Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
2. Etika Ekonomi Kelas Pedagang
Etika ekonomi kelas pedagang sebagaimana dicerminkan dan dipengaruhi oleh gerakan Shingaku akan menjadi pokok bahasan pada bab yang akan datang. Untuk sementara, dalam bagian ini akan diberikan gambaran umum dan dibahas pengaruh Jodo Shinshu atas satu bagian dari kelas pedagang, para pedagang Omi, satu topik yang secara mendalam dipelajari oleh Naito Kanji.
Jodo Shinsu tersebar secara luas di kalangan rakyat Jepang, baik petani maupun penduduk kota, sehingga kesimpulan yang ditarik oleh Naito tentang etika para pedagang Omi ini dapat dianggap cukup mewakili. Masalah ini penting untuk dipelajari sebagai bahan penilitian lebih lanjut.
Dalam Bab III sekedar latar belakang tentang masa awal sekte ini telah disinggung, dan Rennyo Shonin (1415-1499), orang kedua pendiri sekte ini juga telah disebut. Rennyo penting bagi kita karena dia membuat langkah baru dalam tatanan etika religius dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Rennyo kehidupan orang dalam kedudukan atau jabatannya, seperti makanan dan pakaian, harus ada dalam kehidupan religius, tetapi tetap terpisah darinya. Impian tentang "pantai yang lain" lebih penting baginya dibanding permasalahan sehari-hari. Kendati demikian, pandangannya tentang kedudukan dan kegiatan keseharian yang menyatu dengan kehidupan religius terlihat dari pernyataannya bahwa, "Jika kita mengurusi bisnis, kita harus menyadari bahwa semua itu dalam rangka mengabdi kepada Budhisme."(21) Perhatiannya yang besar kepada on dan asketisme dalam dunia ini terungkap dari uraian berikut:
Walaupun berada di tengah kemiskinan, dia selalu bersyukur kepada Amida Nyorai, yang karena kemurahannya telah memberinya hidup. Setiap kali dia makan malam dia akan berkata, "alangkah bahagianya saya dapat menyantap makanan ini, sementara begitu banyak mereka di dunia ini yang kelaparan tanpa ada yang bisa dimakan." Maka dia akan menunjukkan rasa syukurnya, dengan kedua tangan menangkup, dengan berkali-kali mengucapkan Nama Suci Amida. Dia selalu mengatakan kepada anggota keluarga dan para pengikutnya untuk tidak membuang-buang apa pun yang berguna untuk kehidupan sehari-hari, karena dengan demikian berarti orang menghormati kekeramatan ciptaan. Sekali dia menemukan sepotong kertas yang dibuang di gang. Dia memungutnya, dan dengan penuh hormat, mengangkatnya setinggi keningnya dan dengan menarik napas panjang berkata, "Bagaimana orang bisa begitu berani berdosa menyia-nyiakan sesuatu yang sudah diberikan dengan rahmat!"(22)
Pada masa yang lebih awal Shinshu menekankan penyelamatan dengan cara keimanan dan relatif agak mengabaikan tuntutan-tuntutan etika. Naskah-naskah awal penuh dengan pernyataan bahwa seseorang akan bisa diselamatkan walau sebusuk apa pun dia. Rennyo menempatkan masalah tuntutan etis ini pada tempat yang penting dalam faham Shin tetapi tetap saja merupakan sesuatu yang terpisah dari tuntutan religius. Kendati demikian, menjelang pertengahan masa Tokugawa, tindakan penyelamatan dan etika menjadi terkait sangat erat tak terpisahkan. Tidak pernah lagi terdengar pernyataan bahwa orang yang busuk akan bisa diselamatkan. Tindakan etis menjadi tanda utama dari keselamatan. Berikut adalah kutipan dari ajaran Shinshu dari masa itu:
Orang yang tidak mempunyai iman akan dengan mudah melakukan tindakan-tindakan jahat. Karena itu, walaupun dia tidak bisa berharap akan bisa bertobat sepenuhnya dari sifat-sifat jeleknya sejak lahir, akan bagi baginya jika setiap hari dia memperbaiki hatinya yang jahat sebagai tanda bahwa dia sudah mencapai keimanan.(23)
Mengacu pada sikap ini Naito berkata:
Jika seseorang yang mengharapkan akan bisa lahir kembali di Tanah Murni berani melakukan tindakan yang jahat dan melanggar agama, tindakan itu tidak saja tidak pantas tetapi menunjukkan bahwa dia tidak punya iman.(24)
Tingkah laku etis di dunia merupakan tanda penyerahan diri kepada Amida untuk mendapatkan rahmatnya dan suatu tanda hati yang beriman. Rajin melakukan pekerjaan dalam jabatan yang dipangku menduduki tempat yang sentral di antara kewajiban-kewajiban etis yang diharuskan. Seorang pendeta Shin menggambarkan tingkah laku keseharian yang harus dipunyai seorang yang beriman:
...secara nyata kelihatan harus taat kepada peraturan-peraturan pemerintah dan tidak melupakan lima jalan kebajikan (Konfusian), secara batiniah sepenuhnya harus beriman kepada sumpah asal (dari Amida), mempercayai kebaikan dan kejahatan di dunia ini sebagai akibat dari masa lalu, apakah dia samurai, petani, pedagang, atau pengrajin, masing-masing menempatkan okupasi keluarganya sebagai tujuannya yang tertinggi, maka mereka akan berhak disebut peziarah Tanah Murni yang baik.(25)
Melalui pekerjaan di dunia, terutama melalui jabatan seseoranglah, agama paling baik diwujudkan.
Jika kita bermeditasi, segala macam pikiran jelek muncul dan tidak berhenti semenit pun, akibatnya dada kita lebih terganggu dibanding kalau kita bekerja di dunia, sehingga cocoklah jika membandingkannya dengan mengikat seekor monyet gunung pada tiang.(26)
Bukan hanya bekerja saja yang ditekankan, tetapi sikap asketis terhadap konsumsi juga ada. Contoh yang agak ekstrem untuk ini terdapat dalam cerita tentang seorang penganut Shinshu yang taat, pada masa Edo:
Dalam salah satu suratnya, Rennyo Shonin mengingatkan para pengikutnya untuk menjauhi minuman. Gozaemon pada mulanya berpikir bahwa peringatan itu tidak ada sangkut pautnya dengan dia, karena dia sama sekali tidak minum. Tetapi setelah membaca surat itu dengan lebih teliti, dia mendapati bahwa tujuan sebenarnya dari Rennyo adalah mengingatkan mereka dari segala hal yang mungkin akan menghalangi mereka dari mendengarkan ajaran Budha. Langsung dia menghentikan kebiasaan main catur yang sebelumnya menjadi satu-satunya hobinya.(27)
Secara singkat ajaran-ajaran Shin dapat kita simpulkan dengan mengutip beberapa tuntunan yang banyak ditemui di dalamnya:
Selalu ingatlah pada perlindungan ilahi.
Dengan gembira jangan pernah lalaikan pekerjaan pagi dan sore.
Bekerja keraslah dalam jabatan keluarga.
Tahanlah diri dari kemewahan yang tidak menguntungkan.
Jangan berjudi.
Ambillah sedikit, jangan ambil banyak.(28)
Perhatian besar yang diberikan oleh ajaran Shin kepada kerja sebagai suatu panggilan pada Era Edo mengarahkan orang untuk mengetahui pandangan tentang keuntungan atau laba. Sikap Konfusian tradisional tentang ini agak kurang tegas. Para penganut faham Konfusius sering kali menyatakan bahwa orang yang berguna adalah yang menjaga kebajikan (i) dan membuang laba (li), pedagang mengumpulkan laba dan membuang kebajikan.
Bagi pengikut Budha, keserakahan merupakan salah satu dosa besar, dan keserakahan banyak dihubungkan dengan pengejaran laba yang dilakukan pedagang. Jadi bagaimana para guru Shin mendamaikan pementingan mereka akan kerja sebagai panggilan, termasuk kerja sebagai pedagang, bahkan sebagai suatu tugas suci dengan masalah laba atau pengambilan keuntungan? Sebagaimana sudah bisa diperkirakan, keuntungan yang didapat dari kecurangan atau yang berlebihan sangatlah dikecam. Namun, selain sikap yang agak negatif ini, dengan doktrin jiri-rita, yaitu menguntungkan diri sendiri dan orang lain, mereka mensahkan keuntungan bisnis dalam kerangka religius:
Dalam berdagang kita menerima imbalan karena kita menyediakan barang-barang untuk pembeli. Para pengrajin mendapatkan imbalan karena mereka membuat barang-barang dan memasoknya kepada yang membutuhkan. Dunia menyebut imbalan ini sebagai laba atau keuntungan. Tetapi dasar dari penerimaan keuntungan ini adalah prinsip menguntungkan orang lain. Jadi urusan baik pedagang maupun pengrajin adalah bagaimana menguntungkan orang lain. Dengan menguntungkan orang lain mereka sendiri berhak mendapatkan keuntungan. Inilah makna dari harmoni jiri-rita. Semangat menguntungkan orang lain adalah semangat Bodhisattva. Memiliki semangat Bodhisattva dan menyelamatkan orang lain, inilah yang dimaksud dengan perbuatan Bodhisattva. Dengan demikian perbuatan Bodhisattva tidak lain kecuali perbuatan para pedagang dan pengrajin. Secara umum inti dasar urusan pedagang dan pengrajin terletak pada upaya mendapatkan kepercayaan melalui perbuatan Bodhisattva.(29)
Doktrin dan ajaran etika yang sangat menarik di atas yang diajarkan secara luas oleh Jodo Shinshu pada Era Edo menjadikan orang bertanya seberapa jauh semua ajaran tersebut mempengaruhi tingkah laku nyata. Dalam hal ini kita beruntung mempunyai data tentang ini paling tidak dari kuartal pertama. Kita tahu bahwa para pedagang provinsi Omi adalah penganut taat Shinsu dari kenyataan banyaknya kuil-kuil Shin yang terpusat di kota-kota dagang utama wilayah itu, besarnya jumlah pedagang yang terdaftar di kuil, dan banyaknya ungkapan-ungkapan saleh dalam riwayat hidup para pedagang ini. Jadi, bagaimana sebetulnya ciri dari para pedagang Omi ini?
Walaupun kebanyakan mereka bermula dari pedagang keliling yang bepergian jauh merambah distrik-distrik di pegunungan Jepang tengah, mereka sering menumpukkan kekayaannya dan mendirikan toko-toko cabang di tiga kota utama Jepang. Tingkah laku mereka terkenal dan berikut adalah komentar yang khas tentang mereka:
Mereka menjadikan sifat rajin sebagai daging dan kesabaran sebagai tulangnya.
Mereka meninggalkan rumah pagi sekali dan pulang ke rumah jauh malam. Mereka tidak menghindari atau membenci kesulitan ataupun penderitaan. Mereka menutup dirinya dengan pakaian dari katun dan mengisi mulutnya dengan makanan dari sayuran. Mereka tidak pernah membuang sepotong benang atau secarik kertas, atau menyia-nyiakan uang segobang atau setengah sen.(30)
Pedagang besar Omi pada umumnya tidak mau pindah ke kota-kota besar tetapi tetap bertahan di markasnya di kota-kota perdagangan di Provinsi Omi tempat dia mengendalikan bisnisnya yang mencakup seluruh negeri. Mereka menjalani tahun-tahun hidupnya dengan cermat untuk memenuhi panggilan atau pengabdian mereka kepada Budha. Singkatan riwayat hidup salah seorang pedagang ini, Takata Zenemon, yang ditulis oleh anaknya, memberikan gambaran yang bagus tentang mereka ini:
Pada awalnya dalam usia sekitar 16 dan 17, karena tidak punya modal, dia meminjam tiga sampai lima ryo, dan dengan membawa dagangan sumbu lampu dan topi-topi bambu, dia berjalan ke daerah-daerah pegunungan... Dengan sangat cermat selama lebih dari lima puluh tahun dia mempraktekkan sikap hemat yang sangat keras. Tetapi dengan landasan kejujuran, dia bekerja tanpa mengecualikan pekerjaan yang seberat apa pun, dan akhirnya mendapat imbalan anugerah; dan karena kita para keturunannya telah mendapatkan restunya kita harus selalu berusaha keras menghindari tindakan bermewah-mewah dan, sebagai ungkapan rasa terima kasih kita yang tak terhingga kepadanya, kita harus selalu menjaga agar perusahaan keluarga tidak terbengkalai.(31)
Sedangkan ciri dari pak tua, dia ugahari dan sederhana. Dia selalu mempercayai orang lain dan tidak pernah membicarakan kesalahan mereka. Walaupun tidak membaca buku dia selalu berusaha berbuat baik. Dia bahagia hanya dengan menangani urusan perusahaannya. Tidak sehari pun dia melalaikannya selama berpuluh-puluh tahun dan tidak ada yang lebih menyenangkannya daripada mengurus semua itu. Ketika dia tua diturunkannya perusahaannya kepada anak laki-lakinya yang tertua, selanjutnya dia mendalami Budhisme dan mencukur habis rambut kepalanya ... Lebih dari itu dia adalah seorang yang mendapat rahmat dengan mengabdi kepada Budha pagi dan sore dan menghabiskan waktu luangnya dengan takzim.
Ketika dia telah tua dia memberi peringatan kepada anak-anaknya dengan mengatakan, "Dari mulai saya masih muda saya berusaha keras menghidupi keluarga saya dengan berdagang. Ketika saya berdagang di Kishu saya berjalan melewati gunung-gunung dan padang, saya bekerja tanpa menghiraukan panas atau dingin, hujan atau angin. Selama tahun-tahun itu tidak pernah sekali pun saya berpikir untuk mengumpulkan uang secara berlebihan dan saya memang tidak melakukannya. Karena kekayaan dikumpulkan melalui kejujuran dan keugaharian, anak-anak laki-lakiku selalu ingatlah ini dan anak-anak perempuanku ingatkanlah suami-suamimu."(32)
Di samping memberikan gambaran tentang seorang pedagang yang saleh dan bekerja keras, kutipan di atas memberikan gambaran tentang kelas pedagang pada umumnya dan hubungan antara sistem keluarga dan motivasi ekonomi di dalamnya. Sebelum pembahasan ini dilanjutkan perlu kiranya kita menyimpulkan dulu pembahasan kita tentang Shin.
Contoh sebagaimana diberikan di atas merupakan kasus yang menunjukkan pengaruh langsung dari motivasi religius pada ekonomi. Pengaruh langsung dari negara dan nilai-nilai politik cenderung kurang terasa. Walaupun ajaran-ajaran Shinshu juga menganjurkan sikap patuh kepada atasan dan selalu menaati peraturan, jabatan dipandang lebih sebagai suatu balas budi kepada Amida bukan kepada pangeran feodal. Ada satu cerita menarik yang menggambarkan tentang hubungan antara politik dan nilai-nilai religius Shinshu. Seorang pangeran feodal, yang mendengar bahwa salah seorang pembantunya adalah seorang pengikut Shin yang taat bermaksud menguji kesetiaannya dengan memerintahkan dia untuk melepaskan kepercayaannya itu. Perintah ini tidak bisa dipenuhi oleh si pembantu sehingga dia bersiap untuk mati, setelah menjelaskan kepada tuannya bahwa dia tidak bisa mengingkari ajaran-ajaran keagamaannya. Sang pangeran, terkesan oleh ketulusan orang tersebut, menjawab:
Kamu sudah mengemukakan pikiranmu dengan baik. Sekarang saya mengerti sepenuhnya ajaran Shinran Shonin yang unggul. Orang yang diajar untuk mematahkan tulangnya untuk kemulyaan guru spiritualnya adalah orang yang terpercaya karena dia juga akan menjaga kemulyaan tuannya dan selalu siap untuk mengorbankan dirinya untuk kepentingan tuannya. Beruntunglah saya yang mempunyai pembantu seorang pengikut Shinran seperti kamu.(33)
Selain kenyataan bahwa dalam cerita Shinshu ini dua kewajiban dapat digabungkan melalui kemurahan hati sang pangeran, jelas bahwa kewajiban religius menduduki tempat pertama. Dalam Bushido, Shingaku, Hotoko, dan banyak sekte Shinto lainnya, kewajiban religius dan politik sepenuhnya menyatu dan tak terpisahkan. Jika hal yang sama tidak berlaku pada Shinshu, maka sebetulnya Shinshu lebih merupakan penyimpangan tetapi yang sangat menarik karena sebenarnya justru dia merupakan analog Jepang dengan Protestantisme dan etikanya sangat menyerupai etika Protestan.
Kendati demikian, Shin hanya salah satu dari banyak pengaruh yang masuk ke dalam kehidupan moral kelas pedagang. Lebih jauh, bahkan di kalangan pengikut Shin yang taat, beberapa elemen lain juga berpengaruh besar dalam pandangan etika mereka, perhatikan misalnya penekanan kepada nilai-nilai kekeluargaan dalam bab mengenai Takata Zenemon. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang etika kelas pedagang satu tilikan sekilas terhadap hal-hal yang berkaitan dengan dan dikandung oleh peraturan-peraturan di rumah pedagang perlu dilakukan. Kebiasaan untuk membuat peraturan semacam ini ditiru dari samurai, yang mulai membuatnya sejak Abad Pertengahan. Baru pada Era Edo kebiasaan ini mulai menyebar luas di kalangan pedagang dan nampaknya dianggap sebagai bagian dari proses formalisasi etika status yang menjadi ciri masa itu. Bahan yang dipaparkan di sini banyak berasal dari penelitian Miyamoto Mataji yang mempelajari banyak sekali bahan tentang hal ini.
Peraturan rumah (kakun) biasanya berwujud dokumen pendek yang berisi penyataan-pernyataan tentang pewarisan dan hubungan dengan keluarga-keluarga cabang, tetapi secara umum isinya adalah aturan-aturan moral umum. Dokumen ini berisi aturan pola ideal kehidupan seorang pedagang. Biasanya dokumen kedua, sejumlah aturan toko (tensoku), berisi rincian dari managemen toko dan sedikit lebih panjang dari kakun. Namun, biasanya keduanya tidak secara ketat dipisahkan, bahkan tidak jarang digabung.
Semua kakun dan tensoku menyebut tentang keimanan (shinko). Sebagai misalnya peraturan itu berisi perintah seperti "bekerja dengan rajin demi kepentingan guru-guru Budhis", atau "Sembah dan pujalah para dewa dan para Budha pagi dan sore dan jangan melalaikan keimanan kepada mereka."(34) Jarang sekali disebut suatu sekte tertentu; tuntunan itu lebih merupakan kesalehan umum yang menggabungkan tuntunan-tuntunan yang umum diajarkan.
Satu dari klausa-klausa pertama dalam semua kakun berkaitan dengan ketaatan yang tinggi kepada semua hukum dan pengumuman pemerintah shogun. Sebagai misal adalah klausa kedua dari kakun Mitsui berikut ini: "Semua hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus ditaati sepenuhnya oleh semua, baik majikan maupun pegawai."(35) Ini adalah satu aspek dari hoko atau memberikan pelayanan yang dianggap sebagai balas budi atas berkat yang diberikan oleh negeri (kokuon), dan terutama sebagai ungkapan rasa terima kasih atas kedamaian yang telah diciptakan oleh pemerintahan Tokugawa. Makna lebih jauh dari konsep hoko ini adalah kepedulian terhadap kesejahteraan rumah atau usaha sendiri saja. Kakun keluarga Nakamura menyatakan, "Jika bepergian untuk urusan dagang ke daerah lain jangan hanya memikirkan urusan sendiri saja; pertimbangkan kepentingan semua yang lain di daerah itu dan jangan mementingkan diri sendiri saja," sedangkan kakun keluarga Ichida menyatakan, "Jangan mengambil keuntungan yang tidak adil dari barang dagangan."(36) Terakhir, konsep hoko atau melayani ini menyatu dengan konsep shokubun atau kedudukan (panggilan). Pekerjaan di dunia ini dilihat sebagai ungkapan rasa terima kasih yang sewajarnya terhadap negara dan masyarakat, suatu analog dari konsep panggilan di Barat yang telah dibahas di bagian pertama bab ini. Penekanan terhadap kewajiban hoko atau memberikan pelayanan di kalangan kelas pedagang menunjukkan arti penting motivasi "politik" di bidang ekonomi.
Yang lebih menarik lagi, konsep hoko tidak hanya digunakan dalam kaitan dengan entitas politik yang lebih luas. Konsep ini bahkan menjadi prinsip yang sangat penting yang mengatur tingkah laku dalam rumah pedagang. Rumah itu sendiri adalah suatu entitas suci yang, apabila disimbolkan dalam faham leluhur, menuntut rasa terima kasih dan pengabdian dari seluruh anggota termasuk kepala keluarga. Sebagai misal, klausa pertama kakun Mitsui adalah, "Kita hidup bahagia hari ini, berkat para leluhur, dan untuk semua itu kita harus bersyukur."(37) Pernyataan selanjutnya menyebutkan, "Kita harus menganggap diri kita sebagai pegawai rendahan para leluhur kita," dan yang lainnya, "Hampir tiga puluh tahun ketika saya mengalihkan rumah ini kepada anak saya; rentang waktu itu sangat pendek dan saya harus menganggap diri saya sebagai pelayan."(38) Perasaan serupa juga tercermin dari ringkasan biografi Takata Zenemon di atas: "... tenggelam dalam rasa syukur yang dalam, kita tidak boleh sesaat pun melalaikan urusan keluarga." Konsep hoko dalam rumah pedagang ini tidak pelak lagi berkaitan juga dengan pengabdian anak kepada orang tua dan pengabdian yang setia seorang pegawai kepada majikannya. Ukuran dari pengabdian ini sering kali sangat tinggi dan sama ketatnya dengan yang berlaku di kalangan samurai. Dalam konsep pengabdian kepada keluarga ini kita melihat lagi cara yang sangat menarik untuk menguatkan motivasi ekonomi. Pekerjaan yang dilakukan untuk bisnis keluarga menjadi kewajiban suci karena dianggap sebagai balas budi terhadap berkah yang dilimpahkan oleh para leluhur. Dalam hal ini kewajiban kepala rumah tidak berbeda dari setiap anggota yang lain. Ini adalah kasus di mana motivasi keagamaan dan sekular sepenuhnya menyatu. Kewajiban kepada keluarga sebagai satu kolektivitas yang menyerupai negara dan kewajiban kepada leluhur, simbol dari religi keluarga, keduanya menjadi identik. Fenomen inilah yang dimaksudkan oleh Watsuji Tetsuro dan para penulis lain ketika mereka menyatakan bahwa motivasi ekonomi kelas pedagang bukanlah keuntungan pribadi, bukan "profitisme pribadi," tetapi "profitisme keluarga" yang menuntut kerja keras dan sikap rajin yang tidak memperhitungkan kepentingan diri dari para pedagang sebagai individu.(39) Sifat malas, bermewah-mewah dan culas sangat dikecam terutama karena berarti tidak memenuhi kewajiban keluarga dan pada kenyataannya akan membahayakan kelangsungan keluarga. Kakun Mitsui misalnya, mengatakan, "Memanjakan dan mementingkan diri sendiri akan mengakibatkan hancurnya rumah. Jagalah disiplin diri, bersikaplah baik dan siap menolong kepada mereka yang mempunyai hubungan dengan keluarga, dan tekunlah dalam bisnismu."(40)
Dampak lain dari pandangan yang setengah mengkeramatkan keluarga ini adalah sikap menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan kewajiban untuk tidak menodai nama keluarga. Orang tidak boleh merusakkan nama baik rumah atau menjadikan bisnis mundur karena ini akan menjadikan para leluhur menderita malu. Sikap seperti ini digunakan untuk memperkuat ukuran yang tinggi tentang kejujuran, kualitas, dan penghargaan. Tidak pelak lagi hal ini membantu memperkuat berlakunya standar umum di dunia bisnis dan mendorong terciptanya rasa percaya antar rumah dagang dan mendorong terciptanya rasa percaya antar rumah dagang yang akhirnya memunculkan praktek pembayaran cara kredit dan sejenisnya yang berlaku secara luas.
Tidak pelak lagi, penguatan pandangan setengah sakral terhadap keluarga ini, walaupun berfungsi mendorong intensitas kegiatan ekonomi secara besar-besaran, juga mempunyai sisi lain yang cenderung menghambat atau meniadakan rasionalisasi ekonomi. Sikap memelihara apa yang sudah dimulai dalam keluarga nampaknya sering kali digunakan untuk membunuh inisiatif seperti perluasan ke bidang-bidang usaha baru. Upaya untuk menjaga agar bisnis keluarga tetap utuh juga sering menyebabkan kebijakan bisnis yang diterapkan menjadi sangat konservatif. Konsep shokubun juga diartikan bukan sebagai konsep dinamis mengenai panggilan tetapi sebagai suratan yang sudah digariskan sejak leluhur dan harus diterima dengan pasrah. Aspek mana yang lebih unggul nampaknya tergantung kepada perimbangan yang ada antara pemeliharaan sistem (system-maintenance) dan nilai-nilai pencapaian tujuan (goal-attainment values). Perlu diingat bahwa struktur keluarga di Jepang telah begitu terasuki oleh nilai-nilai "politik" sehingga keluarga bisa menjadi pendorong yang kuat bagi berlakunya nilai-nilai semacam ini dalam masyarakat pada umumnya atau khususnya di bidang ekonomi. Namun, pada masa atau situasi di mana nilai-nilai pencapaian tujuan relatif lemah keluarga secara keseluruhan kemungkinan besar akan lebih cenderung untuk memperkuat tradisionalisme dan nilai-nilai pemeliharaan sistem. Peran penting keluarga sebagai pendorong, dalam hal ini harus dipahami dalam kaitannya dengan situasi sosial. Bahkan dengan kualifikasi semacam ini saya rasa dapat dikatakan bahwa sistem keluarga telah berfungsi sebagai faktor pendorong ke arah rasionalisasi ekonomi pada Era edo, dan pengaruh ini menjadi semakin nyata dengan terjadinya perubahan politik dan sosial yang secara umum terjadi pada Era Meiji.
Kota-kota Jepang pada Era Edo menawarkan banyak godaan dalam hal kemewahan dan hiburan. Sulit diragukan bahwa dari kalangan kelas pedagang banyak muncul konsumen kemewahan-kemewahan itu dan penggemar rumah-rumah hiburan, tetapi ancaman bahaya dari tingkah laku semacam ini muncul di mana-mana sehingga aturan-aturan rumah pedagang hampir semua bersikap sangat keras terhadapnya. Aturan Mitsui, misalnya, mengatakan,
Kehidupan di daerah pedesaan bersifat sederhana dan ugahari tetapi di daerah-daerah perkotaan seperti Edo, Kyoto dan Osaka kehidupan cenderung mewah. Chonin cenderung menjadi kurang perhatian pada urusan bisnis dan lebih banyak menikmati kemewahan: inilah sebabnya mengapa rumah mereka hancur setelah generasi kedua atau ketiga. Tentang masalah ini orang harus selalu waspada.(41)
Secara umum aturan-aturan rumah pedagang menggariskan kehidupan keseharian yang hemat dan tertib, hampir-hampir asketis. Aturan dalam keluarga Taniguchi menyebutkan, "Selalu bersikap hematlah dan hindari pengeluaran yang tidak bermanfaat."(42) Banyak ketentuan yang melarang orang mempelajari keterampilan ringan seperti memainkan samisen, menyanyi atau menari. Mengumpulkan perabotan atau hiasan-hiasan yang aneh-aneh dan mahal sering kali dilarang keras. Bangun kesiangan sangat dicela dan "tidur awal bangun awal" sering kali ditekankan. Tuntunan untuk selalu menjaga kebersihan badan, rumah dan toko termasuk yang selalu diajarkan.
Masih banyak lagi hal tentang etika pedagang yang akan dibicarakan pada bab mendatang yang membahas gerakan Shingaku, tetapi tilikan sekilas tentang aturan-aturan rumah pedagang ini kiranya dapat memberikan gambaran yang cukup memadai. Penekanan pada sikap rajin dan hemat, pada asketisme duniawi yang sangat mirip dengan Protestantisme awal, yang semuanya berada dalam konteks dari dan dirasionalisasikan oleh konsep kerja sebagai pengabdian yang dituntut oleh suatu entitas yang "lebih tinggi", entah itu masyarakat ataupun keluarga, semuanya membuktikan bahwa etika tersebut secara khas mendorong terjadinya rasionalisasi ekonomi
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(21) Reischauer, A.K, "A Catechism of the Shin Sect", hlm. 384
(22) Nakai, op.cit., hlm. 143
(23) Naito, op. cit., hlm. 269
(24) Ibid., hlm. 279
(25) Ibid., hlm. 277
(26) Ibid., hlm. 264-265
(27) Nakai, op. cit., hlm. 208
(28) Naito, op. cit., hlm. 275-276
(29) Ibid., hlm. 285
(30) Ibid., hlm. 254
(31) Ibid., hlm. 255
(32) Ibid., hlm. 256
(33) Nakai, op. cit., hlm. 208
(34) Miyamoto, "Sekimon Shingaku to Shonin Ishiki", hlm. 22
(35) Mitsui, "Chonin's Life Under Feudalism", hlm. 71
(36) Miyamoto, op. cit., hlm. 71
(37) Mitsui, op. cit., hlm. 71
(38) Miyamoto, op. cit., hlm. 18
(39) Watsuji, "Gedai Nippon to Chonin Konjo", hlm. 320-324
(40) Mitsui, op. cit., hlm. 72
(41) Ibid., hlm. 73
(42) Miyamoto, op. cit., hlm. 20
Comments
Post a Comment