskah sebagaimana kita kemukakan ini tercantum dalam catatan yang dilampirkan oleh Uekawa pada edisi tahun 1805(1) Tidak ada keterangan murid-murid siapa saja yang telah bekerja sama menulis naskah aslinya.
Karya ini, baik dalam hal komposisi maupun bentuk dan isinya mengingatkan kita kepada Analects dari Konfusius. Pada dasarnya karya ini merupakan kumpulan ucapan dan kebiasaan sang guru, setiap bagian berdiri sendiri, dengan sistematika sekadarnya berdasarkan subyek dan urutan waktu kejadian.
Karena hampir tidak ada bahan tertulis tentang Shingaku yang terdapat dalam bahasa-bahasa Barat, dan karena saya merasa bahwa pembaca akan bisa mendapatkan gambaran lebih baik tentang gerakan ini jika ada data dasar yang lebih banyak dari sekedar yang dikutip dalam uraian, saya berkeputusan untuk melampirkan terjemahan dari salah satu karya yang paling pendek tentang Shingaku dalam buku ini. Jiseki saya rasa pilihan yang cukup tepat karena berisi bahan yang mempunyai cakupan cukup luas baik mengenai motivasi maupun doktrin dari gerakan ini, dan ditulis dengan perhatian yang cukup mendalam.
2. Isi Buku
Nama pribadi guru kami adalah Okinaga. Namanya yang lain adalah Baigan. Nama panggilannya adalah Kampei. Dia berasal dari keluarga Ishida. Nama asli ayahnya adalah Joshin. Ibunya adalah seorang anak dari keluarga Kado. Dia dilahirkan pada hari kelimabelas bukan kesembilan dari tahun kedua Chokyo (1685) di desa Higashi Agata, distrik Kuwada, provinsi Tamba.(2)
Guru kami adalah orang yang budiman dan kemampuannya jauh melebihi orang biasa. Dia dibesarkan secara langsung oleh ayahnya. Sebagai contoh, ketika usianya sekitar sepuluh tahun dia pergi ke kebun buah ayahnya, dan setelah mengambil sekitar lima atau enam buah kastanya, dia pulang ke rumah. Dia kemudian mengambil tempat duduk untuk makan siang. Ketika dia menunjukkan buah yang dipetiknya kepada ayahnya, beliau bertanya dari mana dia mendapatkan buah tersebut.
Guru kami menjawab, "Saya petik dari pagar batas kebun ayah dengan kebun sebelah".
Ayahnya berkata, "Cabang pohon kastanya saya tidak menjurai sampai ke pagar. Cabang pohon-pohon kastanya kebun sebelah yang menjurai sampai pagar batas saya, jadi ini pasti buah kastanya dari kebun sebelah". Beliau menegur anaknya karena kecerobohan itu, dan tanpa menunggu dia selesai makan, sang ayah berkata, "Kembalikan buah-buah ini ke tempat asalnya, sekarang juga".
Guru kami mematuhinya dan langsung mengembalikan buah tersebut di tempat dia mengambil.
Ketika berumur dua puluh tiga, guru kami pergi ke Kyoto dan bekerja pada seorang pedagang di kota atas. Pada mulanya dia sangat dekat dengan ajaran Shinto dan berkeinginan untuk dengan satu atau lain cara menyebarluaskan ajaran Shinto. Jika tidak mendapatkan pendengar, dia berkeliling dari satu kota ke kota lain dengan membunyikan lonceng, untuk menyebarluaskan jalan manusia. Karena tekadnya itu, kalau sedang mempunyai urusan di kota bawah dia akan membawa buku di sakunya dan mempelajarinya pada waktu senggang. Setiap pagi sebelum orang-orang lain dalam rumahnya bangun dia duduk di dekat jendela di ruangnya di tingkat atas, membaca buku. Malam hari, setelah semua orang tidur, dia membaca buku, tanpa pernah sedikitpun melalaikan tugas-tugas yang diberikan oleh tuannya.
Sekarang, walaupun dia sudah menjadi klerk kepala (kashirabun) dalam rumah dagang tersebut, pada malam-malam musim dingin dia akan memberikan tempat tidurnya yang hangat untuk orang-orang lain sedangkan dia sendiri tidur di dekat pintu. Demikian juga, pada malam-malam musim panas kalau para pelayan toko yang sedang tidur tersingkap selimutnya dia akan bangun dan dari waktu ke waktu berkeliling membetulkan letak selimut mereka.
Seorang temannya yang banyak membaca bertanya kepada guru kami alasannya mengapa dia suka belajar (gakumon).
Guru kami berkata, "Pertama, apa alasan kamu?"
Temannya menjawab, "Saya banyak belajar sehingga banyak tahu tentang keadaan dunia. Itulah keinginan saya".
Guru kami berkata, "Saya tidak demikian. Saya belajar untuk bisa mengetahui perilaku para arif jaman dulu dan saya ingin menjadi teladan untuk semua orang".
Temannya berkata dengan penuh hormat, "Itu alasan yang jauh lebih baik".
Ibu majikan guru kami dibesarkan dengan pendidikan yang luhur dari orang tuanya dan dia adalah seorang yang istimewa. Satu kali guru kami memakai haori(3) dari kain krep ketika menghadap ibu majikannya tersebut.
Sang ibu berkata, "Apakah tidak lebih baik kamu memakai haori dari sutra?"
Guru kami berkata, "Memang saya juga berpikir demikian, tetapi hanya ini yang saya punya. Kalau ini saya jual untuk membeli yang baru saya harus mengeluarkan uang. Jadi saya pakai terus saja ini".
Ibu majikan itu berkata, "Kalau begitu, haori krep kamu sama nilainya dengan haori sutra", kata dia memberikan ijinnya.
Keluarga itu adalah pengikut Sekte Hongaji(4) dan percaya kepada pendirinya.(5) Walaupun mereka menyuruh setiap orang, termasuk para pelayan, untuk pergi ke kuil, seringkali guru kami tidak pergi. Selain itu, dia menyampaikan ajaran Shinto kepada ibu majikannya.
Seorang pegawai tua di rumah itu menyampaikan kepada ibu sang majikan bahwa guru kami sedang mempelajari Shinto dan mempunyai pengetahuan yang sedikit saja tentang aliran ini (Shin).
Ibu sang majikan menjawab, "Kemauan Kampei untuk mempelajari Shinto sangat luar biasa. Walaupun dia tidak pergi ke kuil dia beriman (shinjin). Jangan mengkhawatirkan dia".
Beberapa waktu kemudian ibu sang majikan jatuh sakit dan semakin hari kondisinya semakin memburuk. Dia berkata kepada seorang perempuan yang ada di dekatnya, "Dalam hidup saya sekarang ini tidak ada sesuatu pun yang kurang. Satu-satunya penyesalan saya adalah karena saya tidak akan berumur cukup panjang untuk menyaksikan kemuliaan yang akan dicapai Kampei di masa datang".
Ketika guru kami berumur sekitar tiga puluh lima atau enam, walaupun dia beranggapan bahwa dia tahu tentang kodrat (sei)(6), masih ada keraguan dalam dirinya tentang hakikat tersebut. Untuk menghilangkan keraguan tersebut dia mencari guru ke mana-mana, tetapi tidak ditemuinya seorang guru yang tepat. Waktu berlalu dan dia bertemu dan berbincang-bincang dengan seorang guru tua dari Ryoun, di mana dia mengemukakan teori hakikat. Dalam upayanya mengemukakan pengetahuannya guru kami seperti sebuah telur yang menabrak karang, sehingga terdiam tidak bisa bicara. Sejak itu dia berkeputusan untuk mengabdi dan menjadikan Ryoun gurunya.
Sejak itu, siang malam tanpa henti dia berkonsentrasi penuh dan melakukan meditasi (kufu). Setelah sekitar satu tahun setengah dilaluinya dengan cara ini, ibunya jatuh sakit sehingga dia harus kembali ke desa asalnya. Pada waktu itu usia guru kami mendekati empat puluh. Waktu itu adalah pertiga pertama bulan pertama, ketika dia sedang merawat ibunya, dia membuka pintu dan tiba-tiba keraguannya yang muncul pada tahun-tahun sebelum itu menghilang. Jalan Yao dan Shun(7) tiada lain hanyalah kepatuhan kepada orang tua dan persaudaraan (kotei). Ikan berenang di air dan burung terbang di udara. Jalan bawah dan Jalan atas itu nyata. Menyadari bahwa alam (sei) adalah induk dari langit dan bumi dan segala benda yang lain, dia menjadi sangat gembira. Setelah itu dia pergi kembali ke ibukota dan berbicara dengan gurunya.
Setelah selesai memberikan salam sang guru bertanya, "Sudahkah meditasimu membuahkan hasil?"
Guru kami menjawab, "Demikianlah adanya".
Menunjuk udara dengan pipanya, sang guru berkata, "Apa yang sudah kamu lihat adalah apa yang bisa diketahui tentang bagaimana segala sesuatu seharusnya. Seperti contoh orang buta yang meraba gajah, apakah dia meraba ekor atau kakinya, mereka tidak bisa mengenal keseluruhan bentuknya. Mata yang kamu pakai melihat alam sebagai induk langit dan bumi dan segala beda yang lain tetap ada. Tetapi harus tetap ada alam walaupun tanpa mata. Sekarang kamu harus bisa melihat tanpa mata itu".
Setelah itu guru makin lupa makan dan tidur selama berhari-hari dan melakukan meditasi, sampai setahun lagi lewat. Di satu malam yang larut, dia berbaring kecapaian, dan tidak menyadari bahwa fajar sudah hampir. Dia mendengar suara burung pipit di hutan di belakang tempat dia berbaring. Kemudian di dalam dirinya dia merasakan satu ketentraman lautan yang luas, atau langit tanpa awan. Dia merasa suara pipit tersebut seakan suara seekor camar yang menukik dan masuk ke air, di satu laut yang tenang. Setelah itu dia membuang pengamatan sadar tentang hakikatnya sendiri.
Guru kami tidak datang sama sekali ke tempat gurunya selama setengah tahun. Salah seorang murid berkata kepada sang guru, "Sebenarnya dia bisa menjadi seorang yang lebih unggul dari lainnya. (Tapi) nampaknya dia sudah pergi karena guru terlalu keras (kepada dia). Sayang sekali".
Sang guru berkata, "Jangan khawatirkan dia", dan dia sendiri tidak menujukkan sedikitpun (kekhawatiran).
Ketika guru kami berada di depan gurunya, gurunya berkata, "Dalam waktu dekat ini kamu harus sudah tinggal mapan di suatu tempat. Seberapa pun waktu yang kamu habiskan, hari dan bulan, kalau hanya untuk belajar saja, apa gunanya?"
Guru kami menjawab, "Guru tidak perlu khawatir", maka senanglah hati sang guru.
Ketika guru kami sedang melayani gurunya, sang guru berkata, "Saya ingin merokok".
Guru kami melayaninya, menyulut tembakau, membersihkan bagian luar mulut pipa dengan kertas dan memberikannya kepada sang guru, tetapi dengan demikian dia telah sangat menyinggung perasaan sang guru.(8) Sang guru berkata, "Apa yang baru saja kamu lakukan menunjukkan bahwa bagi kamu melayani saya itu kotor", dan langsung dia mengusir guru kami pergi.
Walaupun pada waktu itu hanya guru kami saja yang melayani gurunya, dia tidak mendatangi sang guru sama sekali. Dengan penuh sesal dia pergi ke ruang sebelah dan menangis. Keesokan harinya salah satu temannya sesama murid mendatangi sang guru dan memintakan ampun atas kesalahan guru kami, sehingga akhirnya dia diijinkan melayani (sang guru) lagi.
Setelah itu untuk beberapa hari penyakit sang guru memburuk. Menjelang akhir hayatnya sang guru berkata, "Saya ingin memberimu buku-buku yang telah saya beri tambahan pandangan saya".
Guru kami menjawab, "Saya tidak menginginkannya".
Sang guru berkata, "Mengapa kamu tidak menginginkannya?"
Guru kami menjawab, "Kalau saya menghadapi situasi yang baru, saya akan memberikan pandangan yang baru pula". Jawabannya menjadikan sang guru sangat menghargainya.
Desa kelahiran guru kami, Higashi Agata, dilingkungi oleh gunung. Ibunya menyukai teratai, tetapi di daerah pegunungan ini tidak bisa didapatkan teratai. Kendati demikian, ada daerah yang sedikit berlumpur di sungai kecil di ujung gunung dekat kebun keluarga mereka. Walaupun di daerah seperti itu tidak umum ada teratai bisa tumbuh, suatu waktu serumpun teratai telah tumbuh di situ. Ibunya sangat bahagia melihatnya. Tahun berikutnya keluarlah setangkai bunga teratai putih. Waktu ketika kuntum teratai pertama itu mengembang bersamaan dengan saat ketika guru kami membuka ruang ceramah.
Ketika guru kami berumur empat puluh tiga dia mengundurkan diri dari pekerjaannya dan mulai memberikan ceramah. Ketika berumur empat puluh lima dia menetap di suatu rumah di sisi timur Jalan Kurumayacho di atas Jalan Oikem(9) dan untuk pertama kali membuka tempat ceramah. Dia menempelkan pengumuman di bagian luar rumahnya yang bunyinya,
"Pada bulan tertentu dan hari tertentu akan diadakan ceramah. Tidak dipungut uang bayaran dan walaupun belum kenal, siapa pun yang berminat boleh mendengarkan dengan bebas".
Setiap akan mengadakan ceramah dia menempelkan pengumuman ini. Ruang ceramahnya dibagi dua, satu bagian untuk laki-laki dan lainnya untuk wanita; dan kerai bambu dipasang di bagian wanita.
Pada musim semi tahun kedua Gembun (1737) dia pindah rumah ke Jalan Sakaicho di bagian timur di bawah Jalan Rokkaku.(10) Ketika pertama kali dia membuka ruang ceramahnya di Jalan Kurumayacho orang yang hadir tidak lebih dari dua, tiga, empat atau lima orang, baik pagi hari maupun malam hari. Satu kali bahkan tidak ada seorang pun kecuali seorang teman dekat, tetapi (guru kami) tetap saja duduk berhadapan dengan orang tersebut dan mulai memberikan ceramahnya. Satu kali di ruang ceramah hanya ada seorang murid. Murid ini berkata, "Malam ini tidak ada pendengar lain, dan karena akan merepotkan anda untuk memberi ceramah hanya kepada saya, silakan anda istirahat".
Guru kami menjawab, "Ketika saya memulai kegiatan ini, saya memperkirakan hanya akan menghadapi sandaran buku saja, karena itu saya cukup puas walaupun hanya ada satu pendengar saja", dan mulailah dia memberikan ceramah.
Tempat-tempat dia memberikan ceramah adalah Osaka, Kawachi, dan Izumi.(11) Dia seringkali pergi ke Osaka untuk memberikan ceramah. Bahkan di Kyoto dia memberikan ceramah di beberapa tempat setiap pagi dan malam. Selain itu, dia mengadakan pertemuan tiga kali setiap bulan. Untuk pertemuan ini, sebelumnya dia sudah memberikan beberapa pertanyaan kepada murid-muridnya dan meminta mereka untuk menuliskan jawabannya dan dia sendiri juga menuliskan jawaban dan interpretasinya.
Pada hari pertama dan terakhir masa ceramah dia mandi untuk mensucikan diri dan memakai pakaian upacara dari rami (kamishimo). Walaupun biasanya dia berceramah dalam pakaian biasa, hakama(12) dan haori, sikapnya seakan-akan dia memakai pakaian upacara. Kalau dia pergi memberikan ceramah dia memakai pakaian upacara dari rami dari mulai hari pertama sampai terakhir.
Inilah buku-buku yang selalu diuraikannya: Kitab Empat, Karya klasik tentang Kepatuhan kepada Orang Tua, Pelajaran Kecil, Kitab Perubahan, Kitab Puisi, Penjelasan Diagram Keagungan Mahatinggi, Kinshiroku, Seiri Jigi, Lao Tzu, Chuang Tzu, Warongo, dan Tsurezuregusa.(13)
Pada umumnya dia bangun sebelum fajar setiap pagi, membasuh diri, membuka pintu, menyapu rumah, dan mengenakan hakama dan haori-nya. Kemudian dia membasuh tangan, dengan hikmat menghidupkan lampu, dan memuja pertama kuil Dewi Matahari, kemudian dewa dapur (kamado-no-kami), ruh pelindung (ujigama) desa kelahirannya, Konfusius yang maha bijak, Budha Amiba dan Sakyamuni, gurunya, para leluhurnya, dan bapak serta ibunya. Setelah itu dia duduk makan, mengunyah setiap suap dengan hati-hati, dan setelah makan dia membasuh mulutnya. Setelah beristirahat sebentar dia mulai memberikan ceramah.
Sore hari sekali lagi dia membersihkan rumah, membasuh diri, menghidupkan lampu, dan melakukan puja sebagaimana di waktu pagi.
Sekali setiap empat atau lima hari dia selalu menyapu rumah dan membersihkan tiang-tiang, ambang pintu, dan sebagainya.
Ceramah pagi mulai setelah fajar dan berakhir jam delapan. Ceramah malam mulai setelah matahari tenggelam dan berakhir jam delapan.
Dia minum air panas sebelum ceramah pagi dan teh sebelum ceramah malam.
Dia membiarkan api di baki tembakau tetap hidup. Sepanjang hari orang-orang sering datang, dan ada orang-orang yang meminta untuk mendengarkan ceramah di luar waktu yang sudah ditentukan. Setiap malam sampai jam 10.00 murid-murid berkumpul dan meminta penjelasan serta mendiskusikan hal-hal yang belum mereka pahami. Dengan demikian siang dan malam dia selalu sibuk. Di sela-sela semua itu dia membaca buku di mejanya. Kadang kala dia merasa mengantuk karena penyakit tertentu. Pada saat-saat demikian dia hanya akan berdiri dari duduknya dan mengerjakan sesuatu seperti menyapu. Kalau rasa kantuknya sudah hilang dia menghentikan kegiatan itu dan kembali membaca buku di mejanya. Bahkan pada malam-malam yang pendek di musim panas ketika murid-muridnya sudah pulang dia membaca buku dan tidak pergi tidur sampai lewat tengah malam. Di malam-malam musim dingin dia akan membaca sampai hampir jam 2.00 pagi.
Tentang pakaian guru kami, di musim panas pakaian hariannya adalah nuno(14) sedangkan pakaian liburannya adalah narazashi.(15) Di musim dingin pakaian hariannya terbuat dari katun dan pakaian liburannya adalah tsumugi.(16) Untuk makannya dia sering kali makan makanan yang dibuat dari beras yang diolah dengan baik. Sekali sehari dia memasak sup miso(17) dan sai(18) sederhana dan memakannya.
Dia biasanya menggunakan teh yang baik. Kadang-kadang dia memakan daun teh yang telah direbus dengan kecap.
Ketika mencuci beras dia menampung air cucian yang pertama dan kedua untuk diberikan kepada tikus. Sedangkan kerak nasi yang tertinggal di panci dituanginya dengan air panas, kemudian diminumnya. Setelah menghabiskan supnya, dia menuangkan teh di panci sup dan cawan sup kemudian diminumnya.
Dia akan membuang helai-helai daun sayuran yang busuk, tetapi tidak helai-helai yang kering dan tetap menggunakannya.
Dia jarang sekail membeli ikan. (Kalau membeli, dia akan membeli) koaizaki, hakarikujira, atau ebizako.(19)
Dalam mengisi pipa tembakau dia tidak pernah membiarkan tembakau jatuh dari kepala pipa sedikit pun.
Dia memotong kayu bakar dalam potongan kecil supaya mudah dibakar. Dia mencuci potongan kayu yang jatuh di kebun, bahkan yang sangat kecil pun, dan menyimpannya di dekat tungku. Dia membelah potongan kecil itu melebar. Dia menyimpannya untuk menghidupkan lampu dan lainnya. Jika arang di dalam tungku sudah tinggal sangat kecil dia akan memasukkannya dalam suatu tempat untuk nantinya digunakan lagi.
Lampu yang digunakan untuk upacara dan untuk penerangan di kamar mandi dipisahkannya (dari lampu-lampu lain). Jika dia harus menghidupkan api untuk keperluan ini dari potongan kayu, dia akan mencuci kayu itu kemudian meletakkannya di dekat tungku. Jika air suci, hati juga akan menjadi suci.
Dia mengeringkan tali senggot sumur yang sudah tua untuk digunakan sebagai bahan bakar, mengumpulkan abunya dalam anglo, dan menimbuni arang dengannya, karena bisa membuat api bertahan lama.
Dia menggunakan pinggiran tatami(20) yang sudah tua untuk membersihkan debu.
Dia selalu mengatur rambutnya sendiri. Dia mencuci tali rambutnya dan menggunakannya berkali-kali.
Jika dia bisa memberi sedekah kepada pengemis, dia akan memberikannya cepat-cepat, dan jika dia sibuk dan tidak bisa memberi, dia akan mengatakan dengan tegas dan suara yang keras bahwa dia tidak bisa. Ini dilakukannya supaya waktunya tidak tersita terlalu lama tanpa manfaat.
Dia tidak menggunakan tangkai pena yang berukir.(21) Dia membersihkan sisa-sisa tinta yang telah digerusnya dan menyimpan bagian yang menempel di batu tinta untuk digunakan di lain waktu.
Pada umumnya jika dia membuka sesuatu yang dilem, dia akan membasahi bagian yang dilem tersebut baru membukanya. Ini supaya tidak menjadikan kertas itu sobek. Walaupun kertas bekas yang sudah dipakai di atas shoji(22) tidak bisa lagi digunakan karena sudah lembek, tetapi dia akan berhati-hati supaya tidak sobek dan menggunakannya untuk kertas toiletnya sendiri. Namun, jika kertas itu sobek dia akan menempatkannya di keranjang tetapi tidak membuangnya. Dia menjual kertas itu kepada orang yang kelihatannya miskin dengan harga terserah kepada kemampuan si pembeli.
Untuk apa pun, dia tidak pernah menggunakan barang-barang yang bagus. Dia selalu menggunakan barang-barang yang kasar.
Guru kami berkata, "Di kalangan rakyat terdapat ketakutan memuja kaisar. Ketika memuja kuil Dewi Matahari orang sebetulnya memuja keduanya (Dewi Matahari dan kaisar)."
Kalau dia (harus) dengan hormat menghadapkan pandangnya ke istana kekaisaran, dia selalu mandi untuk mensucikan diri sebelum mendekat, dan sebelum sampai di gerbang selatan dia akan lewat dengan perasaan seakan sedang melakukan puja kepada kuil Dewa Matahari.
Kalau ada guruh, walaupun jauh malam dia selalu bangkit dan dengan hormat duduk tegak.
Sebelum melakukan wawancara dengan seorang bangsawan dia selalu mandi dulu.
"Mengerikan jika rakyat bawah meniru tulisan tangan yang indah dari para bangsawan yang mulia", katanya memperingatkan.
Jika dia berada di dekat papan nama seorang pejabat pemerintah dia akan melepas topinya dan membungkuk sampai pinggang ketika lewat. Ini untuk menunjukkan rasa hormat kepada keputusan resmi. Dalam mengangkat topinya, dia tidak akan melepasnya dari jarak sekitar 100 meter supaya tidak memberi kesan congkak.
Dalam membaca pengumuman resmi dari pemerintah dia sangat hormat.
Jika akan bertemu dengan seseorang dari Kuil Agung di Ise dia mandi dulu sebelum pergi. Dia memberi salam kepada orang tersebut dengan penuh hormat kepada para dewa. Jika dia sendiri pergi ke kuil setiap malam di tempat penginapan dia akan mandi.
Jika pergi ke desa kelahirannya guru kami selalu mandi di rumahnya sebelum pergi. Walaupun jarak yang ditempuh sekitar 25 kilometer dia tidak pernah berhenti untuk ke kamar kecil sebelum sampai di rumahnya di desa. Ini supaya tidak mengotori badannya. Setelah sampai di desanya, dia melakukan puja di kuil roh pelindung desa (ujigama) kemudian berziarah ke kubur orang tuanya dan setelah itu baru pergi ke rumah.
Dia menggunakan kue beras (kagami-mochi) yang disediakan oleh murid-muridnya untuk sesaji dan setelah itu memakannya. Kalau dia membeli sake dia akan memercikkannya pada tungku di dapur dan baru kemudian menggunakannya.
Kalau dia menyentuh kakinya dengan tangan, walaupun lewat pakaiannya, dia akan bangkit dan mencuci tangannya.
Kalau ada surat dari seseorang dia akan menerimanya dengan rasa penuh terima kasih baru setelah itu membuka dan membacanya. Semua itu dilakukannya seakan-akan dia berada di hadapan orang itu.
Kalau seorang murid, walaupun murid lama, tidak giat belajar (gakumon) dia akan dengan tegas menolak hadiah-hadiah sebagai ucapan terima kasih (dari murid tersebut).
Kalau dia meminta seseorang membelikan sesuatu untuknya, dan orang itu tidak mau dibayar, dia tidak akan mau menggunakan barang itu tetapi akan mengembalikannya walaupun barang sekecil apa pun.
Setelah menerima hadiah dia akan menggunakan kertas tulis yang bagus untuk membungkus hadiahnya. Kertas ini adalah yang bisa digunakan untuk konsep akhir tulisan tangan atau keperluan lain. Ini dilakukannya supaya si penerima bisa menggunakannya dan tidak hanya dibuang percuma.
Bersama dengan uang logam perak (gin) terbungkus kertas yang dikirimnya kepada seseorang disertakannya noshi,(23) dan bersama dengan uang logam sen terbungkus kertas akan disertakannya mi zuhiki(24) dan noshi.
Sebelum kencing dia selalu membuka hakama dan haori-nya. Kalau berak, pertama dia akan kencing dulu di tempat kencing baru kemudian dia pergi ke tempat buang air besar. Dia hati-hati dalam hal ini karena keluarga-keluarga petani tidak suka jika kencing dan tai tercampur karena akan menyulitkan untuk diangkut.
Kalau mandi sebelumnya dia akan membersihkan diri dengan teliti, baru kemudian masuk (ke dalam air).
Kalau guru kami (berpakaian) untuk menghadiri penguburan seorang teman baik, seorang murid menghaturkan kepadanya katabi ra(25) yang bermahkota(26) di atas dasar putih kepunyaan si murid, tetapi dia menolak karena menurut dia merepotkan dan dia memakai katabira (biasa) yang dicelup.
Pada hari-hari ketika guru kami harus memberi ceramah malam hari dan dia berbicara panjang, bahkan sampai larut malam, dia tidak menunjukkan tanda-tanda (kelelahan) sama sekali.
Para murid menyesali kenapa guru kami harus masak sendiri. Ketika mereka mengusulkan agar guru mempekerjakan pembantu laki-laki, dia menjawab bahwa justru sebaliknya adanya pembantu akan lebih menimbulkan kerepotan yang tidak perlu baginya. Tetapi ketika para murid mendesak, dia tidak ngotot dan akhirnya mengangkat seseorang.
Walaupun orang ini selalu keluyuran, bahkan tidak mampu menjaga pintu, guru kami tidak pernah berkata sepatah kata pun, dan tetap saja mempekerjakan dia. Para murid tahu hal ini dan memecat dia. Sekali lagi sesuai kemauan para murid dia mengangkat orang baru, dan walaupun orang ini halus, dia bodoh. Dia bahkan tidak tahu cara menalikan obi-nya(27) sendiri sehingga guru kami menalikannya. Selain itu, kalau udara dingin kedua kakinya pecah-pecah dan linu. Guru kami kasihan pada dia dan berkata, "Saya akan membungkusnya". Dan dia langsung saja mengulurkan kakinya. Karena orang ini juga lebih banyak merepotkan guru kami maka para murid memecatnya. Setelah itu mereka menyerah dan sampai akhir hayatnya guru kami memasak sendiri.
Kalau guru kami sedang membaca, anak-anak tetangga datang dan berteriak mengajaknya berolahraga. Guru kami mendatangi mereka untuk menjawab dan anak-anak ini lari sambil tertawa. Lalu mereka datang lagi dan melakukan yang sama dan guru kami tetap menjawab sebagaimana sebelumnya.
Jika berjalan di jalan pada musim panas, guru kami memberikan tempat yang teduh untuk orang lain, sedangkan dia sendiri berjalan di tempat yang panas. Di musim dingin dia memberikan tempat yang panas untuk orang lain, dan dia sendiri berjalan di tempat yang teduh.
Guru kami berkata, "Mencapai kebajikan (jin, Cina jen) sangatlah penting karena merupakan keutamaan hati. Walaupun hal ini tidak bisa dengan cepat dicapai, ada satu dua hal yang bisa dilakukan untuk mempraktekkan kebajikan tanpa harus merasa terpaksa, menderita fisik, atau membelanjakan uang. Jika kamu melakukan sesuatu dengan memasukkan prinsip kebajikan, walaupun hanya seperseribunya di dalamnya, tetap saja itu adalah kebajikan, dan saya percaya pasti akan baik. Karena itulah secara khusus saya mengemukakan ini.
"Ketika lewat di jalan, kalau kamu memperhatikan, akan ada yang bisa kamu lakukan untuk membantu dunia, seperti memperbaiki jalan itu. Jika kamu minta contoh, membendung aliran air parit di pinggir jalan yang sudah membanjiri jalan adalah kebajikan.
Jika kamu ke luar rumah dan memberi tahu orang tua, saudara, atau istri ke mana kamu pergi, maka pikiran mereka akan tenang, dan itulah kebajikan. Kalau kamu memberitahukan jalan mana yang akan kamu lewati ketika pergi dan pulang, sehingga orang yang mencarimu tidak akan kesulitan, itulah kebajikan.
"Tulis tanda pengenalmu dalam gaya oieryu,(28) karena akan mudah terbaca, sehingga orang akan tenang, itulah kebajikan.
"Kalau kamu membubuhkan simbol di payung dan topi, simbol itu memang akan membedakannya dengan payung dan topi yang lain tetapi dibanding dengan menuliskan nama maka simbol itu jelek. Kalau kamu menuliskan nama, dari seratus orang semuanya akan mengetahuinya. Kalau kamu membuat simbol dari seratus orang ada sembilan puluh sembilan yang tidak tahu. Itu akan mengganggu pikiran banyak orang dan itu bukanlah kebajikan. Saya tidak akan melakukannya.
Apa pun yang kamu gunakan, gunakanlah dengan baik sesuai kondisinya, seperti misalnya orang menggunakan air di puncak Gunung Atago atau Gunung Hieno (berbeda dari) kalau orang menggunakan air di Sungai Oi atau Sungai Kamo.(29) Bertindak yang tidak mengganggu pikiran orang lain adalah kebajikan.
Kalau ada sesuatu yang dalam beberapa hal tidak menyenangkan orang lain, mungkin tidak ada yang bisa menjadi landasan kebajikan seperti sikap tanpa pamrih. Walaupun kita mencoba dari sedikit, kita tidak berhasil. Walaupun kita ingin berhasil, kita meratapi bahwa sepanjang hidup keinginan kita itu mungkin tidak akan tercapai".
Guru kami berkata, "Karena saya mengamati bahwa banyak orang berusaha menyuburkan tanahnya, selama tiga puluh tahun kalau saya dalam perjalanan sehari atau bahkan setengah hari, saya menggunakan tempat khusus untuk membuang air kecil atau besar. Kalau tidak ada, saya selalu melakukan itu di sawah atau ladang. Mungkin ini kecil, tidak berarti, tetapi saya percaya bahwa sikap ugahari yang cocok untuk saya".
Setiap kali guru kami berhenti minum teh di warung teh, dia akan memilih tempat yang paling sederhana dan membayar tinggi untuk teh yang diminumnya.
Guru kami berkata, "Ketika saya berumur dua puluh, saya menderita penyakit di perut sehingga untuk mempertahankan kesehatan setiap pagi dan sore saya makan zosui.(30) Karena itu saya sembuh dari sakit itu dalam waktu hanya sebulan. Berdasarkan pengalaman itu saya berpikir cukuplah kalau saya memberi makan badan saya dua kali sehari. Setelah itu sampai menjelang umur empat puluh tahun saya hidup dengan makan dua kali sehari. Saya makan tiga go(31) saja, dan tidak empat go sehari sebagaimana lazimnya. Go selebihnya saya dermakan. Bukan hanya itu, jika kamu makan terlalu sering, biayanya akan tinggi, karena itu saya memberikan nasi yang seharusnya untuk makan selanjutnya kepada pengemis dan cukup dengan dua kali makan sehari. Tetapi pada suatu malam pada awal ceramah saya seseorang mengatakan, "Jika seseorang banyak bicara, padahal makanan yang masuk ke tubuhnya terlalu sedikit, kesehatannya akan terancam". Karena saya berpikir bahwa (kebiasaan saya sebelumnya) tidak sesuai dengan tekad saya untuk menyampaikan kepada orang lain Jalan yang telah diturunkan kepada saya dalam hidup yang hanya pendek ini, saya langsung mengubah kebiasaan makan saya menjadi tiga kali sehari".
Pada suatu musim gugur ketika terjadi banjir di provinsi tetangga, ada pesta memandang bulan. Guru kami diundang oleh murid-muridnya untuk hadir. Kemudian ada satu orang yang datang ke tempat guru kami dan berkata, "Ada banjir di daerah-daerah sebelah dan banyak orang yang menderita. Tidakkah pergi ke pesta memandang bulan menunjukkan bahwa seseorang tidak peduli dengan penderitaan orang lain?"
Guru kami menjawab, "Bukannya saya tidak prihatin dengan terjadinya banjir itu. Tetapi, semua itu bukan tanggung jawab saya. Selain itu, hampir tidak mungkin setiap tahun di daerah yang berbeda-beda tidak ada yang tidak beres. Sekeras apa pun ratapan kita, apakah akan memperbaiki situasi? Pada acara rutin di mana semua murid berkumpul, ada beberapa yang tidak datang. Kalau mereka tidak berkumpul gampang sekali untuk meninggalkan belajar. Kekhawatiran tentang ini merupakan tanggung jawab saya. Karena saya memenuhi tanggung jawab, saya mengadakan pertemuan untuk mengumpulkan, walaupun tidak sering, mereka yang dekat dengan saya. Kita harus mengetahui tanggung jawab kelas atas dan kelas bawah dan tidak mencampuradukkannya".
Guru kami berkata, "Saya menyayangkan pembunuhan yang tanpa alasan. Sejak saya masih anak-anak, saya selalu menambahkan air dingin ke dalam air panas, atau ke dalam air untuk mencuci kaki atau air yang telah dipakai untuk merebus sesuatu sebelum membuangnya supaya tidak membunuh binatang-binatang kecil yang melata di atas tanah.(32) Dari sepuluh kali saya telah berhasil melakukannya tujuh kali. Tapi, ini hal yang remeh. Karena saya ingin membunuh nafsu dalam pikiran saya, saya memasak sendiri. Saya selalu berkonsentrasi mencoba menghilangkan pikiran yang penuh nafsu. Kalau seorang yang lemah seperti saya ini bisa tanpa nafsu, bukankah saya akan bisa membantu pikiran orang lain?"
Guru kami berkata, "Walaupun kepatuhan kepada orang tua dan kesetiaan tidak ada dalam diri saya, saya selalu berharap bisa menumbuhkan sikap patuh kepada orang tua dan sikap setia dalam diri orang lain, dan saya berkeinginan untuk sepenuh hati mengajar dan menuntun walaupun hanya satu orang".
Seseorang yang mengajukan pertanyaan kepada guru kami, berkata, "Apakah anda mengkritik para terpelajar masa sekarang yang tidak mendasarkan diri mereka pada prinsip kodrat atau hakikat (seiri) karena posisi anda sendiri sudah benar? (Kalau memang demikian) jika ada sedikit saja yang tidak benar pada anda, anda tidak bisa (mengkritik mereka)".
Guru kami menjawab, "Saya tidak mengkritik orang lain. Saya menyesali kenyataan (bahwa ada yang) tidak tahu makna dasar dari belajar (gakumon). Kamu umpamakan, sekarang ini di sini banyak para abdi yang pangerannya terbunuh. Para terpelajar masa kini bagaikan orang yang mempunyai kekuatan tetapi tanpa tekad untuk membalas dendam. Walaupun saya mempunyai tekad untuk membalas, saya seperti orang yang pinggangnya diikat. Ini disebabkan karena saya seorang yang terlambat mulai dalam hal belajar dan juga tidak berbakat. Saya lemah dan tanpa kebajikan sedangkan tindakan saya bukanlah tindakan yang gagah berani. Saya mengetahui kebaikan kodrat hanya secara tersembunyi. Wahai, walaupun saya mempunyai tekad untuk menjadikan orang lain mengetahuinya, karena saya dianggap orang yang rendah hanya akan ada sedikit saja orang yang mau mendengarkan (saya). Bagaikan seorang pengecut yang berkehendak membalaskan dendam tuannya, tetapi tidak mampu. Sedangkan para terpelajar masa kini, mereka belajar dari sejak muda dan menguasai pengetahuan yang luas, atau mereka menduduki jabatan di pemerintahan sehingga menjadi orang penting karena dikenal di dunia. Tetapi karena tenggelam dalam literatur (bungaku) mereka tidak tahu bahwa Yao dan Shun, dengan prinsip hakikat (seiri) sebagai landasan belajar, memerintah kekaisaran dan hanya mengikuti kodrat. Ketidaktahuan mereka tentang ini adalah seperti mempunyai kekuatan tetapi tidak mau membalaskan dendam. Saya menyesal karena menyadari bahwa sebenarnya orang-orang ini, kalau mereka mengetahui kodrat, akan bisa menghidupi Jalan".
Walaupun guru kami selalu berkata kepada murid-muridnya bahwa mereka harus tahu hakikatnya sendiri, hanya ada dua atau tiga orang yang mempercayai hal ini. Di antara mereka ini adalah Saito Zemmon yang sangat mempercayainya, dan baik siang maupun malam berkonsentrasi dalam meditasi (kufu). Suatu malam, secara tidak diduga ketika mendengar suara genderang, dia mengenal hakikat. Dari waktu itu, keyakinan itu semakin lama semakin bertambah, dipupuk, dan akhirnya menjadi lengkap. Sejak itu, Zemmon, dengan keyakinannya yang kuat membantu teman-temannya, tetapi tetap saja tekad mereka masih lemah. Kimura Shigemitsu dari awal sangat yakin dan setelah beberapa waktu keyakinannya itu membuahkan hasil. Pada suatu musim dingin, ketika sedang menutup shoji, dia tiba-tiba mengenal kodrat atau hakikat dirinya sendiri. Dengan sangat gembira dia datang ke rumah guru kami untuk menunjukkan apa yang telah berhasil dicapainya, "Hebat! Mengagumkan! Ini, uh, ini, ah..."
Dengan demikian guru kami menyatakan bahwa Shigemitsu telah mengenal hakikatnya.
Dari peristiwa itu para murid akhirnya benar-benar percaya bahwa hakikat bisa secara langsung diketahui. Kalau mereka mengkonsentrasikan pikirannya dalam meditasi, dan keyakinan merasuk sampai tulang sumsum, mereka lupa makan dan tidur dan duduk diam (seiza) atau dengan serius bertanya. Banyak dari mereka yang dalam waktu pendek mampu mengenal hakikatnya.
Dari peristiwa itu para murid akhirnya benar-benar percaya bahwa hakikat bisa secara langsung diketahui. Kalau mereka mengkonsentrasikan pikirannya dalam meditas, dan keyakinan merasuk sampai tulang sumsum, mereka lupa makan dan tidur dan duduk diam (seiza) atau dengan serius bertanya. Banyak dari mereka yang dalam waktu pendek mampu mengenal hakikatnya.
Guru kami, ketika berbicara kepada seorang murid yang telah mengenal hakikat dirinya, berkata, "Apa yang dicapai oleh orang yang belajar adalah pengetahuan tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar sehingga orang akan mengikuti yang benar saja. Menggali hakikat tanpa mengumpulkan kebajikan bukanlah Jalan para arif". Dia sering kali menekankan hal ini.
Guru kami berkata, "Saya cenderung suka berargumentasi, dan sejak usia dini saya tidak disukai teman-teman. Saya sering bersikap tidak manis tetapi pada usia 14 atau 15 saya tiba-tiba menyadari hal itu dan menyesalinya, dan walaupun sampai sekitar usia 30 saya telah memperbaiki sikap saya itu, seringkali kecenderungan itu masih muncul dalam pilihan kata-kata, dan pada usia 40 saya merasa masih ada sedikit sifat masam seperti acar buah prem gosong, tetapi pada usia 50 saya merasa sifat saya yang jelek itu telah hilang".
Sampai menjelang usia 50 kalau guru kami bersama orang lain dan ada perbedaan pendapat di antara mereka, mukanya nampak masam, tetapi pada usia 50 dia sama sekali tidak menunjukkan tanda apakah ada perbedaan pendapat atau tidak, dan pada sekitar usia 60 dia berkata, "Sekarang saya sudah (sepenuhnya) tentram (raku)."
Ibu dari guru kami kadang-kadang datang dari desa. Jika itu pada musim semi guru kami menemaninya pergi ke tempat-tempat seperti Gion(33) dan Kiyomizu(34), atau ke teater untuk menyenangkannya. Dia berkata kepada ibunya, "Walaupun saya tinggal di Kyoto saya jarang sekali melakukan hal-hal seperti nonton drama. Dengan demikian orang akan menjadikan tindakan saya ini contoh. Hanya karena ibu saya datang ke Kyoto maka saya pergi jalan-jalan dengan santai". (Mendengar itu) ibunya merasa bahagia.
Ketika guru kami berumur tiga puluh dua ayahnya meninggal dan ketika dia lima puluh dua ibunya meninggal. Dia sangat berduka cita sampai habis masa berkabungnya.
Ada seorang rahib perempuan Zen yang datang ke tempat ceramah guru kami, tetapi setahun dia berkeliling di Yamato dan beberapa tempat di mana perempuan tidak boleh bepergian. Ketika dia datang dengan membawa catatan harian perjalanannya yang ditunjukkannya kepada guru kami, dia mengusirnya dengan mengatakan, "Jangan pernah datang lagi".
Pada musim panas tahun ketiga Gembun (1738) guru kami, diiringkan oleh lima atau enam murid, pergi ke tempat mandi air panas di Tajima(35), tetapi walaupun di sana, siang malam guru kami mengoreksi cetakan percobaan Toimondo. Pada suatu hari, dengan naik perahu kecil bersama murid-muridnya, dia (pergi) melihat Seto(36). Mereka berlayar ke laut, dan di sebelah utara terlihat laut terbuka dan luas tanpa batas. Tiba-tiba angin kencang bertiup. Murid-murid sangat ketakutan. Guru kami sama sekali tidak terpengaruh. Kemudian mereka berlabuh di sebuah pulau karang kecil yang bernama Nochigashima dan setelah turun dia melihat berkeliling. Pelan-pelan angin reda, ombak kembali biasa dan permukaan laut terlihat luas dan lebar. Guru kami menunjuk ke laut yang tidak terbatas dan alangkah kecilnya tubuh manusia. Murid-murid mendapat pelajaran dari kejadian ini.
Pada musim kering yang hebat di tahun ketiga Gambun (1738) ketika mereka yang di atas dan di bawah sama-sama berdoa mengharapkan hujan, guru kami juga mandi setiap hari dan secara pribadi berdoa agar hujan turun. Sejak malam ke-21 bulan ketujuh hujan mulai turun dengan deras dan kegembiraan orang-orang yang mulia dan yang hina tak terbatas. Pada hari itu di rumah seorang pengikut, guru kami dan murid-muridnya berkumpul dan menyambut gembira kedatangan hujan ketika angin kecil mulai berhembus. Guru kami dengan muka cemas seakan-akan ada yang tidak beres berkata, "Saya akan ke rumah sebentar. Saya akan kembali ke sini", dan meninggalkan tempat duduknya dia ke luar.
Segera kemudian dia datang kembali dan para pengikutnya bertanya mengapa dia harus pulang ke rumah. Guru kami berkata, "Ketika saya memandang ke langit dan angin bertiup seperti tadi, awan nampaknya bergerak menunju barat laut. Ini tanda angin besar. Kalau angin juga besar sementara hujan juga besar seperti ini, kemungkinan besar tanam-tanaman akan hancur. Ketika kembali ke rumah, saya mandi dan berdoa". Kata-kata dalam doa tersebut adalah sebagai berikut,
Ame o koi kaze shizuka ni to inoru nari
Mamorase tamae futabashira no kami.
Saya memohon hujan dan angin sepoi,
O dewa dua pilar.(37)
Kalau terjadi kebakaran di mana pun guru kami sangat terganggu hatinya. Ini disebabkan karena dia bersedih atas penderitaan yang dipikul orang dan kerusakan harta benda yang terjadi. Pada suatu malam musim dingin pada tahun tertentu kebakaran besar terjadi di Desa Shimo Okazaki. Merasa bahwa jika makanan tidak ada, orang akan sangat menderita karena cuaca sedang sangat dinding dan tengah malam, guru kami mengumpulkan murid-muridnya di tengah malam itu, memasak nasi yang kemudian dikepal-kepal menjadi bola-bola nasi, dan dengan diiringkan oleh murid-muridnya, guru kami membawanya ke Okazaki dan memberikannya kepada orang-orang yang sedang menderita kesusahan tersebut.
Pada suatu waktu ketika empat atau lima murid sedang berkumpul di rumah guru kami, seorang murid datang membawa berang-berang. Walaupun mereka bermaksud membunuhnya dan membagi dagingnya, tidak ada di antara mereka yang terbiasa melakukan itu, karena itu mereka bertanya. Walaupun guru kami juga tidak pernah melakukannya, dia mengasah pisau kecil sampai tajam dan membunuh berang-berang itu. Dia bisa dengan mudah membunuhnya dan membagi dagingnya.
Dari mulai musim dingin tahun kelimat Gembun (1740) sampai musim semi berikutnya banyak orang di bagian atas maupun bawah Kyoto yang menderita. Pada musim dingin itu, yang ada hanyalah cerita-cerita sedih, tetapi tidak ada orang yang membagikan derma. Guru kami sangat menyesalkan hal ini, dan mengirim murid-muridnya secara berkelompok ke tempat yang berbeda-beda untuk mencari mereka yang berada dalam kesusahan. Karena ternyata lebih banyak kejadian yang menyedihkan daripada yang sudah kami dengar (guru kami) membagi murid-muridnya dalam kelompok tiga atau empat orang untuk pergi ke tempat-tempat tersebut mulai dari hari ke-28 dan membagikan uang logam sebagai derma. Mulai dari hari kedua bulan depan pada tahun berikutnya, mereka yang membagikan derma dari tempat ke tempat menjadi sangat banyak.
Satu kali ketika guru kami mulai berceramah di Osaka, seorang guru Shinto berkomentar, "Dakwah yang memaksa orang Jepang menganut semangat Cina jelas salah. Kita harus mengusir musuh dewa semacam itu. Mari kita bertemu dan menyelesaikan masalah ini".
Berkali-kali dia mengatakan akan datang dan menyelesaikan urusan itu. Guru kami, berpura-pura sibuk, tidak melayaninya dan menghindari kericuhan. Tetapi dia terus mengganggu guru kami, dengan mengatakan, "Kalau kamu tidak mau menemui saya kamu harus sekarang juga berhenti memberikan dakwah di sini".
Karena selalu diganggu, guru kami tidak punya pilihan kecuali mengatakan, "Apa boleh buat, saya menuruti kemauanmu. Kita bertemu".
Ketika guru Shinto itu disertai oleh lima atau enam muridnya datang ke tempat guru kami, guru kami berkata, "Saya gembira sekali anda menganut Shinto. Saya dengar anda menyebut saya musuh para dewa. Saya sama sekali tidak mengerti maksudnya. Karena saya sama sekali tidak merasa demikian, saya betul-betul mengajar orang lain Shinto dari negara kita tanpa sedikit pun saya meniru dengan menggunakan gagasan-gagasan Konfusianisme maupun Budhisme. Saya akan bersumpah bahwa saya sepenuhnya setia kepada para dewa dan tidak berbohong dalam hal ini. Bukan saja saya tidak meniru, tetapi saya juga akan menyuruh dua atau tiga murid yang ada di ruang ini untuk juga bersumpah. Jika anda meminta saya untuk juga menyertakan murid-murid lain yang tidak hadir, saya akan menuruti keinginan anda. Anda juga harus bersumpah tanpa maksud jahat dan menyuruh semua murid anda untuk bersumpah. Saya akan memberikan apa saja kepada anda untuk membuktikan sumpah ini. Dengan sumpah ini kita akan menghapuskan kecurigaan di antara kita tentang kesetiaan kita kepada para dewa, dan setelah itu kita bisa berbincang-bincang dengan enak".
Guru Shinto itu berkata, "Mengenai sumpah itu saya rasa bisa diterima, tetapi itu sesuatu yang menakutkan. Setelah mendengar bahwa anda tidak punya maksud meniru atau memalsukan, saya tidak merasa perlu kita saling bersumpah", dan dia menolak tawaran tersebut.
Seseorang yang bernama Tuan Yukifuji dan juga seorang yang bernama Tuan Mori membaca Toimondo. Tuan Mori bertanya kepada guru kami tentang bagian-bagian tertentu dalam buku itu yang belum begitu dimengertinya. Tuan Yukifuji dua kali menghabiskan waktu sehari untuk penuh mendiskusikannya. Karena masalah (yang didiskusikan) banyak, hanya satu atau dua yang dapat dikemukakan di sini.
Tuan Yukifuji bertanya, "Apakah pikiran (kokoro) dan hakikat (sei) berbeda?"
Guru kami menjawab, "Kalau anda menyebut pikiran, itu mencakup hakikat dan perasaan (jo, Cina ch'ing), ada gerak dan ada diam (dozei), esensi dan fungsi (taiyo)(38). Kalau anda menyebut hakikat, karena dia esensi, dia diam. Pikiran yang bergerak adalah fungsi. Kalau kita berbicara tentang esensi pikiran, maka dia menyerupai hakikat. Esensi pikiran, dalam kaitannya dengan perubahan, bukanlah pikiran (mushin). Hakikat juga bukan pikiran. Pikiran termasuk substansi (ki, Cina, ch'i), hakikat termasuk prinsip (ri, Cina li). Prinsip terkandung dalam setiap hal dan bukan suatu wujud. Sedangkan pikiran itu wujud, dan berubah kalau bersentuhan dengan sesuatu. Kalau kita berbicara dari segi manusia, substansi itu sebelum sedangkan hakikat itu sesudah. Kalau kita berbicara dari segi prinsip langit dan bumi, ada prinsip dan setelah itu inti muncul. Kalau kita berbicara tentang keseluruhan (zentai), prinsip itu satu hal.
Untuk menggambarkan bahwa prinsip itu ada pada semua hal tetapi tidak berwujud, ada uta(39) dari rahib Doden(40):
Yo naka wa nani ni tatoen mizutori no
hashifuru tsuyu ni yadora tsukikage.
Dengan apa kita harus membandingkan dunia?
Sinar bulan terpantul dalam tetes-tetes
air yang terpercik dari burung undan.
"Hal itu seperti kenyataan bahwa seluruh sinar bulan terpantul bahkan dalam bagian terkecil dari tetesan-tetesan air yang sedang jatuh. Walaupun kita mengatakan bahwa prinsip tidak berwujud, kita tahu bahwa dia ada di dalam. Kalau kita melihat hakikat kita sendiri dengan daya pencerahan, tidak ada yang melebih kami, Sang Mahabatas, atau Budha(41). Karena itu kalau kita memahami alam ini, kita dapat mengatakan bahwa bahkan penganut Konfucius, Tao, Budha, ratusan aliran yang ada(42) dan ribuan kecenderungan, semuanya adalah kuil-kuil cabang dari ini, tanah para dewa ini. Satu buku menyebutkan, "Kalau kita mengatakan bahwa hanya Jepang saja yang merupakan tanah para dewa, kendatipun luas (tetapi sebenarnya) sempit (artinya, terbatas). Tetapi kalau kita mengatakan bahwa terdapat tanah para dewa bahkan pada partikel yang terkecil pun, dalam kesempitannya (terbatas secara ruang) tapi sebetulnya tak terbatas".
Tuan Yukifuji, sambil mengatakan, "Memang demikian", mencatat uta tersebut.
Tuan Yukifuji bertanya, "Dalam mengajar murid-murid apakah anda mengajar mereka membentuk pikiran (kokoro) saja?"
Guru kami menjawab, "Tidak begitu. Saya mengajar mereka melalui tindakan".
Tuan Yukifuji bertanya, "Kalau begitu, apakah anda mengajar mereka melaksanakan lima hubungan?"
Guru kami menjawab, "Ya, demikianlah".
Tuan Yukifuji bertanya, "Guru tidak punya istri. Bagaimana itu?"
Guru kami menjawab, "Tekad saya adalah menyebarluaskan Jalan. Kalau saya dibebani dengan seorang istri saya khawatir saya akan kehilangan Jalan karena itu saya hidup sendiri".
Tuan Yukifuji berkata, "Saya masih bingung. Bukankah beristri itu Jalan, bagaimana pun sulitnya? Ajaran anda menjadikan lima hubungan satu keseluruhan, tetapi kesan saya tindakan anda itu akan menghancurkan lima hubungan itu. Bagaimana penjelasannya?"
Guru kami menjawab, "Ya, tetapi yang anda ajukan adalah posisi seperti yang dialami oleh Yen Tzu.(43) Walaupun Tzu Lu dan Jan Ch'iu sangat mulia, mendahulukan pengabdian, Jan Chi'iu telah dengan sia-sia terseret ke aras yang salah yang diambil oleh keluarga Chi, dan Tzu Lu keliru dalam melihat yang benar, dan terlibat dalam yang tidak benar, kemudian mati di medan perang. Semua itu karena mereka tidak setaraf dengan Yen Tzu. Apakah orang yang hanya seperti saya bisa mendekati apa yang telah dilakukan Yen Tzu? Karena itulah saya hidup sendiri. Karena saya punya saudara laki-laki dan keponakan-keponakan laki-laki, pemujaan kepada para leluhur tidak akan tersia-siakan. Saya tidak terlalu ingin untuk mempunyai keturunan yang akan memuja saya. Harapan saya sederhana yaitu, tidak apalah saya membuang diri saya sendiri, asalkan nantinya saya melihat Jalan dipraktekkan orang. Inilah impian saya".
Pada suatu musim panas ketika guru kami pergi berdakwah ke rumah Kurosugi Masatane di Desa Shiraki, Distrik Ishikawa, Provinsi Kawachi, dia melihat aliran sungai yang dibelokkan ke dekat pagar. Dia bertanya, "Apakah aliran sungai ini telah ada di sini sejak dulu?"
Masatane menjawab, "Sebagaimana anda katakan, aliran sungai ini sudah ada di situ sejak dulu".
Guru kami berkata, "Saya bertanya karena sekarang ini musimnya petani membutuhkan air".
Dia berpikir apakah mereka telah membelokkan aliran sungai itu supaya dia tidak terlalu kepanasan dan kalau betul begitu dia khawatir mengganggu kegiatan pertanian.
Dalam perjalanan dari rumah penginapan ke tempat ceramah dia melihat rumput yang tumbuh di ladang. Walaupun sedang memakai pakaian upacara dia memasukkan tangannya ke lumpur dan mencabut rumput tersebut. Dia berkata, " Ini rumput jelek yang akan menghisap pupuk", dan menunjukkannya kepada murid-muridnya. Setelah mendengar dakwah guru kami orang-orang di daerah itu menjadi bersungguh-sungguh melaksanakan pekerjaan keluarganya.
Pada akhir ceramah ketika Masatane memberikan sebungkus perak sebagai hadiah, guru kami tidak mau menerimanya. Walaupun dia berkali-kali memaksa, guru kami tetap tidak mau menerima dan berkata, "Anda telah mengeluarkan biaya untuk perjalanan dan penginapan saya, karena itu saya tidak bisa lagi menerima hadiah dari anda", dan akhirnya dia tetap tidak mau menerima.
Murid-murid dari Kyoto datang untuk bertemu guru kami, dan mereka datang sehari sebelum ceramah di tempat Masatane itu berakhir. "Karena itu adalah kunjungan pertama dari mereka yang ingin bertemu dengan anda, mereka harus tinggal sehari dua di sini, dan ijinkan saya mengajak mereka melihat-lihat pemandangan dan tempat-tempat bersejarah di sekitar sini".
Ketika guru kami menyampaikan keinginan Masatane itu kepada para murid tersebut, para murid menjawab, "Walaupun kami sangat berterimakasih, kami tidak menginginkan perjalanan senang-senang itu, kami mengharapkan anda segera kembali ke ibukota". Dengan demikian mereka berangkat pagi-pagi keesokannya.
Setelah kembali ke Kyoto dia bercerita kepada murid-muridnya tentang kunjungannya ke Kawachi tersebut dan berkata, "Di Kawachi waktu itu saya tidak menerima hadiah Masatane karena itu melampaui batas kesopanan. Bagaimana seharusnya yang pantas?"
Setiap murid memberikan jawaban dan guru kami berkata, "Satu ryo(44) atau perak dan satu sapu tangan katun. Itu sudah pantas".
Ketika pada hari yang lain para murid yang menyusulnya berada di sisinya dia berkata, "Saya tidak suka tinggal lebih lama untuk bersenang-senang setelah urusan saya selesai, di mana pun itu", dan dia sangat gembira karena mereka tidak tinggal lebih lama.
Ada dua buku yang ditulis guru kami atas permintaan murid-muridnya. Yang pertama didasarkan pada konsep kasar jawaban-jawaban yang diberikannya untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang-orang kepadanya setiap hari. Dia kumpulkan semua itu, menjadikannya buku dan memberinya judul Toimondo. Buku itu dicetak pada musim gugur tahun keempat Gembun (1739), bulan ketujuh. Buku yang kedua (asal mulanya demikian): pada musim gugur tahun ketiga Kampo (1743) para murid, setelah bertanya tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan sikap hemat yang akan dipraktekkan sehari-hari, menyusun buku berdasar intisari dari apa yang sudah mereka dengar dan menunjukkannya kepada guru kami. Guru kami menyetujuinya. Setelah itu ketika semua murid mempraktekkan sikap hemat seseorang mengajukan argumentasi kepada guru kami bahwa tidak baik jika tiba-tiba semua murid mempraktekkan sikap hemat. Guru kami menuliskan perdebatan tersebut dan memberinya judul Seikaron. Buku ini dicetak pada musim panas tahun pertama Eikyo (1744), bulan kelima.
Guru kami jatuh sakit pada hari ke-23 malam bulan kesembilan, akhir tahun pertama Eikyo (1744), dan meninggal pada waktu siang hari ke-24 di tempat tinggalnya. Dia berumur enam puluh tahun. Dia dikuburkan di Gunung Toribe, tenggara Kyoto. Ketika dia meninggal barang-barang yang ditinggalkannya di rumahnya adalah tiga kotak buku, konsep jawaban-jawabannya untuk pertanyaan harian yang diajukan orang-orang, sandaran bacanya, meja, batu tinta, pakaian dan peralatan sehari-hari.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(1) Jiseki, SGSS, vol. 6, hlm. 319
(2) Penulis memberikan daftar karakter untuk nama-nama pribadi yang karena alasan teknis tidak dimuat di sini. (ed.)
(3) Semacam jas. Dari konteks pembicaraan bisa ditarik kesimpulan bahwa Haori sutra lebih sesuai untuk kedudukannya.
(4) Nama lain dari Jodo Shinshu.
(5) Shinran Shonin.
(6) Kodrat di sini digunakan dalam pengertian filsafat yang luas, artinya adalah hakikat seseorang maupun alam raya.
(7) Para penguasa legendaris Cina seringkali disitir oleh penganut Konfusius sebagai contoh pemerintahan yang ideal.
(8) Nampaknya dengan cara menyeka bagian mulut.
(9) Kurumayacho adalah jalan di Kyoto yang membujur dari utara ke selatan. "Atas" berarti utara, mengarah ke istana kaisar.
(10) Sakaicho adalah jalan di Kyoto yang membujur dari utara ke selatan. "Bawah" berarti selatan, arah yang jauh dari istana kaisar.
(11) Kawachi dan Izumi adalah dua provinsi yang dekat dengan Kyoto.
(12) Semacam celana panjang.
(13) Untuk penjelasan mengenai buku-buku ini, lihat bab VI, catatan 12 dan 13.
(14) Linen, katun, atau kain rami.
(15) "Kain rami yang ditenun dan diputihkan di Nara, di provinsi Yamato". (Brinkley)
(16) Pongee, kain halus dan tipis di Cina, terbuat dari tenunan sutra alam.
(17) Taoco
(18) Masakan yang dimakan bersama nasi.
(19) Jenis-jenis ikan.
(20) Tikar dari jerami.
(21) Tinta Jepang berbentuk batangan kering yang digosokkan pada batu tinta dan dicampur dengan air sebelum digunakan. Batangan tinta yang berukir lebih mahal daripada yang tanpa dekorasi.
(22) Pintu atau jendela sorong.
(23) "Pita panjang dari tiram yang dikeringkan, yang selalu diikatkan pada suatu hadiah". (Brinkley)
(24) "Tali halus dari kertas, biasanya berwarna merah atau putih, untuk mengikat hadiah". (Brinkley)
(25) Pakaian musim panas terbuat dari rami.
(26) Mahkota yang menunjukkan simbol-simbol keluarga.
(27) Semacam ikat pinggang.
(28) Yaitu gaya tulisan tangan yang diciptakan oleh Son'en Hoshinno, putra kaisar Fushimi. (Brinkley)
(29) Sungai Oi (nama lain dari sungai Katsaru) adalah saluran untuk gunung Atago, dan sungai Kano menjadi saluran gunung Hieno (Hiezan). Semuanya di sekitar Kyoto, maksudnya adalah bahwa di puncak gunung orang menggunakan air dengan cara yang berbeda karena airnya harus dinaikkan, sedangkan di dekat sungai caranya akan lain lagi. Dengan demikian orang harus selalu bertindak sesuai dengan situasi.
(30) Semacam bubur yang berisi miso dan potongan sayur (dan nasi), sup rampai-rampai". (Brinkley)
(31) Satu go kurang lebih sama dengan sepertiga liter.
(32) Adat kebiasaan ini ternyata berasal dari kalangan Budha.
(33) "Gion adalah suatu bangsal di Kyoto yang pernah terkenal karena pohon-pohon cerinya, yang kala sedang berbunga mengundang ribuan pengunjung". (Papinot)
(34) Kiyomuzi adalah kuil terkenal di sebelah timur Kyoto, yang dibangun pada tahun 780.
(35) Nama provinsi.
(36) Laut di antara pulau. Lautan luas tanpa batas yang dimaksud pada kalimat berikut adalah lautan Pasifik.
(37) Dua pilar mengacu pada kuil luar dan kuil dalam di Ise.
(38) Alinea tersebut merupakan pernyataan yang sangat padat yang menyangkut permasalahan utama dalam filsafat neo-Konfusian. Ide utamanya adalah bahwa, walaupun pikiran mengandung li atau prinsip (hampir menyerupai ide Plato), pikiran terdiri dari ch'i atau eter yang bisa berubah-ubah. Dengan demikian hanya li yang ada, atau kemungkinan besar ch'i sekarang menembus li. Gagasan ini berasal dari Chu Hsi. Tentang bagaimana masalah ini dibahas oleh Chu Hsi, lihat Fung, History of Chinese Philosophy, vol. II, hlm. 534-546
(39) Puisi Jepang bersuku kata 31
(40) Dogen (1200-1253) adalah pendiri sekte Soto dari Zen.
(41) Kodrat mengatasi konsep-konsep ketiga religi. Kami adalah kata Shinto untuk dewa. Keagungan Mahatinggi adalah konsep Konfusian tentang yang mutlak.
(42) Istilah yang longgar, yang mencakup bermacam aliran filsafat Cina.
(43) Yen Tzu, Tzu Lu, dan Jan Ch'iu, semuanya adalah pengikut Konfusius.
(44) Satuan mata uang logam.
Comments
Post a Comment