Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
2. Hubungan Persahabatan
Oleh karena orang-orang Jepang setelah menyelesaikan pendidikannya, selama hidupnya tinggal di dalam kelompok atau lembaga yang sama, kawan-kawannya dengan sendirinya juga hanya dari dalam atau sekitar lingkungan pekerjaannya. Jarang sekali terjadi, bahwa orang Jepang dapat memperkenalkan sekelompok orang sebagai "kelompok saya" di luar lingkungan keluarga terdekat dengan siapa ia hidup bersama sehari-hari. Seperti sudah diuraikan dalam Bab satu, lembaga atau himpunan di mana ia menjadi anggota, dianggapnya sebagai perluasan keluarga dan rumah tangganya sendiri, dan ia biasanya memiliki kesetiaan yang tidak tergoyahkan terhadap kelompok ini. Pandangannya terhadap kelompoknya "sendiri" jelas nampak dalam pergaulannya dengan orang lain. Contoh yang cocok untuk menggambarkan hal ini adalah, bila kita mendengarkan percakapan antara orang-orang Jepang, maka kata-kata uchi-no atau uchi-dewa amat sering diucapkan, dalam arti yang berkaitan dengan orang atau tempat kerjanya sendiri. Uchi dapat berarti satu lembaga dalam keseluruhannya, atau dapat berarti bagian atau saksi di mana pembicara menjadi anggota. Sudah menjadi kebiasaan bahwa seseorang menjadi anggota sebuah kelompok yang tidak resmi (yang seringkali meerupakan bagian dari kelompok yang lebih besar) dan kelompok inilah yang menjadi urusan utamanya, sekaligus urusannya yang paling dekat. Yang dijadikan dasar bagi pembentukan kelompok seperti itu mungkin sekali persahabatan yang menyenangkan, pergaulan yang mantap dan lama karena pekerjaan, latar belakang yang sama seperti misalnya selulusan dari sekolah menengah atau perguruan tinggi yang sama dapat juga merupakan unsur penting dalam menunjang persahabatan.
Pergaulan sosial seseorang biasanya terbatas pada lingkungan atau tempat kerja di mana ia sehari-hari berhubungan dengan sesamanya. Dengan demikian kedudukan lembaga ini penting sebagai dasar dalam menentukan lingkungan sosial seseorang. Oleh karena cakrawala sosialnya dibatasi dengan cara demikian, jangkauan hubungan seseorang di dalam kelompoknya sendiri secara perbandingan menjadi makin luas. Kaitan kewajiban dan pengharapan yang terdapat antara para anggota suatu kelompok sangat rumit; mereka saling mengenal dengan sangat baik, termasuk kehidupan keluarga dan masalah cinta masing-masing anggota, bahkan sampai pada kemampuan seseorang dalam meminum cocktail dapat diketahui secara umum. Antara sesama anggota, sebuah kata cukup menggantikan arti kalimat lengkapnya. Kepekaan seorang bagi yang lain sedemikian tajamnya, sehingga perubahan yang terkecil pun dalam perilaku atau jiwanya cepat ditangkap dan ditanggapinya dengan perilaku yang seimbang.
Tidak mudah dipahami oleh pihak luar, betapa orang Jepang itu bergantung dan berharap kepada kawan-kawannya. Tidak ada garis-garis batas yang jelas antara tanggung jawab seseorang dengan tanggung jawab orang lain, sehingga perasaan-perasaan yang terungkap dalam peribahasa Inggris yang berbunyi "Itu bukan urusanmu (urusanku)" sungguh terdengar sangat dingin bagi telinga orang Jepang. Sebaliknya, ucapan-ucapan seperti "Aku memahami posisimu", atau "Serahkan hal itu kepadaku, akan kukerjakan sebaik-baiknya untukmu" dan sebagainya tak asing dan sangat digemari oleh orang-orang Jepang.
Keterlibatan seseorang dalam kelompok kerjanya yang sangat mendalam memberi keuntungan berupa rasa nyaman baik sosial maupun psikologis bagi seseorang yang pindah dari lingkungan hidup masyarakat tradisional untuk menetapkan di daerah kota. Sebagian besar dari mereka tidak tergabung secara akrab dengan lingkungan pergaulan lain di luar tempat kerjanya, namun mereka tidak akan pula merasa begitu kesepian atau begitu asing seperti halnya masyarakat Barat yang berbeda dalam keadaan seperti itu, karena di Jepang persahabatan yang terjalin di tempat kerja biasanya meluas hingga mencapai kehidupan keluarga.
Kelompok seperti itu, yang terbentuk berdasarkan tempat kerja, memang fungsi dan peranannya mirip dengan fungsi dan peranan mura, ialah himpunan dalam masyarakat desa tradisional di daerah pedalaman. Orang merasa nyaman oleh kegiatan bersama di dalam desa yang erat berkaitan satu dengan yang lain. Sebagai imbalan, ia senantiasa wajib menyesuaikan diri pada kebutuhan-kebutuhan kelompok dan mematuhi segenap konsensusnya, sekalipun nampaknya tidak masuk akal baik dalam makna maupun dalam cara pengutaraannya. Apabila ia bersitegang menentangnya, sekalipun pendapatnya tidak masuk akal dan tepat, risikonya adalah bahwa ia dibuang dari kelompoknya. Di dalam kelompok ia merasa aman, namun keamanannya ini diperoleh dengan mengorbankan kebebasan pribadinya.
Dengan demikian orang Jepang menjalin persahabatan terutama dengan teman-teman sekerja dari seksi atau bagian yang sama dari lembaga tertentu. Berdampingan dengan atau melintasi kelompok lembaga seperti itu, orang memiliki pula kelompok kawan-kawan terdekat yang disebut senpai, kohai atau doryo baik di tempat kerja yang sekarang atau yang terdahulu. Hubungan persahabatan yang terbentuk seringkali melintasi hubungan formal suatu organisasi dalam satu lembaga oleh karena seseorang dapat dipindahkan dari satu seksi ke seksi yang lain, sekalipun dalam keseluruhannya, kelompok jenis ini cenderung dibentuk oleh orang-orang di antara uchi-no dalam satu lembaga. Sekalipun tidak semua anggota kelompok bekerja pada tempat yang sama, namun paling tidak mereka saling mengetahui tentang pekerjaan dan kegiatan masing-masing, sehingga mereka senantiasa dapat saling membantu bila diperlukan. Pada tempat kerjanya, orang mungkin harus berhubungan dengan senpai, kohai dan doryo yang tidak disukainya, bahkan mungkin mendatangkan kesulitan baginya. Menghadapi hal ini, kelompok kawan-kawannya yang terdekat merupakan sekutu dan pembelanya. Tidak hanya dalam keadaan krisis, tetapi juga bila pada saat-saat ia merasa kesepian atau tidak bahagia dalam kehidupan sehari-hari, ia pertama-tama pergi ke sesamanya untuk mendapat hiburan. Dengan demikian, selama ia memiliki kawan-kawan sesama, ia boleh merasa nyaman secara sosial dan emosional.
Bila seseorang kebetulan membuat kesalahan dalam pekerjaannya, kawan-kawan sekelompoknya akan melindunginya. Bahkan dalam hal-hal yang serius, sekalipun sesungguhnya tidak ada alasan yang masuk akal untuk dapat mempertanggungjawabkan tindakan atau perbuatannya itu, kelompoknya akan tetap melindungi dengan kekuasaan yang mereka miliki dan mereka tidak segan-segan untuk mencari alasan untuk membenarkannya, betapa pun tidak masuk akal dan emosionalnya. Mereka pada tiap waktu memihak kepadanya secara gigih belum tentu karena ia benar, tetapi semata-mata atas dasar bahwa ia termasuk kelompok mereka. Kawan-kawannya pun tahu benar, bahwa ia telah membuat kesalahan dan memang ia bersalah, sekalipun demikian, mereka dengan amat menyolok mempertahankan toleransi dan simpati mereka baginya. Tuduhan yang demikian seriusnya sehingga dapat mengakibatkan kehilangan sebuah karir, kemungkinan besar lebih disebabkan oleh hubungan pribadi orang itu dengan kawan-kawan sekitarnya yang kurang baik, dan bukannya oleh beratnya kesalahan itu sendiri. Terdapat banyak contoh tentang orang-orang yang telah membuat kesalahan besar, bahkan melanggar ketentuan-ketentuan hukum (dalam masyarakat lain ia pasti akan kehilangan kedudukan), namun di sini ia tetap bercokol dengan senangnya dalam kedudukannya, sekalipun khalayak ramai melancarkan tuduhan bertubi-tubi ke alamatnya. Paling berat dipindahkan ke tempat lain menunggu meredanya heboh pendapat umum. Penilaian yang masuk akal dan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku ditanggalkan dalam hubungan-hubungan pribadi. Bahkan hukum modern dan pendapat umum yang sehat terpaksa berkompromi dengan penyelewengan-penyelewengan kelompok yang sedemikian kuatnya itu. Itulah sumber segala intrik yang sukar dimengerti dan bersifat menghancurkan, sumber bagi persaingan antargolongan. Terdapatnya perasaan dalam kelompok yang sedemikian kuat juga dalam ungkapan emosional dengan tidak mengindahkan observasi ilmiah obyektif dan analisa sifat dan watak pribadi, rupanya berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi dalam menegakkan sistem penilaian jasa di Jepang. Seperti sudah diuraikan semula, pengetrapan sistem penilaian jasa untuk menggantikan sistem berdasarkan senioritas bukanlah tindakan yang mudah; usaha akhir-akhir ini yang dilancarkan, terutama pada perusahaan-perusahaan industri mendapatkan hasil yang pada umumnya sangat mengecewakan. Salah satu masalah yang dihadapi nampaknya terletak pada menyusun penilaian obyektif dan jujur tentang kualitas perorangan, oleh karena kesediaan untuk memiliki seseorang atas dasar kesan-kesan pribadi, berarti bahwa orang Jepang pada umumnya, harus lebih banyak memperhatikan dan lebih berminat pada kepribadian daripada kemampuan. Kesan-kesan pribadi seringkali mewarnai penilaian jasa, sehingga dengan demikian sistem penilaian jasa dapat pula dimasuki oleh rasa suka atau tidak suka, atau diskriminasi dari pihak senior terhadap bawahannya. Mungkin karena inilah, sistem senioritas bersama dengan klasifikasi (penggolongan) karir di sekolah-sekolah dan lain-lain begitu kuat bercokol dalam sistem penerimaan pegawai di Jepang.
Keterlibatan diri yang demikian kuatnya dalam hubungan perorangan baik yang bersifat positif (sekutu) maupun yang bersifat negatif (musuh) dalam kelompok-kelompok sekecil itu, sudah pasti berkaitan dengan — sekalipun bukan merupakan sebab dari berkembangnya kelakuan yang luar biasa pekanya, pembentukan ungkapan-ungkapan (yang benar-benar tidak dapat diterjemahkan), raut muka dan sikap orang-orang Jepang. Kehalusan ini cenderung terkandung dalam pengutaraan berarti ganda yang digunakan untuk menghindari konfrontasi, untuk tujuan bela diri serta untuk menyelubungi permusuhan. Sanjungan, sindiran, dan senyum digunakan untuk memperoleh keuntungan, bersamaan dengan itu mereka menyelubungi keinginan dan perasaan mereka yang sesungguhnya. Pada pihak lain, kelakuan yang tidak masuk akal atau kenakalan sengaja dibuat untuk menggoda orang lain. (Terbentuk norma-norma tinggi bagi praktek "kehalusan" ini dapat dibandingkan dengan kemampuan orang Italia dalam membujuk, serta teknik kelicikan orang Inggris).
Syarat-syarat untuk menguasai cara-cara yang sangat halus dalam melakukan hubungan pribadi membutuhkan banyak sekali latihan kemasyarakatan, akan tetapi orang-orang Jepang memperolehnya dalam pergaulan hidup yang sudah dibinanya sejak masa anak-anak. Tidak hanya orang asing, tetapi juga orang-orang Jepang yang pada masa remaja dan kedewasaan bertempat tinggal di luar negeri, banyak menghadapi kesulitan dalam memenuhi segala kerumitan teknik hubungan pergaulan yang tidak membutuhkan kemampuan intelektual, tetapi menuntut prosedur yang sangat sensitif. Memang benar, bahwa prosedur seperti itu menelan banyak energi syaraf dan menghabiskan emosi yang biasanya tidak sedemikian beratnya dalam masyarakat-masyarakat lainnya.
Keadaan seperti itu kiranya dapat memberi pengertian yang lebih besar tentang mengapa orang Jepang semenjak itu membutuhkan kedai-kedai minuman dan bar. Kedai-kedai minuman berderet-deret di belakang pusat-pusat perbelanjaan kota sangat banyak bila dibandingkan dengan kota-kota di negara lain. Setiap malam di Tokyo sesudah jam kantor, banyak karyawan dalam perjalanan pulang singgah di bar, dan beberapa di antaranya tetap tinggal di situ sambil minum-minum, hingga lewat waktu jadwal angkutan umum yang terakhir. Yang menarik mereka bukanlah minuman itu sendiri, tetapi kesempatan untuk bersantai sejenak setelah ketegangan dan persaingan di kantor; pada hemat mereka suasana di dalam bar meredakan ketegangan urat syarat. Tata ruang dan suasana dalam bar ini sangat berlainan dengan yang ada di London yang menurut ukuran orang Jepang: besar, tidak akrab, terbuka serta penuh kesibukan yang terburu-buru. Bar di Jepang pada umumnya berukuran kecil dengan penerangan agak remang-remang (tetapi tidak segelap seperti di Amerika), dengan latar belakang alunan musik yang menenangkan jiwa serta pramuria yang cantik-cantik yang melayani minuman para langganan dan senantiasa penuh penghargaan dan simpati terhadap apa saja yang diceritakan oleh langganannya. Suasana amat bersifat pribadi, betapapun tololnya seseorang, ia pasti mendapat pelayanan yang baik. Untuk meredakan ketegangan urat syarafnya itulah, seorang laki-laki mulai gandrung pada ibu kedai minuman (yang bergaya sebagai kekasih sementara), dan gandrung pada kawan-kawan minum yang senantiasa seia sekata dengan segala ucapan dan keinginannya yang meluap-luap. Kebanyakan percakapan di dalam bar adalah mengenai dan tentang teman-teman sekerja, strategi dan intrik sering dijadikan pokok pembicaraan penting; percintaan, kesulitan dalam keluarga dan ceritera tentang pelbagai pengalaman pribadi yang sangat dibesar-besarkan. Kebanyakan isi percakapan ini sedemikian tololnya, sehingga membuat kita tercengang bahwa percakapan itu keluar dari bibir orang-orang dewasa. Yang lebih mengherankan adalah, bahwa kebanyakan mereka tergolong cendekiawan; namun pendidikan maupun pendewasaannya rupanya sama sekali tidak berpengaruh di sini.
Sudah menjadi tradisi Jepang, bahwa apa yang dikatakan selagi berkumpul minum dapat dimaafkan dan harus dilupakan. Oleh karena itu bar penting sebagai tempat untuk mencurahkan segala frustasi. Banyak orang Jepang akan mengatakan tanpa merasa berdosa "Saya tidak bisa hidup tanpa bar". Bar semacam itu dengan ibu dan anak-anak gadisnya muncul dalam beratus-ratus novel dan cerita-cerita picisan di Jepang. Beberapa orang wartawan yang menemukan gejala "kebudayaan" bar ini, menulis karangan, yang mengatakan bahwa oleh karena rumah-rumah Jepang kecil, maka kaum laki-laki Jepang lebih suka membuang waktunya di dalam bar. Hal ini tentu saja jauh dari kebenaran, sebab keadaan ini tidak ada hubungannya dengan besar kecilnya rumah. Hal itu mempunyai fungsinya sendiri, yang tidak dapat digantikan oleh rumah atau wanita peliharaan.
Memang, percakapan selagi berkumpul minum, mempunyai arti yang penting bagi laki-laki Jepang, yang pada saat-saat resmi agak enggan mencurahkan isi hatinya, dan sangat menderita karena sistem vertikal yang kaku. Bilamana sebuah pertemua formal menghadapi kemacetan atau bilamana timbul kesulitan-kesulitan dalam relasi dengan orang lain, maka bercakap-cakap sambil minum-minum sering terbukti efektif. Sebuah pertemuan di antara teman minum yang karib dan seumur hidup, merupakan salah satu peristiwa yang nikmat bagi kaum laki-laki Jepang. Di saat itulah mereka bisa mendapatkan waktu santai yang sempurna dan dapat bercakap dan tertawa dari nuraninya yang paling dalam. Dalam pertemuan semacam itu, di mana keakraban suasana dibantu oleh minuman, kalimat yang diucapkan tidak pernah dilanjutkan hingga lengkap; percakapan dapat melompat-lompat dari satu topik pembicaraan ke topik yang lain tanpa ada hubungannya. Judul pembicaraan akan dikemukakan oleh tiap pembicara susul-menyusul begitu cepat sehingga orang luar mungkin tidak akan dapat menangakp ke mana sebenarnya arah pembicaraan mereka. Jadi inti kenikmatan percakapan bagi orang Jepang bukanlah terletak di dalam merundingkan (permainan logika) akan tetapi di dalam pertukaran emosi; tidaklah mudah bagi mereka yang memiliki pikiran-pikiran dan latar belakang yang berbeda-beda untuk dapat menyertai permainan semacam itu.
Kaum laki-laki Jepang lebih menikmati percakapan tidak formal semacam itu dengan teman-teman di dalam bar atau restoran daripada di rumah. Irama hidup mereka berbeda dari misalnya, "orang organisasi" di Amerika, yang sering mengadakan pesta di rumah, dengan mengundang teman-teman beserta istri mereka. "Orang organisasi" Jepang merasa seperti dibebani jika harus mengatur waktu untuk undangan semacam itu jauh-jauh hari sebelumnya, ia lebih suka menggunakan waktunya dalam sebuah pertemuan informasi dengan teman-temannya seenak hatinya bilamana pekerjaan hariannya sudah selesai. Selain dari, tentu saja, ada rasa kurang enak untuk berbicara dengan dihadiri oleh istri mereka masing-masing.
Seseorang cenderung untuk minum dengan rombongan yang sama, yang datang berkumpul dari senpai dan kohai, yang sebaya dalam umur dan dalam tingkatannya; doryo dekat yang dalam hubungan pergaulan merupakan saingan, cenderung tidak diikutsertakan. Hubungan antara kaum laki-laki dengan bar, juga cenderung menjadi sangat tetap; seorang laki-laki akan menjadi pengunjung tetap bar yang itu-itu juga, di mana ia dapat minum tanpa membayar tunai. Jadi seorang laki-laki tidak saja menghabiskan waktunya untuk melakukan pekerjaannya, namun sering juga bersantai malam hari bersama dengan teman sekerjanya; keakraban mendalam semacam itu di antara teman-teman sekerja menjurus pada timbulknya klik-klik dan memperumit proses pengambil keputusan. Jika seorang Jepang ingin mengundang orang lain ke rumahnya, maka yang diundang ialah teman-teman sekerja itulah; dengan cara yang hampir sama dengan seorang petani Jepang tidak akan memperluas lingkungan teman-teman lebih jauh dari persekutuan desanya. Tetangga jarang bisa menjadi teman terkecuali bila persekutuan desa itu sudah lama tumbuh, dan bila teman-teman dari masa kanak-kanak dan teman-teman sekolah dahulu tetap tinggal di daerah sekitarnya. Bertetangga semata-mata atau keadaan yang mirip dengan pola kehidupan sebagai "orang organisasi" tidak akan merupakan dasar yang cukup kuat untuk terbinanya satu persahabatan. Persekutuan pedesaan baru tidak akan memberikan unsur-unsur penting bagi persahabatan (lihat halaman 82) seorang laki-laki terlalu sibuk dengan pekerjaannya untuk dapat menyisihkan waktu atau keinginan guna mengikat persahabatan dengan orang-orang di daerah sekitarnya, sedangkan rumah tangga baginya adalah tempat beristirahat, bukan pusat kegiatan. Para istri dapat mengikat persahabatan dengan tetangga, akan tetapi oleh karena kaum laki-laki enggan untuk ikut serta di dalam hubungan ini, kaum laki-laki itu tetap tidak mau tahu dan menjauhinya. Standar penghidupan dan tingkat pendapatan mungkin bisa serupa, namun perbedaan-perbedaan dalam tempat kerja suami menghambat kemajuan dari perkumpulan istri-istri demikian itu.
Di dalam pergaulan hidup semacam ini para istri cenderung dihalangi untuk mengikuti kegiatan sosial, perhatiannya ditujukan pada anak-anaknya sendiri. Perhatian yang berlebihan terhadap anak-anaknya sering dianggap tidak benar oleh pengritik-pengritik sosial; tetapi gejala ini erat hubungannya dengan keadaan yang harus dihadapi oleh kaum wanita di dalam persekutuan-persekutuan yang baru didirikan atau baru berkembang di mana "orang-orang organisasi" membangun rumah tangganya. Istri-istri dan ibu-ibu ini tidak mendapatkan jalan untuk mencapai sarana agar dapat memperluas kegiatan sosialnya; mereka hidup jauh dari orang tua, saudara lelaki dan perempuan mereka, dan dari teman-teman sekolah mereka. Bagi mereka suami yang ideal adalah suami yang pulang segera setelah pekerjaannya selesai, dan membawa istri dan anak-anaknya berjalan-jalan pada hari minggu. Ideologi baru mengenai keluarga ini dinamakan my-home-ism atau paham rumah tangga saya, kata ini mengandung arti bahwa sang suami harus memandang keluarganya sebagai yang terpenting dan ia harus berada bersama mereka selama mungkin. Meskipun demikian, aliran baru ini tidak menimbulkan pola keluarga yang berpusat pada hubungan di antara suami dan istri. Bahkan, struktur keluarga inti adalah ibu dan anak, suami hanya menempel ke situ. Bagi sang suami, yang menjadi perhatian utamanya ialah rumah dalam keseluruhannya, dan bukan istri dan anak-anaknya sebagai peorangan. Memang inilah sesungguhnya konsep ie atau uchi yang sesungguhnya, "rumah tangga" yang sekarang biasanya terbatas lingkungannya, namun masih mencakup istri dan anak-anak.
Paham "rumah tangga saya" ini, mengikat suami, istri dan anak bersama dalam satu kelompok, akan tetapi hubungan antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain sangat lemah: oleh karena itu, kewajiban sang suami sebagai kepala keluarga sangat sedikit, sehingga baginya semakin mudah untuk memusatkan perhatiannya pada urusan-urusan yang menyangkut pekerjaannya. Perhatian seorang laki-laki pada istri dan anak-anaknya semakin berkurang apabila ia mendapat promosi dalam pekerjaannya, karena semakin banyak ia terlibat dalam urusan-urusan pekerjaannya, dan dalam kunjungannya pada bar dan restoran sesudah jam kerja. Suami Jepang nampak lebih bebas daripada rekannya di Barat, oleh karena itu istri-istri Jepang patut mendapatkan simpati. Namun demikian, istri Jepang yang rata-rata sudah setengah umur nampaknya tidak memerlukan simpati semacam itu; mereka sering mengatakan: "Alangkah beruntungnya mendapatkan seorang suami yang sehat dan sedang bekerja" (dengan perkataan lain, tidak ada di rumah). Kenyataannya, kebanyakan istri-istri Jepang memainkan peran sebagai ibu dan tidak sebagai istri suaminya; inilah pola tradisional, yang hanya sedikit saja terpengaruh oleh perubahan sesudah perang. Inti keluarga Jepang, baik yang kuno maupun yang modern, ialah hubungan orang tua-anak, dan bukannya hubungan antara suami dan istri. Jadi keluarga pada saat ini juga mencerminkan peran besar hubungan vertikal.
Orang laki-laki Jepang sewaktu-waktu mengadakan kontak dengan kaum kerabatnya, dan ini terjadi biasanya atas desakan istrinya. Ia akan mengunjungi orang tua istrinya dan ipar-iparnya dengan cara yang lebih teratur daripada kunjungannya pada kaum kerabatnya sendiri, dan dalam saat-saat kesulitan (kekurangan uang, tidak ada kerja dan lain sebagainya), kebiasaan tradisional ialah pergi ke orang tua istri (atau mengirimkan istri pada mereka) dan tidak pada orang tua atau saudara-saudara laki-lakinya sendiri. Hubungan nyata dengan kaum kerabat cenderung menjadi lebih akrab dengan kerabat pihak istrinya, meskipun pada peristiwa-peristiwa formal kaum kerabat sang suami diberi hak terdahulu.
Terlepas dari hubungan yang diakibatkan oleh tempat kerja, pendidikan menciptakan hubungan yang lebih efektif daripada hubungan kerabat. "Klik sekolahan" atau gakubatsu, menunjukkan adanya kesadaran kelompok yang bersumber terutama dari latar belakang universitas atau college yang sama. Lulusan-lulusan Universitas atau College mempunyai rasa bersama di dalam satu kelompok, keakraban yang timbul dalam menghadapi orang luar. Latar belakang pendidikan yang sama, menyusul lembaga atau tempat kerja dalam tingkat fungsi lebih efektif daripada latar belakang keluarga maupun latar belakang setempat. "Klik sekolahan" akan mulai terlihat dalam kasus dilakukan sebuah wawancara, misalnya di mana jika semua hal dianggap sama, akan terbukti sulit sekali untuk melakukan pilihan antara dua calon. Di masa permulaan modernisasi Jepang, pada akhir abad kesembilan belas, dalam wilayah pembesar feodal di zaman dahulu, misalnya, memegang peran penting di dalam perkembangan klik dan dalam kebajikan-kebajikan yang menyertainya; saat ini, meskipun latar belakang itu masih efektif, namun sama sekali tidak sevital seperti "klik sekoklah" pada tingkat "orang organisasi".
Jaringan "klik sekolah" memberikan keuntungan-keuntungan di dalam dan juga di luar tempat kerja. Bilamana lembaga itu besar dan mencakup sejumlah lulusan universitas maka "klik sekolah" dapat dibentuk secara laten di dalamnya. Selanjutnya di dalam tiap klik ada susunan senpai-kohai dan teman sekelas yang diakui, yang seterusnya membantu timbulnya semacam rasa kelompok yang mengikat anggotanya satu pada yang lainnya sehingga mereka itu merasakan semacam keakraban bersama yang tidak terdapat pada orang lain di luar kelompok. Dan jika sekolahnya itu termasuk sekolahan yang tingkatannya lebih tinggi, maka teman-teman sekolah seangkatan mungkin juga meningkat secara berhasil pada tangga tingkatan lembaga-lembaga lainnya, sehingga mereka dapat saling memberikan pelayanan bilamana diperlukan. Namun demikian, fungsi hubungan "klik sekolah" ini ditentukan oleh perbedaan dalam pekerjaan dan perbedaan dalam status dari lembaga-lembaga di mana para anggota itu dipekerjakan. Bahkan di antara teman-teman sekelas, bilamana seorang bekerja pada sebuah perusahaan kecil ia akan mempunyai rasa rendah diri terhadap teman yang bekerja pada sebuah perusahaan terkenal, sehingga hubungan itu jauh lebih lemah daripada hubungan antara teman sekelas yang sama berhasilnya di dalam lapangan yang serupa. Oleh karena itu "klik di sekolah" bukan merupakan kelompok fungsi yang dapat dibedakan, oleh karena semua anggota memiliki hak yang serupa dan biasa; lebih baik dikatakan, bahwa klik itu memberikan keuntungan dalam memanfaatkan hubungan-hubungan bilamana ada keperluan. Hubungan itu sering bekerja sangat efektif dengan cara yang dapat dibandingkan dengan anggota sekasta orang Hindu, atau anggota keturunan orang Cina. Kefektifan hubungan itu lebih menonjol di antara para lulusan dari departemen yang sama, oleh karena mereka dapat menelusuri kaitan-kaitan vertikal dan dengan demikian jelas dapat diketahui status relatif dari senpai dan kohai. Jika kita memperbandingkan departemen universitas dengan kelompok keturunan, maka universitas sebagai keseluruhan dapat dibandingkan dengan sebuah clan (dalam makna struktural dan bukan dalam tingkat organisasinya).
Jika seseorang mempunyai hubungan bersahabat di luar tempat kerja langsung, maka hubungan itu biasanya adalah jaringan "klik sekolahnya". Dalam jangkauannya, dan dekatnya hubungan perorangan dan dalam kesiagaannya, kelompok "klik sekolah" berfungsi lebih efektif daripada hubungan keluarga. Ini merupakan satu sebab lagi, mengapa mereka yang dididik di luar Jepang mendapat hambatan di dalam karirnya; tetapi sebaliknya, seorang asing yang dididik di Jepang, diterima sebagai anggota kelompok dan dapat menikmati dan memanfaatkan kelompok. Kelahiran dan warna kulit di Jepang tidak menimbulkan prasangka begitu besar seperti sekolah atau lembaga; sama-sama menderita pengalaman selama satu kurun waktu yang genting pada umur belasan dan dua puluhan memberikan pengaruh yang berlangsung seumur hidup.
Di situ terdapat kaitan yang erat antara konsep "rumah tangga" (ie). Keanggotaan de jure dari suatu persetujuan desa yang tradisional didapat terutama lewat "rumah tangga" dan orang digolongkan pada anak lelaki rumah tangga X, dan bukan sebagai anak laki-laki dari orang tua X. Dan lagi, adalah normal bagi sebuah rumah tangga yang tidak ada anak laki-lakinya untuk memungut anak; sekali anak itu dipungut, baik ia mempunyai hubungan kerabat atau tidak dengan rumah tangga itu, ia bisa menikmati hak penuh dari anggota rumah tangga itu, sama seperti jika ia adalah anak kandung dari kepala rumah tangga itu. "Klik sekolah" didasarkan atas akar konsepsi dari ie tradisional yang sama. Ada kaitan yang erat juga dengan prinsip-prinsip terbentuknya kelompok oleh anggota-anggota yang bekerja pada suatu tempat kerja, atau lembaga yang sama. Untuk mendapatkan keanggotaan, orang harus ikut serta dalam kegiatan di dalam lembaga itu selama waktu tertentu. Di sini baru jelas mengapa kerja penting dalam pembentukan hubungan persahabatan, sebab, menurut sistem pemberian pekerjaan di Jepang, pada lembaga inilah orang itu terlibat secara mendalam dan hampir tanpa ada kesempatan melepaskan diri lagi semenjak berumur dua puluhan
Baca: Buku Masyarakat Jepang
Comments
Post a Comment