Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
1. Ishida Baigan1
Ketika usianya mencapai 15 tahun, Baigan meninggalkan pemagangannya setengah jalan dan kembali ke desanya, dengan alasan yang sama sekali tidak jelas. Pada kesempatan lain dia berkata, "Watak dasar saya suka mendebat dan sejak usia dini saya tidak disukai oleh teman-teman. Saya sering kali kasar tetapi pada sekitar usia 14 atau 15 saya menyadari ini dan menyesal". Apakah kesadaran yang tiba-tiba ini ada hubungannya dengan keputusan yang diambilnya tidak ada yang tahu. Bagaimanapun langkah yang diambilnya merupakan peristiwa yang penting. Justru di saat ketika dia mulai sepenuhnya terserap ke dalam kehidupan chonin Kyoto dan memulai apa yang sedianya merupakan karir umum seorang pedagang, dia membuang semua itu dan kembali ke desanya, di mana kemudian dia menghabiskan delapan tahun waktunya, pada umur yang sangat menentukan, antara 15 sampai 23. Dengan melakukan ini dia menghancurkan kesempatannya untuk meniti karir sebagai pedagang, yang sebagaimana telah ditunjukkan dalam bab II, hanya melalui jenjang pemagangan ini seseorang bisa berharap akan meningkat. Orang yang diangkat ketika sudah dewasa, yang disebut chunen, tidak akan mempunyai kesempatan sebaik mereka yang magang, dan tidak akan bisa berharap banyak dalam karirnya sebagai pedagang.
Kendati demikian, Baigan mungkin tidak terlalu risau dengan karirnya, karena nampaknya, sebagaimana ditunjukkan oleh kutipan di atas, lebih sibuk dengan permasalahan kejiwaannya sendiri. Pada tahun-tahun yang dihabiskannya di rumah, mungkin sebagai reaksi atas kebutuhan batinnya, dia menjadi tertarik kepada Shinto. Para pendeta Ise, yang pada waktu itu telah mendirikan organisasi besar di seluruh negeri bagi peziarah Ise, paling berhasil di Kyoto dan wilayah sekitarnya dan tidak mustahil bahwa Baigan banyak terpengaruh oleh mereka. Yang jelas, ketika Baigan kembali ke Kyoto pada usia 23 tahun dia tidak bermaksud memperbaharui karirnya sebagai pedagang tetapi punya tujuan jelas untuk menyebarkan Shinto.
Dia mengabdi di rumah pedagang Kuroyanagi di bagian atas kota, mungkin sebagai seorang chunen, tetapi perhatian utamanya adalah mewartakan Shinto. Karena pendengarnya sedikit, dia memutuskan untuk berkeliling kota dengan membunyikan lonceng untuk menarik perhatian orang. Keinginannya adalah untuk menjadi teladan dari jalan kemanusiaan. Dia selalu membawa buku ketika melaksanakan tugas dan membacanya setiap kali ada waktu senggang. Dia bangun pagi sebelum orang-orang lain bangun dan membaca di dekat jendela; malam hari dia membaca setelah semua orang tidur. Walaupun rajin belajar, dia tidak pernah melalaikan tugas dari majikannya. Tujuan belajarnya bukan sekedar untuk mengumpulkan pengetahuan, tetapi untuk mengembangkan dirinya supaya bisa menjadi teladan bagi semua orang.
Dia tetap bekerja di rumah dagang Kuroyanagi sampai beberapa tahun, sampai menjadi pegawai yang dipercaya dan sahabat dekat dari ibu majikannya ketika masih hidup. Akhirnya dia diangkat sebagai banto atau kepala klerk, dengan tugas mengawasi para chunen. Selama waktu itu dia terus belajar dan mengembangkan pikiran-pikirannya.
Ketika berumur 35 atau 36 dia merasa telah menguasai pengetahuan teoritik tentang alam (sei, bahasa Cina hsing), tetapi kendati mengalami kemajuan intelektual, perasaannya masih tetap ragu. Untuk menetapkan hatinya dia mencari seorang guru yang dapat membantu dia menghilangkan keraguannya. Walaupun telah mencari ke mana-mana selama bertahun-tahun, dia tidak dapat menemukan seorang pun yang tepat sampai ketika dia berbincang-bincang dengan seorang guru tua bernama Oguri Ryoun. Oguri Ryoun pernah menjadi pejabat tinggi daimyo tetapi karena beberapa alasan dia mengundurkan diri dan menetap di Kyoto sebagai guru. Dia dididik dalam filsafat alam Sung (seiri, bahasa Cina hsing li) selain menguasai ajaran-ajaran Budha dan Tao. Baigan sangat terkesan setelah berbincang dengannya dan memutuskan untuk menjadi pengikutnya, dan sejak itu mencurahkan perhatiannya kepada praktek kontemplasi (kufu). Setelah satu setengah tahun menjalani ini Baigan mengalami pencerahan untuk pertama kalinya. Pada waktu itu dia berumur 40 dan dipanggil pulang ke desanya karena ibunya sakit.
Ketika itu sepertiga pertama bulan kesatu, ketika sedang merawat ibunya yang sakit dia membuka pintu dan tiba-tiba keraguan yang meliputinya selama tahun-tahun itu lenyap. Jalan Yao dan Shun hanyalah kepatuhan kepada orang tua dan persaudaraan (kotei, bahasa Cina hsiao-t'i). Ikan berenang di air dan burung terbang di udara. Jalan terang dan jelas di atas dan di bawah. Mengenai alam (sei) sebagai induk langit dan bumi dan segala hal, dia sangat girang.(2)
Setelah kembali ke Kyoto dia membicarakan pengalaman ini dengan gurunya. Nampaknya Ryoun menganggap pengalaman itu sebagai pencerahan yang masih belum sempurna. Baigan dan alam masih belum menyatu. Dia masih "mengamati" alam. Jika dia memahami kebenaran, dia seharusnya "melihat alam tetapi tanpa mata". Dengan kemajuan yang dicapainya itu Baigan semakin menenggelamkan diri dalam meditasi selama satu tahun lagi. Akhirnya usahanya menunjukkan hasil.
Pada suatu malam yang telah larut dia terbaring kelelahan tanpa sadar bahwa hari telah menjelang pagi. Dia mendengar suara burung pipit di hutan di belakang tempat dia berbaring. Kemudian di dalam dirinya merasakan ketenangan lautan yang luas, dan langit yang tanpa awan. Dia merasa jeritan pipit itu menjadi suara camar yang sedang menukik ke dalam air, dalam ketentraman laut yang luas.(3)
Setelah itu tidak ada perbedaan antara dirinya dan alamnya. Pengalaman ini mempunyai pengaruh sangat dalam dan menentukan bagi Baigan, serta memberinya kebahagiaan yang besar.
Jika ada orang yang bermaksud membuat gambar dari kebahagiaanku yang sangat besar, gambarnya akan menunjukkan seorang yang tiba-tiba terbuka, lupa menggerakkan tangan atau mengangkat kakinya.(4)
Pengalaman itu telah memberinya rasa percaya diri yang sepenuhnya baru dan membebaskannya dari keragu-raguan. Mulai saat itu dia bisa menghadapi situasi macam apa pun tanpa terguncang dan dia dapat menatap dunia dengan kepala tegak. Semua itu menimbulkan perasaan yang kuat dalam dirinya untuk membantu orang lain mencapai kebahagiaan dan keyakinan yang sekarang dinikmatinya. Pencariannya selama dua puluh tahun akhirnya membuahkan hasil. Dia telah menemukan langit dan buminya dan sekarang dia siap untuk membantu orang lain melakukan yang sama.
Kehendaknya tak tergoyahkan dan pelan-pelan dia mulai mengarah ke sana. Ketika dia berumur empat puluh tiga dia berhenti dari pekerjaannya di rumah keluarga Kuroyanagi dan mulai memberikan pelajaran privat di berbagai rumah. Pada tahun 1729 Oguri Ryoun meninggal pada usia 60 dan mungkin tidak sepenuhnya kebetulan bahwa pada tahun 1729 itu pula, Baigan, dalam usia 45 tahun akhirnya menetap di suatu rumah dan untuk pertama kali membuka tempat ceramah. Setelah menempelkan pengumuman yang terkenal di depan rumahnya,
Pada bulan tertentu, hari tertentu, akan ada ceramah. Tidak dipungut bayaran, dan walaupun belum kenal orang yang ingin boleh mendengarkan dengan bebas.(5)
mulailah dia memberi ceramah, dan dari bulan ke bulan terus melakukannya sampai saat meninggalnya.
Pada awalnya yang menghadiri ceramahnya sangat sedikit dan kadang-kadang walaupun hanya para sahabatnya saja, dia duduk berhadapan dengan mereka dan menyampaikan ceramahnya. Pernah pada suatu malam hanya satu murid yang datang.
Murid ini berkata, "Malam ini tidak ada pendengar lain dan karena terlalu merepotkan anda kalau harus berceramah hanya untuk saya, silakanlah anda beristirahat saja".
Sang guru menjawab, "Ketika saya mulai memberi ceramah, saya siap untuk menghadapi hanya sandaran buku saja, karena itu saya puas walaupun hanya ada satu saja pendengar saya", dan dia mulai.(6)
Kejadian ini menunjukkan kuatnya pendirian Baigan dan tekadnya yang tak tergoyahkan untuk terus melaksanakan niatnya apa pun rintangan yang muncul.
Secara bertahap pendengarnya bertambah dan dia mulai memberikan ceramah di beberapa tempat di Kyoto dan sering pula di Osaka. Pengikut secara perlahan mulai berkumpul. Pendengarnya kebanyakan dari kalangan pedagang dan ceramahnya diberikan pada waktu yang disesuaikan, sehingga tidak mengganggu kegiatan bisnis. Dia berceramah setiap pagi dan dua malam sekali. Untuk para pengikutnya dan mereka yang tertarik secara khusus dia mengadakan pertemuan tiga kali sebulan di mana tanya jawab dilangsungkan. Baigan mengajukan pertanyaan kepada para pengikutnya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Walaupun dia mendorong para pengikutnya untuk mengenal alam kodrat melalui latihan meditasi (kufu atau seiza) pada awalnya mereka tidak yakin apakah betul itu bisa terjadi. Salah satu muridnya, Saito Zemmon, akhirnya yakin dan dengan keras berlatih meditasi. Suatu malam dia tiba-tiba mendengar suara genderang dan tiba-tiba pula dia memahami hakikat. Muridnya yang lain masih tetap ragu sampai ketika Kimura Shigemitsu yang sedang menutup shoji di satu musim dingin mengenal hakikat dirinya pula.
Setelah itu banyak yang percaya dan mencapai pemahaman itu.
Baigan mengembangkan ceramah, pertemuan tanya jawab dan latihan meditasi sebagai tiga metode pengajarannya, masing-masing berguna untuk tujuan yang berbeda. Ketiganya tetap menjadi tiga metode dasar pengajaran Shingaku sepanjang sejarahnya.
Dia juga mulai melakukan kegiatan karitatif yang menjadi ciri gerakan ini seperti membawa makanan ke desa yang terbakar habis di tengah musim dingin, dan mengorganisasikan distribusi sedekah makanan pada masa sulit yang meluas.
Pada usia 55 tahun dia menerbitkan bukunya yang pertama, Taimondo, yang secara harfiah berarti "Dialog Kota dan Desa". Buku ini disusun berdasar konsep jawabannya untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang kepadanya dari hari ke hari, dan berisi sebagian besar dari apa yang kita kenal sebagai falsafahnya. Satu-satunya bukunya yang lain adalah Seikaron, secara harfiah berarti "Esai tentang Pengaturan Rumah Tangga", diterbitkan pada tahun 1744, tahun terakhir hidupnya. Sebagaimana dicerminkan oleh judulnya, buku ini berisi tuntunan-tuntunan tingkah laku yang bijak dan susila.
Pada hari ke-23 bulan ke-9 tahun 1744 Baigan memakan masakan berkuah dengan jamur yang besar-besar. Malam itu dia mendapat kesulitan pada pencernaan dan tidak bangun sampai hari ke-24. Dia meninggal menjelang tengah hari-hari itu di rumahnya, pada usia 60 tahun. Dia dikuburkan di Toribe-yama sebelah tenggara Kyoto.
Setelah kematiannya barang-barang yang masih ada di rumahnya hanyalah tiga kotak buku, konsep jawaban-jawaban dia untuk pertanyaan harian dari orang-orang, sandaran bukunya, meja, batu tinta, pakaian dan peralatan untuk keperluan sehari-hari.(7)
Tarikh di atas menggambarkan kenyataan dasar kehidupan Baigan. Gambaran itu perlu diisi dengan deskripsi sifat-sifatnya, masyarakat di mana dia hidup dan tanggapan masyarakat terhadap guru agama baru ini.
Baigan sendiri memberikan kepada kita gambaran yang menarik tentang watak diri dan perkembangannya, yang bagian awalnya telah kita kutip di atas:
Guru kami berkata: "Watak dasar saya suka mendebat dan sejak usia dini saya tidak disukai teman-teman. Saya sering bersikap kasar tetapi pada usia sekitar 14 atau 15 saya menyadari itu dan menyesal, dan walaupun saya berpikir bahwa menjelang usia 30 saya sudah memperbaiki kelemahan ini, semua itu masih sering muncul dalam kata-kata, dan pada usia 40 saya merasa masih punya sedikit sikap asam seperti acar buah prem gosong, tetapi pada usia 50 saya merasa semua watak jelek saya sudah hilang".
Sampai menjelang usia 50 ketika guru kami berada bersama orang lain dan mereka berbeda pendapat tentang sesuatu hal, dia seperti menunjukkan muka asam, tetapi pada usia sekitar 50 dia tidak menunjukkan tanda sedikitpun bahwa mereka berbeda atau bersesuaian pendapat, dan pada sekitar usia 60 dia berkata, "Sekarang saya telah menjadi sepenuhnya tenang (raku)".(8)
Pernyataan di atas menunjukkan usaha sepanjang hidup untuk dapat mengontrol perasaan diri, mungkin terutama dorongan agresifnya, dan mencapai ketenangan. Baigan terkenal ketus dan ngotot dalam berdebat dan Taimondo dianggap mencerminkan sifatnya ini, walaupun dari sudut pandang orang Barat dia terasa hampir selalu sopan dan penuh pertimbangan. Namun demikian, dia nampaknya merasa sebaliknya dan selalu merasa bahwa sikap demikian tidak terpuji serta perlu dikontrol. Mungkin makna dari alinea di atas akan terasa pentingnya jika kita bandingkan dengan uraian dalam Analects dari Konfusius yang menjadi modelnya:
Guru berkata, pada usia lima belas saya memantapkan kemauan untuk belajar. Pada usia tiga puluh, saya telah memancangkan kaki saya kuat-kuat ke tanah. Pada usia empat puluh, saya tidak lagi menderita kebingungan. Pada usia lima puluh, saya tahu tawar menawar apa yang kita lakukan dengan Langit. Pada usia enam puluh, saya mendengarkan mereka dengan telinga yang sabar. Pada usia tujuh puluh, saya dapat mengikuti suara hati nurani saya; karena apa yang saya inginkan tidak lagi melanggar batas-batas kebenaran.(9)
Pernyataan Baigan mungkin lebih bersifat pribadi dan lebih tajam, tetapi pada dasarnya keduanya menggambarkan proses yang sama, pencapaian secara bertahap suatu kondisi di mana perasaan alamiah seseorang dengan kewajiban moralnya berada dalam harmoni yang sempurna.
Kemudian, Baigan, sebagaimana kita ketahui, terlibat dalam perjuangan abadi untuk mengatasi apa yang menurut perasaannya dialami sebagai sikap yang jelek. Upayanya mencari jalan haruslah dilihat sebagai sikap yang jelek. Upayanya mencari jalan haruslah dilihat dalam konteks ini, yaitu "mengikis keakuan dan melatih jalan". Upaya ini membantu menjelaskan sejumlah ciri kepribadiannya. Ketika ditanya mengapa tidak menikah, dia menjawab, "Cita-cita saya adalah menyebarkan jalan. Jika dibebani dengan seorang istri saya khawatir akan kehilangan jalan itu, karena itu saya hidup sendiri".(10) Di satu segi hal ini mungkin bisa dikaitkan dengan kesulitan keuangan dan kesulitan-kesulitan lain yang dialaminya untuk mewujudkan keinginannya menjadi guru yang mandiri sehingga keluarga akan menjadi beban yang berat, tetapi saya rasa pada dasarnya hal ini merupakan upaya membuang beberapa sifat tertentu dari kepribadiannya yang mungkin oleh Baigan diidentifikasi sebagai wataknya yang jelek atau mementingkan diri dan yang merintangi usahanya mencapai jalan.
Kebutuhan untuk membuang beberapa sifat pribadinya tercermin dari asketisme yang mewarnai hidupnya. Dia tidak biasa pergi ke teater atau berjalan-jalan, dia tidur hanya sesedikit mungkin, selama bertahun-tahun dia makan hanya dua kali sehari dan makanannya sangat sederhana. Keugahariannya, sebagaimana tercermin dari sejumlah kejadian dalam riwayat hidupnya, bisa dilihat sebagai dorongan yang patologis. Dia tidak bisa, misalnya, membuang-buang apapun dan selalu memanfaatkan benda-benda seperti tikar rombeng, shoji, dan tinta bekas. Walaupun semua ini cocok dengan kepribadiannya, kita harus ingat bahwa dia dibesarkan di desa dan terbiasa dengan sikap petani yang mengarah kepada ugahari. Karena itu tidak mungkin untuk memisahkan seberapa banyak perilaku yang dilatarbelakangi oleh budaya dan seberapa yang berasal dari kepribadian, tetapi jelas kedua elemen itu berperan. Walaupun dalam beberapa hal kebiasaannya terasa ekstrem, secara umum dia selalu bisa menjaga keseimbangan. Ketika salah seorang muridnya memarahinya karena makan hanya dua kali sehari, dia mempertimbangkan hal itu dan akhirnya setuju bahwa dia mungkin membahayakan kesehatannya sendiri dan karena itu berubah makan tiga kali sehari. Asketisme baginya bukan merupakan tujuan. Ketika sikap itu sampai pada titik yang membahayakan kemampuannya untuk melaksanakan kewajiban keduniaannya dia menguranginya.
Aspek lain dari kepribadiannya yang bisa dianggap berkaitan dengan perjuangan batinnya adalah perhatiannya yang sangat besar atau berlebihan kepada kesejahteraan orang lain. Ini bisa dipandang sebagai upaya untuk mengimbangi kecenderungan bersikap kasar yang berlebihan kepada orang lain, dan yang sangat disesalinya. Sebagai misal, ketika dia menjadi kepala klerk, dia bukannya mengambil tempat terhangat di musim dingin yang beku, melainkan mengambil yang terdingin untuk tempat tidurnya dan memberikan tempat yang terhangat untuk para bawahannya. Dan sekali lagi,
Kalau berjalan di jalan umum pada musim panas guru kami memberikan tempat yang teduh untuk orang lain, sedangkan dia sendiri berjalan di tempat yang panas. Di musim dingin dia memberikan tempat yang terkena sinar matahari untuk orang lain dan mengambil yang teduh untuk dirinya.(11)
Dia sangat berhati-hati agar tidak tanpa sengaja membunuh makhluk hidup dan bahkan mencampur dulu air panas yang akan dibuangnya supaya tidak membunuh binatang-binatang kecil yang terkena. Maka kegiatan karitatifnya haruslah dilihat dalam konteks ini. Tingkah laku ini jelas erat hubungannya dengan ide-ide dari Budha dan ajaran Konfusius tentang kemanusiaan (jin, bahasa Cina jen) yang sangat ditekankannya. Dalam hal ini pun Baigan tidak bersikap ekstrem tetapi mencari keseimbangan. Ketika dia dikritik karena pergi ke pesta memandang bulan dengan para pengikutnya pada saat banjir hebat melanda propinsi tetangga, dia menjawab bahwa walaupun dia sedih karena banjir itu tetapi dia menganggap tidak akan ada manfaatnya duduk diam dan bersedih. Penanggulangan banjir berada di luar kemampuannya. Dia beranggapan bahwa tugas utamanya adalah mengajar para muridnya.
Asketisme dan cinta sesama mempunyai tempat yang sama pentingnya dalam ajaran religius Baigan. Penjelasan psikologis atas tindakan dan tingkah lakunya yang diberikan di atas bukan berarti untuk meragukan ketulusannya. Sebaliknya saya ingin menunjukkan bahwa dia terdorong oleh kebutuhan dari dalam nuraninya dan mencari pemecahan religius bagi kebutuhan tersebut. Dalam hal ini dia bukanlah seorang ideolog sosial. Ajaran-ajaran sosialnya, walaupun tentu saja dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh keprihatian religiusnya. Ini merupakan hal penting yang akan kita bicarakan lagi nanti karena ada orang yang menganggap Baigan seorang pembuat apologi bagi kelas pedagang yang hanya menggunakan religi untuk kepentingannya. Dengan demikian minat religiusnya hanyalah etalase, sekedar epiphenomena. Namun riwayat hidup dan wataknya sebagaimana diuraikan di atas membantah tuduhan itu.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa mungkin Baigan sendiri merasa bahwa kepentingannya yang pokok bersifat religius, tetapi sebagai seorang chonin asli sangat boleh jadi pikiran-pikirannya hanyalah cerminan dari kesadaran chonin. Sekali lagi bukti-bukti yang ada mematahkan tuduhan ini. Dia sama sekali bukan asli chonin. Jelas dia bukan terlahir dari keluarga chonin tetapi petani dan tahun-tahun pembentukan pribadinya dijalaninya di desa. Selain itu kedudukannya sebagai chunen dalam struktur sosial chonin adalah kedudukan pinggiran. Karena itu kalau pun dia ingin, dia tidak akan pernah dapat meniti karir sebagaimana umumnya chonin. Dan banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa dia memang tidak menginginkan itu. Tahun-tahun yang dia habiskan untuk mengabdi digunakannya sepenuhnya untuk belajar dan menempa diri. Dia melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, tetapi sebaliknya karyanya sendiri. Akhirnya dia menggunakan sisa hidupnya untuk menjadi guru yang mandiri, suatu yang sama sekali bukan khas pekerjaan chonin. Ajaran-ajarannya mendekati etika chonin tetapi sama sekali bukan sekedar refleksi tak sengaja darinya.
Para penulis yang memandang Baigan lebih sebagai seorang apologis atau ideologis untuk kelas pedagang dalam beberapa hal melihat gerakannya sebagai gerakan politis yang penting. Mereka memandangnya sebagai musuh "feodalisme" dan pejuang kebebasan politis bagi kelas-kelas perkotaan. Pandangan semacam ini menurut pendapat saya sepenuhnya tidak didukung oleh kenyataan. Dia tidak pernah mengkritik bakufu atau sedikit pun mempertanyakan dasar-dasar sistem kelas masa itu. Dia menyatakan di mana-mana bahwa pemerintahan merupakan tugas dan tanggung jawab kelas samurai dan tidak pernah, menurut pengamatan saya, berpikir bahwa pedagang dan pengrajin harus memainkan peran politik. Sikapnya terhadap kaisar didasarkan pada sikap hormat yang religius, kepada para bangsawan hampir mendekati pemujaan yang suci, dan kepada samurai rasa hormat yang dalam. Dia menyerang dengan keras para pedagang yang bertingkah laku seperti samurai. Pandangan yang sering dikutip oleh para penulis ini adalah bagian yang mengemukakan kewajiban moral universal dan peran yang tidak bisa diabaikan dan mulai dari kelas pedagang. Marilah kita bahas pandangan tersebut dalam bagian berikut ini dengan menempatkannya dalam konteks keseluruhan pikirannya. Bahkan jika dilihat di luar konteksnya pun pandangan ini tidak akan membuat Baigan terkesan sebagai seorang pemula revolusioner sosial.
Jadi, jika sebagaimana telah kita tunjukkan bahwa motivasi Baigan sepenuhnya pribadi dan keprihatinannya bersifat religius, dalam bentuk seperti apa sebenarnya perhatian tersebut diwujudkan? Ringkasan riwayat hidupnya telah menunjukkan perkembangan dasar yang dialaminya. Perhatian awalnya berpusat pada Shinto. Dalam perkembangannya hal ini tetap dominan, tercermin dalam pemujaannya yang tinggi kepada kaisar, kepada Dewi Matahari dan kuilnya di Ise. Dia memberikan kerangka pandangannya tentang konsep kokutai, dengan menyatakan bahwa Jepang adalah tanah para dewa dan lebih mulia dari daerah manapun dan bahwa doktrin lain yang ada hanya membantu dan melengkapi Shinto. Namun, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ajarannya sepenuhnya Shinto karena Konfusianisme juga sangat banyak mempengaruhi pikiran-pikirannya. Konsep-konsep seperti hati (kokoro, bahasa Cina hsin) dan alam (sei, bahasa Cina hsing) yang menjadi dasar sistemnya diambil secara langsung dari Mencius, sedangkan uraian penjelasannya diambil dari neo-Konfusianisme Sung. Nampaknya selama masa belajar ketika mengabdi pada keluarga Kuroyanagi dia telah menguasai karya-karya klasik dan uraian-uraian Sung. Akhirnya di bawah bimbingan gurunya Ryoun dia berkenalan dengan doktrin-doktrin Lao Tzu dan Chuang Tzu serta Budhisme Zen. Semua ini mempengaruhi pandangan-pandangannya tentang pencerahan dan meditasi walaupun kaum Konfusian Sung yang dipengaruhi Budhisme dan Taoisme dalam hal ini mungkin telah mendorongnya ke arah yang sama. Banyak pikiran Baigan mirip dengan yang dipunyai oleh Wang Yang Ming, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dia membawa Wang, juga dia tidak pernah mengutip Wang atau pengikutnya yang mana pun. Karena itu, kemiripan ini pasti lebih karena kebetulan. Kita akan bisa mendapatkan gambaran tentang ide-ide yang berpengaruh besar atas pikiran-pikirannya jika melihat buku-buku yang sering diuraikannya. Dari karya-karya klasik Konfusian, buku-buku yang dibacanya adalah Kitab Empat, Karya Utama tentang Kepatuhan kepada Orang Tua, Kitab Perubahan, dan Kitab Puisi. Beberapa karya aliran Chu Hsi termasuk: Penjelasan tentang Keagungan Maha Tinggi, Pelajaran Kecil, Kinshiroku dan Seiri Jigi.(12) Selain itu juga Lao Tzu dan Chuang Tzu dan dua karya dalam bahasa Jepang, Analects Jepang (Warongo) dan Tsurezuregusa.(13) Dua yang disebut terakhir adalah karya-karya campuran, yang pertama lebih berwarna Shinto, sedangkan yang kedua Budha.
Pendekatan Baigan terhadap beragam buku dan doktrin ini, sebagaimana telah kita lihat, tidaklah dalam tataran abstrak. Dia mencari Jalan yang dapat menjawab kebutuhan batinnya sendiri. Tetapi dalam penemuan hakikatnya itu, dalam mencapai pemecahan pribadi itu, dia mensemestakan permasalahan-permasalahannya lalu mengatasinya. Dari seorang pencari dia menjadi seorang pemberi. Dengan bebas dia memanfaatkan pikiran-pikiran religius pada masanya untuk menyusun suatu doktrik yang relatif sederhana yang memberi arti bagi dan membawa harmoni dalam hidupnya dan dalam kehidupan orang-orang lain. Dia mengajarkan cara mencapai pencerahan batin dan mengajarkan bahwa pencerahan semacam itu harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan etis yang nyata. Dalam melakukan semua itu dia mengolah kembali ide-ide religius, menyesuaikannya dengan kebutuhan diri dan jamannya. Begitu dia mencapai ketetapan hati untuk menuntun orang-orang mencapai kebahagiaan sebagaimana telah dicapainya, Baigan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh jenis orang yang akan diajaknya serta kebutuhan spiritual dan etis mereka. Dia bukanlah seorang pemikir orisinal kalau masalahnya adalah ide-ide religius dasar. Orisinalitasnya lebih pada kemampuannya mengadaptasikan ide-ide tersebut untuk kebutuhan orang pada jamannya.
Jika demikian masalahnya, apa sebetulnya ciri-ciri dari jamannya dan manusia yang hidup pada waktu itu? Dia datang di Kyoto pada tahun keempat Hoei (1707). Periode tahun sebelum Hoei adalah Genroku (1688-1794). Walaupun kita pada umumnya menganggap Genroku sebagai suatu masa dengan prestasi budaya yang tinggi, masa itu juga merupakan periode di mana orang bebas bermewah-mewah. Periode itu merupakan masa ketika "semangat daimyo" menjangkiti banyak pedagang dan juga masa ketika banyak pedagang menjadi bangkrut karena kecendeungan tersebut. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kelas pedagang secara umum sedang dalam kondisi memberi reaksi balik atas kondisi berlebihan yang ditimbulkan oleh Genroku ketika Baigan memulai masa pengabdiannya. Sifat rajin, hemat, dan susila lebih ditekankan lagi dari waktu-waktu sebelumnya.(14)
Pada tahun 1716, belum sampai sepuluh tahun sejak Baigan mulai mengabdikan diri di rumah seorang pedagang, Yoshimune menjadi shogun. Dia memerintah sampai setahun setelah kematian Baigan, 1745, dan banyak akibat yang ditimbulkan oleh sistem pemerintahannya pada kelas pedagang. Yoshimune memberikan reaksi yang keras menentang kecenderungan-kecenderungan yang meremehkan kelas samurai dan kekuasaan bakufu. Dia ingin menghidupkan kembali semangat perang dan Spartan di kalangan samurai dan salah satu caranya adalah dengan menerapkan sikap hemat. Dia memulainya dari diri sendiri dengan mengurangi anggaran belanja rumah tangga keshogunan, memberhentikan sebagian besar dayang-dayang perempuan, hidup dengan sederhana dan berpakaian katun. Kebijakan ini bergaung di kalangan kelas pedagang, terutama di Edo di mana pada kontraktor dan pemasok barang-barang mewah kebutuhan pemerintah paling terpukul. Dampak kebijakan Yoshimune tidak terlalu keras terasa di daerah Osaka dan Kyoto karena ekonomi kedua kota ini terarah kepada kebutuhan normal seluruh negara dan tidak terlalu berkaitan dengan pembelanjaan negara serta perdagangan barang mewah sebagaimana di Edo. Namun demikian tetap saja bisnis menurun, jumlah rumah dagang yang hancur tidak sedikit, dan lapangan kerja juga berkurang.
Peraturan bakufu yang melarang para pedagang untuk menggugat samurai yang tidak mengembalikan hutangnya sangat memukul dunia keuangan Kyoto-Osaka dan banyak pedagang yang gulung tikar karenanya. Di antaranya, masalah ini pula yang menyebabkan Mitsui Takafusa menulis buku yang menganjurkan tindakan penghematan dan menganjurkan para pedagang untuk tidak memberi hutang kepada para daimyo atau samurai.
Ketika kondisi perdagangan relatif lemah intensitas administrasi bakufu meningkat. Peraturan secara lebih ketat diawasi pelaksanaannya dan anjuran-anjuran yang berkaitan dengan sikap rajin dan hemat yang berasal dari Edo semakin digalakkan.
Demikianlah ciri-ciri khusus masa ketika Ishida Baigan melakukan pencarian untuk menemukan hakikat dan mulai menguraikannya. Kelemahan-kelemahan dari sistem Tokugawa mulai terasa. Kekuasaan kelas pedagang bahkan meningkat bukannya melemah ketika samurai secara ekonomi semakin lama semakin tidak berdaya, bahkan setelah dilakukan pembaharuan. Tetapi akibat langsung yang terjadi bukanlah hancurnya sistem lama. Sebaliknya, yang terjadi adalah masa pembaharuan dan penyegaran kembali. Bagi kelas pedagang, masa itu bukanlah masa yang enak. Ketegangan dan kondisi tertekan meliputi mereka. Pada saat yang sama reaksi kelas-kelas perkotaan, yang sebagian karena tekanan pemerintah tetapi lebih besar lagi karena belajar dari pengalaman, adalah melangsungkan politik pertahanan, meneguhkan moralitas mereka sendiri dan melibatkan diri lebih dalam lagi dalam bisnis yang sah. Dalam situasi seperti inilah, beserta segala aspek negatif dan positifnya, Baigan mulai penyebarluasan ajarannya, sehingga baik ajarannya maupun respons atasnya tidak bisa dipahami tanpa memperhitungkan situasi ini.
Nampaknya memang bukan sekedar kebetulan bahwa Shingaku berkembang di Kyoto, dan bukan di Edo. Telah dikemukakan bahwa para pedagang Edo banyak berhubungan dengan pemerintah dan dengan perdagangan barang-barang mewah. Kemungkinan melakukan korupsi dan suap-menyuap besar dan semua ini mendorong kapitalisme poltik yang spekulatif yang pada gilirannya banyak tercermin dalam gaya hidup yang mewah. Pada dasarnya, tulang punggung ekonomi kota itu adalah ribuan pegawai, para pembantu langsung shogun serta ribuan pengawal lain dan samurai yang terkait dengan lusinan daimyo yang ada di situ. Gaya Edo terkenal boros dan mewah. "Habiskan uangmu ketika matahari tenggelam", adalah motto penduduk kota Edo masa itu.
Ekonomi Kyoto dan Osaka, sebaliknya, mempunyai warna yang berbeda yang tercermin dari semangat yang menjiwai para pedagang di dua kota itu. Osaka merupakan pusat perdagangan besar Jepang. Produk-produk dari berbagai propinsi—beras, minyak, katun, sake, obat-obatan, dan sebagainya—beredar melalui rumah-rumah dagang kota ini. Osaka memang "dapur negeri". Kyoto merupakan pusat kerajinan tangan kualitas tinggi dan produk-produknya dijual di seluruh Jepang. Para pedagang wilayah Kyoto-Osaka dikenal karena cara hidupnya yang rapi, mantap dan jujur yang berlawanan dengan para pedagang Edo.(15)
Perbedaan di bidang ekonomi dari dua wilayah itu sangat nyata dan jika perbedaan umum masyarakatnya dapat dianggap mencerminkan perbedaan nyata dalam tingkah laku, maka dapatlah dinyatakan bahwa Kyoto-Osaka merupakan wilayah yang lebih mendukung berkembangnya gerakan seperti Shingaku daripada Edo.
Walaupun sebagaimana dikemukakan kondisi obyektif jaman itu dan lokalitas yang ada cenderung mendukung perkembangan gerakan religius yang menekankan kesalehan yang tinggi dan kesusilaan yang ketat, bukan berarti bahwa Baigan tidak menjumpai kesulitan apa pun. Bagi banyak orang tindakan seorang banto rumah pedagang yang tiba-tiba menganggap dirinya filsuf dan mulai memberikan ceramah kepada semua orang sangatlah menggelikan. Apalagi Baigan adalah murid dari guru yang tidak dikenal, bukan juga anggota dari aliran atau sekte besar. Dia bukan pendeta, bukan pula orang yang kaya atau mempunyai jabatan. Dia dengan rendah hati menyatakan dirinya bodoh dan miskin dan banyak orang yang memang menganggap dia begitu. Dia sendiri mengatakan kepada kita pada bagian awal bukunya, Eikaron, bahwa banyak orang mengritik dia, sebagian lain memuji di depan tetapi menertawakannya di belakang, banyak lainnya mengatakan bahwa orang yang tidak terpelajar seperti dia tidak patut mengajar orang lain. Selain itu, dia juga mengatakan kepada kita bahwa banyak orang mengatakan bahwa dia tidak menyusun bahan ceramahnya sendiri tetapi hanya mengulang apa yang dia dengar dari kuliah yang diikutinya sebelumnya tanpa paham apa yang didengarnya.(16) Kita bahkan bisa merasakan sarkasme dari penulis modern Watsuji Tetsuro yang ketika menyinggung Baigan menyebutnya sebagai seorang banto dengan pakaian pelayan toko yang percaya bahwa dirinya telah berhasil memahami hakikat langsung dari pengalaman sendiri.(17) Dunia banyak memandang dia sebagai orang gila, bidaah dan bebal, atau melecehkannya sebagai orang tanpa guna dan tanpa pengikut.
Semua kesulitan dan penghinaan itu tidak membuat Baigan goyah. Dengan sama sekali tidak mengharapkan kemasyhuran atau kekayaan dia bertahan terus mengajarkan Jalan, andaipun dia harus melakukannya di sudut jalan. Secara perlahan, sebagaimana telah dikemukakan, dia mulai mendapatkan pendengar dan menarik pengikut tetapi jelas, kalau dia tidak gigih bertahan menghadapi cobaan pada masa-masa awal, dia akan hancur. Dia menawarkan doktrin yang, sebagaimana akan kita lihat nanti di bagian berikut, pas dan menarik bagi kelas-kelas perkotaan pada masanya. Tetapi tanpa usahanya yang tak kenal putus asa mungkin orang tidak akan pernah mengenal doktrinnya itu. Keberhasilannya bukanlah kemenangan yang mudah tetapi merupakan perjuangan yang maha sulit, dan kita menghargai ketabahannya menghadapi semua itu.
Sebaliknya, sulit untuk menyebut hidupnya tragis atau heroik. Dia menghindari politik dan tidak pernah menyulut kemarahan bakufu seperti yang dilakukan oleh, misalnya, Yamaga Soko atau Kumazawa Banzan, yang keduanya dibuang pada tahun-tahun akhir hidup mereka. Walaupun pada awalnya mendapatkan perlakuan tidak enak, dia tidak pernah mengalami penganiayaan yang kejam yang merupakan nasib banyak pendiri gerakan religius. Hidupnya dipulas dengan warna yang lembut, sama sekali tidak ada goresan warna keras. Tetapi jika orang mau melihat dengan lebih mendalam banyak sekali hal yang menimbulkan rasa hormat dan tidak sedikit yang bisa dikagumi darinya.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(1) Sumber utama uraian tentang kehidupan Ishida Baigan adalah Ishida Sensei Jiseki, memoir tentang Ishida yang ditulis oleh murid-muridnya dan diterjemahkan sebagai lampiran dalam buku ini. Beberapa informasi tambahan diambil dari Kachibe, "Sekimon Shingaku Shiron".
(2) Ishida Sensei Jiseki, dalam Shingaku Sosho, vol. 6, hlm. 292. Selanjutnya akan disebut jiseki dan SGSS.
(3) Ibid., hlm. 292
(4) Toimondo, SGSS, vol. 3, hlm. 169
(5) Jiseki, SGSS, vol. 6, hlm. 294
(6) Ibid., hlm. 295
(7) Ibid., hlm. 316
(8) Ibid., hlm. 307-308
(9) Analects, II, 4. Waley, The Analects of Confucius, hlm. 88
(10) Jiseki, SGSS, vol. 6, hlm. 314
(11) Ibid., hlm. 302-303
(12) The Diagram of the Supreme Ultimate Explained (Jepang, Taikyoku Zusetsu; Cina, T'ai-ch'i T'u-shuo) ditulis oleh Chou Tun-yi (1071-73), salah satu dari para penganut neo-Konfusian awal. Kinshiroku (Cina, Chin Shih Lu) dan Small Learning (Jepang, Kogaku; Cina, Hsiao Hsueh) adalah buku-buku pelajaran yang ditulis oleh Chu Hsi sendiri dan sangat populer di Jepang. Seiri Jigi (Cina, Shing-li Tzu-i) oleh Ch'en Ch'un (1151-1216), seorang pengikut Chu Hsi, adalah sebuah glosari istilah filsafat.
(13) Warongo adalah buku Shinto yang disusun pada abad 17. Tsurezuregusa adalah bunga rampai yang ditulis oleh seorang rahib Budha, Yoshida no Kaneyoshi (1283-1350).
(14) Tentang pembahasan mengenai kondisi masa itu dan hubungannya dengan kelas pedagang, lihat Hasegawa, "Chonin Seikatsu to Shingaku Shiso", hlm. 37-44
(15) Mengenai kontras antara Edo dan Kyoto - Osaka, lihat Hasegawa, op. cit., hlm. 13-18
(16) Seikaron, SGSS, vol. 1, hlm. 135-136
(17) Watsuji, op. cit., hlm. 325
Comments
Post a Comment