Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’
3. Sonno dan Kokutai
Era Tokugawa menjadi saksi dari berkembangnya sikap baru terhadap kaisar dan konsep politik-religius baru tentang negara, dua kecenderungan yang berpengaruh besar terhadap sejarah masa selanjutnya. Slogan sonno (pemujaan kaisar) melambangkan perhatian baru yang besar kepada kaisar dan istilah kokutai (harfiah, badan nasional), yang akan dijelaskan nanti, mencerminkan konsep baru tentang negara. Menyebut ide-ide yang telah berakar begitu jauh dalam sejarah sebagai sesuatu yang "baru" terasa paradoks, tetapi dalam konteks Era Tokugawa ide-ide tersebut dapat dianggap baru, kemunculannya dan perkembangan pengaruhnya dapat dilacak dan bagaimana pengaruhnya merembes dan membaur pada masa Tokugawa dapat diamati.
Walaupun ide-ide ini tidak terbatas dipunyai hanya oleh satu atau dua gerakan intelektual saja, karena pada kenyataannya memang meluas, terutama pada menjelang akhir masa ini, tetap saja ide-ide ini dapat diamati melalui apa yang dikembangkan oleh penganjurnya yang paling bersemangat yaitu, Aliran Kokugaku dan Aliran Mito.
Aliran Kokugaku mulai dengan minat yang baru terhadap sejarah Jepang, susastra dan agama yang berkembang pada abat 17. Pendiri aliran ini, Keichu (1640-1701) dan Kada Azumamaro (1668-1736), terutama dikenal karena karya ilmiah mereka tentang puisi Jepang dari masa awal perkembangan bahasa Jepang. Pengetahuan ini penting jika mitologi-mitologi kuno, sejarah, dan ritual-ritual hendak dipahami sebagai langkah awal dari gerakan yang bertujuan menghidupkan kembali budaya dan lembaga-lembaga kuno Jepang.
Dari sejak awalnya gerakan ini bersifat politis dan religius; dia tidak membatasi perhatian hanya pada susastra sebagai tujuan. Namun, baru oleh Kamo Mabuchi (1697-1769) sifat gerakan ini dinyatakan dalam formulasi yang jelas yang menjadi pedoman bagi para pengikutnya. Sebagian dari pandangan dasar Kokugaku tersebut termaktub dalam kutipan yang diambil dari Mabuchi berikut ini:
... Sementara selama berabad-abad Cina mengalami pergantian kekuasaan dinasti yang berbeda-beda, Jepang selama itu telah setia hanya kepada satu garis keturunan penguasa yang tak terpotong. Setiap dinasti Cina dibangun atas dasar pemberontakan dan pembunuhan sanak keluarga.
... Pada abad 8 kostum dan etiket Cina ditiru oleh Istana. Kemegahan dan kebesaran asing ini menutupi kebejatan akhlak orang, dan menciptakan jarak yang jauh antara Mikado dan rakyatnya. Selama penguasa menganut cara hidup sederhana, rakyat akan puas dan bertahan dalam penderitaannya. Kebutuhan mereka tidak banyak dan mereka mudah diatur. Tetapi jika penguasa mempunyai istana yang megah, pakaian yang mewah, dan sejumlah besar perempuan berpakaian indah-indah yang melayaninya, pemandangan ini akan mengundang keinginan orang untuk memiliki kemewahan yang sama; atau jika mereka tidak cukup kuat untuk merebutnya, semuanya itu akan membakar rasa iri mereka. Jika Mikado bertahan hidup di rumah beratap kayu dan bertembok tanah liat, memakai baju dari rami, membawa pedangnya dalam sarung yang dibuat dari sulur-sulur pohon, berburu dengan panah dan busur sebagaimana adat kebiasaan kuno, keadaan seperti sekarang ini tidak akan pernah terjadi. Tetapi sejak diperkenalkannya tata cara Cina, penguasa, walaupun mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, telah turun derajatnya hanya sampai pada tingkat intelektual seorang perempuan. Kekuasaannya berada di tangan para pembantunya, dan walaupun mereka tidak pernah secara nyata memakai gelar itu, sebenarnya merekalah yang berkuasa, dan Mikado tiada lain kecuali suatu nama hampa.(30)
Di sini kita melihat penolakan yang ekstrem terhadap Cina yang merupakan sikap sangat khas dari aliran ini. Bahwa doktrin Cina itu palsu dan merusak dibuktikan sepenuhnya oleh sejarah negeri itu, kata Mabuchi. Dampaknya di Jepang semakin memperkuat kenyataan itu. Bangsa Jepang dengan kesederhanaannya yang murni merupakan manusia yang sepenuhnya alamiah. Pengaruh Cina menjadi penyebab terjadinya kemerosotan dan kebejatan yang sekarang berlangsung. Dengan demikian maka semua yang Cina harus disingkirkan dan orang harus kembali ke kesederhanaan yang penuh berkah. Keagungan Jepang berasal dari garis keturunan kekaisarannya yang tak terpotong. Karena itu kebutuhan yang paling mendesak di atas segalanya adalah dikembalikannya hubungan yang sejati antara raja dan rakyat dan diakhirinya kebusukan dalam hubungan ini yang diakibatkan oleh adanya pengaruh Cina.
Tidak pelak lagi, Budhisme dan Konfusianisme sepenuhnya ditolak oleh aliran Kokugaku. Motoori Norinaga (1730-1801), mungkin Kokugakusha terbesar, menulis,
Dahulu kala, walaupun di Jepang tidak ada sistem doktrin yang umum, tidak pernah terjadi kekacauan umum, dan kaisar memerintah dengan damai. Ini disebabkan karena bangsa Jepang sudah sepenuhnya bermoral dalam tindak-tanduk mereka sehingga tidak dibutuhkan teori moral, dan banyaknya cing-cong dari orang-orang Cina tentang moral teoritik itu hanyalah karena mereka tidak melaksanakan itu dalam praktek tindak-tanduk mereka.(31)
Dengan menolak Budhisme dan Konfusianisme, Kokugakusha menjadikan religi setempat, yaitu Shinto (walaupun mereka membenci istilah yang berasal dari Cina ini), sebagai landasan religius mereka. Motoori menulis,
Jepang adalah negara yang melahirkan Matahari, Amaterasu-omikami, dan ini membuktikan keunggulannya atas negara-negara lain yang juga mendapatkan manfaat dari matahari. Sang dewi, setelah memberkati cucu laki-lakinya Ninigo no Mikoto dengan tiga pusaka suci, mengangkatnya menjadi penguasa Jepang untuk selama-lamanya. Keturunannya harus melanjutkan memerintah selama langit dan bumi masih ada. Dengan bekal kewenangan penuh tersebut, semua dewa di langit dan umat manusia tunduk kepadanya, kecuali beberapa orang brengsek yang segera dapat dikalahkan.
Sampai akhir jaman setiap Mikado adalah putra sang dewi. Pikirannya selalu selaras dengan pikiran dan perasaan sang dewi. Dia tidak perlu menciptakan cara-cara baru, tetapi dia memerintah sesuai pranata yang telah ditetapkan sejak masa para dewa, dan jika dia mengalami keraguan, dia dapat menghadap kepada Yang Ilahi untuk mendapatkan ilham yang berasal dari pikiran sang maha dewi. Dengan demikian masa para dewa dan masa sekarang ini bukanlah dua masa yang berbeda, tetapi satu, karena bukan hanya Mikado, tetapi semua Menteri dan rakyatnya, bertindak sesuai tradisi masa keilahian.(32)
Motoori menolak semua metafisika dengan mencapnya sebagai barang impor dan berteguh dengan kepercayaan secara harfiah kepada mitologi-mitologi kuno sebagaimana terkandung dalam Kojiki. Dia menyatakan bahwa penjelasan-penjelasan kaum Budha, Konfusian, dan Tao dalam peristilahan logis, adalah sesuatu yang saling bertentangan dan tidak bisa diterima. Dia mengemukakan bahwa usaha memahami dunia berada di atas kemampuan akal manusia, karena itu jalan terbaik adalah bersandar kepada wahyu. Dunia penuh dengan fenomena aneh yang tak mungkin terpahami oleh manusia. Walaupun mitologi-mitologi kuno mungkin secara harfiah sulit dicerna akal, mereka sama asingnya dengan banyak kejadian lain di dunia, dan mereka mempunyai bobot pewahyuan. Dia menunjuk kepada kaisar sebagai bukti keunggulan Shinto:
Keberhasilan dinasti Mikado untuk tetap bertahan merupakan bukti nyata bahwa "jalan" yang disebut Kami no michi atau Shinto sepenuhnya unggul dari segala sistem lain yang dipunyai negara mana pun.(33)
Hirata Atsutane (1776-1843), Kokugakusha agung yang terakhir, tidak membuat tambahan yang berarti atas pokok-pokok pikiran dalam aliran ini tetapi mempunyai peran penting karena usahanya mensistematisasikan serta keahliannya mempropagandakan ajaran alirannya. Berkat dia dan murid-muridnyalah ide-ide Kokugaku tersebar luas pada awal abad 19 dan menjadi salah satu yang mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya Restorasi.
Mungkin anda bertanya-tanya mengapa pembahasan tentang rasionalisasi religi dan politik memasukkan uraian tentang ide-ide aliran yang nampak regresif. Kokugaku nampaknya menolak semua kemajuan dan rasionalisasi yang telah ada sejak abad 7 dan ingin kembali kepada kesederhanaan primitif. Namun dampak yang ditimbulkannya ternyata mendorong langkah lebih jauh ke arah rasionalisasi. Bagaimana ini bisa terjadi?
Kokugaku dapat dianggap sebagai semacam gerakan religius "ratu adil". Dia mempunyai tujuan keagamaan yang jelas yang dapat diwujudkan di dunia: pemulihan kekuasaan kaisar sebagai penguasa nyata dan pembersihan Jepang dari segala pengaruh yang merusak. Jika ini dilaksanakan Kokugaku meramalkan akan datangnya masa kerukunan dan keserasian antara rakyat dan kaisar, manusia dan dewata, di mana kedamaian dan moralitas akan dengan sendirinya terwujud. Dampak dari diterimanya cara pandang Kokugaku ini adalah pemujaan rakyat kepada kaisar mengatasi segalanya dan harapan atau usaha untuk memulihkan kekuasaannya. Pandangan yang sederhana dan efektif seperti ini dengan implikasinya yang mendorong orang untuk berbuat, menurut pendapat kami jelas rasional secara religius. Walaupun Motoori dengan keras mendorong para pengikutnya untuk secara harfiah percaya pada Kojiki, hasilnya tidaklah sama seperti jika mereka dibenamkan sepenuhnya dalam ajaran magis primitif itu. Kepercayaan terhadap segala takhyul baginya merupakan pertanda kepatuhan yang merupakan aspek sampingan yang penting untuk dia dan untuk kita. Ini tiada lain kecuali aspek rasionalisasi. Demikian pula, implikasi politis dari doktrin Kokugaku adalah terbentuknya suatu monarki yang kuat dan terpusat yang menuntut kesetiaan dan kepatuhan setiap rakyat Jepang serta penghancuran keshogunan atau kekuatan-kekuatan lain yang berada di antara kaisar dan rakyat. Dalam kondisi masa itu, baik secara internal maupun eksternal, jelas bahwa monarki terpusat semacam itu bukanlah suatu negara kesukuan romantik sebagaimana dibayangkan oleh Motoori yang berdiri kuat di Jepang abad 5 dan 6. Apa pun tujuan dari Kokugaku, yang jelas secara politis dampak ajaran mereka adalah rasionalisasi kekuasaan secara besar-besaran.
Aliran Mito, yang mempunyai kemiripan tetapi juga perbedaan yagn besar dengan Kokugaku, mengambil namanya dari Mito, satu kota sebelah timur laut Tokyo, tempat satu cabang keluarga Tokugawa tinggal sebagai daimyo yang berkuasa. Tokugawa Mitsukuni (1628-1700) merupakan orang yang dianggap pendiri aliran ini. Di bawah arahannyalah studi tentang sejarah agung Jepang, Dainihonshi dimulai. Penelitian sejarah ini penting karena berdasar penyelidikannya yang sangat teliti dan terbukti mengatasi segala keraguan bahwa terdapat suatu masa di mana kaisar tidak terasing tetapi memerintah secara langsung. Ditunjukannya dengan rinci gambaran masa itu dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan berakhirnya. Tulisan itu difokuskan terutama pada pribadi kaisar dan istana dan ditulis dari sudut pandang seorang loyalis sehingga pesan yang disampaikannya pun jelas. Walaupun tidak dapat disebut sebagai tulisan agitatif pembahasan ilmiahnya telah berperan besar dalam melemahkan keabsahan keshogunan dan menumbuhkan perasaan pemihakan kepada masa-masa ketika kaisar benar-benar memerintah. Anehnya, karya yang bersifat loyalis dan nasionalis ini ternyata ditulis dalam bahasa Cina. Hal ini membedakan secara tajam aliran Mito dari Kokugakusha yang selalu menggunakan bahasa Jepang semurni mungkin.
Memang aliran Mito tidak menolak segala hal yang berasal dari Cina seperti yang dilakukan oleh aliran Kokugaku. Para sarjana Mito menempatkan Shinto sebagai panutan utama mereka dan mengkritik orang Cina karena berubah-ubahnya dinasti mereka, dan mengkritik Mencius karena dukungannya terhadap "hak untuk revolusi", dan tentu saja mereka menganggap Jepang lebih unggul dari bangsa lain, tetapi mereka menghargai paling tinggi para cendekiawan Cina dan secara terbuka mengajarkan moralitas Cina. Namun, mereka sepakat dengan Kokugaku dalam hal penolakannya terhadap Budhisme. Sikap mereka dapatlah secara ringkas digambarkan melalui ucapan Tokugawa Nariaki: "...pujalah Jalan tanah para dewa (Jepang) dan gunakanlah ajaran-ajaran Cina".(34)
Apa yang dimaksud dengan "Jalan" oleh Nariaki sedikit dijelaskan oleh kutipan berikut yang berasal dari tulisannya:
Keabadian suksesi Kekaisaran, hubungan yang agung antara tuan dan pembantunya, ayah dan anak, langit dan bumi, tidak pernah berubah; inilah "Jalan utama" langit dan bumi.(35)
Dalam Jalan ini kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua sangat erat berkaitan. Nariaki menulis, "...jangan menganggap kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua dua hal yang berbeda".(36) Sebagai dinyatakan oleh Hammitzsch,(37) penghormatan yang tinggi kepada kaisar jika dikaitkan dengan identifikasi kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua akan mempunyai implikasi yang menarik bagi konsep bernegara. Tuhan, kaisar, pangeran dan ayah cenderung menjadi sejajar. Seluruh bangsa adalah satu keluarga. Kaisar adalah "yang ilahiah", dialah "pangeran" dan dialah "ayah" seluruh keluarga bangsa. Rakyat adalah pemuja, pelayan, dan anak. Kesetiaan adalah "ketaatan agung seorang anak" dan ketaatan kepada orang tua adalah "ketaatan kecil seorang anak" yang ada hanya supaya ketaatan agung dapat diwujudkan.
Apa yang telah diuraikan di atas adalah satu aspek dari apa yang dimaksud dengan kokutai. Kokutai adalah konsep bernegara di mana prinsip-prinsip kekeluargaan, politik, dan religius berbaur menyatu tak terpisahkan. Dalam formulasi di atas hal ini mendekati suatu penggambaran akan tipe pertama hubungan antara manusia dan tuhan (diuraikan dalam Bab III) sehingga tindakan diarahkan oleh konsep on. Kaisar menjadi pusat religi bangsa dan kewajiban untuk membalas kebajikan yang dikaruniakannya mengatasi segala kewajiban yang lain.
Tetapi lebih jauh, kokutai juga dipahami dalam kerangka corak kedua hubungan antara manusia dengan tuhan yang terdapat di Jepang. Dalam hal ini kaisar dan kami dianggap sama, sedangkan rakyat diidentifikasi dengan keduanya. Kehendak kaisar adalah kehendak kami, dan kehendak rakyat adalah kehendak kaisar. Menyatu dengan kehendak kaisar dan kami adalah apa yang dimaksud dengan "tulus", mempunyai hati yang murni, dan sebagainya. Dengan demikian kokutai berarti satu identifikasi religius dan entitas politik. Dia mempunyai aspek ganda yang merupakan ciri khas pandangan religius Jepang, dan kedua bentuk kegiatan religi utama saling terkait sedemikian sehingga menjadi identik dengan kegiatan politik.
Mungkin kita perlu kembali kepada Yoshida Shoin (1830-1859) untuk memahami secara konkret pandangan-pandangan ini. Dia sangat banyak dipengaruhi oleh aliran Mito dan pada gilirannya menjadi salah seorang yang berpengaruh paling besar dan dalam terhadap para pemimpin Restorasi.
Semua orang yang lahir dalam Kekaisaran kita harus mengetahui alasan keagungannya. Bukankah Dinasti Kekaisaran kita telah berlangsung tanpa pernah terpotong dari jaman dahulu kala. Para vasal menerima wilayahnya dari generasi ke generasi. Para penguasa memberi makan rakyat dan dengan demikian rakyat berhutang budi yang sangat besar terhadap mereka. Penguasa dan rakyat adalah satu badan (kunshi ittai). Kesetiaan kepada penguasa dan kepatuhan anak kepada orang tuanya adalah satu dan sama. Inilah ciri yang dipunyai hanya oleh negara kita.(38)
Shoin hanyalah salah satu dari mereka yang menyebarkan ajaran-ajaran aliran Mito kepada kalangan samurai muda menjelang akhir Era Tokugawa. Tetapi ajaran ini menyebar tidak terbatas hanya di kalangan samurai saja. Para pendakwah seperti Takayama Masayuki dan Gamo Kumpei menyebarluaskannya di kalangan rakyat umum.
Konsep kokutai sebagaimana diformulasikan oleh aliran Mito mempunyai pengertian umum seperti ajaran-ajaran Kokugaku. Kendati demikian, kokutai sedikit kurang "primitivistik" karena masih mau menggunakan ide-ide etis dan teoritis yang berasal dari Cina dalam formulasinya. Namun bagaimanapun juga pada dasarnya tidak lebih dari sekedar utopia. Keinginan untuk menjadikan kokutai suatu kenyataan yang hidup cenderung menempatkan dimensi pencapaian tujuan mengemuka. Dia memberi motivasi kepada suatu dorongan ke arah tujuan tertentu, pertama Restorasi, kemudian ketika dia menjadi bagian utama dari ideologi nasionalistik Jepang, ke arah pembentukan negara yang kuat, dan akhirnya ke arah imperialisme. Dia cenderung menghilangkan kelenturan yang ada: semua penghalang harus dihancurkan dengan cara apa pun; mereka yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari lingkup dimensti adaptif (ekonomi) harus dicela. Dia juga cenderung menghilangkan dimensi integratif, dengan cara menolak adanya masalah integratif. Semua orang Jepang sudah "seharusnya" setia kepada kaisar dan kekaisaran. Tidak ada toleransi untuk yang tidak loyal. Politisi dari partai yang mewakili kelompok kepentingan yang berbeda dan mencoba menyeimbangkan tuntutan yang berbeda tersebut dicela, karena adanya kelompok kepentingan dianggap pengkhianatan. Kecenderungan sebagaimana diuraikan menunjukkan kekuatan rasionalisasi yang berlebihan sehingga prasyarat fungsional bidang-bidang lain dalam masyarakat selain negara dilanggar. Militerisme dan totaliteranisme Jepang pada jaman modern menunjukkan dengan nyata kecenderungan ini. Landasan ideologis kecenderungan ini tiada lain adalah sejumlah pandangan yang saling terkait dan berpusat pada kokutei sebagaimana yang telah dibahas pada bagian ini. Unsur paling radikal dalam gerakan ini, yaitu yang mendukung ide "Restorasi Showa" pada tahun 1930an, memimpikan suatu situasi di mana seluruh fungsi ekonomis dan integratif berada di bawah kontrol langsung kaisar dan dilebur ke dalam negara. Mereka sangat sengit mencela "kapitalisme" dan "politik". Mereka bagaikan suatu batas ekstrem dan patologis ke arah mana dominasi absolut dari nilai-nilai partikularistik-prestasi (performance) dapat didorong. Ekstrem ini menunjukkan adanya kesesuaian alamiah antara ideologi sebagaimana dilambangkan oleh kokutai dan dominasi nilai-nilai partikularistik-prestasi. Bahwa nilai-nilai ini masih kuat di Jepang terlihat dari kenyataan bahwa ideologi "demokratis" yang berasal dari masa sesudah perang pada waktu itu mengalami kesulitan dalam mempertahankan keberadaannya berhadapan dengan kebangkitan kembali ideologi lama dalam bentuk yang berbeda.
Bagaimanapun kita mengevaluasi hasilnya, paling hanya tinggal keraguan amat kecil bahwa dampak ideologi sonno-kokutai adalah semakin kuatnya proses rasionalisasi politik di Jepang. Bab ini bermaksud menunjukkan bahwa ideologi ini merupakan gabungan antara pandangan-pandangan religius dan politik, dan bahwa paling tidak sebagian dinamikanya berlatar belakang motivasi religius. Bagaimana rasionalisasi politik akhirnya berdampak pada bidang ekonomi akan dibicarakan dalam bab berikut.
Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang
-------------------------------------------
(30) Satow, The Revival of Pure Shintau", hlm. 177-178
(31) Ibid., hlm 187
(32) Ibid., hlm 186
(33) Ibid., hlm 188
(34) Hammitzsch, Die Mito-Schule", hlm. 68
(35) Ibid., hlm 70
(36) Ibid., hlm 68
(37) Ibid., hlm 50
(38) Van Straelen, op. cit., hlm. 83
Comments
Post a Comment