Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...
2. Bushido
Bushido, Jalan Prajurit, sangatlah penting bagi setiap upaya mempelajari nilai-nilai dan etika masa Tokugawa atau masa Jepang modern. Ini disebabkan karena bushi atau samurai merangkum atau dianggap merangkum nilai-nilai dasar orang Jepang, dan juga karena baik pada masa Tokugawa maupun jaman moden etika Bushido atau paling tidak sebagian besar darinya telah menjadi etika nasional. Kawakami Tasuke belum lama ini menulis bahwa
...Bushido yang pada awalnya berkembang dari kebutuhan-kebutuhan praktis para prajurit, selanjutnya dipopulerkan oleh ide-ide moral Konfusius tidak hanya sebagai moralitas kelas prajurit tetapi juga sebagai landasan moral nasional.(4)
Kelas samurai secara sangat sadar dipandang sebagai perwujudan dan penjaga moralitas. Tokugawa Mitsukuni (1628-1700), pangeran ketiga dari Mito, menulis dalam perintah untuk para pengikutnya,
Jadi, apa kegunaan dari shi, atau kelas samurai? Satu-satunya tugasnya adalah menjaga, atau mempertahankan, giri. Orang dari kelas-kelas yang lain berurusan dengan hal-hal nyata, sedangkan samurai berurusan dengan hal-hal yang tidak terlihat, tidak berwarna, tidak wadag...jika tidak ada samurai, kebenaran (giri) akan musnah dari masyarakat manusia, rasa malu akan hilang, dan kesalahan serta ketidakadilan akan merajalela.(5)
Istilah Bushido yang digunakan untuk menggambarkan etika status kelas samurai mencakup sejumlah pandangan yang luas dari rentang waktu yang panjang. Tingkah laku yang umum berlaku berkisar mulai dari kekhawatiran yang hampir-hampir mistis akan kematian sampai pada kepedulian terhadap pemenuhan kewajiban dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari pandangan yang sangat militeristik sampai yang sangat sipil, dari kaitan yang erat dengan Budhisme Zen sampai kaitan yang erat dengan neo-Konfusianisme. Pada masing-masing hal tersebut kecenderungan pertama pada umumnya berasal dari masa yang lebih dahulu dan yang kedua menjadi makin berpengaruh pada Era Tokugawa. Tetapi, generalisasi semacam ini tidak bisa berlaku untuk semua. Sejak awal Konfusianisme telah berpengaruh; militerisme dan perhatian serius akan kematian tetap menjadi hal yang penting pada masa modern.
Pada bagian menjelang akhir dari bab tiga, dalam pembahasan tentang "religi kesetiaan" telah dikutip suatu peristiwa untuk menunjukkan bahwa tanggung jawab seseorang terhadap tuannya juga mengandung nilai religius dan mengatasi pertimbangan-pertimbangan religius lainnya. Aspek inti dari bentuk paling intens dari Bushido dengan baik digambarkan dalam petikan dari Hagakure berikut ini, satu lambang patriotisme Bushido yang disusun pada awal abad 18 di kadipaten Nabeshima, provinsi Hizen, di Kyushu:
Di manapun kita berada, jauh di ceruk gunung atau terkubur dalam di bawah tanah, kapan saja atau di mana saja, kewajiban kita adalah menjaga kepentingan Pangeran kita. Ini adalah kewajiban setiap laki-laki Nabeshima. Ini adalah tulang punggung kepercayaan kita, tak akan pernah berubah dan selamanya benar.
Tidak pernah dalam hidupku aku menempatkan pikiranku sendiri di atas pikiran Pangeran dan junjunganku. Dan aku tidak akan pernah melakukannya di sepanjang hari dalam hidupku. Bahkan kalau aku mati aku akan kembali hidup tujuh kali untuk menjaga rumah tinggal Pangeranku.
Kita telah bersumpah untuk melakukan empat hal: yaitu
(1) Kita tidak akan kalah dibandingkan dengan siapa pun dalam pelaksanaan kewajiban kita.
(2) Kita akan membuat diri kita berguna bagi Pangeran kita.
(3) Kita akan patuh kepada orang tua kita.
(4) Kita akan mencapai kejayaan dalam derma.(6)
Dinyatakan bahwa, "Bushido berarti keinginan kuat untuk mati", dan kutipan berikut dari Hagakure membantu menjelaskan perhatian yang dalam terhadap kematian ini:
Setiap pagi bulatkanlah pikiranmu tentang bagaimana cara kamu mati. Setiap sore segarkanlah pikiranmu dengan pikiran mengenai kematian. Dan biarkan itu terjadi tanpa akhir.
Dengan demikian pikiranmu akan siap. Jika pikiranmu selalu terpaku pada kematian, jalanmu sepanjang kehidupanmu; dan perisaimu akan tidak berkarat. Jika kamu bisa melihat jalanmu dengan lurus, dengan mata terbuka dan terbebas dari pikiran-pikiran yang mengganggu, tidak akan ada kemungkinan kamu terpleset membuat kesalahan. Keberhasilanmu melaksanakan kewajiban akan tanpa cela dan namamu akan tanpa noda.(7)
Saya telah sepenuhnya mantap: Bushido, jalan para prajurit, berarti kematian.(8)
Sudah barang tentu ekspresi yang sangat intens ini harus dikaitkan secara erat dengan orientasi-orientasi dasar religius sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya. Latar belakang dari sikap pengabdian yang dalam terhadap atasan ini banyak berasal dari rasa terima kasih yang besar:
Jika kamu menyadari betapa telah sekian generasi keluargamu mengabdi dalam rumah tangga pangeran: jika kamu ingat bagaimana mereka yang telah mendahuluimu telah mengabdi, dan bagaimana mereka yang akan datang mengabdi; kamu akan dipenuhi oleh rasa syukur yang dalam. Bagimu, hendaknya tidak ada pikiran lain kecuali mengabdi kepada dia yang berhak menerima rasa syukurmu.(9)
Sikap terhadap kematian sangat erat berkaitan dengan kondisi mistis di mana orang mengatasi kehidupan dan kematian. Dengan bertekad untuk mati, kematian tidak akan menyakitkan. Keakuan dihilangkan. Sikap-sikap semacam ini berkaitan dengan minat para samurai yang besar terhadap Budhisme Zen. Sebagai misalnya, Takeda Shingen (1521-1573), salah satu prajurit utama dari abad 16, memperingatkan para pengikutnya untuk mempraktekkan Zen dengan baik dan menyitir untuk mereka ungkapan seperti, "Tiada rahasia dalam praktek-praktek Zen, kecuali berdiri diambang kehidupan dan kematian".(10) Buku pegangan Bushido lainnya, Budo Shoshinshu yang disusun pada abad 17, memberikan gambaran lebih banyak kepada kita tentang keterpakuan samurai kepada kematian:
...seseorang yang hidup panjang di dunia ini boleh jadi mengembangkan segala jenis keinginan, dan ketamakannya boleh jadi meningkat, sehingga dia menginginkan milik orang lain dan tidak bisa berpisah dengan miliknya, seperti pedagang saja. Tetapi kalau dia selalu merindukan kematian, dia akan bisa mengambil jarak dari benda dan tidak akan menunjukkan sifat tamak, dan akan menjadi, seperti telah saya katakan, seorang pribadi yang baik. Dan berbicara mengenai meditasi tentang kematian, Yoshida Kenko mengatakan dalam Tsurezureguza dari para pendeta Shinkai bahwa dia biasa duduk seharian memikirkan hari kematiannya; memang ini merupakan sikap yang sangat sesuai bagi seorang petapa tetapi sama sekali tidak sesuai bagi seorang prajurit. Karena dengan begitu dia akan melalaikan kewajiban militernya dan jalan kesetiaan serta ketaatan kepada orang tua, padahal dia harus selalu sibuk melaksanakan kegiatan-kegiatan umum dan pribadinya. Tetapi setiap kali dia mempunyai sedikit waktu untuk dirinya sendiri dan bisa menyendiri dia harus selalu kembali kepada masalah kematian ini dan dengan hati-hati membayangkannya.(11)
Di sini kita lihat bahwa meditasi tentang kematian bertujuan untuk membersihkan diri dari nafsu dan ketamakan, dalam istilah agamanya, untuk menemukan diri yang sejati. Karena khawatir orang salah mengerti dia, penulis buku pegangan ini menjelaskan secara panjang lebar bahwa dia tidak setuju dengan meditasi yang mengorbankan tindakan etika. Hal yang terakhir ini, yang juga ditekankan dalam semua religi besar, juga dianggap paling tinggi di sini.
Mengalami kematian ketika sedang mengabdi pada pangeran dianggap sebagai akhir yang paling layak bagi seorang samurai. Dan memang kematian semacam ini mempunyai arti "penyelamatan" dalam pengertian religius:
Sebagaimana juga Singgasana Kekaisaran yang tak berakhir sejak awal, maka kitapun harus menanamkan dengan dalam pikiran ini, bahwa kesetiaan kita harus tanpa akhir. Menurut sabda dari Ama-no-oshiki-no-mikoto, "Dia yang mati membela pangerannya tidak mati sia-sia, walaupun dia dihanyutkan ke laut atau mayatnya dikuburkan dalam liang kubur yang berair, atau sekalipun dibawa ke gunung dan selubung yang membungkus badannya hanyalah rumput gunung". Inilah jalan kesetiaan.(12)
Setelah menguraikan landasan religius dari etika samurai yang sangat erat berkaitan dengan orientasi-orientasi religius yang dipaparkan di Bab III, sekarang marilah kita melanjutkan pembahasan mengenai kualitas moral yang berasal dari dan dirasionalisasikan oleh orientasi religius ini.
Yang muncul pertama dalam daftar kualitas etis tidak pelak lagi pasti kesetiaan, tetapi terkait erat dengannya adalah ketaatan kepada orang tua. Mitsukuni-sama berkata,
Setiap orang menyadari bahwa orang yang tidak tahu membalas budi kepada orang tuanya juga akan abai terhadap kepentingan pangerannya, bahkan terhadap kemanusiaan, dan jelas dia bukan samurai yang hormat.(13)
Pendidikan kepada anak-anak mengenai kepatuhan kepada orang tua adalah sedemikian sehingga ketika dia dewasa dia akan memegang kesetiaan. Kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua sangat erat berkaitan, satu hampir disamakan dengan lainnya:
Dan seorang samurai yang mempunyai semangat ini (kepatuhan kepada orang tua) jika dia mengabdi kepada seorang pangeran dia akan memahami sepenuhnya Jalan Kesetiaan dan akan menunjukkannya tidak hanya ketika tuannya sedang makmur tetapi juga ketika dia ditimpa kemalangan, dan tidak akan pergi dari sisinya ketika seratus tukang kudanya berkurang menjadi tinggal sepuluh dan dari sepuluh menjadi satu, dia akan membelanya sampai akhir, tidak mengkhawatirkan nyawanya dalam melaksanakan kesetiaan seorang prajurit. Maka walaupun istilah "orang tua" dan "pangeran", "sikap patuh kepada orang tua" dan "kesetiaan" berbeda, semua itu tidak berbeda arti. Pepatah tua mengatakan, "Carilah seorang abdi yang setia di antara mereka yang patuh kepada orang tua", dan sangatlah masuk akal untuk beranggapan bahwa seorang yang tidak patuh kepada orang tuanya tidak akan setia pula kepada tuannya.(14)
Perintah untuk bersikap lurus dan memenuhi kewajiban, ditambah dengan ketaatan mutlak sering kali ditekankan. Sikap mulia ini jika diamati menampakkan bentuknya dalam berbagai tindakan dan sikap kepatuhan dan kesetiaan, karena itu mungkin tidak perlu lagi dibahas secara khusus. Perlu diperhatikan bahwa seorang anak laki-laki seorang hamba berkewajiban untuk mengingatkan ayah atau tuannya jika dirasa mereka salah, tetapi dia sama sekali tidak boleh menentang atau tidak mematuhi mereka, dan harus dengan suka rela menerima kematian yang tidak adil jika memang mereka menghendaki demikian.
Keutamaan jin (bahasa Cina, jen, artinya kemurahan, kemanusiaan, cinta, dsb.) sering kali dipujikan tetapi hampir jelas implikasinya. Di satu ekstrem nampaknya hampir mendekati belarasa seorang Budhis atas segala makhluk. Di ekstrem yang lain dia berarti sikap hormat, atau kesopanan, sekedar kewajiban umum untuk bertenggang rasa. Mungkin arti yang terakhir ini yang biasanya digunakan dalam Bushido.
Sesuatu yang selaras dengan pengabdian tanpa pamrih, yang kita ketahui merupakan kewajiban tertinggi, dan pelaksanaan akhir kewajiban seorang sebagai samurai, adalah suatu gaya hidup yang nyaris asketis. Akibatnya samurai diharuskan untuk hidup secara sederhana, menahan diri, dan ugahari. Kutipan dari Hagakure berikut dapat terus ditambah:
Hematlah dengan kata-kata. Jika kamu memerlukan sepuluh kata, gunakanlah satu saja.(15)Jika kamu meninggalkan tempat pesta ria, pergilah ketika kamu masih ingin tinggal. Jika kamu merasa kamu sudah puas, kamu sudah mendapatkan lebih dari cukup. Cukup itu berlebihan. Jangan mengenyangkan diri sendiri.(16)
Mitsukuni-sama menasehati para pengikutnya untuk hidup sederhana dan tidak berlagak; hindari omongan cabul dalam jamuan-jamuan makan; sederhanalah dalam menjamu; gunakan pakaian dan perlengkapan militer yang sederhana dan praktis; jangan berlebihan dalam makanan, pakaian dan tempat tinggal, gunakan yang perlu saja; bersikap hematlah dalam pengeluaran tetapi tetap bantulah sanak keluarga dan teman yang sedang kesusahan.(17)
Takeda Shingen memberi nasehat agar cita rasa jangan terlalu dimanjakan; omong kosong dan gosip harus dihindari; kewajiban sehari-hari tidak boleh dilalaikan; sikap hati-hati dalam bicara harus selalu dipegang walaupun antara teman-teman dekat; jangan berhubungan dengan orang yang buruk laku; setiap hal harus dilakukan dengan hati-hati(18)
Yamaka Soko dalam buku panduannya untuk samurai (Bukyo Shogaku) mengatakan bahwa samurai harus bangun pagi dan tidur awal; menggunakan hanya kata-kata yang benar dan tidak melibatkan diri dalam tindakan-tindakan yang tidak karuan; jangan "...malu makan dan berpakaian sederhana, jangan pula... memimpikan hidup yang nyaman";(19) selalu bersibuklah walaupun sedang tidak mempunyai pekerjaan; selalu bersikap pantas dan waspadalah dalam setiap situasi; dan jangan membelanjakan lebih dari pendapatan.(20)
Berikut adalah satu kutipan dari resolusi Muro Kyuso, seorang Konfusian terkenal:
Saya akan bangun jam enam setiap pagi dan tidur jam dua belas setiap malam. Kecuali jika ada tamu, sakit atau hal-hal lain yang tak terhindarkan, saya tidak akan bermalas-malas. Jika saya merasa ada godaan untuk malas, saya akan memanggil ruh baik saya untuk mengusir ruh jahat saya. Saya akan menghindari omong kosong walaupun dengan mereka yang lebih rendah. Saya akan ugahari dalam hal makan dan minum, hanya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus saja. Saya akan makan pada jam-jam yang pasti.(21)
Dua hal yang nampaknya paling penting dalam cara hidup yang cenderung asketis ini yaitu, sikap ugahari dan rajin. Ugahari atau sikap hemat adalah kewajiban untuk mengurangi konsumsi individual sampai seminimum mungkin dan sikap rajin adalah kewajiban untuk meningkatkan sumbangan seseorang dalam pengabdiannya kepada pangeran secara maksimum. Yoshida Shoin menyatakan, "Ketika saya dengan takzim melihat kepada orang tua dan paman saya, saya melihat betapa tingkah laku mereka didasarkan kepada sikap rajin, hemat dan kesetiaan".(22) Rajin dan hemat memang berkait erat dengan kesetiaan.
Berikut adalah pidato yang menarik tentang sikap hemat dan peraturan rumah tangga (kakun) samurai Ise Teijo. Kata "keuntungan" (profit) hendaknya dipahami sesuai konteks pembicaraan. (Pengertian dari kata ini lebih dekat kepada "manfaat", pent.)
Sepanjang perjalanan hidupnya orang mesti membelanjakan uang emas dan perak, uang kepeng atau beras. Jika dalam membelanjakan itu dia tidak mengerti apa arti hemat, akan terjadi pemborosan dan keluarganya akan menjadi miskin. Untuk bisa hemat, orang harus menghindari pembelanjaan uang yang terlalu banyak sekaligus tanpa guna, sedangkan jika ada kegunaannya, bolehlah dia mengeluarkan seribu keping uang emas. Menghindari pembelanjaan yang tanpa guna adalah agar pembelanjaan yang dilakukan menghasilkan keuntungan. Pengeluaran yang tanpa guna diakibatkan oleh kegemaran akan terlalu banyak makanan lezat, kecintaan akan pakaian bagus, membangun rumah tinggal yang indah, membolehkan istri atau gundik dan bermewah-mewah, membiarkan terbuai oleh nafsu seksual atau hiburan dan kemewahan-kemewahan semacam itu. Pengeluaran yang berguna mencakup di antaranya semua keperluan yang dibutuhkan oleh seseorang dalam mengabdi kepada pangerannya, membayar pajak-pajak pemerintah, membantu orang tua, saudara, istri dan anak, mengupah bawahan, memenuhi kewajiban sosial, keperluan komunikasi dan korespondensi, membetulkan rumah, keperluan-keperluan mendesak, dan semacamnya.(23)
Di sini terlihat bahwa pengeluaran yang "tidak berguna" adalah yang dipakai untuk konsumsi pribadi melebihi yang perlu untuk hidup wajar dan pengeluaran yang "berguna" adalah yang digunakan untuk memenuhi kewajiban seseorang kepada tuannya dan kepada keluarganya, atau "diperlukan" supaya orang dapat memenuhi semua kewajiban itu.
Sikap rajin dalam melaksanakan kewajiban dinilai sangat tinggi sebagaimana dicerminkan dalam arti dasar eksistensi samurai. Muro Kyuso mengatakan,
Jika orang hidup satu hari hendaknya melaksanakan kewajibannya sehari itu kemudian mati; jika dia hidup sebulan hendaknya dia melaksanakan kewajibannya sebulan itu dan mati; jika dia hidup setahun hendaknya dia melaksanakan kewajibannya setahun itu dan kemudian mati.(24)
Dan Yoshida Shoin:
Istirahat itu setelah mati. Ini suatu motto, pendek tetapi sarat dengan arti. Ketekunan, kemauan keras. Tidak ada jalan lain.(25)
Masih ada lagi satu ciri etika samurai yang perlu kita lihat sebelum kita menutup pembahasan ini yaitu, penghargaan yang sangat tinggi terhadap pencarian ilmu (gakumon). Hampir semua samurai terpelajar dan pernah membaca paling tidak beberapa buku klasik Konfusian. Tetapi belajar bukanlah untuk tujuan belajar itu sendiri. Tujuannya adalah pengembangan diri dan untuk menguasai orang lain. Pengetahuan dan tindakan bernilai sama. Penerapan dari apa yang diketahui dan hasilnya bukanlah dua hal tetapi satu.(26) Mitsukuni mengatakan bahwa belajar bukanlah berarti membaca buku untuk keperluan rekreasi, tetapi "...Jalan yang harus kita tapaki, atau prinsip yang harus kita gunakan untuk memimpin tingkah laku keseharian kita".(27)
Budo Shoshinshu memberikan gambaran ringkas yang bagus tentang samurai yang gagah berani:
Dia yang terlahir gagah berani akan setia dan mentaati tuannya dan orang tuanya, dan jika dia mempunyai waktu luang dia akan menggunakannya untuk belajar, tanpa melalaikan latihan seni bela diri. Dia akan selalu waspada untuk tidak bermalas-malas dan sangat berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Jika kamu menganggap ini sebagai sikap kikir yang menjijikkan kamu salah kira karena dia tidak akan keberatan membelanjakan uangnya jika memang diperlukan. Dia tidak pernah melakukan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan tuannya, atau yang tidak disukai orang tuanya walaupun dia sangat ingin. Maka dengan selalu taat kepada tuan dan orang tuanya dia menjaga hidupnya agar nantinya dapat mencapai prestasi yang tinggi, membatasi makan dan minum dan menghindari pengumbaran nafsu seks yang merupakan tipuan terbesar bagi umat manusia, supaya mereka dapat memelihara kesehatan dan kekuatannya. Bagi semua hal ini diperlukan kontrol diri yang merupakan awal dari keperkasaan.(28)
Selain tuntunan-tuntunan di atas, menarik kiranya untuk kita lihat tuntunan yang ditujukan kepada samurai perempuan yang mempunyai banyak persamaan dengan norma-norma Bushido bagi laki-laki. Dan ini adalah bushido untuk perempuan. Kutipan berikut berasal dari Onna Daigaku tulisan Kaibara Ekiken (1630-1714) yang merupakan karya standar untuk dipakai bagi pendidikan wanita.
Seorang wanita harus selalu waspada dan menjaga segala tindak tanduknya. Pada pagi hari ia harus selalu bangun awal dan pada malam hari harus tidur akhir. Pada siang hari hendaknya ia tidak tidur siang, tetapi membereskan pekerjaan rumah tangga, dan harus telaten tanpa lelah menenun, menjahit, dan memintal benang. Jangan ia minum terlalu banyak teh dan anggur; mata serta telinganya juga jangan terlalu banyak disuguhi dengan pertunjukan teater, lagu-lagu, dan balada-balada...Sebagai istri ia harus mengurus rumah tangga suaminya dengan baik. Jika seorang istri bersifat buruk dan jangak, rumah tangga akan hancur. Ia harus menghindari sikap bermewah-mewah dalam segala hal, dan dalam hal makanan serta pakaian ia tidak boleh lupa siapa dirinya, jangan pernah bermewah-mewah dan menyombong.(29)
Sebagaimana kenyataan bahwa samurai menaati norma-norma yang ditetapkan oleh kutipan-kutipan di atas, norma-norma itu pada kenyataannya merupakan sistem nilai yang sentral bagi orang Jepang. Militer merupakan satu aspek yang dianggap sangat penting. Mengabdikan diri dalam militer merupakan profesi paling tepat melambangkan perwujudan nilai-nilai yang berorientasi kepada pencapaian tujuan. Pengabdian semacam ini melambangkan pengabdian yang tanpa pamrih kepada kolektivitas dan pimpinannya, bahkan jika perlu dengan mengorbankan nyawa. Kematian dalam konteks militer memang dikaitkan dengan pengabdian semacam ini. Sekali lagi aspek prestasi dari prinsip-prinsip pencapaian tujuan dengan baik dilambangkan oleh pemecahan masalah secara heroik, pelaksanaan "tugas dengan pengabdian total" yang merupakan inti kehidupan seorang ksatria. Dalam hal ini, karena arti simboliknya yang penting bagi sistem nilai sentral masyarakat Jepanglah maka saya rasa militer mendapat tempat sangat tinggi di Jepang bahkan setelah perdamaian berhasil terwujud sejak dua ratus lima puluh tahun lalu. Tentu saja banyak samurai pada Era Tokugawa yang gagal memenuhi tuntutan norma-norma ideal yang ditetapkan untuk mereka. Tetapi contoh yang berhasil tidaklah kurang dan mereka yang gagal tidak pernah bisa mengajukan norma-norma alternatif. Jelaslah bahwa para pemimpin Restorasi sangat kuat dipengaruhi oleh "semangat samurai", dan keberhasilan mereka menjaga kesetiaan dan ketaatan seluruh bangsa tanpa perlawanan yang berarti banyak ditentukan oleh kenyataan bahwa mereka mewujudkan nilai-nilai ideal bukan hanya dari kaum samurai tetapi seluruh masyarakat Jepang.
Walaupun samurai memang dapat dikatakan sebagai yang terbaik dalam mewujudkan norma-norma ideal, pada kenyataannya norma-norma itu tidak terbatas hanya berlaku di kalangan mereka saja. Dikatakan bahwa, kelas pedagang misalnya, juga telah terbushidokan. Hal ini akan terbukti nanti ketika kita membahas tentang gerakan Shingaku pada bab yang akan datang. Dan pada kenyataannya bukan hanya kelas pedagang saja yang mengalami hal itu. Pada dasarnya semua bukti yang ada tentang sekte-sekte rakyat dan gerakan-gerakan etika menunjukkan bahwa mereka mengajarkan etika yang sama dengan etika Bushido. Semuanya menekankan kesetiaan dan ketaatan kepada orang tua, sikap patuh dan lurus, hemat dan rajin. Semua menuntut pengabdian tanpa pamrih kepada atasan, pembatasan konsumsi sampai garis minimal, dan pelaksanaan tugas dan kewajiban sehari-hari sebaik dan sesempurna mungkin. Semuanya berprinsip sama dengan Bushido, menjadi "aktivis secara etis" dan "asketis duniawi". Etika semacam ini jelas memperkuat kecenderungan rasionalisasi politik di semua kelas dan, yang paling menarik untuk studi ini, juga mendorong rasionalisasi ekonomi. Ini akan dibicarakan pada bab berikut. Selanjutnya bab ini akan kita tutup dengan pembahasan tentang kecenderungan-kecenderungan tertentu ke arah rasionalisasi politik yang merambah seluruh wilayah dan batas yang ada, dan secara langsung mengarah kepada penyatuan Jepang di bawah kaisar sebagai suatu negara modern. Di sini kita tetap masih akan mendapati bahwa motivasi religius merupakan aspek yang terpenting.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(4) Kawakami, "Bushido in Its Formative Period", hlm.83
(5) Clement, "Instructions of a Mito Prince to his Reatainers", hlm. 135
(6) Iwado, Hagakure Bushido or the book of the Warrior, hlm. 37
(7) Ibid,. hlm. 38-39
(8) Ibid,. hlm. 8
(9) Ibid,. hlm. 55
(10) Sakai, "The Memoirs of Takeda Shingen and the Kaino Guritsu", hlm. 99
(11) Sadler, The Beginner's Book of Bushido, hlm. 5. Selanjutnya disebut Bushido.
(12) Coleman, "Life of Yoshida Shoin", jlm. 158-159. Kutipan dari Shoin.
(13) Clement, op. cit., hlm. 130
(14) Sadler, Bushido, hlm. 9
(15) Iwado, op. cit., hlm. 44
(16) Ibid., hlm. 45
(17) Clement, op. cit.
(18) Sakai, op. cit.
(19) Van Straelen, Yoshida Shoin, hlm. 94
(20) Koyama, "Yamaga Soko and his Bukyo Shogaku"
(21) Amstrong, Light from the East, hlm. 74
(22) Coleman, op. cit., hlm. 185
(23) Hall, J.C., op. cit., hlm. 146
(24) Amstrong, Light from the East, hlm. 74
(25) Van Straelen, op. cit., hlm. 84
(26) Nishi, Toyo Rinri, hlm. 12-13
(27) Clement, op. cit., hlm. 119
(28) Sadler, Bushido, hlm. 20-21
(29) Takaishi, Women and wisdom of Japan, hlm. 40-41
Comments
Post a Comment