Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Jenis-jenis Kegiatan Religius Utama

Jenis-jenis Kegiatan Religius Utama


3. Jenis-jenis Kegiatan Religius Utama


Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kegiatan religius yang secara umum bersifat magis tetap berperan penting di seluruh Jepang. Tidak ada gerakan religi yang dapat mematahkannya seperti yang dilakukan oleh Protestantisme di negara-negara Barat, walaupun Jodo Shinshu telah bergerak jauh ke arah itu. Walaupun tidak pernah bisa sepenuhnya dipatahkan, kegiatan religius semacam ini sering kali dapat dilemahkan oleh kegiatan religius yang lebih rasional. Dalam pembahasan ini keragaman magi ini tidak akan dibicarakan lebih jauh, walaupun dalam keseluruhan bahasan ini perlu tetap diingat bahwa dia tidak sepenuhnya hilang. Sebaliknya, fokus akan ditekankan dengan dua kategori konsep ketuhanan sebagaimana telah diuraikan di atas.

Kegiatan yang berkaitan dengan dewa sebagai unsur mahatinggi yang mulia membawa kita kepada teori on. Tuhan dalam beberapa bentuknya memberikan berkah (on) dan merupakan kewajiban penerimanya untuk membalas berkah tersebut (hoon). Dengan demikian, kegiatan religius merupakan beragam bentuk dari hoon ini.

Istilah hoon besar kemungkinan berasal dari Budhisme. Istilah ini baru muncul dalam literatur Cina pada Masa Dinasti Keenam, ketika Budhisme telah populer. Istilah on terdapat dalam Mencius dan Li Chi beberapa kali, dan satu istilah yang mirip dengan hoon, yaitu hotoku, terdapat dalam Analects, dalam Li Chi, dan di beberapa tempat lain. Tetapi nampaknya hoon juga berasal dari istilah Budha yang mencerminkan satu aspek penting dari etika Budha yang mencerminkan satu aspek penting dari etika Budha awal, yaitu penekanan pada rasa berhutang budi atau membalas kebaikan. Anguttara Nikaya, karya Budhis awal, mengutip Budha yang mengatakan, "Orang yang jahat adalah orang yang tidak tahu berterima kasih dan yang tidak mengingat kebaikan yang dilakukan orang untuknya."(18)

Kutipan lain dari Anguttara cukup menarik karena menunjukkan hubungan awal dari teori on dengan ketaatan kepada orang tua dan karena di situ dinyatakan bahwa on tidak akan pernah bisa sepenuhnya terbayar:

     Kita mungkin bisa menggendong ibu kita di satu pundak, dan ayah kita di pundak yang lain, dan mengurus mereka bahkan selama seratus tahun, melayani mereka secara fisik dengan segala cara, dan menempatkan mereka di posisi yang mulia: tetap saja kasih sayang yang telah kita terima dari orang tua kita masih jauh dari terbalas.(19)

Dalam Mahayana-mulajata-hridayabhumi-dhyana-sutra (Nanjo 955) Budha digambarkan mengajarkan empat macam hutang yang dipunyai umat Budha: kepada orang tua, sesama manusia, raja, dan tiga pusaka suci Budhisme (hukum, agama, dan Budha).

Teori on dan hoon terdapat kuat dalam Budhisme Jepang, terutama dalam sekte-sekte besar "pembaharu" pada abad 12 dan 13. Mulai dari Zen, pada abad ke 13 pendiri cabang Soto sekte tersebut, dalam satu karya tulisan tangan menulis untuk murid-muridnya:

     Kalau sekarang kita dapat melihat Kebijaksanaan dan mendengar hukum, itu adalah karena kemurahan yang datang kepada kita karena kita mengikuti tindakan-tindakan para pendiri agama terdahulu. Jika para pendahulu kita itu tidak menurunkannya, mana mungkin semua itu akan sampai ke masa kita? Kita harus berterima kasih atas kebaikan mereka, yang telah memberi kita pepatah atau hukum. Karena itu kita harus lebih berterima kasih lagi kepada kemurahan yang besar dari Yang Maha Hukum. Burung gereja yang sakit tidak pernah melupakan kebajikan: gelang-gelang Tiga Menteri utama adalah pertanda yang jelas. Kura-kura yang gelisah tidak pernah melupakan kebajikan: segel Yofu adalah pertanda yang jelas. Bahkan binatang dapat menunjukkan rasa terima kasihnya. Bagaimana mungkin kita manusia tidak merasakannya?(20)

Nichiren dalam bukunya "Membalas Hutang Budi "menyatakan bahwa aspek paling penting dalam etika, yaitu, makna kehidupan, mencakup membalas hutang budi atau kemurahan hati, dan dia sepenuhnya percaya bahwa tatanan sejati masyarakat manusia akan dilahirkan darinya."(21) Dalam karya besarnya Kaimokusho Nichiren menyitir dengan sikap sangat mendukung bagian berikut dari Saddharmapundarika-sutra:

     Kita sangat berhutang budi kepada Sakyamuni. Dia mencintai kita dan mengajar kita dan melimpahkan kehormatan kepada kita. Kita tidak akan bisa membalas jasa yang diberikannya kepada kita bahkan andaipun kita berusaha melakukannya selama ribuan tahun. Bahkan jika kita menyajikan persembahan kepadanya dengan kedua tangan dan kaki kita dan memujanya dengan kepala tunduk, kita tidak akan bisa membalas kasihnya kepada kita. Bahkan jika kita meletakkan kakinya di atas telapak tangan kita dan memanggul dia di atas pundak kita sepanjang tahun yang jumlahnya sebanyak jumlah pasir sungai Gangga, atau menghormati dia dengan sepenuh hati kita, atau mempersembahkan ambrosia (makanan persembahan untuk dewa-dewa) atau pakaian yang yang disulam emas dalam jumlah yang tak terhitung, atau perlengkapan tidur yang mewah, atau mempersembahkan obat-obatan yang manjur atau membangun kuil-kuil untuknya dari kayu cendana dan menghiasnya dengan batu-batu permata, atau menutup lantai kuil itu dengan permadani-permadani mewah, tetap saja hutang budi kita tak akan terbayar.(22)
Semangat semacam ini mewarnai juga nasihat-nasihat yang diberikan di kalangan sekte Jodo Shin, "Orang membalas hutang budi kepada sumber kebajikan Budha dengan cara melumatkan tubuhnya dan mematahkan tulang-tulangnya selama entah berapa kalpa (siklus menurut kepercayaan Budhisme di mana dunia mengalami saat penghancuran dan penciptaan kembali)."(23) Memang sekte Tanah Murni merupakan salah satu yang sangat keras menekankan bahwa manusia berhutang budi kepada satu dewa tunggal, Amida, dan bahwa" ...seluruh hidup kita haruslah merupakan satu rangkaian panjang pengungkapan rasa terima kasih: kita harus menganggap hidup kita sebagai suatu pengabdian yang dituntut oleh Amida kepada kita."(24)

Banyak penganut Konfusius menekankan arti penting hoon dalam kaitannya dengan kewajiban berbakti kepada orang tua tetapi sering kali juga dengan pengertian metafisik yang lebih umum. Sebagai misal, Kaibara Ekiken (1630-1714) mengatakan,

     Manusia lebih tinggi dari semua makhluk ciptaan lain, dan berhutang budi besar sekali kepada alam; karena itu, apa yang harus dilakukan manusia adalah, jelas, berbakti kepada orang tuanya dengan segala kemampuannya dan juga memuja alam sepanjang hidupnya, sebagai perwujudan dari rasa syukur tersebut.(25)

Dan dalam nada serupa Nakae Toju (1600-1648) menulis,

     Semua orang mengakui bahwa kewajiban untuk berterima kasih, dan sikap bakti kepada orang tua hanyalah menunjukkan ujung kecil dari rasa syukur. Bahkan burung gagak memberi makan orang tuanya, dan domba menunjukkan rasa hormat dengan cara menunduk ketika makan. Semua itu adalah awal kebajikan, dan jika kita melupakannya maka kita menutupi jiwa kita dengan nafsu, meredupkan sinar kebajikannya, sehingga tenggelam dalam kegelapan.(26)

Masih banyak lagi contoh dan bukti dari masa-masa yang berbeda dan yang ditunjukkan oleh beragam sekte dan gerakan agama tentang arti penting on dan hoon dalam pemikiran agama Jepang, tetapi untuk menghindari pengulangan yang berkepanjangan baik kiranya jika pembahasan ini ditutup dengan kutipan agak panjang dari Ninomiya Sontoku (1787-1856), pendiri gerakan Hotoku yang akan dibahas pada kesempatan yang akan datang, karena kutipan ini pada dasarnya merangkum penerapan yang luas dari teori ini.

     Ajaranku mengatakan bahwa kita harus membalas kebajikan dan penghormatan. Jika ditanya penjelasannya saya akan mengatakan bahwa dengan demikian kita memberikan balasan kepada langit, manusia dan bumi atas manfaat yang telah kita terima dari mereka. Berkah Langit diberikan dalam cahaya matahari dan bulan. Matahari terbit dan tenggelam. Keempat musim datang dan pergi. Pada setiap makhluk hidup selalu ada pertumbuhan dan pembusukan. Dengan cara-cara tersebut dan dalam bentuk lainnya langit memberikan karunianya dalam bentuk rumput, pohon-pohonan, dan biji-bijian yang tumbuh; dalam kenyataan bahwa burung, semua binatang dan ikan dapat hidup. Karunia manusia terwujud dalam kenyataan bahwa para cerdik pandai mengajarkan kebenaran; para kaisar memerintah rakyatnya; pejabat tinggi melindungi negara dan rakyatnya; petani membagikan bahan makanan. Kita semua hidup dalam karunia langit, bumi dan manusia, karena itu kita harus memegang prinsip membalas sumbangan yang maha murah mereka atas kesejahteraan kita. Semangat ini harus diikuti mulai dari Kaisar sampai petani yang hina.(27)

Kegiatan religius yang dianggap sebagai upaya membalas karunia dari Tuhan yang Maha Tinggi banyak didasarkan kepada pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Hanya dengan bantuan mereka yang serba pemurah maka dia bisa hidup, dan rahmat yang diterimanya juga jauh lebih besar dari kemampuannya untuk membalasnya sehingga karenanya dia hanya akan dapat memberikan balasan yang sangat kecil dan tidak berarti. Dengan membaktikan dirinya sepenuhnya hanya kepada upaya membalas karunia ini maka dia dapat meyakinkan bahwa upaya itu terus berlangsung, dan dengan demikian dalam beberapa hal dia sudah dapat dikatakan menyelamatkan diri dari kelemahannya. Tetapi tetap dia tidak akan pernah bisa membalas sepenuhnya; dia selalu tetap berhutang. Teori ini, nampaknya, mempunyai satu potensi dinamik dari ide dosa asal. Dia menunjuk satu "cacat" fundamental dalam sifat dasar manusia yang tidak bisa diperbaiki oleh manusia sendiri tetapi harus dengan bantuan tindakan dari atas. Hanya dalam hal ini kedua ide tersebut serupa; sedangkan dalam hal-hal lain keduanya sangat berlainan. Menarik untuk dikemukakan bahwa teori on juga berlaku untuk atasan dalam sistem sosial, seperti orang tua atau tokoh-tokoh negara, sama sebagaimana hal itu berlaku untuk entitas di atas sistem sosial, para dewa atau para Budha, dan sebagainya. Arti penting dari kenyataan ini akan dibahas di bagian lain.

Kegiatan religius utama jenis kedua adalah upaya untuk dapat menyatu dengan Tuhan yang dipandang sebagai "Keabadian Yang Maha Besar" atau Tao, atau banyak istilah lainnya. Kegiatan jenis kedua ini mempunyai dua bagian utama. Pertama adalah yang berusaha untuk mencapai kemanunggalan melalui latihan-latihan atau pengalaman-pengalaman keagamaan khusus, atau melalui penarikan diri dari dunia. Teknik-teknik yang rumit tentang pengontrolan pernapasan atau meditasi pada dasarnya dirancang untuk tujuan ini atau mungkin dianggap bahwa hanya dengan cara berserah diri sepenuhnya dalam kehidupan "pengalaman murni" dan menunggu terjadinya pencerahan yang akan muncul sewaktu-waktu, kemanunggalan itu akan bisa dicapai. Secara teoritik, pendekatan ini nampaknya merupakan cara untuk menghancurkan diri sebagai entitas ontologis, untuk menghancurkan dikotomi antara subyek dan obyek. Jenis kedua dari upaya kemanunggalan dengan Tuhan ini adalah dengan cara melakukan tindakan-tindakan luhur atau "pekerjaan kasih", melalui keterlibatan langsung dalam dunia bukan mengasingkan diri darinya. Kegiatan-kegiatan etis bisa dalam bentuk "kegiatan-kegiatan karitas" atau tindakan-tindakan yang menjadikan dia "hidup dengan benar". Secara teoritik, pendekatan ini merupakan satu cara untuk mencapai kemanunggalan melalui penghancuran diri sebagai entitas etika, dengan menghancurkan batas antara diri dan orang lain, kepunyaanku dan kepunyaanmu, pendek kata dengan menghancurkan sifat mementingkan diri.

Fung Yu-lan membuat pembedaan ini dalam menganalisis filosofi Cina awal. Dia menunjuk Taoisme Chuang Tzu sebagai contoh dari tipe pertama dan Konfusianisme Mencius sebagai contoh dari yang kedua.(28) Sir Charles Eliot juga membuat pembagian yang sama antara dua cabang sekte Zen dalam kutipan berikut ini. Dia mengatakan bahwa sekte Soto:

     ...memberikan tekanan yang lebih besar kepada keharusan bertingkah laku benar dan moralitas dalam kehidupan spiritual, sedangkan Rizai, tanpa mengabaikan pentingnya moralitas, menekankan pentingnya pencerahan spiritual yang terjadi tiba-tiba tanpa menekankan bahwa cara hidup benar adalah latihan terbaik untuk mencapai pencerahan tersebut dan pencerahan adalah akibat yang dihasilkannya.(29)

Kedua bagian kegiatan keagamaan di atas terdapat di Jepang. Yang pertama, kemanunggalan melalui pengalaman kognitif, mungkin paling tepat jika dikatakan mempunyai pengikut yang terbatas di kalangan atas, sedangkan yang kedua, kemanunggalan melalui tindakan moral, mempunyai pengaruh yang luas di banyak lapisan dan bahkan berkaitan erat dengan kegiatan keagamaan jenis pertama, yang didasarkan pada teori on.

Tidak diragukan lagi Mencius adalah sumber utama dari pandangan bahwa kemanunggalan mistis dapat dicapai melalui tindakan atau kegiatan yang didasari oleh kasih. Pengaruhnya memang sangat besar di seluruh Timur Jauh paling tidak sejak sejak masa Sung. Dia jelas dikenal dengan baik oleh semua cendekiawan Jepang Era Tokugawa, karena itu dia bukan hanya awal dari alur pengaruh yang panjang tetapi sebagai pengaruh yang berlanjut selama Era Tokugawa dan bahkan terus berlanjut sampai sekarang.

Mengikuti penafsiran sementara Fung bahwa "kekuatan yang bergerak" yang terkenal dari Mencius (huo jan chih ch'i) adalah kualitas spiritual mereka yang telah mencapai tingkat kemanunggalan mistis, marilah kita lihat apa yang dikatakan oleh Mencius tentang kekuatan ini:

     Inilah kekuatan itu (ch'i): sangat besar dan sangat kuat. Dipupuk oleh ketulusan (chih), juga tanpa melukai, kekuatan itu memenuhi seluruh ruang antara langit dan bumi.(30)

Dan tentang bagaimana cara mengembangkannya, dia berkata:

     Inilah kekuatan itu: dia adalah gabungan antara kebajikan (i) dan moralitas (tao). Tanpa itu, (orang) berada dalam kelaparan. Dia ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan baik, dan tidak akan diperoleh hanya dengan kebajikan-kebajikan yang kebetulan.(31)

Keseluruhan praktek olah diri secara moral dalam Konfusian dianggap sebagai suatu kegiatan religius yang termasuk ke dalam sub-tipe kedua, upaya untuk mencapai kemanunggalan dengan alam melalui tindakan moral. Sebagaimana dinyatakan oleh Mencius, pikiran (hsin) dalam diri manusia dalam bentuknya yang sesungguhnya adalah identik dengan inti hakikat, yang perlu ditumbuhkan agar identitas itu dapat sepenuhnya dicapai:

     Dia yang telah melatih pikirannya sepenuhnya, mengetahui hakikat dirinya (hsing). Dengan mengenal hakikatnya, dia mengenal Langit. Selalu menjaga dan menumbuhkan hakikat adalah jalan mengabdi kepada Langit. Dengan tidak memiliki pikiran ganda apakah seseorang akan sewaktu-waktu meninggal atau hidup panjang; dan dengan menumbuhkan sifat pribadi sendiri, dan menunggu apa pun yang akan terjadi: ini berarti mengikuti Takdir (ming).(32)

Adalah kaum neo-Konfusius Jaman Sung yang mengembangkan pandangan ini dengan cara menggabungkan aspek-aspek Budhisme dan Taoisme di dalamnya, dan kemudian menjadikannya salah satu pandangan religius terpenting yang sejak itu mempengaruhi masyarakat di seluruh Timur Jauh. Fung Yu-lan membuat ikhtisar dari pandangan salah seorang neo-Konfusian yang paling terkemuka, Ch'eng Hao (1032-85), sebagai berikut:

     Menurut Ch'eng Hao, kondisi asli manusia pada awalnya menyatu dengan alam, namun kemudian persatuan itu hilang karena ditekankannya ego pribadi. Dengan demikian tujuan dari pengembangan spiritual adalah untuk menghancurkan hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh ego, dan kembali kepada kesatuan dengan alam.(33)

Pengembangan spiritual sepenuhnya berisi pengembangan kebajikan-kebajikan menurut Konfusian klasik. Kemanunggalan dengan alam dapat dicapai dengan cara berikut, Ch'eng Hao:

     Pertama si murid harus memahami apa itu cinta (atau kemanusiaan, jen). Orang yang penuh cinta menyatu dengan benda-benda lain. Kebajikan (yi), kesopanan (li), kebijakan (chih), dan keyakinan (hsin): semua itu adalah cinta. Pahamilah kebenaran ini dan kembangkan dia dengan tulus (ch'eng) dan kesungguhan (ching); demikianlah.(34)

Konfusius Jepang aliran Chu Hsi dan Wang Yang Ming (1472-1529) keduanya mempunyai pandangan tentang pengembangan diri secara spiritual yang merupakan variasi dari apa yang sudah diuraikan di atas. Perbedaan yang ada antara mereka cukup besar dan persengketaannya bukan tidak menarik, tetapi untuk tujuan pembahasan ini semua itu bisa kita lewatkan saja. Yang perlu ditekankan di sini adalah kenyataan bahwa mereka mempunyai persamaan yaitu, pandangan tentang proses pengembangan moral dengan tujuan keagamaan tertentu dengan identifikasi kepada alam.

Kegiatan religius ini tidaklah dibatasi di kalangan pengikut Konfusius bahkan banyak diserap ke dalam pemikiran-pemikiran religius Jepang. Banyak dari kutipan di atas, terutama yang berasal dari para pengikut rasionalisme Shinto, menunjukkan warna yang cenderung sama. Berikut adalah kutipan yang berasal dari karya Shinto abad 17:

     Hati manusia adalah tempat tinggal Tuhan (kami); janganlah berpikir bahwa Tuhan adalah sesuatu yang jauh. Dia yang jujur, sendirinya adalah Tuhan (kami), dan jika penuh kasih, sendirinya adalah Budha (hotoke). Ketahuilah bahwa manusia dalam inti hakikatnya adalah satu dan sama dengan Tuhan dan Budha.(35)

Dan bahkan versinya yang lebih tegas tetapi dengan pandangan yang sama dapat ditemui dalam kakun atau aturan keluarga seorang samurai Tokugawa, Ise Teijo (1714-1784):

     Jika hati jujur dan berada di jalan yang benar, walaupun kamu tidak melakukan pemujaan, para dewa akan tetap bersedia memberikan perlindungan. Itulah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa Tuhan membuat rumahnya di dalam kepala orang yang jujur. Jika hati seseorang tidak jujur, dan dia tidak lagi berpegang pada kelima tuntunan moral dan lima tatanan hubungan sosial, walaupun dia melakukan pemujaan kepada dewa, para dewa tidak akan memberikan perlindungan kepadanya. Sebaliknya, hukuman yang akan mengejarnya.(36)

Sifat mementingkan dirilah yang mengaburkan diri yang sejati dan menghalangi kita untuk mencapai kemanunggalan. Karena itu, pengembangan moral diri harus merupakan suatu upaya yang terus menerus untuk memerangi keinginan mementingkan diri. Hanya mereka yang bijak saja yang akhirnya akan berhasil dalam upaya ini. Bagi yang lain, pemberantasan sifat mementingkan diri itu baru sampai pada mendekati, tidak pernah sepenuhnya tercapai. Namun, kewajiban untuk selalu berusaha, sebagaimana juga kewajiban untuk membalas on, tidak kenal henti, dan tidak tergantung kepada mungkin tidaknya kewajiban itu dilaksanakan. Hal ini merupakan faktor dinamik yang lain dalam kegiatan religius Jepang.

Saya rasa menarik untuk melihat dua tipe kegiatan religius yang telah kita bahas di atas tidak hanya sebagai dua tipe yang paralel tetapi saling timbal balik, seakan dua sisi dari satu mata uang. Tipe pertama, yang lebih memperhatikan masalah membalas on, menekankan terutama pada hubungan antara individu dengan obyek-obyek di luar dirinya. Tipe yang kedua, yang lebih berkaitan dengan pengembangan diri, menekankan lebih pada pengintegrasian kepribadian seorang individu sebagai suatu kesatuan. Bagi kedua tipe tersebut, sifat mementingkan diri sendiri adalah dosa. Sifat itu mengacaukan harmoni sejati di dalam batin. Pengabdian tanpa pamrih, sebaliknya, membangun hubungan yang "sempurna" dengan yang maha baik dan juga menjadikan individu tersebut lebur dalam keilahian. Dengan meleburnya diri ini dia akan mendapatkan sifat batin yang sempurna, karena pada dasarnya inti batinnya adalah yang ilahi itu sendiri.

Perlu kita ingat bahwa kedua tipe kegiatan keagamaan di atas menuntut kerja keras dan penuh semangat di dunia ini. Jika pada beberapa waktu tertentu para pengikut neo-Konfusian di Cina condong kepada kontemplasi dan menyepi dan suatu bentuk harmoni yang agak statis, hal yang sebaliknya terjadi di kalangan Konfusian Jepang. Para Konfusian Jepang sangat bersemangat dalam memuja aktivisme dan menyerang penyepian dalam segala bentuknya. Dengan demikian, tahapan berikut yang perlu kita lakukan adalah membahas secara mendalam jenis kegiatan keduniaan macam apa yang dimaksudkan oleh teori-teori kegiatan religius Jepang ini.




Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang


-------------------------------------------
(18) Tachibana, The Ethics of Buddhism, hlm. 232
(19) Ibid., hlm. 222
(20) Lloyd, "Development of Japanese Buddhism", hlm. 461
(21) Satomi, Japanese Civilization, hlm. 181
(22) Ehara (terj.), The Awakening to the Truth of KaimokushoS, hlm. 39
(23) Naito, "Sukyo to keizai Rinri, Jodo Shinshu to O~miE Shonin", hlm. 273
(24) Eliot, Japanese Buddhism, hlm. 383
(25) Ishikawa, "On Kaibawa Ekiken's Thought and Reasoning", hlm. 26
(26) Fisher, "The Life and Teaching of Nakae Toju", hlm. 42
(27) Amstrong, Just Before the Dawn, hlm. 175-176
(28) Fung Yu-lan, A History of Chinese Philosophy, vol. I, hlm. 130
(29) Eliot, op. cit., vol. I, hlm. 284-285 
(30) Fung, op. cit., vol. I, hml. 131
(31) ibid
(32) Ibid., hlm. 129
(33) Ibid., vol. II, hlm. 520 
(34) Ibid., hlm.521
(35) Kato, Warongo, hlm. 12
(36) Hall, J.C., "Teijo's Familu Instruction", hlm. 139-140

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Observasi dan Penelitian Lapangan

3. Observasi dan Penelitian Lapangan Pengumpulan data untuk suatu tulisan ilmiah dapat dilakukan melalui observasi dan penelitian lapangan. Observasi adalah pengamatan langsung kepada suatu obyek yang akan diteliti, sedangkan penelitian lapangan adalah usaha pengumpulan data dan informasi secara intensif disertai analisa dan pengujian kembali atas semua yang telah dikumpulkan. Observasi dapat dilakukan dalam suatu waktu yang singkat, sebaliknya penelitian lapangan memerlukan waktu yang lebih panjang. Observasi dapat dilakukan mendahului pengumpulan data melalui angket atau penelitian lapangan. Dalam hal ini observasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai obyek penelitian sehingga dapat disusun daftar kuestioner yang tepat atau dapat menyusun suatu desain penelitian yang cermat. Sebaliknya observasi dapat juga dilakukan sesudah mengumpulkan data melalui angket atau wawancara. Dalam hal ini tujuan observasi adalah untuk mengecek sendiri sampai di mana kebenara